Home / Rumah Tangga / Desahan yang Didengar Anakku / Bab 1 Cerita Mengejutkan Anakku

Share

Desahan yang Didengar Anakku
Desahan yang Didengar Anakku
Author: Miss_Pupu

Bab 1 Cerita Mengejutkan Anakku

Author: Miss_Pupu
last update Last Updated: 2024-05-16 14:38:06

"Ma, kasihan ya Papa."

Seketika kedua alisku menaut tatkala mendengar ucapan putri kecilku. Saat ini kami berdua tengah berada di sebuah restaurant amerika kesukaannya. Hari ini libur sekolah, aku pun libur kerja hingga sengaja mengajaknya makan di restaurant untuk quality time.

Namun sayang sekali suamiku tak bisa ikut karena memilih istirahat di rumah. Di waktu yang bersamaan pula aku menghentikan aktivitas mengunyah makanan.

"Kasihan kenapa, Mey?" Karena penasaran, gegas kulayangkan pertanyaan pada putriku—Meysa.

"Memangnya Mama gak pernah dengar saat Papa merintih kesakitan?" Putriku malah berbalik tanya membuatku kian penasaran.

'Ada apa dengan suamiku? Mengapa merintih?' Rasa khawatir seketika menyeruak di dalam dada.

Aku meletakan sendok di atas piring. Aku benar-benar harus menunda makan siang ini sebab ucapan putriku terdengar serius.

"Mey, kenapa dengan Papa? Mama tak pernah dengar apa pun. Mama tidak tahu," tanyaku pada Meysa dengan penuh kekhawatiran.

"Aku sudah beberapa kali mendengar Papa merintih di toilet, Ma. Mungkin Papa kesusahan pups. Tapi pas aku tanya ke Papa, Papa bilang gak kenapa-kenapa. Padahal setiap keluar dari toilet Papa terlihat kelelahan, Ma. Wajah dan pakaian Papa juga kusut." Mesya, putri kecilku yang kini berusia sembilan tahun terlihat sedih tatkala menceritakan kekhawatirannya pada papanya. Bola matanya bahkan nampak berkaca-kaca.

"Ya Tuhan, kenapa ya? Jangan-jangan Papa sakit, Mey." Aku mengusap dada yang isinya berkecamuk resah.

Aku khawatir jika suamiku benar-benar sakit. Pantas saja dia jarang pergi sepulang ngantor. Akhir-akhir ini suamiku lebih sering berdiam diri di rumah. Pikiranku lari kemana-mana. Gegas kuakhiri aktivitas makan siang bersama Meysa. Aku harus segera pulang.

Dengen mengendarai kendaraan roda empat milikku, beberapa menit lagi aku akan sampai di rumah. Sesekali kulirik ke samping. Meysa yang duduk di sampingku terlihat menatapku aneh.

"Kenapa menatap Mama seperti itu, Mey?" Tanyaku pada putriku, sementara tatapanku tetap fokus ke jalan raya.

"Enggak kenapa-kenapa, Ma. Kenapa kita buru-buru pulang? Padahal aku lagi enak-enak makan." Anak polos itu sepertinya tak paham dengan kekhawatiranku.

"Mama harus bawa Papa ke rumah sakit, Mey," jawabku singkat. "Next time kita makan di restaurant lagi ya," sambungku kemudian. Meysa mengangguk. Sepertinya dia memahami jawabanku.

Sementara isi hati terus saja bertanya-tanya. Penyakit apa yang tengah diidap suamiku. Apa suamiku sakit ambeyen? Atau prostat?

Ah, tak mau berpikir terlalu jauh. Setelah kendaraan roda empatku sampai di depan rumah, aku dan Meysa bergegas menuju rumah yang pintu utamanya terkunci.

Ting tong.

Kutekan bell yang menempel di dinding dekat pintu. Cukup lama aku menunggu di depan rumah, hingga setelah sepuluh menit kemudian Santi—pembantu di rumahku membuka pintu.

"Kenapa lama sekali?" tanyaku seraya menelaah pakaian Santi yang kusut serta bagian kancing baju yang tinggi sebelah.

"Ma-maaf, Bu Tari. Sa-saya dari toilet," jawabnya beralasan. Dia memang selalu memanggilku seperti itu.

Tak mau membahas hal yang tidak penting, aku menggandeng Meysa bergegas masuk ke dalam rumah. Tak ada ruangan lain yang dituju selain kamar pribadi. Aku yakin suamiku berada di sana.

Benar saja dugaanku, Mas Dani nampak tertidur dengan tubuh berbalut selimut tebal.

"Mas, kamu kenapa? Kamu sakit?" Kuletakan punggung tangan pada dahinya. Mas Dani langsung mengangguk, padahal dahinya terasa dingin pada punggung tanganku.

"Kita ke dokter ya," ajakku tak mau basa-basi. Namun netraku terasa janggal tatkala melihat spray yang acak-acakan. Seingatku tadi pagi sudah rapi.

"Mas, kok spray acak-acakan?" tanyaku saat Mas Dani mulai bangkit.

"Em... I-iya, Tari. Tadi perut aku sangat sakit. Aku menahannya sambil menarik spray. Ya akhirnya acak-acakan begini," jawab Mas Dani. Kulihat suamiku memegang perut bagian bawah. Sementara dahinya nampak mengerut seperti tengah menahan rasa sakit.

Ya Tuhan, penyakit apa yang diidap suamiku? Tak mau menunda waktu, gegas kubawa Mas Dani ke Dokter. Awalnya suamiku menolak keras dibawa ke Dokter, namun aku memaksa dan dia tak bisa menolak lagi.

"Tari, tolong belikan minum ya. Aku haus," pinta suamiku. Dia sudah duduk di kursi tunggu yang sebentar lagi akan dipanggil ke ruangan pemeriksaan.

"Tapi sebentar lagi masuk ruangan pemeriksaan, Mas," tolakku halus. Bukan tak mau menuruti permintaannya, tapi aku harus memastikan hasil pemeriksaannya.

"Aku haus, Tari! Apa kamu tega membiarkanku dehidrasi?!" Mas Dani terdengar menyentak.

Tak bisa menolak, kuputuskan segera beranjak dari tempat duduk kemudian melangkah dengan cepat menuju mini market di depan rumah sakit untuk memenuhi permintaan Mas Dani.

Entah kenapa hari ini pengunjung mini market nampak membludak hingga membuatku terkena antrian kasir cukup panjang serta memakan waktu yang cukup lama. Padahal yang kubeli hanya dua botol air mineral dan beberapa cemilan saja untuk Mas Dani.

Sekembalinya dari mini market, tak terlihat wajah Mas Dani. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling area, suamiku tak ada dimana-mana. Kemana Mas Dani? Apa dia sudah berada di ruangan pemeriksaan Dokter?

Bersamaan dengan itu, pundakku terasa ditepuk seseorang dari belakang membuatku segera menoleh.

"Mas, kamu dari mana?"

Rupanya Mas Dani sudah berada di belakangku.

"Aku baru saja keluar dari toilet," jawabnya. Mas Dani tampak menurunkan tatapan terlihat menyembunyikan kesedihan.

"Mas, kenapa?" tanyaku lagi.

"Aku telah selesai diperiksa Dokter," jawabnya.

"Lalu, bagaimana hasilnya?" Aku semakin penasaran.

Namun bukannya menjawab, Mas Dani melengos meninggalkanku. Langkahnya terlihat cepat meninggalkanku.

"Mas!"

Bahkan Mas Dani tak menghiraukan panggilanku. Aku gegas membuntuti langkah Mas Dani yang ternyata masuk ke dalam mobil kami.

Setelah kami duduk di dalam mobil, Mas Dani masih menampilkan wajah sendu dan memelas, membuatku kian penasaran.

"Kenapa? Kenapa kamu langsung pergi, Mas?" Tatapanku begitu nanar pada Mas Dani kemudian melanjutkan pertanyaan tadi. "Bagaimana hasil pemeriksaan Dokter?"

Mas Dani kembali diam, kemudian mengangkat wajahnya. "Dokter bilang kalau aku terkena penyakit ginjal, makanya tadi perutku sakit," jelasnya.

"Apa!" Aku terkejut. Apakah ini penyebab Mas Dani sering merintih di toilet. Aku turut sedih mendengar berita menyedihkan ini. Aku sangat menyayangi suamiku. Aku tak mau kehilangan Mas Dani.

"Aku mau lihat bukti hasilnya, Mas." Aku menadahkan telapak tangan, meminta sebuah kertas sebagai bukti.

"Sudah kubuang sebab aku tak mau melihat hasil pemeriksaan itu lagi," elaknya.

Mencoba memahami, aku memutuskan tak lagi membahas penyakit Mas Dani.

***

"Mas, seminggu ini kamu tak usah ke kantor. Biar aku yang urus semuanya. Kamu istrahat saja di rumah sampai benar-benar pulih." Aku mengusap dahi Mas Dani kemudian mengecupnya.

Waktuku tak banyak, aku harus segera pergi ke kantor setelah memastikan Meysa berangkat ke sekolah.

Namun saat diperjalanan, aku harus memutar balik setir kenderaan roda empatku tatkala menyadari kalau ponselku tertinggal di rumah

"Sial!" kesalku sendirian. Waktuku tersita akibat kecerobohan.

Kendaraan roda empat sengaja kuparkir di depan gerbang. Aku melangkah memasuki pekarangan rumah. Kuputar handle pintu yang ternyata tak dikunci. 'Bisa-bisanya Santi seceroboh ini tak mengunci pintu. Bagaimana jika ada orang jahat masuk,' gumamku dalam hati. Sepertinya aku harus menegurnya.

Ketika langkah telah memasuki kamar, tak kutemukan Mas Dani di sana. Padahal harusnya dia istrahat.

"Mas, kamu dimana?"

Tak ada jawaban. Gegas kuambil ponsel yang tertinggal di atas nakas kemudian mencari Mas Dani.

Namun, langkahku terhenti di depan toilet saat mendengar suara desahan dari dalamnya.

"Aahh... Aahhh..." Suara Mas Dani. Itu suara desahan, bukanlah suara rintihan seperti cerita Meysa kala itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 117 Gelora di Malam Pertama

    "Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 116 Hari Pernikahanku

    Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 115 Jatuh Cinta Lagi

    Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 114 Tatapannya Berbinar

    "Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 113 Siapa Yang Meninggal?

    "Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 112 Ibu Yang Bijaksana

    "Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 111 Menjelang Pernikahan

    "Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 110 Surat Dari Bastian

    "Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji

  • Desahan yang Didengar Anakku   Bab 109 Kesedihanku

    Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status