Share

Bab 1: Rencana Liburan

Siang itu matahari bersinar cukup terang. Membuka setiap mata pada pemandangan alam yang menawan. Awan menggantung manja, di langit yang  biru. Menebarkan pesona warna bak permadani indah dari Turki.

Pertengahan Juni, bukan hanya menampakkan alam yang bersahabat. Melainkan pancaran kebahagiaan bagi para pelajar SMAKota Bahari. Hari yang istimewa bagi pelajar seusai menempuh ulangan akhir semester akhir. Kegiatan tahunann itu cukup melelahkan bagi mereka, terutama  pelajar yang benar-benar memporsil otak demi naik kelas ketingkat XII jurusan IPA.

Selama seminggu mereka bertempur menghadapi soal-soal menjenuhkan. Tidak adil kalau mereka tidak memperioritaskan waktu liburan. Rencana tersebut sangat  menjanjikan agar kesegaran otak dari kejenuhan sekaligus menambah pengalaman baru setelah liburan usai.

Rencana liburan sudah direncanakan sebagian siswa jauh-jauh hari. Namun tidak seperti yang dilakukan tiga remaja yang duduk-duduk santai  di pelataran sekolah diakhir pekan.

Salah seorang diantara mereka adalah  Devan, cowok berperawakan tinggi dengan tampang sedikit berantakan. Rambutnya hampir tidak pernah disisir.  Kaos T-sirt hitam, dipadu  celana jeans yang sobek dikedua lututnya, membuat dirinya terlihat cowok paling brutal. Namun nyatanya ia cuma remaja yang labil dan suka jahil. Ia bagian dari imbas remaja dalam proses pencarian jati diri.  Disisi lain, Devan memiliki  kebiasaan melebih-lebihkan sesuatu ketika berbicara.  Sebagai ketua gang remaja di kelasnya ia sering seenaknya menentukan keputusan.

“Teman-teman,” Devan menatap arogan pada kedua teman bicaranya. Mereka dua cewek teman sekelasnya, Tasya dan Hera. “Liburan kali harus beda sama tahun kemarin. Harus lebih asyik dan memuaskan.”

Tasya, salah seorang temannya menanggapinya dengan senang. Ia cewek yang feminim dengan perawakan mungil dan cantik. Rambut hitam sepundak serta kulitnya yang putih, menambah kesankecantikan alami pada dirinya. 

“Aku juga berpikir begitu,” katanya sambil merapikan rambutnya dengan jari-jari lentiknya. “Tapi harus ditentukan dari sekarang, dong.”

“Aku setuju Van,” sambung Hera, cewek berperawakan tinggi berbadan ‘berisi’mirip lelaki. “Liburan ini harus, benar-benar ke tempat yang asyik. Jangan seperti liburan kemarin.” Cewek yang dikenal pemberani itu masih ingat liburan tengah semester tahun lalu.  Hujan deras mengacaukan camping mereka di daerah pesisir.

“Pokoknya jangan ke tempat-tempat ramai. Menurutku terlalu biasa, nggak ada tantangannya.” Cowok berwajah kotak dengan hidung besar itu menegaskan.

Tasya  dan Hera hanya mendesah panjang. Keduanya tidak benar-benar antusias padanya. Cowok yang suka arogan itu biasanya cuma omong kosong.

“Hey, teman-teman, aku ada ide,  ” katanya melanjutkan.“Bagaimana kalau kita pergi ke tempat pertanian jagung milik Kakek Johan di desa Sriwilli. Disana tempatnya damai dan indah. Pokoknya, kita semua dijamin puas deh.”

Tasya dan Hera bertukar pandang. Ada semacam kegelian di wajah mereka berdua. Terutama Hera, cewek  pemberani dan tidak mudah percaya pada perkataan Devan. Sebagai teman satu kelas IPA, ia tahu betul watak dan kepribadian cowok itu. Lagian Devan, sudah dicap biang gaduh dan masalah saat pelajaran berlangsung. Terutama jika pada jam praktik IPA berlangsung. Laboratorium dijadikan tempat menjahili teman-temannya. Bagaimana mungkin, ia bisa memilik keisengan memasukan katak hidup-hidup ke dalam salah satu tas siswa dan pemilik tas histeris ketika membuka tas tersebut.

“Apa nggak salah dengar, Van,” ujar Hera keheranan. “Kita ke desa yang sepi? Kamu mengada-ada saja sih. Aku tahu kebiasaan kamu, pasti apa yang kamu katakan itu nggak sesuai kenyatan kan?atau ada maksud-maksud tertentu.”

“Hey, kali ini aku serius, Her,” kata Devan menunjukkan wajah tersinggung. “Minggu kemarin, aku menelpon mereka. Kakek Johan dan Nenek Sita memberitahu suasana sangat nyaman dan indah menjelang musim panen.”

Hera nampak acuh tak acuh.  Membuat Devan berpaling kearah Tasya. Ia tahu cewek itu selalu memiliki pertimbangan dan demokratis di banding Hera.

“Sya, ayolah.” Cowok itu membujuk.“Aku yakin, teman-teman kita yang lain suka. Gang kita pasti setuju.”

Tasya mengangkat kedua bahu dengan ekspresi bingung. Devan terlihat kecewa.

“Aku tahu kebiasaanmu, Van,” tukas Hera.“Selama ini ucapanmu  nggakada yang bisa dipercaya. Apa kamu masih ingat, liburan tengah semester lalu?”

Devan menelan ludah. Menyadari kekeliruannya mengenai liburan tersebut. Waktu itu, ia memaksakan kehendak pada teman-temannya.

“Lagian,  ditempat pertanian Kakekmu, dijamin aman nggak sih?” Tasya menimpali. Ada rasa tidak enak menolak ajakan Devan. “Aku jadi ingat film-film horor. Banyak monster berkeliaran di tempat-tempat seperti itu. Hihhh!” Cewek itu bergidik ngeri.

“Kamu Paranoid banget sih. kebanyakan nonton film horor, Sya” ujar Devan kesal. “Susah ngobrol sama kalian. Lebih baik, ngobrol sama yang lain. Kevin, Jaki, atau Samy.”

“Yah terserah kamu Van,” sahut Hera ikut kesal. “Liburan kalian tanpa kami juga  nggak masalah.”

“Tapi kalian harus ikut,” ujar Devan merasa sudah membuat mereka kurang nyaman. “Selama ini kita selalu kompak. Apalagi ada, kamu Tasya.”

Cowok itu mengerling usil pada Tasya, membuatnya bergidik geli. Memang sudah kebiasan Devan, menggoda  cewek-cewek sebagai hiburannya.

Hera berdehem beberapa kali. Tatapan jenuh tampak di kedua matanya yang hitam dan tajam.   “Kamu mulai ngawur, Van.” Ia menimpali dengan geram. 

Devan menyeringai nakal sambil mengacungkan dua jari sebagai tanda ‘peace’

Hera cuma manyun sambil menahan geli. Tidak ada cowok yang menyebalkan selain Devan.

“Sebaiknya, kita harus diskusikan masalah ini sama teman yang lain.” Tasya mencoba bersikap demokratis.

“Hmmm, itu yang kuharapkan,” sahut Devan seraya melirik kearah dua cowok yang baru muncul. Mereka adalah Jaki dan Samy,teman sekelasnya. Sekaligus anggota gang Devan.

“Halo  kawan!” sapa Jaki kepada mereka bertiga. Tasya dan Hera cuma tersenyum. Sedangkan Devan, mengangkat jempolnya sambil mengisyaratkan mereka berdua untuk duduk bergabung.

“Rupanya ada  pembahasan penting ya,” ujar Jaki sambil melepaskan tas dari punggungnya. “Ajak-ajak dong. Siapa tahu ada job, biar liburan kali ini kantong nggak  boke.”

“Pikiranmu cuma kantong melulu,” celoteh Devan geram. “Sekali-kali kamu ikut mikir,acara liburan kita kemana.”

“Yah, liburan sih liburan. Tapi kalau nggak punya fulus kan, sama saja bohong. Masa kita liburan suruh makan batu kerikil,” tukas Jaki terkekeh.

Tasya dan Hera hanya menyengir mendengar  ucapan Jaki. Mereka tahu, Jaki sangat peduli dengan uang. Cowok berperawakan tegap pendek itu selalu berpedoman pada  kata mutiara, Time is Money.Bahkan sudah menjadi doktrin penting dalam hidupnya.

Tasya ingat waktu Jaki membantunya mengambil buku catatan yang ketinggalan di kelas, sebagai imbalannya ia meminta traktir soto di kantin. Hera juga pernah menjadi korban traktiran paksa Jaki, ketika ikut menumpang pulang sekolah dengan vespa  bututnya. Niat menolong, ujung-ujungnya minta imbalan. Jaki is Money!

“Kalau ada Jaki, sebentar lagi ada yang keluar duit nih,” Hera asal nyeplos. “Kalau dari dulu bisa berhemat, tentu dia sudah kaya raya.”

Perkataan Hera disambut gelak tawa teman yang lain.

“Jadi juragan kaya dong,” sahut Devan menimpali sinis.

“Kamu  jangan begitu, Her,” protes Jaki sambil melepas jaketnya. “Kalau aku kaya, kalian sudah akan kutraktir setiap hari, bahkan  seumur hidup kalian.” Cowok berbadan gempal itu menyeringai lucu. “Tapi bagaimana aku kaya, butuh duit buat ganti jaket yang baru saja belum kesampaian. Lihat nih, jaketku sudah jadul.”

Hera dan Tasya tertawa mencibir. Ada-ada saja yang dikomentari Jaki.

“Lagian jaket sudah kayak kain lap masih dipakai,” Hera kembali menimpali, membuat Jaki semakin kesal.

“Sudah cukup  rapat pribadinya, oke!” potong Devan. “Kalau kalian berdua mau debat terus, kapan kita bisa selesai.”

“Mana yang lain Van,” ujar Tasya berusaha mengembalikan topik pembicaraan yang semula. “Hampir sore nih. Aku harus segera pulang.”

“Tinggal Kevin dan Anisa,” sahut Devan sambil  celingukan. “Tadi mereka memberitahu, dalam perjalanan kemari.”

Kemudian, Devan selaku pemimpin gang ‘tidak resmi’  kembali membicarakan liburan. Kali ini ia menunjuk Samy supaya turut angkat pendapat. Lalu sejenak, ia memperhatikan satu cowok lagi yang sedari tadi cuma asyik mendengarkan.

Samy, teman satu kelas yang paling pendiam dan pintar. Cowok berpenampilan ala kadarnya itu, masuk ke dalam gang  Devan,  karena Tasya. Mereka sudah berteman sejak awal masuk sekolah. Kehadiran Samy dalam kelompok itu sebenarnya cuma ikut-ikutan saja. Mumpung ada teman yang mau menampungnya. Dan gang mereka juga sebenarnya bukan jenis organisasi apa-apa. Bahkan tidak ada anggotanya yang benar-benar mengakuinya.

Awalnya gang mereka dibentuk secara tidak langsung oleh Hera, Tasya, Jaki dan Bagas. Sebenarnya tujuan mereka bukan membentuk gang, melainkan kelompok belajar. Mereka hanya sebatas berkumpul dan membicarakan beberapa hal  selama kelas XI. Namun kehadiran Devan membuat kacau kelompok mereka. Devan yang baru pindah, dar kota lain, mendesak masuk kedalam kelompoknya. Ia adalah pelajar yang tidak mendapat sambutan baik dalam kelas. Sejak masuk ke Sekolah Bahari, Devan sudah berteman akrab sama Kevin. Ironisnya, kehadiran cowok yang  tak diharapkan itu menjadi otak dalam kegiatan, terutama kegiatan luar sekolah. Beruntungnya, selama Devan masuk dalam kelompok mereka, dapat mengurangi keliarannya.

“Samy, bagaimana menurut kamu?” tuntutnya. “Aku yakin kamu sepakat dengan ideku kan?”

Samy  terlihat salah tingkah. Tidak terbiasa mengobrol secara langsung dengan Devan. Diantara mereka berdua tidak terlalu akrab.

“Sam, kali ini aku nggak akan lepasin kamu!” katanya  sambil menyeringai nakal. “Aku yakin, ideku sama dengan kamu. Lagian setiap kami ngumpul, kamu selalu alasan tidak hadir. Ada PR lah, bantu ibu kos lah, capai lah. Pokoknya kali ini kamu harus ikut.”

“Maksudmu apa sih, Van?” Tasya merasa Devan memaksakan kehendak. “Kamu tahu sendiri, Samy orangnya tidak suka dibujuk-bujuk.”

Jaki berdehem. Wajahnya yang tebal dan berminyak, menunjukkan keusilannya. “Sebentar, sebentar.Ada apa nih. Kok, kamu  membela dia, Sya?”

Tasya baru menyadari perbuatannya.Ia jadi salah tingkah dihadapan Jaki

“B-bukan begitu Jak,” sangkalnya seraya melirik kearah Hera, berusaha mencari dukungan. “Aku cuma nggak ingin, dalam liburan kali ini ada paksaan. Iya kan Her?”

“Ya, mungkin,” sahut gadis ragu-ragu. Namun ia juga berusaha untuk tidak terprovokasi oleh Jaki.

***

Tasya mendesah panjang. Sebenarnya tidak ada hubungan spesial antara Tasya dan Samy. Mereka cuma teman biasa. Perkenalan mereka dimulai sejak keduanya maju dalam lomba sains tingkat provinsi. Selama proses perlombaan, membuat keduanya menjadi akrab. Namun, sikap Samy yang dingin kepada Tasya dan cewek manapun, mmebuat hubungan mereka tidak terlalu akrab. Bahkan terkesan tidak saling kenal. Tasya menyadari, Samy memiliki kebiasaan gugup dalam menghadapi cewek manapun. Kalaupun ia jalan sama seseorang, itu karena ceweknya saja yang maksa.

“Sya,  kamu melamun ya,” suara Hera membuat dirinya  menatap gugup.

“Ah, nggak. Nggak apa-apa kok,” sahutnya sambil mengusap wajahnya

“Kamu kenapa sih Sya?” Hera menambahkan.

“Oh, anu, aku... aku digigit semut,” kilah Tasya  mencari-cari alasan.

“Mana semutnya, Sya? Semua cinta kali ya,” goda  Hera sambil tertawa.

Tasya hanya tersenyum kecut, sembari  berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah.

***

Perasaan malu Tasya terobati sektika. Bunyi klakson mobil Kavin mengagetkan mereka. SebuahPajero Sport terbaru berhenti di parkiran tidak jauh dari merek duduk.

“Hei Kevin!” teriak Jaki sambil melambaikan tangan.

“Dasarsok akrab!” celoteh Hera, tidak suka dengan sikap Jaki yang norak.

Jaki seolah tak peduli dengan ucapan cewek itu. Baginya tidak ada satu pun orang lain yang dapat mengatur hidupnya.

Dengan gayanya yang  cool, Kevin turun dengan gagahnya dari balik kemudi. Potongan rambutnya model terbaru ala artis mancanegara  yang sedang nge-trend. Dipotong tipis bagian pinggir, menyisakan bagian tengah yang tebal. Minyak rambut malah membasahi rambut hitamnya. Pokoknya keren abis.  Kacamata hitamnya  dibiarkan tergantung di kerah kemeja berwarna hijau muda. Cewek manapun akan terkesan pada penamilannya. Kecuali mereka tahu motivasi sebenarnya dalam diri Kevin. Mereka akan bilang, cowok pencari korban, ada lagi yang bilang play boy cap campak (kampak). Setelah bosan pad cewek incarannya, lalu di campakin.

Di belakangnya Kevin, muncul cewek seusianya bertubuh mungil dengan  rambut tergerai sebahu.  Anisa, namanya. Ia pacar Kevin yang baru. Mereka jadian tiga bulan yang lalu. Kevinyang keren, merupakan siswa favorit SMA Bahari. Banyak gadis-gadis berebut untuk jadi pacarnya. Namun  Anisa beruntung. Ia berhasil memenangkan hati cowok tajir itu dengan mudah. Kecantikannya telah meluluhkan hati  Kevin seketika.Sepertinya Kevin juga sudah terjerat pada kecantikannya. Semula hanya berniat main-main dengannya.  Sebatas mencari hiburan disela-sela kejenuhan rutinitias kegiatan belajar setiap harinya. Biasanya Kevin memacari cewek-ceweknya tidak lebih dari dua atau tiga minggu.

“Hai Anis,” sapa  Tasya mencoba ramah. Ia tahu Anisa bukan cewek yang ramah. Mereka juga tidak benar-benar saling kenal. Perkenalan mereka lantaran menjadi pacar Kevin. Begitu juga dengan yang lain. Mereka nyaris tidak pernah mengobrol dengan Anisa.

“Hai juga.” Anisa menyahut kaku. “Rupanya sudah lama kumpul ya.”

“Lumayan,” jawab Tasya datar. “Silakan berkabung.”

“Apa  kami  terlambat?” tanya Kevin seraya menyalami teman-temannya dengan cara yang khas, yaitu  menepuk ujung  jempolnya dengan jempol mereka secara berurutan.

“Nggak ada kata terlambat buat kamu, Vin,” sahut Jaki sambil memberikan ruang untuk duduk untuknya.

“Pasti ada maunya nih,”  Kevin menimpali sambil duduk disamping Devan dan Hera, membuat Jaki agak kesal. Sementara Anisa duduk diantara 

diantara Devan dan Jaki.

“Jadi, apa yang kalian bicarakan?” tanya Kevin seraya menyisir rambutnya dengan jari.

“Apa kamu lupa?” ujar Devan menatapnya tajam.

“O ya, maaf aku sibuk akhir-akhir ini. Apa sudah ada keputusan, kemana acara liburan kita?” tanya Kevin tak sabar.

Devan mengangguk pasti.

“Kita ke desa Sriwilli, tempat pertanian Kakek Johan,” katanya. “Semua sudah sepakat. Tinggal kalian berdua.”

            Tasya merasa kesal pada Devan.  Ia mengatakan bukan yang sebenarnya. Kebiasaannya sering sekali memanipulasi pendapat teman-temannya.  Parahnya lagi, cowok itu selalu memaksakan kehendak. Mereka semua tidak bisa membantah padanya.

          Siapapun tahu, Devan adalah anak dari salah satu penyandang dana di SMA Bahari. Meski tidak memiliki kemampuan khusus dalam bidang akedemik, cowok yang biasa hidup enak itu sudah terkenal dari siswa pintar manapun. Nama Devan ada dijajaran paling atas, terutama saat ada kegaduhan dan masalah lain dikelas. Diantara semua teman sekelas, hanya kepada Hera cowok itu tidak berani sembarangan. Hera memiliki keberanian diatas para cewek lainnya, bahkan cowok-cowok. Ia sering sekali  berdebat dengan Devan, meski pada akhirnya harus menuruti juga kemanuannya demi keharmonisan gang mereka.

“Hei, kan belum diputuskan!” Hera memprotes. “Harus jelas dong.”

“Tapi kita semua banyak yang ingin kesana Her,” sahut Jaki antusias.

Kevin, Anisa dan Jaki berseru penuh semangat. Membuat Hera kalah suara.  Dukungan Tasya saja belum mampu membuat mereka mendukungnya.

Guys,” sahut Kevin turut mempovokasi. “Aku lebih setuju ke desa pertanian. Disana kita dapat  udara sejuk damai. Lagian jarang kan, kita punya kesempatan kesana.”

Semua pasang mata tertuju pada Devan yang dianggap pemimpin tak resmi. Ia  itu bukan benar-benar sosok pemimpin yang diharapkan.

“Gimana Van?” kata Anisa. “Jangan buang-buang waktu dong. Aku kan mau ke salon. Nih liat, rambutku berantakan gara-gara angin sialan.”

Tasya yang melihat gaya Anisa yang berlebihan terbatuk-batuk. Hera menahan geli. Menurut mereka sejak jadi ceweknya Kevin, tampilan Anisa aneh-aneh saja. Dua minggu yang lalun, model rambutnya dikribo. Pernah dulu waktu baru jadian, dia rela  mengeluarkan banyak uang untuk mewarnai rambut di salon yang bergengsi.

“Ya ampun  Anis,” Ujar Hera geram. “Baru kena angin  saja,kamu sudah kaya orang kesurupan sih. Coba kalau kena tsunami, pasti pingsan deh.”

Anis cuma  nyengir kuda. Menanggapi Hera bisa jadi senjata makan tuan. Ia tidak ingin meladeni cowok tomboy seperti dia. Devan aja bisa-bisanya kalah, apalagi cewe manja yang suka berdandan seperti dirinya.

“Sam, bagaimana pendapatmu,” Jaki menatap  dengan sikap menggoda. “Aku tahu kamu dan Tasya pasti pendapatnya sama kan?” bisiknya, mengurangi risiko kemarahan cewek itu.

Seketika Samy dan Tasya terkejut. Mereka tidak tahu akan digoda sebegitunya.

“Eh, Jaki!” kata Tasya protes. Ia mendengar bisikan Jaki.“Aku mending sama Samy ketimbang kamu.”

“Cie-cie, udah mulai terang-terangan ya.Romantis banget,” goda Kevin mencibir. “Aku berani bertaruh,nggak lama lagi kita dapat traktiran gratis.”

Tawa Kevin meledak. Diringi Jaki dan Devan. Mereka sepertinya senang meledek Samy habis-habisan.

Lelaki yang ditertawainya cuma tersenyum tipis tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Sebaliknya Tasya sudah berdiri berkacak pinggang  dengan wajah merona galak. Ia melepas sepatu dan melemparkannya pada Jaki. Lemparannya buruk, hanya mengenai tangan Jaki saat menangkisnya.

Namun Tasya tidak berani melakukan itu pada Kevin. Iatahu, bahwa sebenarnya cowok itu sedang menyindir, lantaran pernah ditolak ketika pernah terang-terangan menyatakan perasaannya.

“Sudah, sudah!” seru Hera. “Kalian ngomongin apa sih. Nggak penting tahu.” Tatapan cewek  itu ditujukan pada Devan selaku yang di tuakan. “

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status