“S-Sergio?” Raut wajah Hazel menegang terkejut melihat sosok pria yang tak ingin lagi dia temui ada di hadapannya. Dia hendak berucap, tapi sekumpulan para penjahat yang mengganggunya kini menyerang pria tampan itu.
“Kau pengganggu! Pergi kau dari hadapan kami!” seru salah satu penjahat.
Sergio mendekat seraya menyunggingkan senyuman sinis. “Bagaimana jika aku tidak ingin pergi?”
“Jika kau tidak ingin pergi dari sini, maka kami akan melenyapkanmu!” salah satu penjahat itu memberikan ancaman tak main-main.
Sergio mengangguk-anggukkan kepalanya. “Great. Aku persilakan kalian untuk melenyapkanku.”
“Mati kau, Sialan!” Salah satu penjahat itu mengeluarkan pisau, dan menyerang Sergio. Dengan gerak sangat cepat—Sergio menepis semua serangan. Pria tampan itu merampas pisau dan menancapkan pisau ke pria yang menyerangnya.
Brakkk
Bau anyir darah semerbak menetes ke balok es di kala Sergio membunuh pria yang menyerangnya. Sisa dari kompolotan penjahat yang masih hidup langsung berlari di kala melihat teman mereka terbunuh dengan kejam.
Hazel memejamkan mata sebentar, di kala takut akan darah yang keluar dari tubuh penjahat. Darah sudah beku bercampur dengan balok es yang memenuhi jalanan di kota Bern.
Sergio mengulurkan tangannya, membantu Hazel untuk bangkit berdiri. “Aku akan mengantarmu pulang.”
Hazel tak sudi menerima uluran tangan Sergio. Dia bangkit berdiri sendiri, dan melangkah pergi meninggalkan Sergio. Tepat di kala wanita itu hendak pergi—Sergio menarik paksa tangan Hazel—memaksa masuk ke dalam mobilnya.
“Berengsek! Lepaskan aku!” seru Hazel yang kini sudah berada di dalam mobil Sergio.
Sergio mengemudikan mobilnya tak memedulikan penolakan Hazel. Sontak, Hazel terkejut di kala Sergio mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh. Wanita itu sampai harus memegang kuat selt-belt karena takut dirinya akan jatuh.
“Apa yang kau lakukan! Turunkan aku!” sembur Hazel.
Sergio menepikan mobilnya di pinggir jalan yang sepi. Dia membuka seat-belt Hazel, menggendong tubuh wanita itu, memindahkan ke pangkuannya. Tepat di kala tubuh Hazel sudah berpindah ke pangkuan Sergio—dia memukul keras dada bidang pria itu, berontak sekuat tenaga.
“Bajingan! Menjauh dariku!” seru Hazel.
Sergio menarik dagu Hazel, menatap iris mata yang sesuai dengan sang pemilik nama. “Harusnya kau berterima kasih, karena aku sudah menyelamatkanmu.”
Hazel tersenyum sinis. “Kau adalah pembunuh. Untuk apa aku berterima kasih pada orang sepertimu?” semburnya.
“Ah, kau sangat kasar, Butterfly.” Sergio mendekatkan bibirnya ke bibir Hazel.
“Aku bicara apa adanya! Pembunuh sepertimu, tidak pantas mendapatkan ucapan terima kasih!” seru Hazel emosi dan penuh dendam.
Sergio menyeringai seraya membelai bahu Hazel yang tertutup coat tebal. “Kau bisa menganggapku sebagai malaikat maut. Aku hanya membantu untuk membersihkan manusia tidak berguna di dunia ini.”
Tangan Hazel mengepal kuat. Dia pergi sejauh mungkin, dan menyendiri di kota Bern, tapi malah masih bertemu dengan pria sialan di depannya. Sosok pria yang sangat dia benci, dan tak ingin lagi dia temui di dunia ini.
“Jangan pernah lagi muncul di hidupku!” geram Hazel.
Tanpa berkata apa pun, Sergio menarik tengkuk leher Hazel, membenamkan bibirnya ke bibir wanita itu. Dia melumat bibir Hazel tanpa permisi. Sontak mata Hazel melebar mendapatkan ciuman dari Sergio.
Hazel mendorong dada bidang Sergio sekuat mungkin. Dia tidak sudi mendapatkan ciuman dari seorang pembunuh. Akan tetapi, sayangnya berkali-kali dia memukul dada bidang Sergio—nyatanya tenaganya tidaklah sebanding.
Pukulan tangan Hazel melemah di kala ciuman Sergio melembut—menggetarkan seluruh organ dalam tubuhnya. Bibir pria itu mengulum bibir atas dan bawah Hazel bergantian. Tanpa permisi, pria tampan itu menaikkan baju Hazel, hingga dua payudara wanita itu terpampang di hadapannya.
“Oh, Fuck. Aku sangat merindukanmu.” Sergio melepaskan pengait bra Hazel, dan langsung membenamkan bibirnya ke puting payudara wanita itu.
“Ah!” Hazel mendesah seraya membusungkan dadanya di kala Sergio mengisap putingnya. Tubuhnya menggelinjang. Kewanitaannya sudah berkedut-kedut. Dia tidak sanggup menahan gejolak ini.
Lidah Sergio terulur, menyapu ujung puting payudara Hazel. Jeritan demi jeritan lolos di bibir wanita itu. Bahu Hazel bergetar tak sanggup menahan. Otak Hazel seolah berusaha memerintahkan tubuhnya untuk menolak sentuhan pria itu.
“B-bajingan! L-lepaskan aku, akhhh—” Hazel mengerang seraya menjambak rambut Sergio.
Sergio bagaikan bayi yang lapar mengisap dua puting payudara Hazel bergantian. Dia sedikit melihat Hazel mengumpat bercampur mendesah. Seringai di wajahnya terlukis. Bibir menolak, tapi tubuh merespon. Itulah Hazel Afford.
Perlahan, Sergio melepaskan cumbuan di dua payudara Hazel. Pria itu mendekatkan bibirnya ke bibir Hazel sambil memilin puting wanita itu. “Aku ingin sekali tahu rasamu, Buttefly. Aku yakin kau pasti sangat sempit,” bisiknya serak dan vulgar—dan langsung membuat wajah Hazel memerah menahan malu serta amarah yang melebur menjadi satu.
***
Hazel merasa dirinya sudah gila. Dia membiarkan tubuhnya dicumbu oleh pria kurang ajar yang sangat dia benci. Umpatan dan makian tak henti lolos di bibirnya. Dia mengumpati dirinya yang benar-benar bodoh.
Hazel menghempaskan tubuhnya ke ranjang yang ada di apartemennya selama dirinya berada di Bern. Pria kurang ajar itu sudah pergi, dan hanya mengantar sampai ke lobby.
“Hazel! Kenapa kau murahan sekali?!” Hazel tak henti menyalahkan dirinya.
Sejenak, Hazel mengatur emosi dalam dirinya. Kepingan ingatannya mengingat akan kejadian dulu. Kejadian di mana dirinya pernah diselamatkan oleh Sergio. Dia berpikir bahwa Sergio adalah pahlawan. Tapi fakta telah terungkap. Pria yang sejak dulu dia kagumi adalah pembunuh bayaran.
“Kau harus menjauhi pria itu, Hazel! Tidak tahu harus bagaimana caranya, kau tetap harus menjauhi pria bajingan itu!” geram Hazel pada dirinya sendiri.
Hazel tak ingin melanggar batas berbahaya yang telah dia buat. Sergio—pria itu terlalu berbahaya untuk berada di dekatnya. Hazel tak akan membiarkan pria iblis itu menguasai hatinya yang bodoh.
Di sisi lain, Sergio duduk di kursi mobil seraya memainkan stir mobil. Tatapan pria tampan itu menatap gedung apartemen Hazel dengan sorot mata begitu dingin dan penuh maksud. Seringai di wajahnya terlukis mengingat akan penolakan Hazel.
“Tuan, Anda yakin menerima tawaran dari client kita? A-apa tidak lebih baik Anda tolak saja?” tanya sang asisten dengan cemas dan hati-hati menyampaikan apa yang menjadi pendapat pada bosnya.
Sergio tersenyum licik. “Aku akan menerima tawaran itu. Lima puluh juta dollar, bukan uang sedikit. Aku tidak mau kehilangan lima puluh juta dollar-ku.”
Sang asisten menatap Sergio penuh khawatir, dan kecemasan dalam dirinya. “Tuan, t-tapi target yang diminta client kita—”
“Aku tahu apa yang harus dan tidak aku lakukan. Kau cukup beri tahu client kita bahwa aku akan menjalankan keinginannya,” jawab Sergio dengan seringai kejam di wajahnya—dan sorot pandang lurus ke depan penuh kelicikan.
Aroma kopi susu hangat membuat ketenangan sendiri. Pikiran yang sedang tidak baik-baik saja, sepertinya memang membutuhkan kafein. Hazel duduk di balkon apartemennya—melihat pemandangan kota Bern. Musim salju di Swiss sangat indah, tapi sayang pikiran Hazel yang kacau—membuat seolah salju yang turun bagaikan kapas yang jatuh. Tidak ada indahnya sama sekali. Hazel seperti tengah bermimpi buruk. Tujuannya ke Swiss untuk berlibur, tapi malah dia kembali bertemu dengan pria yang tak ingin dia temui. Dia berharap mimpi buruknya segera berakhir. Dia tidak mau terbelenggu di dalam bayang-bayang penderitaan yang telah menjeratnya.“Semoga pria itu sudah pergi jauh dari kota ini,” gumam Hazel pelan sambil menyeruput kopi susu. Minum kopi susu di siang hari, membuatnya berharap rasa pening di kepalanya bisa menghilang.Suara dering ponsel terdengar. Hazel mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan menatap ke layar tertera nomor telepon dari Jenia—teman lamanya menghubunginya.Hazel menden
*Akhir bulan ini, Daddy sudah mengatur pertemuanmu dengan salah satu anak teman Daddy. Dia anak dari pengusaha asal Australia. Dia tampan dan hebat. Dia pasti sangat cocok untukmu. Segeralah kembali ke New York. Jika kau membantah, pengawal akan menjemputmu secara paksa.* Pesan singkat dari ayahnya, membuat Hazel langsung mematikan ponselnya. Wanita cantik itu berdecak pelan. Dia baru saja kembali dari ulang tahun temannya, yang membuat kesialan di hidupnya, ternyata sekarang dia harus kembali sial karena ayahnya mengejar-ngejar dirinya untuk kembali ke New York.Hazel enggan untuk kembali ke New York. Dia tahu bahwa pasti ayahnya akan menggeretnya secara paksa untuk bertemu dengan anak dari teman ayahnya itu. Dia enggan untuk menjalin hubungan dengan siapa pun.Hazel memilih memejamkan mata singkat tanpa mengganti pakaiannya. Pikirannya saat ini benar-benar kacau. Kesialan datang bertubi-tubi di hidupnya. Pun takdir seolah mengajaknya becanda.Esok hari, yang dilakukan Hazel adalah
Hazel mengendarkan pandangannya, melihat kamar tamu yang ada di penthouse milik Sergio. Untuk kalangan pekerjaan rendah seperti Sergio, memiliki penthouse cukup mewah di kota Bern tentu saja, membuat pria itu menghabiskan banyak sekali uang.Hazel kagum akan tatanan penthouse milik Sergio. Mewah dan berkas. Meski tak semewah property milik keluarganya, tetap penthouse milik Sergio ini memiliki daya tarik sendiri di matanya.Hanya saja satu pertanyaan besar Hazel, yaitu bagaimana cara pria berengsek itu memiliki penthouse seperti ini di kota yang terkenal mahal? Ah! Hazel langsung mengingat, pasti Sergio mendapatkan uang dengan cara yang kotor.Hazel menghempaskan tubuhnya ke ranjang, dan memejamkan mata sebentar. Terpaksa dia menginap di penthouse pria berengsek itu. Dia tak memiliki pilihan lain. Dia harus menghindar dari anak buah ayahnya.Ini memang sangat gila. Hazel menerima penawaran dari pria yang jelas-jelas merupakan seorang bajingan. Tapi, jika dia menolak, maka pasti diriny
Hazel tak bisa tidur nyenyak. Dia sudah memaksa diri untuk menutup mata, tapi hasilnya nihil. Dia tidak bisa benar-benar tidur. Otaknya sekarang penuh dengan Sergio—pria sialan yang berhasil memorak-porandakan hidupnya. Sejak di mana dia kembali bertemu dengan Sergio hidupnya tidak lagi setenang dulu.Beberapa tahun lalu, tepat di saat Hazel belum bisa bela diri, dia berlibur ke Belanda sendiri. Dia lari dari kejaran pengawal keluarganya. Sejak dulu dia tidak suka dikawal oleh pengawal keluarganya. Dia ingin hidup bebas dan normal seperti orang lain.Akan tetapi, saat itu nasib sial datang ke hidup Hazel. Dia diganggu oleh sekumpulan pria imigran di Belanda. Pria-pria itu nyaris memerkosa Hazel. Untungnya Sergio datang tepat waktu menyelamatkan Hazel.Ya, pada saat Sergio menyelamatkan Hazel sosok Sergio bagaikan pangeran di mata Hazel. Hazel hanya mengingat wajah pria yang menyelamatkannya. Dia tidak tahu sama sekali nama Sergio.Sampai suatu waktu beberapa tahun kemudian, Hazel dipe
Sergio berdiri di balik kaca sambil menggerak-gerakan gelas sloki di tangannya. Senyuman simpul terlukis di wajah pria tampan itu. Aura wajah tegas, dingin, menunjukkan bagaimana sisi arogansi nan penuh pesona dari pria tampan dan gagah itu. Sepasang iris mata cokelat gelapnya terhunus ke hamparan perkotaan di hadapannya. Salju turun satu demi satu, menutupi bagian atas dari gedung-gedung bertingkat yang ada di kota Bern.“Tuan…” Benton—asisten pribadi Sergio—melangkah menghampiri Sergio.“Ada apa?” Sergio tak membalikkan badannya. Pria itu bisa melihat dari pantulan kaca bahwa asisten pribadinya datang.“Tuan, Nona Hazel sudah tinggal bersama dengan Anda. Apa rencana Anda selanjutnya? Anda tidak bisa terlalu lama mengurung Nona Hazel. Keluarga Afford pasti akan tahu,” tutur Benton mengingatkan Sergio.Sergio menyesap alkohol yang ada di gelas slokinya. “Keluarga Afford tidak akan langsung tahu dengan mudah. Dan untuk Hazel, kau tidak usah khawatir. Aku memiliki rencana sendiri. Kau c
Hazel mematut cermin menatap long dress sederhana yang dibelikan oleh Sergio. Dress dengan desain yang sederhana, namun terkesan menunjukkan kelas dan elegannya. Wanita itu sedikit tak mengira kalau Sergio ternyata memiliki selera yang bagus, dalam memilih pakaian wanita.Tunggu! Mungkin saja dirinya masuk dalam daftar wanita nomor seratus yang dibelikan pakaian oleh Sergio. Itu yang membuat pria berengsek itu bisa memilihkan pakain yang tepat untuknya.“Ck! Pasti sudah banyak sekali wanita yang dibelikan pakaian olehnya. Dia benar-benar berengsek,” gumam Hazel dengan raut wajah penuh emosi.“No, Butterfly. Kau satu-satunya wanita di hidupku yang pernah aku belikan pakaian.” Sergio melangkah masuk menghampiri Hazel yang mematut cermin.Hazel menatap Sergio dari pantulan cermin. “Oh, God! Kau itu selalu mengejutkanku! Apa kau ingin aku mati karena terkena serangan jantung?”Pria di hadapannya ini seperti hantu yang selalu muncul secara tiba-tiba. Itu yang membuatnya sangatlah kesal. S
Dorr…Tembakan berhasil menembus jendela, membuat salah satu orang yang berada di seberang gedung tumbang akibat tembakan itu. Terlihat semua orang yang berada di dalam gedung berlarian dan berteriak mendengar suara tembakan.Seorang pria tampan dengan balutan berpakaian hitam, tersenyum puas saat melihat sasarannya sudah tidak sadarkan diri. Peluru tepat mengenai kepala targetnya. Membuat targetnya sudah bersimbah darah.“I got you,” gumam Sergio dengan seringai di wajahnya. Dia menurunkan pistonya. Dia melihat targetnya terbujur kaku dengan berlumuran darah, adalah suatu keberhasilan baginya.“Tuan Sergio.” Benton menghampiri Sergio.Sergio melirik Benton sesaat. “Apa kau sudah pastikan target mati?”Benton menganggukkan kepalanya. “Sudah, Tuan. Target telah tewas. Client sudah mengirimkan tiga juta dollar ke rekening Anda, Tuan.”Sergio menyeringai puas mendengar perkataan sang asisten. “Bagaimana dengan polisi? Apa di bawah sudah ada polisi?”“Belum, Tuan. Tapi dalam sepuluh menit
“Bersiaplah. Aku akan mengajakmu pergi ke suatu tempat. Kau pasti bosan di rumah.” Suara berat Sergio, menghampiri Hazel yang tengah duduk di sofa sambil melihat ke luar jendela.Hazel tidak berani ke mana pun, karena memang dia tengah bersembunyi. Dia tidak ingin sampai anak buah ayahnya menemukannya. Sialnya memang nasib membuat dirinya berada di rumah pria berengsek.“Kau sengaja ingin membuatku tertangkap oleh anak buah ayahku?” seru Hazel seraya mendongakkan kepalanya, menatap dingin Sergio.“Kau tidak akan pernah tertangkap anak buah ayahmu, jika kau menggunakan pakaian yang sudah aku siapkan.” Sergio menunjuk pakaian yang sudah dirinya siapkan untuk Hazel.Hazel menatap ripped jeans dengan kaos ketat berwarna hitam. Pun di sana ada topi hitam dan kaca mata hitam. Semua pakaian yang diberikan oleh Sergio adalah dari brand ternama dunia. Bukan brand sembarangan. Tapi masalanya di sini, Hazel tidak suka menggunakan ripped jeans.“Bisakah kau memberikanku jeans normal? Jangan membe