Dewa membuka retinanya, dia lirik jam dinding yang ada di atas kepalanya. Waktu mengatakan bahwa Nyonya Finda telah berangkat kerja. Dia pun langsung loncat dari kamarnya untuk mencari makanan. Untunglah Nyonya Finda tetap perhatian, mau memasakkan kepadanya. Oh kasih ibu memang sepanjang masa. Sekesal-kesalnya ibu beliau tidak akan pernah menerlantarkan anaknya sampai kelaparan. Lahap sekali Dewa mencernanya. Dia menghabiskan dua potong roti tawar berlapis selai strowbery, sepiring nasi beserta tiga lauk paha ayam dan sayur sopnya. Masih banyak sayur yang lainnya namun dia tidak suka. Cukup sop dan paha goreng saja. Setelah merasa kenyang naik kembali ke lantai dua.
"Kenyangnya..." celoteh Dewa sambil memegangi perutnya.
Tidak sengaja pandangannya tertuju pada hapenya yang tergeletak layu di atas kasur. Dari kemarin dia tidak pegang hape. 'Ada sms masuk atau tidak ya?' Gumam Dewa lalu mengambilnya. Sejenak dia duduki tumpukan kapuk tuanya. Matanya me
Dewa diam sambil tersenyum sinis. Matanya memerhatikan ke bawah. Ke dua kaki Bapak itu menginjak tanah. Memang sepantasnya kalau pengemis sakit beneran mana bisa membeli perban, boro-boro beli perban makan saja susah. Setidaknya kalau pengemis itu beneran, kan akan mendahulukan mana yang lebih penting atau tidak. Dan setahu Dewa kalau pengemis yang kaki atau tangannya dibalut perban itu hanya modus (modal dusta). Seperti yang ditemuinya di Jogja atau di terminal-terminal tempat makam Sunan Wali Songo."Sakit ya, Pak?" Dewa menendangnya lagi. "Maaf," seloroh Dewa kemudian tanpa berdosa. Dia lalu memasukkan beberapa kepingan logam ke dalam gelas aqua yang sedari tadi dipegang Bapak itu."Seharusnya Bapak berpikir! Kaki Bapak masih bisa berjalan dengan sempurna, kenapa malah bohong-bohongan seperti ini? Bapak mau beneran terluka?" hardik Dewa.Bapak itu diam, tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Dia merasa telah dipermalukan oleh
"Roboh, Kak." kata Intan sayu.Rumah kardus hanya menyisakan kenangan. Kertas-kertasnya tak lagi mau menjaga mereka dari terik sang surya. Tubuhnya lembek tersungkur di tanah. Tiang-tiang penyangganya pun ikut rapuh. Porak-poranda laksana rumah yang terkena badai besar. Bukan hanya milik mereka saja, milik anak jalanan yang lainnya pun juga terkena nasib yang sama. Sekarang mereka tak punya rumah lagi. Airmata Caca sebentar lagi akan merembas. Hatinya sedih, kenapa rumahnya yang dulu selalu memberi kehangatan ketika kelam datang roboh."Rumaaahhhkuuu," jerit Caca sambil jongkok memunguti kardus-kardus itu."Caca!" Ovan lari memeluknya. "Sudahlah, nanti kakak buatin lagi yang lebih bagus, jangan menangis ya?" pinta Ovan sambil mengelus kepala Caca.Enggar ditidurkan di atas tumpukan kardus itu. Dia diselimuti sarung. Intan hanya terpaku merenungi keadaan. Dalam hatinya dia menggumam, kapan penderitaan hidupnya akan beruj
"Ih kok selesai sih Kak!" Caca protes sambil memukuli tubuh Intan. "Lanjut! Lanjut!" seru Caca."Kelanjutannya, Caca itu nggak boleh sedih karena kita tidur di jalanan atau rumah kita hancur lebur, sesungguhnya kebahagiaan itu bukan karena harta. Kebahagiaan itu ada di dalam hati." Menunjuk dada Caca."Tapi Kak, kalau tidur di jalanan dingin,""Tidak apa-apa, Tuhan Maha Tahu dan Maha Penyayang, kelak Caca dan yang lainnya akan mendapatkan hadiah kebahagiaan yang kekal." Intan meyakinkan."Apa?""Surga yang abadi, asalkan kita sabar dan tabah menjalani hidup ini," seru Intan sambil mengelus kepala Caca.Banyak orang berpikiran bodoh. Dengan harta yang ditimbun kebahagiaan akan merangkul duka mereka, apa pun akan dapat digapai dengan emas permata. Bahkan cinta bisa didapatkan dengan harta. Tidak! Kebahagiaan sejati hanya ada di dalam hati dan dengan ketulusan rasa. Bahagia adalah ketenangan jiwa, di ma
Waktunya hampa. Sunyi mengelabuti. Diam dan bisu kini adalah sebuah pekerjaan. Merenung, melamun memikirkan sosok yang tidak berangkat sekolah seolah menjadi kewajiban bagi gadis manis, Chika. Bayangan menerawang kosong keluar jendela. Dia mengintip dari balik kaca, langit yang biru dan cerah itu. Pelajaran Ankuntansi tak diperhatikannya, hatinya gusar dan bimbang. Seperti ada yang hilang jika belakang bangkunya tak diisi oleh pemuda menyebalkan itu. Sesekali dia menggigiti kepala bolpoin tecnonya yang hitam. Buku catatan terbuka malang tak terpelototi iris matanya di atas meja. Lembarannya masih kosong, padahal milik kawan-kawannya telah penuh.'Langit di mana kau sembunyikan kabutmu? Kenapa kabut itu berpindah ke hatiku? Apa salahku? Aku sedih kalau Dewa tidak berangkat. Aku rindu kekonyolannya,' gumam Chika dengan tatapan kosong.Alam pikirnya malah terbang ke waktu semalam. Ada senyum yang diukir di sana. Rasa bangga karena telah mengantarkan Dewa
Di bawah siraman surya, Ovan dan Agus mengemis. Setiap perempatan dan persimpangan lampu merah mereka jarah. Keping demi keping logam akhirnya terkumpul. Panas yang membakar tubuh mereka tak digubris. Yang penting nanti bisa makan dan makan. Soal lelah dan kepanasan itu urusan belakangan. Entah mengapa semangat Ovan kali itu surut. Tak seperti biasanya wajahnya cemberut. Tatapannya selalu kosong. Sudah tiga kali kendaraan berasap hampir saja melenyapkan nyawanya kalau saja Agus tak membuyarkan lamunannya. Tubuhnya terlihat lesu. Nampak ada beban yang dipikirkannya.Mawar. Yah gadis itu telah meracuni kesadaran Ovan. Bagaimana keadaannya, baik sajakah? Sudah makankah? Aura cantik Mawar menggelantung di sudut kalbunya. Ingin dia memeluk Mawar dan membelai lembut rambutnya. Mengusap airmata serta menyediakan bahunya untuk bersandar membuang kesedihannya. Sayang apakah itu bisa?Pandangannya mematri gedung perusak ozon yang berderet memanjang di dep
Reihan sedari tadi telah bangkit untuk mandi. Kepuasan telah meraup hasrat nafsunya. Sementara Mawar masih terlentang dengan perih yang menjalar di selangkangannya. Lima menit kemudian dia bangun mengambil handuk untuk membalut tubuhnya yang tak berhelai satu benang pun. Bercak darah tercecer di atas kasur. Perut Mawar seketika itu mual-mual. Dia pun langsung lari ke kamar mandi, usai Reihan keluar.'Hoeeeekkkk..... hoeeekkk...' suara muntahan Mawar terdengar oleh gendang telinga Reihan. Tanpa menunggu persetujuan Mawar untuk masuk ke dalam kamar mandi, dia pun mendobrak pintu kamar mandinya yang kebetulan tidak dikunci dari dalam."Kamu hamil?" tebak Reihan dengan wajah pucat pasi. Kali ini Reihan tak terfokus tentang masalah kuliahnya yang tinggal sepuluh menit lagi. Jika dia tidak segera berangkat, terlambat adalah pilihan dan hukuman dosen akan menjadi sebuah resiko untuknya hari ini.Mawar diam tak memberi balasan. Dia mematika
Usai membayar bakso yang mereka lahap. Dewa langsung mengajak Refan untuk beranjak. Dewa telah tahu siapa Refan yang sebenarnya dan berapa jumlah biaya sekolahnya yang belum terbayar. Uang untuk membayar gedungnya dua koma lima juta, daftar ulangnya satu juta, pembayaran LKSnya delapan puluh ribu. Dewa sempat mengerutkan dahinya. Uang segitu baginya lumayan tebal di saku. Bukan masalah dia kaya atau tidak, namun karena sekarang yang di kantongnya cuma tertinggal uang seratus ribu, itu saja sudah dikurangi untuk membayar bakso dan minuman mereka. Minta orangtua, pastinya tidak mungkin. Nyonya Finda yang pelit itu malah akan memarahi Dewa, kalau tahu uang sebanyak itu diberikan kepada anak jalanan secara cuma-cuma. Dan tentang kakaknya, Mawar. Itu tentunya bukan Mawar pelacur yang pernah dia jumpai, karena kata Refan kakaknya itu berjilbab, tutur katanya lembut, sementara Mawar pelacur itu kan tidak."Kamu ikut aku dulu ya? Nanti aku bayarin uang sekolahmu dan aku a
Di mana dermaga kebahagiaan untuk anak jalanan. Tetes demi tetes airmata selalu tertuang pedih. Dikata roda kehidupan itu berputar, kadang di atas kadang di bawah. Di mana buktinya? Kenyataannya anak jalanan selalu saja tersiksa dengan rasa lapar atau pun kedinginan. Terus setiap detik tak berjeda. Indahnya mereka hanya saat bintang bertebaran. Kala gelap menjemput, mereka akan mematri langit dan memohon doa saat dikira ada bintang yang jatuh. Permohonan mereka pun pasti akan sama, Tuhan berikanlah kami tempat tidur yang nyaman, makan yang lezat, serta pendidikan yang layak. Setiap malam tak pernah lelah berharap. Meskipun mereka sendiri tahu, harapan itu tak akan pernah mereka petik. Lantaran intan permata mungkin bukanlah miliknya.Jarum infus telah mengurangi penderitaan sakit Enggar. Begitu juga dengan selang oksigen yang kini terpasang di hidungnya. Enggar terkena typus. Saat ini keadaannya masih memburuk dan membutuhkan banyak istirahat. Dewa dan Refan menun