Luka di punggung Zhao Xueyan kini mulai mengering. Setelah beberapa hari terbaring, dia akhirnya merasa lebih baik.
Pagi itu, pelayan setia Zhao Xueyan, Niuniu, sedang bersiap untuk pergi mencari sayuran liar. Perempuan muda itu dengan sabar melipat keranjang bambunya sambil melihat ke arah majikannya yang kini duduk di kursi reyot di depan gubuk mereka. “Permaisuri, harap tetap di sini dan istirahat. Saya akan segera kembali dengan beberapa sayuran liar,” kata Niuniu lembut. Zhao Xueyan berdiri perlahan, menatap pelayannya dengan mata tajam. “Aku sudah bilang, jangan panggil aku permaisuri lagi. Sebutan itu hanya akan membawa masalah. Di sini, aku hanyalah Zhao Xueyan.” Zhao Xueyan sudah memperingatkan Niuniu agar tidak memanggilnya lagi permaisuri, dia telah bertekad untuk melepas gelar itu. Dia juga mengingatkan agar Niuniu tidak menyebut dengan hamba. Niuniu menunduk, merasa bersalah. “Baiklah, Nona Zhao. Tapi Anda masih lemah. Tidak perlu ikut—” Zhao Xueyan mengangkat tangannya, memotong ucapan Niuniu. “Luka-lukaku sudah sembuh. Aku butuh bergerak untuk menguatkan tubuhku. Lagipula, aku juga ingin tahu apa saja yang bisa ditemukan di sekitar sini. Ayo pergi.” Mereka berjalan menuju hutan kecil di kaki gunung Qinghe. Tempat itu sering dijadikan warga desa untuk mencari makanan liar. Namun, makanan yang ditemukan biasanya sangat terbatas beberapa jenis umbi, jamur, atau sayuran liar yang sering dianggap kurang layak untuk dimakan. “Udara disini sangat sejuk, berbeda dengan udara perkotaan yang banyak polusinya,” gumam Zhao Xueyan menikmati pemandangan yang ada. Ketika mereka tiba di area yang rimbun, Niuniu segera mulai mencari daun-daun muda yang biasa diolah menjadi sup. Zhao Xueyan, di sisi lain, berjalan lebih jauh, matanya tajam memperhatikan setiap tanaman di sekitarnya. Dia melihat banyak tumbuhan yang tidak dikenali oleh Niuniu, tetapi pengetahuannya sebagai seorang dokter memberinya pemahaman instan. “Nona Zhao, jangan terlalu jauh. Banyak tanaman di sini tidak layak dimakan,” panggil Niuniu, mencoba mengejar. Zhao Xueyan tersenyum kecil. “Bagi kalian, mungkin begitu. Tapi mata yang terlatih tahu mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak.” Niuniu tampak bingung. “Apa maksud Anda? Apakah Anda mengenal tanaman-tanaman ini?” Zhao Xueyan jongkok di depan sekelompok tanaman berdaun hijau tua. Dia memetik beberapa daun dengan hati-hati dan menunjukkannya pada Niuniu. “Ini adalah daun shanqing. Jika direbus, rasanya hampir seperti bayam. Kaya akan zat besi dan sangat baik untuk tubuh yang sedang kekurangan nutrisi.” Niuniu mengerutkan kening, dia sedikit tidak percaya dengan perkataan Zhao Xueyan. “Tapi, tanaman itu dianggap pahit dan beracun oleh warga desa. Mereka bahkan tidak mau menyentuhnya.” “Itu karena mereka tidak tahu cara mengolahnya. Racunnya akan hilang setelah direndam dan dimasak dengan benar.” Zhao Xueyan menjelaskan sambil menyimpan daun-daun itu ke dalam keranjangnya. “Ayo, aku akan tunjukkan lebih banyak.” Zhao Xueyan terus memetik berbagai jenis tanaman yang sebelumnya diabaikan oleh warga desa. Ada umbi kecil yang tertanam di bawah pohon besar, jamur berwarna putih bersih yang tumbuh di batang pohon mati, dan buah-buahan liar yang menggantung rendah di semak-semak. Zhao Xueyan menjelaskan setiap temuan itu pada Niuniu, yang semakin terkejut dengan pengetahuan majikannya. “Bagaimana Anda tahu semua ini, Nona Zhao?” tanya Niuniu akhirnya. “Itu ... sulit dijelaskan,” jawab Zhao Xueyan, mencoba menghindari pertanyaan itu. “Anggap saja aku pernah belajar banyak hal sebelum sampai di sini.” Mereka tiba di sebuah lereng kecil yang penuh dengan tanaman liar. Niuniu menunjuk ke arah sekumpulan daun lebar berwarna hijau cerah. “Bagaimana dengan itu? Apakah layak dimakan?” tanya Niuniu. Zhao Xueyan mendekat dan mengamati tanaman itu sejenak. “Itu daun yang disebut qingluo. Jika dikeringkan, bisa dijadikan teh herbal yang baik untuk memperbaiki sirkulasi darah.” Mata Zhao Xueyan terlihat berbinar saat mendapatkan banyak tanaman yang bermanfaat. “Benarkah? Warga desa selalu membiarkannya begitu saja karena dianggap tidak berguna,” kata Niuniu dengan nada takjub. “Itu karena mereka tidak tahu manfaatnya. Alam memberikan banyak hal untuk kita, tapi hanya sedikit orang yang benar-benar memperhatikannya.” Zhao Xueyan menyahuti perkataan, Niuniu sambil memetik beberapa helai daun qingluo. Saat mereka kembali ke gubuk, keranjang mereka penuh dengan berbagai macam hasil hutan yang sebelumnya diabaikan oleh warga desa. Niuniu, yang awalnya ragu, kini mulai merasa bangga dengan temuan mereka.“Serang!” Derap kaki kuda dan teriakan perintah memenuhi medan perang. Pasukan elit Kekaisaran Zhengtang kembali menyerbu setelah kegagalan panah memalukan mereka. Kali ini serangan darat dikerahkan dengan kekuatan penuh.Jenderal-jenderal muda dari Zhengtang memimpin pasukan mereka dari depan, menerobos celah formasi dengan tombak dan pedang berlapis Qi yang menyala-nyala.“Maju! Jangan biarkan mereka bersiap!” teriak salah satu jenderal dengan sorot mata membara.Tapi dari jauh, Kaisar Tian Ming masih berdiri dengan tenang di atas kudanya. Di sisi kirinya, Jenderal Zhao Yun dan Wu Liang telah mempersiapkan barisan khusus.Kaisar Tian Ming menurunkan tangannya perlahan. Sebuah sinyal diam yang langsung dipahami para prajurit elit Tianyang.“Formasi Naga Api! Posisi bertahan ketiga!” seru Wu Liang.Pasukan Tianyang bergerak seolah-olah satu tubuh. Mereka membentuk barisan menyerupai sisik naga yang kokoh, setiap prajurit berdiri tegap dengan senjata spiritual terhunus. Aura spiritual
Cahaya fajar baru saja muncul di ufuk timur, langit masih menyisakan warna kelam ketika dua pasukan besar berdiri saling berhadapan di medan perang terbuka, seperti barisan semut hitam yang tak berujung. Aura tekanan Qi dari para prajurit dan jenderal memenuhi udara, menggema seperti dentingan pedang yang belum terhunus.Di sisi barat, pasukan Kekaisaran Tianyang berdiri gagah. Di barisan paling depan, Kaisar Tian Ming duduk tegak di atas kudanya yang gagah berwarna hitam legam. Zirah emas di tubuhnya memantulkan cahaya matahari pagi, menambah aura agung dan tak tergoyahkan.Di sisi timur, pasukan Kekaisaran Zhengtang berbaris rapi. Kaisar Zheng Yu berdiri di atas kuda coklatnya, mengenakan jubah perangnya berwarna merah gelap dengan lambang naga api di dada. Wajahnya angkuh dan dingin.Kaisar Zheng Yu mengangkat tangan, memberi isyarat pada seluruh pasukannya untuk tetap diam, lalu melangkah maju beberapa tapak dengan suara lantang.“Tian Ming! Menyerahlah. Serahkan Permaisuri Zhao X
Fajar belum sepenuhnya menyingsing, langit masih menggantungkan semburat biru gelap dan oranye pucat. Angin pagi berhembus lembut namun membawa hawa tegang dari persiapan perang. Derap kaki pasukan elit kekaisaran Tianyang terdengar mantap di pelataran luar gerbang utama. Armor-armor berkilau, panji-panji berkibar, dan beast tunggangan menggeram lirih, seakan ikut merasakan aroma pertempuran yang sudah di ambang waktu.Di tengah pasukan itu, Kaisar Tian Ming berdiri gagah dengan zirah emasnya. Namun matanya hanya tertuju pada satu sosok yaitu Zhao Xueyan, istrinya, yang berdiri di dekat gerbang dengan wajah menahan."Xueyan .…" ucapnya pelan sambil menggenggam tangan istrinya yang dingin."Aku baik-baik saja," jawab Zhao Xueyan singkat, namun jelas nada suaranya bergetar. "Aku hanya, tak menyangka hari perpisahan kita datang secepat ini."Kaisar Tian Ming tersenyum lembut. "Bukan perpisahan. Hanya jeda, aku akan kembali. Kau akan melihatku berdiri di sini lagi, dengan kemenangan."Zh
Langit senja di Benua Yunzhu berwarna kemerahan, seakan menyambut datangnya badai. Suara gemuruh dari kaki-kaki monster buas mengguncang tanah. Pasukan elit Kekaisaran Zhengtang muncul di balik awan debu, menunggangi beast monster masing-masing seperti macan bermata tiga, burung baja bersisik, hingga kuda api yang menghembuskan napas panas dari lubang hidungnya.Di barisan terdepan, berdiri tegak seorang pria berjubah ungu gelap, dengan helm perang di kepalanya, Kaisar Zheng Yu. Sorot matanya tajam menatap ke depan. Di hadapan mereka terbentang gerbang kokoh timur Benua Yunzhu, dijaga dua gunung tinggi yang menjulang seperti sepasang penjaga raksasa.Seorang jenderal muda mendekat, menunduk hormat. "Yang Mulia, kita telah mencapai titik perkemahan yang strategis. Lembah di antara dua gunung ini cukup tersembunyi, dan dekat dengan perbatasan Kekaisaran Tianyang."Kaisar Zheng Yu menoleh sekilas, lalu memandang ke lembah yang dimaksud. Angin berembus kencang, membawa aroma tanah basah d
Di Paviliun Barat yang sejuk dan megah, Ibu Suri Gao duduk anggun di bawah naungan tirai sutra tipis. Di hadapannya, cawan teh melati menguarkan aroma halus. Matanya tajam menatap ke luar, seolah menunggu sesuatu. Tak lama kemudian, langkah kaki cepat terdengar mendekat. Seorang prajurit berseragam gelap membungkuk dalam di depan pintu. "Masuk," ucap Ibu Suri tanpa menoleh. Prajurit itu melangkah masuk dan kembali membungkuk dengan hormat. "Hamba menghadap, Yang Mulia." Ibu Suri meletakkan cangkir tehnya dan menoleh dengan dingin. “Bagaimana hasil penyelidikanmu?” Dengan suara rendah dan hati-hati, prajurit itu menjawab, “Yang Mulia Kaisar Tian Ming sedang mempersiapkan pasukan dalam diam. Karena Yang Mulia Kaisar akan berperang.” Alis Ibu Suri langsung berkerut. “Persiapan perang?” tanyanya tajam. “Benar, Yang Mulia,” sahut sang prajurit. “Kami mendapat laporan bahwa Kekaisaran Zhengtang akan menyerang Kekaisaran Tianyang.” Ibu Suri Gao berdiri dari duduknya dengan cepat. Tata
Mentari pagi menyinari halaman istana dengan lembut, menyusup lewat jendela-jendela besar yang menghadap ke taman bunga. Suasana di ruang makan keluarga kekaisaran tampak hangat. Aroma teh melati dan hidangan sarapan khas kekaisaran memenuhi udara. Di meja utama, Kaisar Tian Ming duduk berdampingan dengan Permaisuri Zhao Xueyan, sementara Jenderal Zhao Yun dan istrinya, Nyonya Bing Qing, duduk di sisi lainnya. Ibu Suri Gao berada di ujung meja, menyendok bubur tanpa bersuara.Kaisar Tian Ming menatap ke arah ayah mertuanya. “Ayah mertua,” panggilnya pelan namun tegas.Jenderal Zhao Yun mengangkat kepalanya, menatap sang kaisar penuh wibawa. “Ada yang ingin dibicarakan, Yang Mulia?”Kaisar Tian Ming mengangguk. “Ayo kita bicara di ruang kerja,” ujar Tian Ming seraya bangkit.Jenderal Zhao Yun mengangguk tenang, lalu menyeka mulut dengan sapu tangan sebelum ikut berdiri. “Baiklah.”Keduanya berjalan meninggalkan ruang makan dengan langkah mantap. Ibu Suri Gao yang melihat itu mengernyit