Daun-daun jagung seolah menari-nari dalam keremangan. Matahari senja turun perlahan menyisakan awan hitam diatas permukaan lautan jagung pertanian desa Sriwilli.
Senja benar-benar turun. Wiwa, seorang wanita muda berjalan perlahan diantara barisan jagung kering di pertanian jagung milik ayah mertuanya. Ia sudahdianggap seperti anak kandungnya sendiri. Johan, ayah mertuanya seperti sudah tahu pada keadaan dirinya, yang belum juga dikaruniai seorang anakpun diusia pernikahan yanghampir tujuh tahun.Suaminya, Begi, rumah tangga mereka baik-baik saja.
Wanita berusia lebih dari tiga puluh tahun ituadalah sosok yang mandiri dan selalu membantu pekerjaan suaminya di ladang. Menjelang masa-masa panen, keluarga Johan sangat kewalahan. Pertanian jagung yang berhektar-hektar membutuhkan tenaga banyak.
Masalah datang menjelang masa panen.Burung-burung pengganggu yang datang dari berbagai penjuru. Mereka menyerbu dan merusak tongkol-tongkol jagung sehingga jatuh sebelum waktu panen. Sebagai menantu yang rajin dan tidak suka berdiam diri didalam rumah, seperti biasanya sore itu ia pergi untuk memastikan burung-burung itu tidak merusak ladang. Setidaknya tidak disana bisa meminimalisasi kerusakan yang dialami.
Dengan langkah-langkah kecilnya, Wiwa berjalan menelururi lorong jalan setapak di tengah ladang. Beberapa burung yang dijumpai, berhasil diusir dengan menggunakan galah. Karena terlalu asyik, wanita itu lupa waktu dan kemalaman di tengah ladang. Beruntung sinar bulan menerangi langkahnya. Namun, keanehan terjadi. Ia tersesat dan sulit menemukan jalan pulang.
Wiwa terus berusaha dan sampai di ladang jagung yang masih muda. Daun-daun kehijauan itu tampak suram ditempa sinar bulan. memantulkan bayangan yang menyeramkan. Sejenak ia heran, kenapa diwaktu menjelang panen, masih ada tanaman jagung muda yang belum bertongkol. Rasa penasaran membuatnya masuk lebih dalam. Disana ia menemukan sosok orang-orangan sawah yang terpancang tak bergerak. Lama wanita itu memperhatikan sosok itu dengan bergidik. Semakin lama, orang-orangan sawah semakin menakutkan. Dan baru disadari, kedua tangan orang-orangan sawah bergerak-gerak. Memperlihatkan kuku-kuku tajam.
Wanita itu terkejut dan berlari ketakutan. Namun sial, kakinya tersandung pematang ladang dan jatuh di bawah tanaman jagung. Ia mendapati kakinya terkilir. Belum sempat berdiri, tiba-tiba tangan dan kakinya tidak bisa digerakan. Solor-solor daun jagung menjeratnya kuat-kuat. Tidak ada kesempatan untuk menghindar. Di Saat dirinya hanya bisa berteriak histeris, sehelai daun jagung kering dengan cepat masuk ke dalam mulutnya. Merobek semua isi tubuhnya. Dan mati dalam sekejab.
***
Siang itu matahari bersinar cukup terang. Membuka setiap mata pada pemandangan alam yang menawan. Awan menggantung manja, di langit yang biru. Menebarkan pesona warna bak permadani indah dari Turki.Pertengahan Juni, bukan hanya menampakkan alam yang bersahabat. Melainkan pancaran kebahagiaan bagi para pelajar SMAKota Bahari. Hari yang istimewa bagi pelajar seusai menempuh ulangan akhir semester akhir. Kegiatan tahunann itu cukup melelahkan bagi mereka, terutama pelajar yang benar-benar memporsil otak demi naik kelas ketingkat XII jurusan IPA.Selama seminggu mereka bertempur menghadapi soal-soal menjenuhkan. Tidak adil kalau mereka tidak memperioritaskan waktu liburan. Rencana tersebut sangat menjanjikan agar kesegaran otak dari kejenuhan sekaligus menambah pengalaman baru setelah liburan usai.Rencana liburan sudah direncanakan sebagian siswa jauh-jauh hari. Namun tidak seperti yang dilakukan tiga rem
RUMAH minimalis itu terletak dijalan kecil yang beraspal. Dinding hebel mengelilingi rumah asri yang ditanami beberapa pohon cemara. Memperindah tatanan taman kecil di depan rumah. Sore itu, Tasya mengurung diri dalam kamar. Seminggu ini ia harus tinggal sendirian dirumah. Kedua orang tuanya sedang berada di luar kota untuk menemani Adit, kakak Tasya yang sedang mengurus kuliah disana.Selepas membersihkan tubuh, Tasyaduduk-duduk santai sambil memikirkan kegiatan liburan. Entah mengapa, ada yang mengganjal dalam benaknya. Seolah rencana itu bukan kegiatan yang menyenangkan. Ada firasat buruk disana.Sesuatu yang membuat pikirannya tidak tenang. Namun, Tasya tidak bisa memastikan seperti apa kejadian itu. hanya sebuah ganjalan dalam pikirannya saja. Atau mungkin, merupakan bias dari kelelahan otaknya selama masa ulangan semester akhir. Jadi berusaha mengabaikan ketakutannya dan hal yang mempengaruhi pikirannya suatu kewa
Handpone milik Devanberdering. Bagas menelpon.Suara di seberang sana memberitahukan, tempat transit mereka sebelum sampai tujuan. Setelah itu, devan mengumumkan kepada yang lain, bahwa transit istirahat sekitar lima belas menit lagi perjalanan.Dalam waktu yang tidak meleset, mobil berhenti di sebuah kedai makan di pinggir jalan. Bangunan tersebut terbuat dari susunan kayu pinus yang dicat biru. Sangat kontras dengan warna ladang jagung di sekitarnya.“Akhirnya kita turun juga,” ujar Anisa yang sedari awal perjalanan sudah banyak mengeluh. Badan dan kakinya terasa pegal-pegal.“Perjalanan ini belum berakhir, Anis,” sahut Jaki seraya melirik botol minuman berenergi yang terselip dalam tas kecil milik cewek itu.Cewek itu langsung tahu apa yang dinginkan Jaki. Dengan tersenyum malu-malu Jaki menenggak minuman itu sampai tinggal sedikit. Anisa cuma memasang wajah cemberut sambil geleng-geleng kepala.“Da
Perjalanan mereka berakhirpada ladang jagung yang berwarna kuning pucat. Mobil mereka memasuki pelataran luasyang ditumbuhi rumput-rumput pendek dan rapi. Beberapapohon jati tua tumbuh di sisi barat pelataran. Membuat tempat itu tidak sepenuhnya tersengatsinar matahari. Sebuah rumah kayu yang cukup besarbertantai duaberdiri menghadap pelataran.Rumah besar milik Kakek Johan dan Nenek Sita sudah kelihatan tua, namun masih kokoh dan indah. Para remaja turun dari mobil sambil berretiak kegirangan. Perjalanan yang menjenuhkan sudah berakhir. Mereka menginjakkan kaki di desa Sriwilli disambut tiupan angin lembut yang menyejukkan wajah. Mempermainkan perlahan rambut-rambut mereka. Anisa nampak begitumenikmati. Gaunputih seperti
Perasaan Tasyasama sekali sudah melupakan ketakutan seperti sebelumnya.Sekarang penuh keceriaan dangerai tawa bersama Hera. Diantara semua cewek, Tasya yang palingahli dalam membuat makanan.Mereka tidak mau melibatkan Anisa yang suka bersolek. Cewek itu hanya akan menambah masalah kalau dilibatkan. Namun Anisa sesekali butuh teman sesasama wanita. Jadi ia menemani Tasya dan Hera di dapur.Sejak masuk ke dapur cewek norak itu hanyasibuk menghiasdiri.Membawa serta cermim kecil kesayangannya.Cermin itu sudah seperti separuh nyawanya. Kemanapun selalu dibawa. Bahkan saat tidur sekalipun!
Tak terasa, malam pun tiba. Suasana sepi nan mencekam menyelimuti pertanian jagung maha luas. Membuat suasan dalam rumah itu nampak seperti pekuburan kono. Pukul tujuh, para remaja sudah menyelesaikan makan malam dengan meriah. Semua lauk ludes tanpa sisa. Mereka seperti tidak makan dalam beberapa hari. Perut mereka seperti lebih besar dan lebih banyak menampung makanan dari biasanya.Bagas tidak lupa mengambil dua kali lipat dari porsi teman-temannya. Permintaan Bagas, tidak gratis. Devan menuntut konpensasi, memijat punggungnya nanti malam. Seperti yang lain, Tasya juga makan dengan lahap. Ia terbawa suasana kelaparan seperti teman-temannya. Suasana yang sama sekali tidak bisa didapat didalam rumahnya, meski memiliki keluarga dan uang yang cukup. Kehidupan dalam rumah dirasakan begitu jenuh dan monoton. Tidak ada derai tawa keluarga saat berkumpul di ruang keluarga, yang tampak hanya sunyi seperti pekuburan. Kedua orang tuanya
Pesta masih berlanjut. Tasya dan Hera muncul sambil membawa minuman Bajigur dalam teko logam yang besar dan sekotak biskuit. Bagas menyusul dibekangnya sambil membawa baki berisi gelas. Samy tengah sibuk mengumpulkan kayu bakar yang diambil dari teras belakang rumah.Kemudian ke delapan anak remaja itu duduk mengitari api unggun sambil sesekali bercanda. Kevin sudah memeluk gitarnya sambil sesekali beradu pandang dengan Anis. Lagi-lagi sang Vokalis Jaki menunjukkan penampilan buruknya. Namun mereka semua menjadi lebih bersemangat.“Pesta segera dimulai, kawan!” seru Devan sambil mengacungkan tangan. Ia berusaha menguasi keadaan. Meyakinkan diri sendiri, bahwa semuanya baik-baik saja.Mereka semua sorak kegirangan. Gelas-gelas diisi minuman penghangat. Aroma harum khas kelapa menyeruak hidung. Tasya sendiri sudah sama sekali melupakan firasat buruk dan pertemuanny
Rasanya sudah bolak-balik melewati jalan yang berbeda. Namun tetap saja rombongan remaja itu tidak menemukan rumah Kakek Johan. Devan yang memimpin di depan pun tidak bisa berbuat banyak. Mereka seolah tersesat di dalam ladang. Lalu mereka berhenti di tengah ladang yang kosong dan berhenti sambil melepas lelah. “Kita tidak bisa keluar dari ladang sialan ini!” keluh Hera sambil mengatur nafas. “Ya, kenapa bisa begini,” sahut Kevin. “Aneh, kok bisa tersesat di ladang.” Tasya menimpali seraya duduk diatas tumpukan daun jagung kering yang terikat rapi. Ia meluruskan kedua kakinyayang kaku. “Coba cari sinyal!” ujar Samy, yang sudah mengayun-ayunkan handphone di udara. “Nihil. Tidak ada sinyal!” Tasya mengeluh sambil terus berjalan mencari sinyal. Remaja yang lain juga melakukan hal yang sama. Mereka mendengus k