Aliran darah di dalam tubuh tiba-tiba terasa mendidih. Suara desahan Mas Dani dari dalam toilet kembali terdengar jelas apalagi saat aku menempelkan daun telinga pada pintu toilet.
"Aahh... Aahhh.." Suara itu terdengar menjijikan di telingaku karena jelas bukan suara rintihan seperti cerita Meysa. Tok tok tok. Gegas aku mengetuk pintu sambil mengatur napas yang tersengal ditenggorokan. Hening tak terdengar lagi suara menjijikan itu. "Mas, buka pintunya!" Panggilku sambil kembali mengetuk pintu. Beberapa menit tak ada jawaban hingga akhirnya pintu toilet terbuka. Tampak Mas Dani keluar dari toilet dengan wajah lusuh dan kening berkilap. "Mas, sedang apa kamu di dalam?" Tatapanku nanar penuh selidik. Namun Mas Dani hanya berjalan gontai sambil memijat pinggangnya. Aku melihat tak ada siapa pun di dalam toilet setelah Mas Dani keluar. Aku tak sempat memeriksa sudut yang lainnya sebab Mas Dani jatuh pingsan. "Mas!" Kuraih tubuh suamiku yang tampak lemah di atas lantai. "Ta-tari, aku lemas sekali." Dengan terbata-bata Mas Dani berusaha berbicara padaku. Ya Tuhan mafkan aku. Mengapa aku malah berpikir yang aneh-aneh mengenai suamiku. Padahal aku sendiri sudah tahu penyakit yang tengah diidap Mas Dani. Aku menyesali sikapku. "Santi!" Aku berteriak memanggil pembantu di rumahku guna membantuku membawa Mas Dani ke kamar. Beberapa detik kemudian Santi berlari mendekat padaku. "Iya, Bu," sahutnya. "Bantu saya membawa Mas Dani ke kamar," pintaku pada gadis berusia 20 tahun itu. "Ya ampun, Bapak. Bapak kenapa, Bu?" Santi memperlihatkan wajah cemas di depanku. "Bantu saya dulu, Santi. Kasihan Mas Dani," tegasku. Tak ada lagi pertanyaan dari gadis berkulit putih itu. Ketika ia menekuk lututnya untuk membantuku mengangkat tubuh Mas Dani, saat itu pula mataku terbelalak melihat area intim Santi yang tak memakai celana dalam. Apa dia sudah gila? Santi tak memakai apa pun sebagai penutup daerah sensitifnya. "Ayo, Bu." Santi membangunanku dari lamunan singkat. Dia sudah bersiap membantuku mengangkat tubuh Mas Dani. Meninggalkan rasa anehku pada Santi, aku dan pembantuku itu mengangkat tubuh Mas Dani menuju tempat tidur. "Santi, tolong buatkan susu untuk Mas Dani," titahku setelahnya. Gadis itu mengangguk lalu keluar untuk melaksanakan perintahku. Sementara Mas Dani masih terlihat lemas. Aku mengusap dahinya yang masih bekeringat. Apakah pups Mas Dani sangat susah sehingga dia nampak kelelahan. Setelah Mas Dani meneguk satu gelas susu yang dibuatkan oleh Santi, suamiku itu terlihat kembali segar. "Mas, apa yang terjadi dengan kamu? Aku mendengar desahan suaramu di toilet tadi," tanyaku tentu dengan hati-hati. "Kamu kan tahu penyakitku. Penyakit ginjal membuatku sulit buang air besar. Itu bukan suara desahan, Tari. Tolong jangan berpikir yang aneh-aneh. Aku sakit, Tari," terang Mas Dani tampak meyakinkanku. Aku mengangguk kemudian meminta maaf. "Maaf ya, Mas. Maafkan aku yang tak selalu ada di sampingmu." Akhirnya menyesal. "Tidak apa-apa, Tari. Kamu harus segera ke kantor. Jangan sampai perusahaan kita terbengkalai. Semoga besok lusa keadaanku sudah pulih," terang Mas Dani Aku kembali menganguk penuh rasa penyesalan. Setelah memastikan Mas Dani kembali beristirahat, gegas aku keluar dari kamar. Langkahku menuju ruang belakang. Aku mencari Santi. Gadis itu tak terlihat, hanya ponselnya saja yang tergeletak di atas meja makan. Ting. Suara notipikasi pesan masuk pada ponsel Santi. Kulirik benda pipih itu. Sepintas aku bisa membaca pesan yang baru saja masuk dari layar depan. [Sayang, kita lanjutkan nanti saja. Aku lelah.] Apa! Sayang? Seketika aku mengerutkan kening. Apa Santi sudah memiliki kekasih? Ketika aku hendak meraih benda pipih berwarna emas itu, di waktu yang bersamaan Santi datang kemudian mengambil ponselnya dengan cepat. "Ibu, kok lancang sih!" Gadis itu memasang wajah tak suka padaku. "Maaf, Santi. Bukan saya lancang. Baru saja ponselmu berbunyi. Khawatir ada yang penting kan," elakku seraya memiringkan rambut. "Tapi saya tidak suka kalau Ibu membuka ponsel saya. Ini privasi, Bu." Seketika aku kaget saat Santi mulai berani padaku. Apa karena selama ini aku terlalu lembut padanya hingga dia berani menegurku. Tapi ya sudah, aku sadar memang salah. "Saya minta maaf. Saya mencari kamu. Tolong titip Mas Dani, beliau harus minum obat tepat waktu. Hari ini saya ada meeting dan kemungkinan pulang pukul delapan malam," terangku. "Baguslah." Santi melebarkan senyum. "Apa! Kok bagus?" Aku tercengang dengan ekpresi dan jawaban Santi. "Maaf, Bu. Saya salah ucap. Maksud saya siap, Bu," ralatnya. Gadis itu menampilkan gelagat aneh. Aku tak bisa bicara panjang lebar sebab harus segera ke kantor. Bahkan mengenai Santi yang tak memakai celana dalam pun belum bisa aku bahas hari ini. Pekerjaan di kantor hari ini cukup banyak. Perusahaan ini pemberian almarhum papaku. Kemudian aku dan Mas Dani mengembangkannya. Jarum pada benda bundar yang menempel di dinding ruangan telah menunjukan pukul dua siang. Aku bahkan belum sempat makan hingga isi perut terdengar berbunyi. "Tari, makanlah." Seorang pria menyodorkan satu box yang berisi makan siang di atas meja kerjaku. Pria itu bernama Bastian—rekanku. "Kok kamu bisa masuk ke ruanganku?" Aku malah bertanya. "Pintunya terbuka, Tari. Aku sudah mengetuk pintu tapi kamu tampak asik melamun. Aku rasa kamu belum makan. Makanlah. Jangan sampai sakit," terang Bastian nampak perhatian. Bastian sahabatku dan Mas Dani. Kami dekat karena rekan kerja dan juga sahabat tak lebih dari itu. "Aku lupa dengan makanan. Mas Dani sakit, pikiranku hanya tertuju pada rumah," balasku lesu seraya memijat pelipis. "Apa! Sakit?" Bastian nampak terkejut. Ia nampak tak percaya dengan ucapanku. Kemudian aku menganggukan kepala guna menegaskan ucapanku. "Kok sakit sih. Mana mungkin," bantah Bastian. Ia menarik kursi yang berseberangan denganku kemudian duduk di sana. "Kamu gak percaya?" Aku memutar bola mata kesal. Bisa-bisanya dia tak percaya padaku. "Minggu kemarin aku dan Dani cek kesehatan bersama. Kami berdua sehat. Tak ada tanda-tanda penyakit dalam tubuh kami. Kamu lihat kan wajah Dani makin hari malah makin fresh." Dani menjelaskan dengan yakin. "Masa sih." Tentu aku tak yakin dengan keterangan Bastian. "Kalau kamu tak percaya, hasil cek kesehatan Dani bahkan ada di meja kerjaku." Bastian beranjak dari tempat duduknya. Dia segera mengambil berkas hasil cek kesehatan Mas Dani. Benar yang Bastian katakan. Dalam keterangan pada berkas di tanganku, ginjal Mas Dani dinyatakan sehat, lalu bagaimana dengan hasil pemeriksaan kemarin? "Aku harus menyelidiki sesuatu." Aliran darah di tubuh kembali terasa panas. "Bolehkah aku membantu?" Bastian menyodorkan diri. "Tidak, Bastian. Ini masalah pribadiku." Aku menolaknya. "Tapi aku tahu sesuatu tentang suamimu," tekan Bastian. Seketika aku tercengang. Apa yang Bastian ketahui?"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S