Darna memacu sepeda motornya menuju desa tempat tinggal mereka. Ratih di belakang berboncengan dengan manja. Hati kedua calon pengantin baru itu sedang berbunga-bunga. Hari bahagia mereka sudah di depan mata. Sekali-kali terlihat mereka bercanda dengan mesra.
Hampir tiga jam menempuh perjalanan, mereka sampai di perbatasan desa mereka. Dan beberapa puluh menit kemudian mereka tiba di jalan di depan rumah Ratih ketika mata hari sudah condong ke barat.
Darna mengantarkan Ratih ke rumahnya. Di tangan kanannya ia menenteng plastik berisi belanjaan mereka tadi. Sedangkan Ratih membawa sebuah plastik kecil berisi makanan kesukaan ibunya. Dengan riang mereka berjalan beriringan di atas pematang sawah.Ibuuu...! Ratih pulang Buu..!” seru Ratih memanggil Bu Asih ketika mereka berdua sudah sampai di sudut pekarangan. Ia berharap agar segera bertemu dengan Ibunya. Namun tidak ada terdengar sahutan dari dalam rumah. Rumah sangat sederhana itu terlihat sangat sSementara itu di sebuah rumah sakit.Salma masih tergolek lemah dengan perban terlihat melilit di kaki kanannya yang baru saja di amputasi.Kaki kanan Salma remuk dan Dokter segera mengambil tindakan dengan memotong kaki kanan Salma guna untuk menghindari resiko pembusukan.Seorang lelaki paruh baya terduduk lemah di atas sebuah kursi roda tidak jauh dari tempat tidur Salma. Ia tiada hentinya menangisi Salma yang ternyata adalah putrinya.“Papa...!!”Suara Salma lirih memanggil lelaki yang sudah terlihat tua dari umurnya yang sebenarnya. Di wajahnya tergambar penderitaan yang begitu sarat.Kreet..kreet...Terdengar bunyi kursi roda mendekati tempat tidur Salma. Lelaki yang di panggil Papa oleh Salma tersebut meraih tangan kanan Salma dengan kedua tangannya, lalu ia bawa ke wajahnya dan lelaki itu menangis tersedu-sedu.“Mengapa harus terjadi seperti, Nak. Kamu harus kehilangan sebelah kakimu huhuhu...” ratapnya se
“Mau ke mana kita Morat? Dengan pakaian begini pula!” Rusmidi memprotes Tuan Morat yang membawanya menuju sebuah gang yang sempit. Rusmidi risih dengan penampilan barunya. Memakai wig rambut panjang dan topi koboi. Kaca mata hitam dan stelan jas lengkap.Woow.. ini model busana tahun berapa? Tak ada kesempatan untuk bertanya. Tuan Morat yang mengatur semuanya entah untuk misi apa.Tuan Morat memarkir mobilnya agak jauh dari sebuah deretan rumah petak, lalu Tuan Morat mengajak Rusmidi berjalan agak mengendap-endap mendekati rumah kontrakan yang ternyata dihuni oleh Fitri dan Lina serta Hasan. Rusmidi makin kebingungan mengikuti aksi konyol sahabatnya itu.“Sssttt.. Kau ikut sajalah Midi. Aku pernah menguntit seorang wanita yang masuk ke rumah ini. Wanita itu masih muda berumur kira-kira tiga puluhan tahun.” jawab Tuan Morat sembari meletakkan telunjuknya di depan bibirnya. Ia menoleh kepada Rusmidi yang berjalan agak membungkuk di
“Itu seperti mobilnya Tuan Morat? Tapi mengapa rambutnya jadi panjang dan bertopi koboi kayak gitu?” Hati Janeta bertanya-tanya ketika ia dan Cecep melintasi sebuah mobil mewah yang terparkir di bawah sebatang pohon yang rindang. Dua orang lelaki berpakaian jas dan bertopi koboi dengan rambut panjang sebahu, terlihat akan memasuki mobil itu. Satu orang di sebelah kanan, dan satu lagi masuk dari pintu sebelah kiri.“Berhenti, Kang!” seru Janeta kepada Cecep yang tengah mengendarai sepeda motor sambil menyentuh bahu lelaki itu.Cecep segera memenuhi permintaan Janeta dan berhenti di pinggir jalan kira-kira sepuluh meter dari mobil yang diawasi Janeta.Janeta terus mengamati kedua lelaki yang kini telah masuk ke dalam mobil dan bergerak meninggalkan tempat itu. Janeta memperhatikan bagian belakang kendaraan yang mereka gunakan lalu ia tertawa sendiri.“Hahaha...”“Ada apa, Neng? Kok Neng malah tertawa?” tanya Cece
Fitri menyibakkan rambut yang sedikit menutupi wajahnya dan balas menatap Janeta.“Iya, Kak!” jawabnya disertai anggukkan kepalanya.“Tapi mengapa Fit? Bukankah Salma telah memperlakukan kalian dengan sangat buruk?”Kali ini Fitri menggelengkan kepalanya. Ia juga tidak mengerti maksud Ratih yang sebenarnya.“Apakah kamu memberikan barang itu kepada Ratih, Fitri?” desak Janeta khawatir.“Tidak!” Fitri menggelengkan kepalanya dan itu membuat Janeta tersenyum lega.“Baju itu sudah dibuang Ibu!” seru Fitri.“Haaah...!!!??” Janeta terbelalak berbalik kecewa.Fitri kembali mengangkat wajahnya yang tadi sempat ia tundukkan, menatap Janeta dengan bingung.“Sebenarnya baju itu milik siapa, Kak? Mengapa semua orang menanyakan benda itu?” tanya Fitri tak paham.Janeta hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan lemah. Ia benar-benar kecewa karena barang satu-sat
Hari sudah merangkak petang. Sementara itu Ratih dan Darna masih berada di kantor polisi untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya.“Baiklah, terima kasih Saudari telah berkenan memberikan keterangan dan membuat laporan pengaduan atas tindak kejahatan berupa penyekapan dan intimidasi dari Saudari Salma. Laporan Saudari akan segera kami tindak lanjuti.” ucap seorang anggota polisi yang memeriksa Ratih. Ratih tersenyum kecut. Ia masih sedih membayangkan ibunya yang akan di penjara dalam waktu yang cukup lama.“Apakah laporan saya bisa meringankan hukuman ibu saya, Pak?” tanya Ratih menatap penuh harap kepada polisi itu.“Itu sudah pasti akan menjadi pertimbangan hakim di pengadilan nanti. Kejahatan yang dengan niat sendiri dengan yang dilakukan atas tekanan, tentu berbeda ancaman hukumannya.” jawab petugas polisi tersebut.Ratih mengangguk pasrah. Ia lalu mengitari ruang pemeriksaan itu dengan pandangan matanya.&ldq
Tak lama kemudian Janeta dan Sofia kembali ke ruang tamu. Janeta membawa satu nampan berisi secangkir teh hangat yang asapnya masih menguap ke udara. Ia meletakkan cangkir itu persis di hadapan Cecep.“Silahkan diminum, Kang Cecep! Mumpung masih hangat!” ucap Janeta mempersilahkan.“Terima kasih, Neng!” sahut Cecep lalu mengangkat cangkir itu dan menghirup teh manis hangat yang segar buatan Janeta.Sofia yang sudah duduk di samping Janeta tersenyum ke arah Cecep, dan Cecep tiba-tiba merasa grogi karena merasa diperhatikan oleh Sofia.“Om kemana, Tan?” Janeta bertanya kepada Sofia untuk mengurangi rasa risih Cecep karena Sofia selalu memperhatikannya. Wanita itu sepertinya sangat berharap Janeta akan menikah dengan Cecep.“Tadi pagi-pagi sudah pergi bersama Bang Morat. Tidak tahu mereka mau ke mana. Biasalah Jane, mereka memang sahabat sejak kuliah dan hampir sepuluh tahun tidak bertemu langsung. Paling cuma ngobrol d
Sore kini sudah merangkak ke ambang malam. Tidak terasa empat jam sudah mereka berempat berada di ruang khusus milik Om Rusmidi membahas tentang kasus pembunuhan Nyonya Lusy dan Pak Warno yang kami yakini adalah sebuah kasus pembunuhan berantai.“Oke Jane, Cecep, tugas kalian sudah selesai. Nanti Om akan meneruskan semua bukti-bukti yang telah berhasil kita kumpulkan kepada penyidik kepolisian. Dan kalian berdua silahkan menikmati hari-hari kalian tanpa harus terbebani apa pun. Kalian tidak perlu khawatir polisi akan mencari kalian karena duduk persoalannya mulai terang.” ucap Om Rusmidi yang sepertinya memberi angin kepada Janeta untuk lebih dekat dengan Cecep. Apalagi mendengar prestasi yang diukir oleh Cecep dari mulut Tuan Morat, Om Rusmidi makin menatap bangga kepada Cecep.“Baiklah Om, Tuan Morat, kami berdua undur diri.” ucap Janeta yang langsung dibalas senyuman oleh Om Rusmidi dan Tuan Morat.Janeta mengajak Cecep keluar dari rua
Sejurus kemudian Janeta dan Cecep sudah sampai di sebuah cafe yang lumayan ramai dikunjungi sebagian besar anak muda namun ada juga beberapa orang yang mungkin pasangan suami istri. Suasana nyaman semakin tenang dengan alunan musik lembut. Cahaya remang-remang membuat suasana terasa sangat romantis. Cefe ini memang sangar cocok didatangi oleh pasangan yang tengah memadu cinta.Sekali-kali Cecep terlihat mencuri pandang kepada Janeta yang tampil sebagai wanita sempurna. Gaun hitam berbahan mengkilat dengan panjang lengan baju menutupi hingga pangkal siku, Janeta terlihat anggun dan feminim. Ditambah lagi dengan high hill walau tidak begitu tinggi namun mampu membuat Janeta benar-benar bagaikan seorang putri yang baru berusia 20 tahun. Dan ini adalah penampilan feminim Janeta yang pertama kali di dalam hidupnya. Biasanya Janeta lebih suka memakai celana jeans dan jaket. Tapi demi menghargai Sofia, Janeta tidak membantah untuk bergaun ria di malam itu. Namun dapat dipahami kalau J