Share

Bab 2. Kelicikan Sergio Blanco

“S-Sergio?” Raut wajah Hazel menegang terkejut melihat sosok pria yang tak ingin lagi dia temui ada di hadapannya. Dia hendak berucap, tapi sekumpulan para penjahat yang mengganggunya kini menyerang pria tampan itu.  

“Kau pengganggu! Pergi kau dari hadapan kami!” seru salah satu penjahat.

Sergio mendekat seraya menyunggingkan senyuman sinis. “Bagaimana jika aku tidak ingin pergi?” 

“Jika kau tidak ingin pergi dari sini, maka kami akan melenyapkanmu!” salah satu penjahat itu memberikan ancaman tak main-main.

Sergio mengangguk-anggukkan kepalanya. “Great. Aku persilakan kalian untuk melenyapkanku.” 

“Mati kau, Sialan!” Salah satu penjahat itu mengeluarkan pisau, dan menyerang Sergio. Dengan gerak sangat cepat—Sergio menepis semua serangan. Pria tampan itu merampas pisau dan menancapkan pisau ke pria yang menyerangnya. 

Brakkk

Bau anyir darah semerbak menetes ke balok es di kala Sergio membunuh pria yang menyerangnya. Sisa dari kompolotan penjahat yang masih hidup langsung berlari di kala melihat teman mereka terbunuh dengan kejam.

Hazel memejamkan mata sebentar, di kala takut akan darah yang keluar dari tubuh penjahat. Darah sudah beku bercampur dengan balok es yang memenuhi jalanan di kota Bern.

Sergio mengulurkan tangannya, membantu Hazel untuk bangkit berdiri. “Aku akan mengantarmu pulang.”

Hazel tak sudi menerima uluran tangan Sergio. Dia bangkit berdiri sendiri, dan melangkah pergi meninggalkan Sergio. Tepat di kala wanita itu hendak pergi—Sergio menarik paksa tangan Hazel—memaksa masuk ke dalam mobilnya.

“Berengsek! Lepaskan aku!” seru Hazel yang kini sudah berada di dalam mobil Sergio.

Sergio mengemudikan mobilnya tak memedulikan penolakan Hazel. Sontak, Hazel terkejut di kala Sergio mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh. Wanita itu sampai harus memegang kuat selt-belt karena takut dirinya akan jatuh.

“Apa yang kau lakukan! Turunkan aku!” sembur Hazel.

Sergio menepikan mobilnya di pinggir jalan yang sepi. Dia membuka seat-belt Hazel, menggendong tubuh wanita itu, memindahkan ke pangkuannya. Tepat di kala tubuh Hazel sudah berpindah ke pangkuan Sergio—dia memukul keras dada bidang pria itu, berontak sekuat tenaga.

“Bajingan! Menjauh dariku!” seru Hazel.

Sergio menarik dagu Hazel, menatap iris mata yang sesuai dengan sang pemilik nama. “Harusnya kau berterima kasih, karena aku sudah menyelamatkanmu.”

Hazel tersenyum sinis. “Kau adalah pembunuh. Untuk apa aku berterima kasih pada orang sepertimu?” semburnya.

“Ah, kau sangat kasar, Butterfly.” Sergio mendekatkan bibirnya ke bibir Hazel.

“Aku bicara apa adanya! Pembunuh sepertimu, tidak pantas mendapatkan ucapan terima kasih!” seru Hazel emosi dan penuh dendam.

Sergio menyeringai seraya membelai bahu Hazel yang tertutup coat tebal. “Kau bisa menganggapku sebagai malaikat maut. Aku hanya membantu untuk membersihkan manusia tidak berguna di dunia ini.” 

Tangan Hazel mengepal kuat. Dia pergi sejauh mungkin, dan menyendiri di kota Bern, tapi malah masih bertemu dengan pria sialan di depannya. Sosok pria yang sangat dia benci, dan tak ingin lagi dia temui di dunia ini.

“Jangan pernah lagi muncul di hidupku!” geram Hazel.

Tanpa berkata apa pun, Sergio menarik tengkuk leher Hazel, membenamkan bibirnya ke bibir wanita itu. Dia melumat bibir Hazel tanpa permisi. Sontak mata Hazel melebar mendapatkan ciuman dari Sergio.

Hazel mendorong dada bidang Sergio sekuat mungkin. Dia tidak sudi mendapatkan ciuman dari seorang pembunuh. Akan tetapi, sayangnya berkali-kali dia memukul dada bidang Sergio—nyatanya tenaganya tidaklah sebanding.

Pukulan tangan Hazel melemah di kala ciuman Sergio melembut—menggetarkan seluruh organ dalam tubuhnya. Bibir pria itu mengulum bibir atas dan bawah Hazel bergantian. Tanpa permisi, pria tampan itu menaikkan baju Hazel, hingga dua payudara wanita itu terpampang di hadapannya.

Oh, Fuck. Aku sangat merindukanmu.” Sergio melepaskan pengait bra Hazel, dan langsung membenamkan bibirnya ke puting payudara wanita itu.

“Ah!” Hazel mendesah seraya membusungkan dadanya di kala Sergio mengisap putingnya. Tubuhnya menggelinjang. Kewanitaannya sudah berkedut-kedut. Dia tidak sanggup menahan gejolak ini.

Lidah Sergio terulur, menyapu ujung puting payudara Hazel. Jeritan demi jeritan lolos di bibir wanita itu. Bahu Hazel bergetar tak sanggup menahan. Otak Hazel seolah berusaha memerintahkan tubuhnya untuk menolak sentuhan pria itu.

“B-bajingan! L-lepaskan aku, akhhh—” Hazel mengerang seraya menjambak rambut Sergio.

Sergio bagaikan bayi yang lapar mengisap dua puting payudara Hazel bergantian. Dia sedikit melihat Hazel mengumpat bercampur mendesah. Seringai di wajahnya terlukis. Bibir menolak, tapi tubuh merespon. Itulah Hazel Afford.

Perlahan, Sergio melepaskan cumbuan di dua payudara Hazel. Pria itu mendekatkan bibirnya ke bibir Hazel sambil memilin puting wanita itu. “Aku ingin sekali tahu rasamu, Buttefly. Aku yakin kau pasti sangat sempit,” bisiknya serak dan vulgar—dan langsung membuat wajah Hazel memerah menahan malu serta amarah yang melebur menjadi satu.

***

Hazel merasa dirinya sudah gila. Dia membiarkan tubuhnya dicumbu oleh pria kurang ajar yang sangat dia benci. Umpatan dan makian tak henti lolos di bibirnya. Dia mengumpati dirinya yang benar-benar bodoh.

Hazel menghempaskan tubuhnya ke ranjang yang ada di apartemennya selama dirinya berada di Bern. Pria kurang ajar itu sudah pergi, dan hanya mengantar sampai ke lobby.

“Hazel! Kenapa kau murahan sekali?!” Hazel tak henti menyalahkan dirinya.

Sejenak, Hazel mengatur emosi dalam dirinya. Kepingan ingatannya mengingat akan kejadian dulu. Kejadian di mana dirinya pernah diselamatkan oleh Sergio. Dia berpikir bahwa Sergio adalah pahlawan. Tapi fakta telah terungkap. Pria yang sejak dulu dia kagumi adalah pembunuh bayaran.

“Kau harus menjauhi pria itu, Hazel! Tidak tahu harus bagaimana caranya, kau tetap harus menjauhi pria bajingan itu!” geram Hazel pada dirinya sendiri.

Hazel tak ingin melanggar batas berbahaya yang telah dia buat. Sergio—pria itu terlalu berbahaya untuk berada di dekatnya. Hazel tak akan membiarkan pria iblis itu menguasai hatinya yang bodoh.

Di sisi lain, Sergio duduk di kursi mobil seraya memainkan stir mobil. Tatapan pria tampan itu menatap gedung apartemen Hazel dengan sorot mata begitu dingin dan penuh maksud. Seringai di wajahnya terlukis mengingat akan penolakan Hazel.

“Tuan, Anda yakin menerima tawaran dari client kita? A-apa tidak lebih baik Anda tolak saja?” tanya sang asisten dengan cemas dan hati-hati menyampaikan apa yang menjadi pendapat pada bosnya.  

Sergio tersenyum licik. “Aku akan menerima tawaran itu. Lima puluh juta dollar, bukan uang sedikit. Aku tidak mau kehilangan lima puluh juta dollar-ku.”

Sang asisten menatap Sergio penuh khawatir, dan kecemasan dalam dirinya. “Tuan, t-tapi target yang diminta client kita—”

“Aku tahu apa yang harus dan tidak aku lakukan. Kau cukup beri tahu client kita bahwa aku akan menjalankan keinginannya,” jawab Sergio dengan seringai kejam di wajahnya—dan sorot pandang lurus ke depan penuh kelicikan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status