Share

Bab 4 Kidnapping

Berlin yang mendengarkan suara tersebut langsung mendongkak. Dan setelah berhasil melihat sosok tersebut lebih jelas, Berlin merasa semakin kesal. "Kenapa baru muncul sekarang?" tanyanya ketus.

Sosok tersebut yang tak lain tak bukan adalah arwah dari Heilige Potsdam atau Jo yang merupakan sahabat Cologne yang telah tiada.

"Hahaha ... kau terlihat sangat frustasi hanya karena berbicara dengannya." Jo tidak bisa menahan tawanya saat mendapati Berlin terlihat begitu frustasi hanya karena menghadapi sahabatnya tersebut.

"Sialan kau!" maki Berlin.

Jo menghentikan tawanya lalu menatap Berlin dengan tatapan sendu khas miliknya. "Kau, apakah kau bisa menyanggupi janjimu untuk menjaga Cologne?" tanyanya dengan suara yang kecil. Tentu saja dia tahu ini merupakan pilihan buruk ketika menitipkan sahabatmu pada sesosok iblis.

Berlin mendengus, lalu berkata seperti ini pada Jo, "Entahlah kau tidak bisa percaya atau berharap pada iblis. Dari pada memilikirkan untuk terus berjanji menjaga sahabatmu yang aneh itu. Aku benar-benar sangat ingin menagih hutangmu padaku!” katanya tidak bisa memastikan.

Jo terdiam sesaat lalu membalas seperti ini, “Ya aku pastikan, kau akan mendapatkan yang kau mau nanti,” jawabnya yang setelah itu menghilang begitu saja.

Mendapati jawaban tidak memuaskan tersebut sekaligus ditinggalkan begitu saja, Berlin benar-benar merasa kesal dan pada akhirnya iblis itu hanya mengomel-ngomel seorang diri pada udara di sekitarnya.

"DASAR ARWAH SIALAN! MEMANGNYA KAU TIDAK TAHU SEDANG BERHADAPAN DENGAN SIAPA! AKU INI IBLIS DARI GOLONGAN KHUSUS! AAARRRGHHH!” racaunya tidak jelas.

Iblis itu tidak menyadari bahwa tindakannya tersebut berhasil membuat makhluk-mahkluk malam seperti burung hantu dan kelelawar menjadi tertawa dalam diam.

 

***

 

Keesokan Paginya

BRING BRING BRING

Ponsel pintar milik Cologne bergetar dan menandakan munculnya panggilan masuk di sana.

“Ck, kenapa harus sepagi ini?” decaknya kesal. Dengan terpaksa pemuda itu mengangkat panggilan masuk tersebut dari ponsel pintarnya.

“Halo?”

“Colegne?” Terdengar suara di seberang sana memanggil namanya.

Cologne mendecak, “Ck. Ya cepat katakanlah sesuatu!” Pemuda itu mulai tidak sabar.

“Ah syukurlah itu kau. Kupikir kau sudah gantung diri dan tidak akan pernah bisa menerima panggilan lagi dari kantor,” ucap suara di seberang sana dengan intonasi suara yang terdengar lega.

What the hell! Apa orang-orang kantor sudah menganggap dirinya tewas sejak mengambil cuti enam bulan yang lalu? Cologne benar-benar nyaris ingin membanting ponsel pintarnya saat ini.

“Ya kau sedang berbicara dengan manusia yang masih hidup tapi kehilangan arah tujuan hidupnya sekarang. Jadi cepat katakan apa keperluanmu!” cerocos Cologne tidak sabaran.

“Tenanglah kawan, aku hanya terlalu bahagia karena sudah lama tidak mendengar suaramu itu.”

“Terserah saja, cepat katakan keperluanmu itu padaku!” pinta Cologne semakin tidak sabar.

“Ya … ya … tolong tenang sedikit. Cologne berhubung masa cutimu telah berakhir. Apa kau bisa mengambil kembali pekerjaanmu. Aku pikir kau memiliki satu kasus yang perlu kau tangani …. ” jelas suara di seberang sana.

Rasanya Cologne tidak berminat untuk mengambil kembali pekerjaannya tersebut. Padahal akhir-akhir ini ia berencana untuk keluar dari kantornya dan memilih pekerjaan lain yang tidak berhubungan dengan dunia kriminal. Entah apa ini akibat efek trauma yang ia dapatkan setelah kematian Jo atau karena dirinya saja yang sudah tidak berminat untuk bekerja di bidang seperti ini.

“Apa kau yakin, aku bisa menyelesaikan kasus ini dengan baik?” tanya Cologne ragu pada suara di seberang sana.

“Huh? Kenapa harus ragu? Kau dan Jo adalah sepasang detektif terbaik di angkatan saat ini. Jadi aku tidak perlu ragu ketika memberimu sebuah tugas,” jawab suara di seberang sana dengan enteng.

Cologne ingin sekali kembali meracau tidak jelas begitu mendengar namanya dan almarhum sahabatnya itu kembali dibesar-besarkan.

“Kau tampaknya tidak mengenal istilah tekanan mental serta trauma ya rupanya,” sindir Cologne pedas.

Dan benar saja setelah berkata seperti itu, suara di seberang sana langsung menyadari bahwa dirinya telah mengungkit-ungkit luka yang masih dimiliki oleh lawan bicaranya tersebut.

“Maaf … aku tidak bermaksud untuk membuatmu merasa tidak nyaman,” keluhnya dengan suara yang pelan.

Mendengar lawan bicaranya berbicara seperti itu membuat Cologne ingin memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menolak tugas yang diberikan padanya. Namun sayang yang terjadi justru sebaliknya. Tiba-tiba saja mulutnya bergerak dan mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak ingin ia ucapkan.

“Tidak apa-apa. Biarkan aku mengambil kembali tugas tersebut. Lagi pula sudah lama aku tidak bekerja dan rasanya aku mulai merindukan kembali pekerjaanku tersebut,” sahut Cologne di luar kendali dirinya.

“Ah sungguh … wah itu kata-kata optimis yang sangat kuharapkan untuk kudengar sedari tadi. Kalau begitu cepatlah datang ke kantor dan aku akan dengan senang hati memberikan penjelasan mengenai kasus yang harus kau tangani. Baiklah sampai berjumpa di kantor Cologne.” Setelah itu panggilan dimatikan begitu saja.

Cologne menganga tidak percaya mulutnya bisa berkata seperti itu dengan entengnya.

“Nah, seharusnya itu adalah kata-kata yang kau ucapkan sejak awal. Jangan bertingkah pesimis terus. Nanti kau terlihat semakin mirip kukang,” ejek Berlin yang kini berdiri tepat di depan wajah Cologne.

Cologne melempar ponsel pintar miliknya ke arah Berlin dan memberinya tatapan yang terlihat seolah menantang.

“Jadi kau yang membuatku berbicara seperti itu tadi?!” geramnya.

“Tentu saja bodoh. Memangnya mulutmu itu bisa berkata-kata manis tanpa bantuan hebat dariku?” Secara terang-terangan Berlin mengakui tindakannya tersebut. Dan memang benar saja bahwa, Berlin tadi sempat mengambil alih kemampuan berbicara Cologne karena itulah Cologne tidak bisa mengendalikan perkataannya sendiri.

“Licik. Dasar licik!” Cologne terlihat seperti ingin mencekik Berlin meskipun pemuda itu sadar dirinya tidak akan pernah bisa melakukan hal tersebut.

“Oh. Aku tidak akan menerima perkataanmu. Dan bukankah sebaiknya kau segera bersiap untuk pergi ke kantor?” Berlin melirik ke arah jam dinding untuk memastikan waktu saat ini.

Cologne melipat kedua tangannya dan langsung duduk dalam posisi bersila dan berkata seperti ini dengan suara nyaring, “AKU TIDAK AKAN PERNAH SAMA SEKALI PERGI KE KANTOR! KAU TIDAK BISA MEMAKSA DIRIKU!” Cologne bertingkah persis seperti anak kecil yang tengah merajuk.

“Ah, Tuan Cologne ini bukan waktunya untuk merajuk seperti anak kecil, kau harus tetap pergi ke kantor,” ucap Berlin dengan santai.

Cologne memandang remeh ke arah Berlin. “Memangnya kau bisa apa?” tantangnya.

Berlin tertawa lalu menjentikkan jarinya sebanyak dua kali dan membuat penampilan acak-acakan milik Cologne sebelumnya kini terlihat menjadi jauh sangat rapi.

 

“Hah?!” Cologne terkejut mendapati pakaian longgarnya kini telah berubah menjadi kemeja dan jas yang rapi serta celana kain hitam yang terlihat amat licin.

“Jangan menganga. Dan apa kau yakin masih tetap berada di pose konyol itu?” Berlin melirik tajam ke arah Cologne.

Cologne ingin protes namun dirinya langsung sadar bahwa saat ini ia melihat banyak kerumunan orang seperti di kantor pada umumnya.

Apa-apaan ini? jerit Cologne dalam hatinya. Pemuda itu takut kalau Berlin benar-benar sudah mengirimkan dirinya ke kantor saat ini juga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status