Hazel tak bisa tidur nyenyak. Dia sudah memaksa diri untuk menutup mata, tapi hasilnya nihil. Dia tidak bisa benar-benar tidur. Otaknya sekarang penuh dengan Sergio—pria sialan yang berhasil memorak-porandakan hidupnya. Sejak di mana dia kembali bertemu dengan Sergio hidupnya tidak lagi setenang dulu.
Beberapa tahun lalu, tepat di saat Hazel belum bisa bela diri, dia berlibur ke Belanda sendiri. Dia lari dari kejaran pengawal keluarganya. Sejak dulu dia tidak suka dikawal oleh pengawal keluarganya. Dia ingin hidup bebas dan normal seperti orang lain.
Akan tetapi, saat itu nasib sial datang ke hidup Hazel. Dia diganggu oleh sekumpulan pria imigran di Belanda. Pria-pria itu nyaris memerkosa Hazel. Untungnya Sergio datang tepat waktu menyelamatkan Hazel.
Ya, pada saat Sergio menyelamatkan Hazel sosok Sergio bagaikan pangeran di mata Hazel. Hazel hanya mengingat wajah pria yang menyelamatkannya. Dia tidak tahu sama sekali nama Sergio.
Sampai suatu waktu beberapa tahun kemudian, Hazel dipertemukan lagi dengan Sergio di Madrid. Kala itu Sergio ditugaskan membunuh calon kakak ipar Hazel yang merupakan putri mahkota Kerajaan Spanyol. Calon kakak ipar yang sekarang sudah resmi menjadi kakak iparnya.
Singkat cerita, pekerjaan Sergio dan tentang pria itu telah Hazel ketahui di kala Hazel turut membantu menyelamatkan kakak iparnya. Hazel terkejut akan fakta di mana Sergio adalah pembunuh bayaran.
Sergio tidak serta merta melepaskan kakak ipar Hazel dengan syarat Hazel menukar diri dengan kakak iparnya. Tanpa ragu, permintaan Hazel dipenuhi oleh Sergio. Hanya saja, syarat itu tak berjalan dengan baik—karena keluarga Hazel sudah lebih dulu turun tangan.
Sosok Sergio dulu adalah sosok yang diidam-idamkan oleh Hazel. Berperawakan tampan, gagah, dan penolong. Saat itu dalam pikiranya, yang menyelamatkannya seorang pangeran. Namun, semua angan dalam benak Hazel telah sirna. Tidak ada lagi kekagumannya pada Sergio. Yang tersisa sekarang adalah perasaan marah, benci dan … ah! Ada rasa yang sulit untuk dimengerti
Hazel membuka mata di kala dia tak bisa tidur. Dia turun dari ranjang sambil mengikat asal rambutnya. Dia memutuskan untuk berjalan-jalan keliling penthouse. Mungkin rasa kantuk akan muncul jika dirinya berjalan-jalan sebentar.
Tatapan Hazel mengendar melihat lukisan indah terpajang di penthouse milik Sergio ini. Dalam hitungan detik, kepingan memori Hazel mengingat perkataan pria itu yang bilang padanya penthouse ini pemberian dari client.
Hazel langsung mengembuskan napas kasar. Jika Sergio sudah menyebut-nyebut kata ‘Client’, maka artinya ada orang yang dia bunuh. Sungguh! Pria seperti Sergio yang seharusnya lenyap dari dunia ini.
Tanpa sengaja, mata Hazel menatap ruang di ujung yang sedikit terbuka. Rasa penasaran menyergap dalam diri Hazel. Wanita itu ingin pergi dari sana, tapi kata hatinya memintanya untuk masuk ke dalam ruangan itu.
Hazel melangkah masuk ke dalam ruangan itu, dan seketika betapa terkejut Hazel melihat banyak sekali foto orang menempel ke dinding dan sudah dicoret merah. Tak hanya itu saja, ada foto yang bahkan ditancap oleh pisau.
Hazel menelan salivanya. Dia baru sadar bahwa dirinya memang benar-benar berada di sangkar iblis. Dia yakin seribu persen—foto-foto yang ada di dinding pastinya adalah foto korban yang akan dibunuh oleh pria iblis itu.
“Rasa penasaranmu, bisa membunuhmu, Butterfly.” Suara berat terdengar, dan sontak membuat Hazel terbelalak terkejut.
“Shit! Kau mengejutkanku!” seru Hazel menatap dingin Sergio yang datang.
Jantung Hazel nyaris berhenti berdetak ada suara yang mengejutkannya. Dia sedang serius melihat foto-foto yang ada di ruangan, tentu saja fokusnya hanya tertuju pada foto itu. Terlebih foto yang ada di depan Hazel, bukanlah foto biasa. Foto penuh dengan coretan merah—bahkan ada foto yang ditancap oleh pisau. Bulu kuduk Hazel langsung merinding berada di ruangan ini.
“Rasa penasaranmu sangat berbahaya. Aku sarankan untuk kurangi rasa penasaramu.” Sergio mendekat, refleks, Hazel melangkah mundur. Tapi sialnya tubuh Hazel terbentur ke meja—itu yang membuat Sergio sekarang menghimpit tubuhnya.
“Menyingkir dariku!” seru Hazel penuh emosi.
Sergio tersenyum melihat kemarahan di wajah Hazel. “Kenapa kau harus marah, hm? Kau masuk ke dalam ruang kerjaku tanpa permisi. Harusnya aku yang marah.” Lalu pria itu menggendong tubuh Hazel—menududukkan ke atas meja.
Hazel memekik terkejut tubuhnya digendong Sergio dengan mudah, terduduk di atas meja. “K-kau jangan macam-macam denganku! Aku ke sini karena aku tidak bisa tidur! Pintu pun tidak tertutup. Jadi aku pikir ini bukan ruang rahasia!”
Hazel tidak bohong sama sekali. Dia pikir ruangan ini adalah ruangan biasa. Pun pintu terbuka setengah. Hal tersebut yang membuat Hazel berani untuk masuk ke dalam ruangan ini.
Sergio membuka sedikit lebar kedua paha Hazel, dan menarik dagu wanita itu. “Meski pintu ini terbuka, harusnya kau tidak berani masuk ke dalam kamar orang lain, Nona Afford.”
Raut wajah Hazel berubah mendengar ucapan Sergio. Sepasang iris mata hazelnya berkilat tajam menatap Sergio. “Foto-foto orang yang kau coret adalah targetmu, kan?” tanyanya menuntut jawaban. Lidah Hazel sudah tak tahan untuk bertanya.
Sergio tersenyum samar. “Kau terlalu ingin tahu tentangku. Butterfly, lebih baik kau jangan ikut campur urusanku.”
“Kenapa?” Hazel mendongakkan kepalanya, menatap Sergio. “Kau takut mengakui bahwa foto-foto itu adalah foto target yang akan kau bunuh?” Lanjutnya lagi menekankan.
Sergio membelai pipi Isabel, menatap wanita itu begitu menyala-nyala memberikan tatapan tajam padanya. Tapi dia sama sekali tak peduli akan itu. Meski mendapatkan tatapan tajam—tetap tidak akan mengubah apa pun.
Sergio mendekatkan bibirnya ke telinga Hazel. “Bisa dikatakan iya, bisa dikatakan tidak. Relaks, aku tidak langsung membunuh. Setiap kali aku ingin membunuh, pasti aku akan mencari tahu latar belakang keluarga mereka.”
Mata Hazel berkilat tajam. “Tindakanmu ini bisa membuatku melaporkanmu pada FBI!”
Sergio terkekeh mendengar ancaman Hazel yang akan melaporkannya ke FBI. Ini sangat lucu di telinganya. “Oke, fine. Laporkan jika kau bisa.”
Tangan Hazel mengepal kuat. “Jangan macam-macam denganku! Kau tidak mengenalku, Jerk!”
Sergio mendekatkan bibirnya ke telinga Hazel sambil berbisik, “Aku sangat mengenalmu. Ah, sebelum kau melaporkan ke FBI, aku ingin memberi tahu. Bukan hanya foto orang asing yang ada di ruangan ini. Tapi, fotomu juga ada di sini. Jika kau membuka laci nomor dua, di sana penuh dengan fotomu, Butterfly.”
Raut wajah Hazel berubah terkejut mendengar ucapan Sergio. “K-kau—” Lidahnya terasa kelu, sampai tak mampu melanjutkan kata akibat keterkejutan ini.
Sergio tersenyum tipis melihat wajah panik Hazel. Dia membelai pipi wanita itu sambil berbisik serak, “Relaks, Butterfly. Fotomu ada karena demi mengatasi rinduku. Aku tidak mungkin melenyapkanmu dari dunia ini. Kau tetap menjadi favorite-ku.”
Sergio berdiri di balik kaca sambil menggerak-gerakan gelas sloki di tangannya. Senyuman simpul terlukis di wajah pria tampan itu. Aura wajah tegas, dingin, menunjukkan bagaimana sisi arogansi nan penuh pesona dari pria tampan dan gagah itu. Sepasang iris mata cokelat gelapnya terhunus ke hamparan perkotaan di hadapannya. Salju turun satu demi satu, menutupi bagian atas dari gedung-gedung bertingkat yang ada di kota Bern.“Tuan…” Benton—asisten pribadi Sergio—melangkah menghampiri Sergio.“Ada apa?” Sergio tak membalikkan badannya. Pria itu bisa melihat dari pantulan kaca bahwa asisten pribadinya datang.“Tuan, Nona Hazel sudah tinggal bersama dengan Anda. Apa rencana Anda selanjutnya? Anda tidak bisa terlalu lama mengurung Nona Hazel. Keluarga Afford pasti akan tahu,” tutur Benton mengingatkan Sergio.Sergio menyesap alkohol yang ada di gelas slokinya. “Keluarga Afford tidak akan langsung tahu dengan mudah. Dan untuk Hazel, kau tidak usah khawatir. Aku memiliki rencana sendiri. Kau c
Hazel mematut cermin menatap long dress sederhana yang dibelikan oleh Sergio. Dress dengan desain yang sederhana, namun terkesan menunjukkan kelas dan elegannya. Wanita itu sedikit tak mengira kalau Sergio ternyata memiliki selera yang bagus, dalam memilih pakaian wanita.Tunggu! Mungkin saja dirinya masuk dalam daftar wanita nomor seratus yang dibelikan pakaian oleh Sergio. Itu yang membuat pria berengsek itu bisa memilihkan pakain yang tepat untuknya.“Ck! Pasti sudah banyak sekali wanita yang dibelikan pakaian olehnya. Dia benar-benar berengsek,” gumam Hazel dengan raut wajah penuh emosi.“No, Butterfly. Kau satu-satunya wanita di hidupku yang pernah aku belikan pakaian.” Sergio melangkah masuk menghampiri Hazel yang mematut cermin.Hazel menatap Sergio dari pantulan cermin. “Oh, God! Kau itu selalu mengejutkanku! Apa kau ingin aku mati karena terkena serangan jantung?”Pria di hadapannya ini seperti hantu yang selalu muncul secara tiba-tiba. Itu yang membuatnya sangatlah kesal. S
Dorr…Tembakan berhasil menembus jendela, membuat salah satu orang yang berada di seberang gedung tumbang akibat tembakan itu. Terlihat semua orang yang berada di dalam gedung berlarian dan berteriak mendengar suara tembakan.Seorang pria tampan dengan balutan berpakaian hitam, tersenyum puas saat melihat sasarannya sudah tidak sadarkan diri. Peluru tepat mengenai kepala targetnya. Membuat targetnya sudah bersimbah darah.“I got you,” gumam Sergio dengan seringai di wajahnya. Dia menurunkan pistonya. Dia melihat targetnya terbujur kaku dengan berlumuran darah, adalah suatu keberhasilan baginya.“Tuan Sergio.” Benton menghampiri Sergio.Sergio melirik Benton sesaat. “Apa kau sudah pastikan target mati?”Benton menganggukkan kepalanya. “Sudah, Tuan. Target telah tewas. Client sudah mengirimkan tiga juta dollar ke rekening Anda, Tuan.”Sergio menyeringai puas mendengar perkataan sang asisten. “Bagaimana dengan polisi? Apa di bawah sudah ada polisi?”“Belum, Tuan. Tapi dalam sepuluh menit
“Bersiaplah. Aku akan mengajakmu pergi ke suatu tempat. Kau pasti bosan di rumah.” Suara berat Sergio, menghampiri Hazel yang tengah duduk di sofa sambil melihat ke luar jendela.Hazel tidak berani ke mana pun, karena memang dia tengah bersembunyi. Dia tidak ingin sampai anak buah ayahnya menemukannya. Sialnya memang nasib membuat dirinya berada di rumah pria berengsek.“Kau sengaja ingin membuatku tertangkap oleh anak buah ayahku?” seru Hazel seraya mendongakkan kepalanya, menatap dingin Sergio.“Kau tidak akan pernah tertangkap anak buah ayahmu, jika kau menggunakan pakaian yang sudah aku siapkan.” Sergio menunjuk pakaian yang sudah dirinya siapkan untuk Hazel.Hazel menatap ripped jeans dengan kaos ketat berwarna hitam. Pun di sana ada topi hitam dan kaca mata hitam. Semua pakaian yang diberikan oleh Sergio adalah dari brand ternama dunia. Bukan brand sembarangan. Tapi masalanya di sini, Hazel tidak suka menggunakan ripped jeans.“Bisakah kau memberikanku jeans normal? Jangan membe
Tembakan demi tembakan menghujani bersamaan dengan turunnya salju. Posisi Sergio masih dalam posisi mendindih tubuh Hazel. Keadaan genting, ada korek kecil yang merupakan granat bisa dia ledakan untuk membalas musuhnya, namun jika dia meledakan di tempat umum, akan banyak korban yang berjatuhan.Hazel yang berada di bawah tubuh Sergio hanyut akan kepanikan di wajah pria tampan itu. Harusnya Hazel ketakutan, tapi fakta yang ada adalah Hazel tidak takut sama sekali meski banyak baku tembak yang dia dengar.Lalu … tiba-tiba tatapan Sergio menatap terkejut dari jarak jauh melempar granat ke arahnya. Dia sudah menghindar menggunakan granat, tapi musuhnya yang sialan itu berani-beraninya menggunakan granat.Sergio langsung memeluk erat Hazel, berguling menjauh dari tempat itu. Tepat di kala Sergio menjauh—suara ledakan terdengar menghancurkan kafe. Untungnya tidak ada orang di sana. Sergio bangkit berdiri seraya mengulurkan tangannya membantu Hazel untuk berdiri. Hazel menyambut uluran ta
“Ah, sakit sekali.” Hazel terbangun seraya menyentuh rahangnya yang sembab. Sialnya, pukulan komplotan penjahat itu membuat rahangnya sulit untuk bergerak. Dia menyibak selimut, turun dari ranjang seraya mengikat asal rambutnya.Hazel merasakan tenggorokannya kering. Dia ingin minum, tapi di atas meja hanya ada air putih saja. Dia ingin minuman segar. Itu artinya dirinya harus pergi ke dapur untuk mengambil minuman segar.Sebenarnya, Hazel bisa saja meminta pelayan untuk mengambilkan minuman segera di dapur, tapi dia malas memerintah. Hazel lebih suka berjalan sendiri ke dapur. Mungkin ada sedikit cemilan yang bisa dia makan.Saat Hazel menuju dapur, pintu ruang kerja Sergio sedikit terbuka. Sedikit cahaya terlihat dari dalam. Rasa penasaran dalam diri Hazel tak tertahankan. Wanita cantik itu mendekat—mengendap-endap persis seperti maling.Hazel memilih untuk bersembunyi di balik pintu. Dia tidak mau sampai ada yang mencurigainya. Dia melihat jelas di mana Sergio tengah berbincang den
Hazel tidak habis pikir dengan Sergio. Pria gila dan tak waras itu. Pantas saja tadi ada yang berniat membunuhnya. Ternyata semua itu karena kegilaan Sergio! Sungguh Hazel menyesal membantunya. Andai dia tahu pokok permasalahannya, dia akan mendorong Sergio sekeras mungkin dari jurang kematian.Hazel mondar-mandir tidak jelas di dalam kamar. Sekitar sepuluh menit lalu, Sergio baru saja pergi. Kejadian kemarin di mana Hazel menguping adalah tindakan yang memalukan. Untungnya tadi pagi, Sergio sudah tidak lagi membahas.Hanya satu pesan yang Sergio katakan, yaitu dia meminta Hazel untuk tak banyak terlalu penasaran. Dalam hidup, ini pertama kalinya Hazel berada di posisi seperti sekarang ini. Posisi yang membuatnya menjadi bimbang.Hazel tak seharusnya tinggal di rumah seorang pembunuh. Jika saja keluarganya tahu, maka pasti dia akan ditarik paksa untuk pulang. Hal tergila dalam hidupnya sejak di mana dirinya mengenal Sergio. Hazel tahu cara jalan untuk keluar, namun entah kenapa kakiny
Hazel menatap jam dinding—waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Baru sekitar sepuluh menit lalu, Hazel keluar kamar—dan ternyata Sergio belum pulang. Harusnya dia tidak peduli, tapi entah kenapa hatinya malah memikirkan Sergio.“Shit! Hazel, kau ini bodoh sekali? Kenapa kau memikirkan pria sialan itu? Biar saja, dia tidak pulang. Sekalian saja, dia tenggelam di dalam lautan.” Hazel berkata dengan nada ketus.“Aku pernah tenggelam di laut, dan aku mampu selamat. Tenanglah, kematian masih takut menghampiriku.” Sergio muncul, sontak membuat Hazel terbelalak terkejut.“Ya Tuhan! Kau ini datang tiba-tiba seperti hantu! Ini sudah malam! Kenapa kau berada di kamarku?!” sembur Hazel sambil bertolak pinggang, dan mendelik menatap tajam Sergio.Ada dua hal yang Hazel rasakan saat ini. Dia kesal karena Sergio masuk ke dalam kamarnya, namun di sisi lainya dia tak mengerti lega melihat pria itu pulang. Ah, sial! Hazel membenci perasaannya yang dilemma seperti ini.Sergio tersenyum tipis mengaba