Home / Urban / Di Ambang Gila / Bab 1: Galeri Bawah Tanah

Share

Di Ambang Gila
Di Ambang Gila
Author: Minsugajiminie9395

Bab 1: Galeri Bawah Tanah

last update Last Updated: 2025-09-13 20:50:02

Bau cat semprot, bir murahan, dan keringat menyatu di udara lembab ruang bawah tanah yang dijadikan galeri. Suara musik industrial yang menusuk telinga berdentum dari speaker yang sudah distorsi, memantul dari dinding batu bata yang dipenuhi graffiti. Ini adalah pameran seni jalanan "Chiaroscuro", sebuah parade kegelapan dan cahaya, dan Ares adalah bintang tak resminya.

Dia bersandar pada dinding yang catnya mengelupas, seolah ingin menyatu dengan bayang-bayang. Matanya, warna hijau laut yang keruh, memindai kerumunan dengan sikap acuh tak acuh yang dipoles hingga mengkilap. Di tangannya, ada kaleng bir yang sudah hampir habis. Dia mengenakan jaket kulit yang usang, celana jeans robek yang lebih karena peperangan daripada mode, dan sepatu boots yang telah menyaksikan banyak hal. Di dadanya, di bawah jaket, terdapat tato garis-garis berantakan yang menyerupai sangkar burung.

Dia adalah pusat gravitasi yang diam. Beberapa orang meliriknya, berbisik, tapi tidak ada yang berani mendekat. Karyanya—lukisan dinding besar yang menggambarkan seorang figur manusia yang terkoyak antara malaikat dan iblis, dengan coretan kata-kata marah dan puitis—mendominasi satu sisi ruangan. Itu mengundang decak kagum dan rasa tidak nyaman.

Di seberang ruangan, berdiri seorang wanita yang sama sekali tidak cocok dengan atmosfer ini.

Elara.

Dia mengenakan blazer warna taupe yang sederhana namun jelas mahal, celana trousers hitam, dan rambutnya yang pirang terikat rapi dalam sanggul rendah. Di tangannya, tidak ada bir, melainkan segelas air mineral. Dia bukan bagian dari dunia ini; dia seorang pengamat, seorang antropolog yang mempelajari suku yang asing baginya.

Tapi matanya, warna abu-abu seperti awan sebelum badai, tidak memandang dengan rasa jijik atau kebosanan. Mereka memindai, menganalisis, merekam setiap detail. Mereka berhenti pada lukisan Ares. Tidak seperti orang lain yang melihat kemarahan atau keindahan yang kacau, Elara melihat sesuatu yang lain: sebuah peta neurologis dari sebuah pikiran yang terluka. Coretan-coretan itu, bagi yang tahu cara membacanya, menyerupai sinapsis yang menyala-nyala atau gelombang otak yang kacau.

Dia mendekat, melupakan gelas di tangannya. Jaraknya sekitar sepuluh kaki dari Ares ketika dia berhenti, tenggelam dalam detail lukisan. Jari-jarinya yang halus tanpa sadar mengetuk-ngetuk paha, sebuah isyarat gugup yang hanya dia sendiri yang tahu.

Ares memperhatikannya.

Dia melihat bagaimana wanita itu berdiri, terlalu kaku, terlalu terkendali. Dia melihat bagaimana matanya tidak berkaca-kaca karena terkesan, tetapi menyipit, seolah-olah sedang memecahkan kode. Itu membuatnya merasa terbuka, terkelupas, dan Ares membenci perasaan itu.

Dengan gerakan lambat, dia meninggalkan bayangannya dan berjalan mendekati Elara. Bau leather dan cat semprotnya mendahuluinya.

"Ada sesuatu yang menarik?" suara Ares serak, terpotong oleh dentuman musik.

Elara tidak tersentak. Dia memalingkan pandangannya dari lukisan kepada pria di depannya dengan pergerakan yang sangat pelan dan terkendali. Analisisnya sekarang diarahkan padanya. Tingginya, posturnya, tatapannya yang menantang, detak nadinya yang terlihat lembut di lehernya.

"Komposisinya kacau," ujar Elara, suaranya jernih dan datar, memotong suara bising. "Tapi disengaja. Itu bukan kekacauan karena ketidakmampuan, tapi sebuah representasi dari kekacauan internal. Setiap goresan punya maksud. Setiap percikan cat adalah sebuah letupan emosi yang terkontrol dengan buruk."

Ares terdiam sejenak, terkejut. Kebanyakan orang memuji "energi"-nya atau "keberanian"-nya. Tidak ada yang pernah menggunakan kata "terkontrol dengan buruk" dengan nada yang begitu klinis, seolah-olah sedang mendiagnosis.

"Kau seorang kritikus seni?" tanyanya, mengejek.

"Seorang peneliti," balas Elara. Matanya tak lepas dari mata Ares, mempertahankan kontak yang membuatnya tidak nyaman. "Aku mempelajari pola. Perilaku. Emosi."

"Dan apa yang kau lihat di sini?" Ares mengangguk ke arah lukisannya, tantangan dalam nadanya.

"Kemarahan. Kesepian. Sebuah kebutuhan yang sangat besar untuk dipahami, tetapi ditutupi dengan keinginan untuk mengusir semua orang yang mencoba." Elara menjawab tanpa ragu, seolah-olah membacakan dari sebuah laporan. "Kau merasa terkungkung. Dan lukisan ini adalah teriakannya."

Jantung Ares berdebar kencang. Dia merasa seperti baru saja dirobek pakaiannya di tengah keramaian. Wanita ini, dengan caranya yang dingin dan tajam, telah melihat langsung ke dalamnya hanya dalam hitungan menit. Itu menakutkan. Itu... menarik.

Dia melangkah lebih dekat, melanggar batas jarak pribadi. Elara tidak mundur. Dia hanya mengangkat dagunya sedikit, menerima tantangan itu. Ares bisa mencium wangi sabunnya yang bersih, bertolak belakang dengan dunianya yang kotor.

"Kau pikir kau tahu segalanya?" desis Ares, nadanya rendah dan berbahaya.

"Tidak," jawab Elara. Untuk pertama kalimalah, ada sesuatu yang retak dalam suaranya yang datar: sebuah keingintahuan yang hampir seperti lapar. "Tapi aku ingin tahu."

Mata mereka terkunci. Di sekitar mereka, dunia terus berdenyum, tapi bagi mereka berdua, seolah-olah waktu berhenti. Ini bukan ketertarikan romantis yang manis. Ini adalah tarik-menarik antara dua kekuatan yang sama-sama gelap: satu liar dan meledak-ledak, yang lainnya dingin dan terukur. Sebuah pengakuan diam-diam bahwa di dalam diri masing-masing terdapat sesuatu yang rusak, sesuatu yang cocok.

Ares mengangkat tangannya, hampir-hampir ingin menyentuh lengan Elara, tapi berhenti. Sebaliknya, dia menunjuk ke gelas air di tangannya.

"Kau tidak minum alkohol?"

"Alkohol mengaburkan persepsi. Aku lebih suka melihat segala sesuatu dengan jelas," jawab Elara.

Sebuah senyum kecil yang pahit muncul di bibir Ares. "Hati-hati. Terkadang melihat segala sesuatu dengan jelas justru hal yang paling menyakitkan."

Dia memungut kaleng birnya yang kosong dan membuangnya ke tempat sampah dengan suara berisik.

"Mungkin," gumam Elara, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Ares. "Tapi itu satu-satunya cara untuk menemukan kebenaran."

Ares memandangnya untuk sesaat terakhir, lalu berbalik dan berjalan menyusup kembali ke dalam kerumunan, menghilang di antara tubuh-tubuh yang berkeringat dan berdesakan. Tapi energinya masih tertinggal, menggantung di udara seperti ozone setelah petir.

Elara tetap diam, menatap tempat dia berdiri tadi. Jari-jarinya berhenti mengetuk. Dia menarik ponselnya dari saku blazernya dan membuka aplikasi catatan. Jempolnya menari di atas layar dengan cepat.

Subjek: Ares (nama panggilan, asumsi). Seniman jalanan. Karismatik, destruktif, inteligensi emocional tinggi tetapi diarahkan ke dalam. Mengalami luka emosional dalam yang signifikan. Menunjukkan tanda-tanda klasik penolakan dan ketergantungan yang simultan. Sangat responsif terhadap stimuli emosional. Kandidat ideal.

Dia menjentikkan layarnya, dan sebuah gambar muncul—foto lukisan dinding Ares yang dia ambil diam-diam tadi.

Pola: kekacauan terstruktur. Emosi: ledakan yang tertahan. Potensi untuk ikatan obsesif: tinggi.

Dia mematikan ponselnya dan memandang ke arah Ares menghilang. Di balik ketenangannya, sebuah eksitasi yang aneh dan tidak familiar mulai berdenyut. Ini bukan lagi hanya tentang penelitian. Ini menjadi personal.

Pertemuan mereka bukan kebetulan. Tapi dia mulai menyadari bahwa konsekuensinya mungkin di luar perhitungannya.

Dan di seberang ruangan, Ares menyalakan sebatang rokok, tangan nya bergetar hampir tidak kasat mata. Dia merasa seperti baru saja ditantang, diuji, dan dia tidak tahu aturan permainannya. Yang dia tahu adalah, wanita itu, Elara, adalah teka-teki yang paling berbahaya dan paling menarik yang pernah dia temui.

Dia ingin melukisnya. Dia ingin menghancurkannya. Dia ingin memahami mengapa satu tatapan dari mata abu-abu itu membuatnya merasa paling terlihat dan paling tersesat dalam hidupnya.

Percikan telah menyala. Dan di kegelapan galeri bawah tanah itu, api obsesi mulai menyala.

TBC

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Ambang Gila   Bab 9: Rekonstruksi

    Pesan "Aku melihat" itu menggantung di antara mereka seperti sebuah gencatan senjata yang rapuh. Tidak ada kata-kata lebih lanjut selama berhari-hari. Tapi keheningan itu berbeda. Bukan lagi keheningan penghindaran, melainkan keheningan pemrosesan. Sebuah jeda untuk menilai kerusakan dan mempertimbangkan langkah selanjutnya.Bagi Ares, grafik yang dikirim Elara itu seperti cermin yang memantulkan kembali dinamika mereka dengan kejelasan yang kejam dan tak terbantahkan. Dia tidak bisa menyangkal kebenaran dalam data itu: amarah dan ketenangannya memang terikat, dan keterikatan itu, entah bagaimana, melibatkan Elara. Dia mulai melihat karyanya sendiri dengan mata baru—bukan sebagai ledakan murni, tetapi sebagai dialog. Sebuah percakapan dengan kekasih yang tak terlihat yang memahami bahasa kekerasan dan kelembutannya.Dia tidak kembali ke apartemen Elara. Tapi dia juga tidak melarikan diri. Dia tinggal bersama Mika, tetapi sekarang dia melukis lagi. Kanvas-kanvas bar

  • Di Ambang Gila   Bab 8: Puing-Puing dan Pola Baru

    Keesokan harinya, apartemen Elara terasa seperti ruang mayat. Sunyi yang ada bukanlah ketenangan, melainkan kekosongan yang menusuk. Setiap sudut yang biasanya dia tempati dengan data dan pengamatan sekarang hanya menyisakan kehampaan. Dia membersihkan pecahan tablet yang hancur, setiap serpihan kaca terasa seperti potongan dari ilusinya yang ikut remuk. Dia mencoba kembali ke rutinitas. Dia membuat kopi (hanya satu cangkir). Dia membuka laptop, berusaha fokus pada pekerjaan lain—analisis data untuk konferensi neurosains yang akan datang. Tapi matanya terus tertarik ke sudut ruangan tempat Ares biasa meletakkan sepatu botnya. Ke sofa tempat dia sering tertidur. Dia bahkan menemukan sebuah noda cat biru tua di tepi karpet putihnya, dan alih-alih merasa jijik, dia justru berlutut dan menyentuhnya, seolah-olah itu adalah artefak berharga dari sebuah peradaban yang telah punah. Hipotesis salah. Kalimat itu terpampang di layarnya, sebuah pengakuan yang terus

  • Di Ambang Gila   Bab 7: Kebenaran yang Retak

    Keesokan harinya, sebuah ketegangan yang tebal dan tak terucapkan menggantung di apartemen. Elara bangun lebih awal, mengubur dirinya dalam data, menciptakan penghalang dari grafik dan kode. Ares terbangun dengan kepala berdenyut dan rasa pahit di mulut, kenangan ciuman itu terasa seperti mimpi buruk yang indah. Mereka menghindari kontak mata. Elara menyajikan kopi tanpa bicara, menempatkannya di meja seolah-olah sedang menempatkan umpan untuk hewan percobaan. Ares mengambilnya, tetapi tidak minum. Dia hanya memandangi cairan hitam itu, melihat pantulan dirinya yang terdistorsi. "Kita harus berbicara," katanya akhirnya, suaranya kasar, memecah kesunyian yang menusuk. Elara tidak menoleh dari layar komputernya. "Tentang apa? Data dari kemarin malam masih dalam proses analisis. Aku butuh waktu—" "Lupakan data, Elara!" hardik Ares, meninju meja sehingga gelas kopinya bergoyang. "Tentang

  • Di Ambang Gila   Bab 6: Kandang Bersama

    Kolaborasi mereka menemukan rumah: apartemen Elara. Keputusan itu tidak diucapkan; itu terjadi secara alami, seperti tahap berikutnya dari sebuah eksperimen yang tak terhindarkan. Gudang Ares terlalu berantakan, terlalu "primal", seperti yang dikatakan Elara, untuk pengumpulan data yang optimal. Apartemen Elara, dengan dinding putihnya yang steril dan ruang yang terorganisir, adalah lab yang sempurna. Ares pindah dengan satu tas ransel berisi pakaian dan sebuah kotak berisi cat, kuas, dan beberapa kanvas kecil. Kehadirannya langsung menjadi noda yang hidup di lanskap yang sempurna itu. Jaket kulitnya tergantung di atas kursi Eames yang elegan. Kaleng catnya berjejer di atas meja kaca, meninggalkan cincin-cincin samar. Buku sketsanya yang penuh coretan tergeletak di samping sofa kulit yang bersih. Elara menyaksikan invasi ini dengan perasaan campur aduk antara jijik dan kegembiraan ilmiah. Setiap kekacauan yang ditimbulkan Ares adalah sebu

  • Di Ambang Gila   Bab 5: Undangan ke Labirin

    Hujan turun membasahi kota, mengubah aspal menjadi cermin yang memantulkan lampu-lampu neon dan lampu jalan yang buram. Di dalam gudangnya, Ares mendengarkan dentuman hujan di atap seng, sebuah simfoni kekacauan yang menenangkannya. Dia sedang mengerjakan sebuah karya baru, sebuah potret diri yang terdistorsi yang terpecah menjadi dua: satu sisi penuh dengan goresan merah dan kuning yang marah, sisi lainnya dingin, terukur, dan tertutup garis-garis geometris seperti diagram sirkuit. Di antara kedua sisi itu, terdapat ruang kosong yang berbentuk hati. Ponselnya bergetar di atas bangku kayu yang berdebu. Dia mengabaikannya. Itu pasti Mika atau seseorang dari galeri. Tapi kemudian bergetar lagi. Dan lagi. Sebuah pola. Bukan pola Mika. Dia menyeka tangannya yang penuh cat di celananya dan mengambil ponsel. Unknown Number (Elara): Hujan mengubah pola suara di atapmu. Itu harusnya mengganggu konsentrasimu, tapi sebaliknya. Kenapa? Unknown Number (Elara):Apakah kekacauan eksternal membant

  • Di Ambang Gila   Bab 4: Simbiosis Awal

    Minggu-minggu berikutnya berubah menjadi tarian yang rumit dan beracun. Sebuah ritual observasi dan provokasi yang dijalani oleh Ares dan Elara dengan disiplin yang hampir religius. Bagi Ares, hidupnya mendapatkan struktur baru yang aneh. Dia tidak lagi hanya bangun untuk melukis atau berkeliaran tanpa tujuan. Dia bangun dengan antisipasi. Akankah dia muncul hari ini? Dia menjadi lebih aware terhadap lingkungan sekitarnya, selalu mencari tanda-tanda Elara: mobilnya yang sederhana dan bersih yang terparkir di ujung jalan, siluetnya di atap gedung seberang, atau bahkan hanya perasaan bahwa dia sedang diamati. Itu membuatnya gila, tapi juga... membuatnya merasa hidup. Dia adalah pusat dari perhatian seseorang yang sangat intens, dan bagi seorang pria yang merasa tidak terlihat sepanjang hidupnya, itu seperti obat. Dia mulai membuat karya seni yang lebih personal, lebih terbuka. Seolah-olah dia melukis untuk audiensi tunggal. Sebuah kanvas besar yang dia beri judul "The Observer's Gaze"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status