Share

Bab 2 Siapa yang Telah Memukuli Ayahku

Suaranya yang meninggi terdengar sangat jelas, bahkan menutupi suara deru helikopter.

Aura pembunuh yang terpancar dari badannya, membuat semua orang yang hadir di sana gemetaran, mereka ketakutan dan sangat panik.

Si Kepala botak itu menekan rasa takut yang ada di hatinya dan bertanya dengan gemetar, "Kamu ... siapa kamu?"

“Xavier Morris!”

"Apa? Kamu Xavier? Bukankah kamu sudah mati?" Ada ekspresi tidak percaya terlukis di wajah si botak itu. Dia tidak menyangka kalau orang yang berdiri di depannya, sebenarnya adalah Xavier yang dijebloskan ke penjara bawah laut lima tahun yang lalu.

Xavier benar-benar sudah kembali?

Bagaimana mungkin?

Elena yang digantung di tiang pun membuka matanya, saat mendengar nama Xavier.

“Nak, kamu ‘kah itu? Kamu sudah pulang?”

Suaranya bergetar dan matanya yang keruh itu menitikkan air mata "kerinduan".

Xavier kaget saat mendengar suara ibunya, dia menahan aura pembunuhnya dan berkata dengan penuh semangat, "Bu, ini aku, aku telah kembali!"

Lalu, dia segera berjalan ke sisi ibunya.

Jebruk!

Xavier langsung berlutut dan sembah sujud dengan membenturkan kepalanya ke tanah dengan keras, berkata dengan suara gemetar, "Bu, anakmu tidak berbakti. Selama lima tahun ini, aku telah membuatmu menderita!"

Ibu Elena menggelengkan kepalanya, dia ingin mengulurkan tangan untuk menyentuh kepala putranya, seperti yang dia lakukan ketika Xavier masih kecil. Akan tetapi, dia tidak dapat melakukannya karena tangannya masih terikat. Dia hanya bisa berkata dengan suara gemetar, "Baguslah, Nak. Kamu telah kembali. Baguslah."

Setelah mengatakan ini, Elena tidak kuasa menahan luapan kesedihan dan kegembiraan di waktu yang sama, matanya langsung menjuling ke atas dan pingsan.

"Ibu!"

Xavier terkejut, dia buru-buru melepaskan ikatan dan menurunkan ibunya.

Dia berlutut untuk memeriksa kondisi luka ibunya. Dia baru merasa lega setelah mengetahui ibunya pingsan karena luapan emosional.

Kemudian, Xavier langsung berdiri dan berbalik untuk menatap si kepala botak dan para pemuda di belakangnya.

Mata Xavier tampak memerah, seperti mata binatang buas.

Si Botak dan para pemuda tidak bisa menahan diri untuk tidak bergidik ketika melihat ini.

Mata Xavier perlahan menyipit dan aura pembunuh yang luar biasa menyebar dari dalam dirinya lagi.

Si Botak itu tergagap, "Xavier ... Morris, kau mau apa sih?"

Xavier maju selangkah.

Dia berkata dengan niat membunuh yang membara, "Hutang budi dibalas budi, hutang nyawa dibayar nyawa! Kenapa kamu menyakiti ibuku tanpa alasan?"

Si Botak itu menelan ludahnya dan masih tergagap, "Dia ... dia berhutang uang padaku dan belum bayar selama tiga tahun. Aku di sini untuk menuntut utang itu."

“Oh?” Xavier mengangkat alisnya, mengulurkan tangan dan mengambil kontrak itu dari tangan si botak itu dan melihat sekilas.

Dia melihat kontrak itu tertulis jelas kalau tiga tahun yang lalu, tembok halaman rumah Elena runtuh karena hujan lebat dan menghancurkan tanah keluarga Kamillo. Jadi, Elena perlu membayar kompensasi kerugian sebesar seratus juta pada Kamillo. Namun karena Elena membutuhkan waktu tiga tahun untuk membayar semuanya. Bunga hutangnya naik menjadi seratus enam puluh juta.

Elena sendiri tidak punya uang untuk membayar bunganya, jadi dia secara sukarela bersedia mengalihkan propertinya ke Kamillo.

Melihat hal tersebut, Xavier langsung melumatkan kontrak yang ada di tangannya itu menjadi gumpalan dan melemparnya ke wajah si botak bernama Kamillo itu. Dengan marah, Xavier berkata,

"Kamillo! Nyalimu sungguh besar!"

"Setahuku, tembok luar pekarangan rumahku itu lahan kosong. Kalaupun tembok itu runtuh, kamu bisa membersihkannya saja. Kenapa harus membayar kompensasi kerugian sebesar seratus juta padamu?"

"Kedua orang tuaku orang yang jujur. Mereka memberimu kompensasi seratus juta dalam tiga tahun, tetapi kamu malah menginginkan bunga sebesar seratus enam puluh juta? Hati sungguh kotor!"

"Sekarang ... kamu malah ingin ibuku mengalihkan kepemilikan rumah itu padamu lagi? Kamu sedang bermimpi, ‘kah? Siapa yang tidak tahu kalau rumahku akan segera digusur!"

Setelah mengatakan ini, Xavier tidak tahan lagi, dia berjalan ke arah si botak itu dan menampar wajahnya.

"Plaak!"

Tubuh si botak itu langsung terhempas dan lima jejak jari tangan pun muncul di wajahnya.

"Puuuh!"

Setelah itu si botak itu pun jatuh ke tanah, dia memuntahkan seteguk darah dan melihat dua onggok gigi bercampur darah di telapak tangannya.

Melihat si Botak itu dipukuli, pemuda di sebelahnya mengecam Xavier, "Beraninya kamu memukul Kak Kamillo? Apakah kamu sudah bosan hidup?"

Setelah memarahi Xavier, mereka mengambil tongkat baseball dan mengepung Xavier.

Si Botak melihat ini, dia ingin menghentikannya. Namun, sebelum dia sempat membuka mulut, Xavier sudah bergerak.

"Bang bang bang!"

Xavier memukul para pemuda itu. Dalam sekejap, para pemuda itu satu per satu terkapar di tanah.

Kemudian, Xavier berjalan mendekati si kepala botak itu, menginjak wajahnya, menatap si botak itu dan berkata, "Kamillo, apakah kamu masih mengenalku?"

Saat baru tiba di sini tadi, Xavier tidak terpikirkan.

Sekarang, dia sudah teringat kalau Kamillo ini adalah tetangganya. Awalnya, si Botak ini selalu menjadi pengikut Xavier ke mana-mana dan memanggilnya Kak Xavier. Tak disangka, belum lima tahun, si botak sudah berani menindas kedua orang tuanya.

Hal ini membuat amarah di hati Xavier semakin berkobar.

"Aku kenal, aku kenal ...." kata si botak itu dengan terbata-bata.

Bagaimana mungkin dia tidak mengenal Xavier.

“Kamu kenal aku, kamu masih berani menindas ibuku?" Xavier mengangkat alisnya, menatap Kamillo dan berkata, "Kamu pikir aku sudah mati, ya? Kamu pikir aku tidak bisa kembali lagi?"

“Bukan, bukan,” kata si Botak menggelengkan kepalanya dengan tergesa-gesa.

Xavier tersenyum tanpa komitmen.

Kemudian dia berkata pada para pengawal yang baru saja turun dari helikopter, "Gantung mereka semuanya!"

“Baik!” Para pengawal sudah tidak bisa bersabar lagi sejak tadi. Jika bukan karena sang Panglima tidak berbicara, mereka pasti sudah menghabisi sekelompok bajingan ini! Mereka bahkan berani menindas ibunda sang Panglima Besar. Mereka itu benar-benar pantas mati.

Para pengawal ini langsung berjalan ke arah si botak dan para pemuda, menjambak mereka seperti menjambak kelinci-kelinci yang sudah tidak bernyawa.

Si botak itu menunduk dan berteriak dengan putus asa, “Kak Xavier, ampuni kesalahanku, tolong ampuni saya kali ini!"

Para pemuda itu juga tahu, saat ini mereka telah menyinggung seseorang yang tidak seharusnya mereka singgung. Mereka mengikuti Kamillo dan memohon belas kasihan, “Ampuni kami, lain kali tidak akan lakukan lagi."

Bagaimana Xavier bisa berhati lembut terhadap orang-orang yang telah menindas ibunya?

Dia berkata kepada para penjaga, "Lepaskan ketiga anjing galak itu!"

"Bagaimana mereka mempelakukan ibuku, lakukan hal yang sama terhadap mereka. Bagaimanapun juga harus biarkan mereka rasakan selama tujuh hari, kalian sudah mendengarkan, ‘kan?"

“Baik!” Para pengawal itu mengangguk.

Lalu, mereka pun melepaskan ketiga anjing galak itu.

Ketiga anjing galak itu mulai menggigit si botak dan beberapa pemuda itu.

Tiba-tiba, seluruh lokasi pembangunan dipenuhi suara teriakan si pria botak dan anak-anak muda tersebut.

"Ah! Ampun, tidak berani lagi, jangan biarkan dia menggigitku!"

"Ah! Aku benar-benar sudah tahu salah! Cepat, pegang anjing ini erat-erat, kalau mereka menggigit lagi ... Aku pasti akan mati."

Mendengar teriakan orang-orang ini, amarah Xavier pun mereda.

Dia mengangkat ibunya, Elena dari tanah dan berjalan pulang perlahan.

Segera, mereka tiba di dekat rumah mereka.

Ini adalah kawasan kumuh kampung brandan yang konon dikabarkan akan digusur lima tahun lalu. Tak disangka, lima tahun kemudian, kawasan itu masih belum digusur, hanya atapnya saja yang dibongkar. Banyak rumah-rumah di sekitarnya yang bahkan telah ditambah menjadi dua tingkat atau tiga tingkat. Hal ini terjadi, diduga agar menambah luas bangunan sehingga menambah nilai kompensasi saat digusur nantinya.

Sebaliknya, rumah Xavier sendiri sudah tampak kumuh dan compang-camping, tidak bisa kuat diterpa angin dan hujan.

Dia berjalan cepat ke pintu, membuka pintu kayu yang sudah lapuk itu dan melihat pekarangan kecil yang terasa asing tetapi juga familier itu.

Xavier memeluk ibunya dan baru saja berjalan masuk ke halaman, tiba-tiba ibunya membuka matanya.

“Nak, ternyata itu benar-benar kamu?”

“Ini aku!” Xavier mengangguk.

Elena tertawa setelah mendapat jawaban positif.

Hanya saja ... setelah tersenyum sebentar, dia pun menitikkan air mata.

Setelah Xavier menurunkan ibunya di tanah, dia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata dan berkata, "Bu, ayo kita masuk dulu, aku akan membantu memeriksa luka di tubuhmu."

Namun Elena berkata, "Tidak perlu, tidak ada yang serius pada diriku."

Xavier ingin mengatakan sesuatu lainnya, tetapi ibunya menggerak-gerakkan tubuhnya dan berkata, "Lihatlah ... bukankah aku baik-baik saja."

Namun setelah selesai bergerak, sudut mulutnya masih berkedut.

Hati Xavier seperti meneteskan darah, dia merasa sangat sedih.

Ibu, bagaimana mungkin kamu tidak merasa sakit?

Sekujur tubuhnya penuh dengan noda merah dan bengkak akibat dipukul dan ditendang, bahkan ada memar. Namun, sang ibu mungkin tidak ingin Xavier merasa khawatir, dia juga tidak ingin mengungkap kepura-puraan dan keteguhan ibunya.

Elena malah mengganti topik pembicaraan dan berkata, "Nak, apakah kamu lapar? Ibu akan memasak untukmu."

Xavier menggelengkan kepalanya dan berkata, "Aku tidak lapar. Aku sudah makan saat di perjalanan."

Elena mengangguk dan berkata, "Ayo masuk, kita masuk ke dalam rumah dan mengobrol."

Setelah mengatakan ini, sang ibu berjalan menuju rumah dan membukakan pintu.

Setelah memasuki rumah, Xavier bertanya, "Oh ya, Bu, di mana ayahku?"

Sang ibu terkejut sesaat, menundukkan kepala dan tidak berkata apa-apa.

Sebuah firasat buruk muncul di benak Xavier.

Xavier meraih bahu ibunya dengan kedua tangan dan bertanya dengan cemas, "Bu, di mana ayahku?"

Saat ini sang ibu tampak ragu-ragu.

Melihat gelagat ini, Xavier melanjutkan, "Bu, jika terjadi sesuatu, katakan saja padaku! Putramu sudah kembali, tidak ada yang berani mengganggumu lagi."

Pada saat ini, aura yang sangat dingin muncul dari tubuh Xavier.

Namun pada saat ini, sang ibu justru merasa aman, perasaan ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Ya, benar. Anakku sudah kembali. Tidak ada yang bisa menindas pasangan jompo ini lagi.

Memikirkan hal ini, Elena menyeka air matanya dan berkata, "Ayahmu ... ayahmu ... dia sedang dirawat di rumah sakit."

Xavier tertegun sejenak dan berkata, "Dirawat di rumah sakit? Apakah ayahku sakit?"

Sang ibu menggelengkan kepalanya dan berkata dengan suara yang rendah, "Tidak, dia dipukuli."

Ketika Xavier mendengar ini, dia menjadi sangat marah.

Namun melihat ekspresi kekhawatiran Elena, Xavier pun menahan amarah di hatinya dan bertanya dengan tenang, "Bu, siapa yang memukul ayahku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status