Home / Fantasi / Detective Devil / Bab 4 Kidnapping

Share

Bab 4 Kidnapping

Author: devina putri
last update Last Updated: 2021-04-29 08:39:49

Berlin yang mendengarkan suara tersebut langsung mendongkak. Dan setelah berhasil melihat sosok tersebut lebih jelas, Berlin merasa semakin kesal. "Kenapa baru muncul sekarang?" tanyanya ketus.

Sosok tersebut yang tak lain tak bukan adalah arwah dari Heilige Potsdam atau Jo yang merupakan sahabat Cologne yang telah tiada.

"Hahaha ... kau terlihat sangat frustasi hanya karena berbicara dengannya." Jo tidak bisa menahan tawanya saat mendapati Berlin terlihat begitu frustasi hanya karena menghadapi sahabatnya tersebut.

"Sialan kau!" maki Berlin.

Jo menghentikan tawanya lalu menatap Berlin dengan tatapan sendu khas miliknya. "Kau, apakah kau bisa menyanggupi janjimu untuk menjaga Cologne?" tanyanya dengan suara yang kecil. Tentu saja dia tahu ini merupakan pilihan buruk ketika menitipkan sahabatmu pada sesosok iblis.

Berlin mendengus, lalu berkata seperti ini pada Jo, "Entahlah kau tidak bisa percaya atau berharap pada iblis. Dari pada memilikirkan untuk terus berjanji menjaga sahabatmu yang aneh itu. Aku benar-benar sangat ingin menagih hutangmu padaku!” katanya tidak bisa memastikan.

Jo terdiam sesaat lalu membalas seperti ini, “Ya aku pastikan, kau akan mendapatkan yang kau mau nanti,” jawabnya yang setelah itu menghilang begitu saja.

Mendapati jawaban tidak memuaskan tersebut sekaligus ditinggalkan begitu saja, Berlin benar-benar merasa kesal dan pada akhirnya iblis itu hanya mengomel-ngomel seorang diri pada udara di sekitarnya.

"DASAR ARWAH SIALAN! MEMANGNYA KAU TIDAK TAHU SEDANG BERHADAPAN DENGAN SIAPA! AKU INI IBLIS DARI GOLONGAN KHUSUS! AAARRRGHHH!” racaunya tidak jelas.

Iblis itu tidak menyadari bahwa tindakannya tersebut berhasil membuat makhluk-mahkluk malam seperti burung hantu dan kelelawar menjadi tertawa dalam diam.

 

***

 

Keesokan Paginya

BRING BRING BRING

Ponsel pintar milik Cologne bergetar dan menandakan munculnya panggilan masuk di sana.

“Ck, kenapa harus sepagi ini?” decaknya kesal. Dengan terpaksa pemuda itu mengangkat panggilan masuk tersebut dari ponsel pintarnya.

“Halo?”

“Colegne?” Terdengar suara di seberang sana memanggil namanya.

Cologne mendecak, “Ck. Ya cepat katakanlah sesuatu!” Pemuda itu mulai tidak sabar.

“Ah syukurlah itu kau. Kupikir kau sudah gantung diri dan tidak akan pernah bisa menerima panggilan lagi dari kantor,” ucap suara di seberang sana dengan intonasi suara yang terdengar lega.

What the hell! Apa orang-orang kantor sudah menganggap dirinya tewas sejak mengambil cuti enam bulan yang lalu? Cologne benar-benar nyaris ingin membanting ponsel pintarnya saat ini.

“Ya kau sedang berbicara dengan manusia yang masih hidup tapi kehilangan arah tujuan hidupnya sekarang. Jadi cepat katakan apa keperluanmu!” cerocos Cologne tidak sabaran.

“Tenanglah kawan, aku hanya terlalu bahagia karena sudah lama tidak mendengar suaramu itu.”

“Terserah saja, cepat katakan keperluanmu itu padaku!” pinta Cologne semakin tidak sabar.

“Ya … ya … tolong tenang sedikit. Cologne berhubung masa cutimu telah berakhir. Apa kau bisa mengambil kembali pekerjaanmu. Aku pikir kau memiliki satu kasus yang perlu kau tangani …. ” jelas suara di seberang sana.

Rasanya Cologne tidak berminat untuk mengambil kembali pekerjaannya tersebut. Padahal akhir-akhir ini ia berencana untuk keluar dari kantornya dan memilih pekerjaan lain yang tidak berhubungan dengan dunia kriminal. Entah apa ini akibat efek trauma yang ia dapatkan setelah kematian Jo atau karena dirinya saja yang sudah tidak berminat untuk bekerja di bidang seperti ini.

“Apa kau yakin, aku bisa menyelesaikan kasus ini dengan baik?” tanya Cologne ragu pada suara di seberang sana.

“Huh? Kenapa harus ragu? Kau dan Jo adalah sepasang detektif terbaik di angkatan saat ini. Jadi aku tidak perlu ragu ketika memberimu sebuah tugas,” jawab suara di seberang sana dengan enteng.

Cologne ingin sekali kembali meracau tidak jelas begitu mendengar namanya dan almarhum sahabatnya itu kembali dibesar-besarkan.

“Kau tampaknya tidak mengenal istilah tekanan mental serta trauma ya rupanya,” sindir Cologne pedas.

Dan benar saja setelah berkata seperti itu, suara di seberang sana langsung menyadari bahwa dirinya telah mengungkit-ungkit luka yang masih dimiliki oleh lawan bicaranya tersebut.

“Maaf … aku tidak bermaksud untuk membuatmu merasa tidak nyaman,” keluhnya dengan suara yang pelan.

Mendengar lawan bicaranya berbicara seperti itu membuat Cologne ingin memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menolak tugas yang diberikan padanya. Namun sayang yang terjadi justru sebaliknya. Tiba-tiba saja mulutnya bergerak dan mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak ingin ia ucapkan.

“Tidak apa-apa. Biarkan aku mengambil kembali tugas tersebut. Lagi pula sudah lama aku tidak bekerja dan rasanya aku mulai merindukan kembali pekerjaanku tersebut,” sahut Cologne di luar kendali dirinya.

“Ah sungguh … wah itu kata-kata optimis yang sangat kuharapkan untuk kudengar sedari tadi. Kalau begitu cepatlah datang ke kantor dan aku akan dengan senang hati memberikan penjelasan mengenai kasus yang harus kau tangani. Baiklah sampai berjumpa di kantor Cologne.” Setelah itu panggilan dimatikan begitu saja.

Cologne menganga tidak percaya mulutnya bisa berkata seperti itu dengan entengnya.

“Nah, seharusnya itu adalah kata-kata yang kau ucapkan sejak awal. Jangan bertingkah pesimis terus. Nanti kau terlihat semakin mirip kukang,” ejek Berlin yang kini berdiri tepat di depan wajah Cologne.

Cologne melempar ponsel pintar miliknya ke arah Berlin dan memberinya tatapan yang terlihat seolah menantang.

“Jadi kau yang membuatku berbicara seperti itu tadi?!” geramnya.

“Tentu saja bodoh. Memangnya mulutmu itu bisa berkata-kata manis tanpa bantuan hebat dariku?” Secara terang-terangan Berlin mengakui tindakannya tersebut. Dan memang benar saja bahwa, Berlin tadi sempat mengambil alih kemampuan berbicara Cologne karena itulah Cologne tidak bisa mengendalikan perkataannya sendiri.

“Licik. Dasar licik!” Cologne terlihat seperti ingin mencekik Berlin meskipun pemuda itu sadar dirinya tidak akan pernah bisa melakukan hal tersebut.

“Oh. Aku tidak akan menerima perkataanmu. Dan bukankah sebaiknya kau segera bersiap untuk pergi ke kantor?” Berlin melirik ke arah jam dinding untuk memastikan waktu saat ini.

Cologne melipat kedua tangannya dan langsung duduk dalam posisi bersila dan berkata seperti ini dengan suara nyaring, “AKU TIDAK AKAN PERNAH SAMA SEKALI PERGI KE KANTOR! KAU TIDAK BISA MEMAKSA DIRIKU!” Cologne bertingkah persis seperti anak kecil yang tengah merajuk.

“Ah, Tuan Cologne ini bukan waktunya untuk merajuk seperti anak kecil, kau harus tetap pergi ke kantor,” ucap Berlin dengan santai.

Cologne memandang remeh ke arah Berlin. “Memangnya kau bisa apa?” tantangnya.

Berlin tertawa lalu menjentikkan jarinya sebanyak dua kali dan membuat penampilan acak-acakan milik Cologne sebelumnya kini terlihat menjadi jauh sangat rapi.

 

“Hah?!” Cologne terkejut mendapati pakaian longgarnya kini telah berubah menjadi kemeja dan jas yang rapi serta celana kain hitam yang terlihat amat licin.

“Jangan menganga. Dan apa kau yakin masih tetap berada di pose konyol itu?” Berlin melirik tajam ke arah Cologne.

Cologne ingin protes namun dirinya langsung sadar bahwa saat ini ia melihat banyak kerumunan orang seperti di kantor pada umumnya.

Apa-apaan ini? jerit Cologne dalam hatinya. Pemuda itu takut kalau Berlin benar-benar sudah mengirimkan dirinya ke kantor saat ini juga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Detective Devil   Bab 21 Beautiful Mannequin

    Terima kasih karena sudah membantuku,” ucap Xiao tulus. Dia benar-benar merasa beruntung bertemu dengan Cologne. “Tidak masalah. Ngomong-ngomong apa kau sudah lama bekerja di sana? Maksudku mengenai agensi itu,” tanya Cologne penasaran. " ... lumayan, tapi tetap saja aku tidak bisa membeli sesuatu yang berharga dengan gajiku dari bekerja di sana," keluh Xiao yang anehnya "Budaya kapitalis, aku paham itu," sahut Cologne dengan cepat. Berlin bisa merasakan bagaimana, kedua manusia yang berada di dekatnya saat ini adalah contoh nyata dari budak korporat. "Tumben sekali kau tidak berkomentar?" sindir Cologne melihat Berlin hanya diam saja tidak menanggapi seperti biasanya. "Tidak tertarik untuk merendahkan suatu hal yang sudah terlihat rendah sejak semula," kata Berlin dengan santainya. Dan dia tahu kata-kata ini terlihat seperti tanggapan bagus untuk Cologne. "Lihat aku baru saja bertanya dan kau langsung menanggapinya, luar

  • Detective Devil   Bab 20 Beautiful Mannequin

    Dan mendengar perkataan Eden, Cologne dan Berlin langsung saling memandang satu sama lain dan tampaknya keduanya memiliki pikiran yang sama. "Kenapa mulutmu tidak kami robek saja?" ucap Cologne dan Berlin serempak. Keduanya merasa setuju bahwa perkataan Eden terdengar sangat menjijikkan di telinga keduanya. "Apa aku mengatakan suatu hal yang salah?" tanya Eden yang tidak memahami situasinya saat ini. *** "Jadi apa kasus kali ini? Oh, jangan katakan aku harus menyelidiki kasus kematian kawanan anjing atau menyelamatkan anak anggota dewan dari penculikan?" cerocos Cologne dengan maksud menyindir atas kasus-kasus sebelumnya yang telah ia tangani. Eden menghela nafas kemudian menyerahkan selembar foto pada Cologne. Setelah itu dia berkata seperti ini, "Misimu kali ini adalah menyelidiki seorang wanita yang sudah cukup lama menghilang," katanya. Cologne mengambil foto tersebut dari tangan Eden. Pada awalnya, Cologne merasa tidak terlalu ter

  • Detective Devil   Bab 19 Dream

    "Tolong ... tolong ... tolong aku ...." jerit seorang wanita asing yang tengah berusaha meminta pertolongan. Wanita itu terlihat tampak kesakitan, terdapat luka di perutnya dan darah segar merembes dari sana mengotori gaun putih sederhana yang ia gunakan. Cologne yang tidak mengerti dengan keadaan yang saat ini terjadi hanya bisa diam dalam kebingungan. Apa yang terjadi? Mengapa wanita itu terlihat seperti ingin meminta tolong padaku? pikir Cologne kalut. Meskipun tidak mengerti dengan keadaan yang terjadi pada saat ini. Pemuda tersebut tetap berusaha untuk menolong wanita tersebut. Dengan cepat, Cologne berlari menuju ke arah wanita asing tersebut untuk menyelamatkannya. Namun langkahnya tersebut, harus terhenti begitu dirinya menyadari bahwa sosok wanita asing yang ingin ia selamatkan tersebut mendadak menghilang begitu saja. Kemana ... kemana ... kemana dia pergi? tanya Cologne dalam hatinya. Pemuda itu tidak habis pikir men

  • Detective Devil   Bab 18 Sleep

    "Boleh kucekik lehermu?" Berlin tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang terlihat seperti taring hiu.Bukannya merasa takut, Cologne malah dengan santainya membalas seperti ini, "Kalau begitu lepaskan pakaian yang tengah kau pakai tersebut. Kau harus sadar bahwa pakaian tersebut adalah milikku," balasnya dengan acuh. Pemuda itu mencoba mengingatkan bahwa pakaian yang tengah dipakai oleh Berlin merupakan pinjaman yang berasal dari dirinya."Cih. Jujur saja pakaianmu rasanya tidak terlalu nyaman. Sayapku terasa seakan-akan mau patah hanya karena memakai pakaian sempitmu ini. Kau juga tampaknya tidak ikhlas meminjamkannya padaku," kata Berlin yang masih sempat-sempatnya melangsungkan aksi protes. Iblis itu memang tengah menggunakan pakaian hasil pinjaman dari Cologne."Aku yakin tidak akan pernah ada manusia selain aku yang mau meminjamkan pakaiannya pada sosok iblis. Ah berhentilah membahas soal pakaian dan bisakah kau jawab pertanyaanku sebelumnya!" sahut

  • Detective Devil   Bab 17 New Look

    Begitu membuka pintu rumahnya, Cologne merasa amat terkejut begitu mendapati seorang pria necis dengan jas serta kacamata hitam yang terbingkai di wajahnya berdiri di depannya.Baru saja Cologne ingin bertanya mengenai perihal identitas pria tersebut. Pria tersebut langsung mengeluarkan sayap hitamnya yang terlihat seperti sayap kelelawar namun memiliki ukuran yang sangat begitu besar. Melihat hal tersebut, Cologne langsung menyadari bahwa pria yang berada di depannya saat ini tak lain tak bukan adalah perwujudan dari sosok iblis. Dan tentu saja tak ada iblis lain yang Cologne kenal selain Berlin dalam hidupnya."BERLIN!" jerit Cologne dengan suara bak penyanyi sopran.***SREK SREK SREK"Cih, kenapa iblis itu sama sekali tidak mau membantuku!" gumam Cologne kesal.Cologne sendiri sibuk menyiapkan makan malam sementara Berlin sibuk memainkan konsol permainan miliknya di ruang keluarga.Satu Jam BerlaluCologne telah menyelesaik

  • Detective Devil   Bab 16 Cat Final

    “Baron, aku ingin kau cepat menyelesaikan ini semua. Kau tahu, bisnis kita tidak boleh terhenti di sini saja.” Terdengar seperti suara orang lain tampaknya dia adalah rekan kerja Baron.Cologne menggeram. Dia mencoba memikirkan segala cara untuk keluar dari sini. Pemuda itu mencoba bangkit berdiri kemudian mengendap-endap secara perlahan. Begitu dirinya memikirkan hal yang sulit untuk kabur dari tempat ini, namun yang terjadi justru sebaliknya. Pemuda itu malah menemukan sebuah pintu yang tidak dijaga oleh siapa pun dan langsung mengarah keluar dari ruangan.“Mustahil untuk keluar semudah ini …. ” keluh Cologne. Pria muda itu merasa curiga meskipun saat ini dirinya sudah berdiri tidak jauh dari pintu keluar.“Dan memang benar kalau kau tidak bisa keluar dari sini semudah itu,” ujar seseorang yang tiba-tiba saja muncul dari depan menghalangi Cologne.“Ap—“ Cologne terkejut sekaligus panik mendapa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status