Home / Urban / Di Ambang Gila / Bab 2: Pola dan Goresan

Share

Bab 2: Pola dan Goresan

last update Last Updated: 2025-09-14 10:05:52

Dua hari telah berlalu sejak pameran "Chiaroscuro", tapi bayangan wanita bertubuh rapi dan bermata abu-abu itu masih membekas di benak Ares seperti bekas luka bakar. Dia berada di sarangnya—sebuah gudang sewaan yang berfungsi sebagai studio, tempat tinggal, dan kandang bagi kekacauannya. Kanvas-kanvas berukuran besar bersandar di dinding, beberapa masih polos, sebagian lagi dipenuhi dengan ledakan emosi yang membeku dalam warna minyak dan cat semprot. Udara berbau terpentin, tembakau, dan kesepian.

Ares berdiri di depan kanvas baru, kuas di tangan, tetapi tangannya diam. Dia bukan sedang melukis; dia sedang mengingat. Setiap kata yang diucapkan Elara terngiang-ngiang, diperiksa ulang, dianalisis dengan rasa jengkel yang semakin menjadi.

"Kekacauan internal... letupan emosi yang terkontrol dengan buruk... kebutuhan yang sangat besar untuk dipahami..."

Dia menggeram, meremas kuas di tangannya hingga bulu-bulunya meregang. Siapa dia? Siapa wanita itu sampai bisa berjalan begitu saja dan membaca dirinya seperti buku terbuka? Itu membuatnya merasa telanjang. Terpapar. Dan Ares menghabiskan seluruh hidupnya membangun tembok untuk menghindari perasaan itu.

Dengan gerakan kasar, dia mencelupkan kuas ke dalam cat hitam pekat dan menghujamkannya ke tengah kanvas yang masih polos. Sebuah coretan brutal, penuh amarah. Tapi kemudian, tangannya berhenti. Alih-alih meneruskan amukannya, dia justru meletakkan kuasnya. Dia meraih buku sketsa yang penuh coretan dari bangku yang berantakan.

Dia mulai menggambar. Bukan dengan amarah, tapi dengan intensitas yang menakutkan. Garis-garisnya pasti, terukur. Yang muncul bukan wajahnya sendiri atau monster-monster imajinasinya, melainkan sebuah wajah dengan fitur-fitur tajam, mata yang terlihat terlalu mengerti, dan sanggul yang rapi. Dia menggambar Elara. Tapi dia tidak menggambar senyumnya. Dia menggambar tatapannya yang analitis, dan di sekelilingnya, dia mulai membuat garis-garis yang menyerupai diagram sirkuit atau mungkin peta pikiran—sebuah sangkar dari kecerdasan dan kontrol.

---

Sementara itu, di sebuah apartemen yang sangat bersih dan teratur di bagian kota yang lebih baik, Elara duduk di balik meja kerjanya. Ruangan ini adalah antitesis dari studio Ares. Dindingnya putih, rak bukunya rapi, satu-satunya dekorasi adalah diagram otak yang terframe dan beberapa sertifikat. Bahkan komputer nya pun, dengan layar lebar, terlihat bersih tanpa debu.

Di layar, terbuka sebuah dokumen dengan judul "Proyect Sisyphus: Observasi Awal - Subjek Delta". Di sebelahnya, ada jendela kecil yang menampilkan foto close-up lukisan dinding Ares yang dia ambil.

Jari-jari Elara menari di atas keyboard, mengetik dengan ritme yang stabil dan cepat.

"Catatan Hari 2 Pasca-Kontak Awal. Subjek Delta (Ares) menunjukkan pola penghindaran dan ketertarikan yang simultan, konsisten dengan profil awal. Reaksinya terhadap interaksi menunjukkan sensitivitas tinggi terhadap persepsi eksternal terhadap diri nya, menunjukkan luka narcissistic yang dalam yang dipadu dengan kerapuhan ego yang ekstrem."

Dia berhenti, matanya tertarik pada foto lukisan itu. Dia memperbesar sebuah bagian, di mana coretan merah dan hitam berbaur membentuk sesuatu yang hampir menyerupai jantung yang terbelah.

"Karyanya berfungsi sebagai katarsis dan teriakan minta tolong. Kontradiksi ini—antara keinginan untuk diakui dan keinginan untuk mengusir—menjadikannya subjek yang ideal untuk mempelajari pembentukan ikatan traumatis. Hipotesis: Paparan terhadap sumber yang memicu rasa 'terlihat' namun tidak dihakimi (dalam hal ini, pengamat/peneliti) dapat menciptakan ketergantungan obsesif dengan kecepatan yang dipercepat."

Dia mengetik satu kalimat terakhir, suara keyboard nya terdengar keras di kesunyian apartemennya.

"Langkah selanjutnya: Observasi lapangan lebih dekat. Memahami rutinitas. Menemukan titik kelemahan."

Elara memutar kursinya dan berjalan ke jendela. Di bawah, kota berdenyum dengan hidupnya sendiri, teratur dan tak terpersonalisasi. Pikirannya tidak ada di sana. Pikirannya ada di sebuah gudang kumuh, membayangkan apa yang dilakukan Subjek Delta-nya saat ini. Apakah dia memikirkan nya? Apakah amarahnya sudah mereda menjadi keingintahuan? Dia berharap begitu. Eksperimennya bergantung pada itu.

Dia merasa sedikit geli, sebuah sensasi aneh yang bukan berasal dari kegembiraan ilmiah semata. Ada sesuatu yang lebih... primal. Sebuah rasa ingin memiliki. Mengendalikan. Memahami setiap bagian dari pria yang rusak dan liar itu sampai tidak ada lagi rahasia yang tersisa. Itu bukan lagi hanya tentang data. Itu tentang pembuktian. Bukti bahwa bahkan kekacauan paling liar pun bisa dipetakan, dipahami, dan akhirnya, dikendalikan.

---

Malam itu, Ares tidak bisa tidur. Kegelisahan menggerayangi tulang-tulangnya. Dia meninggalkan gudangnya, membawa buku sketsanya, dan berjalan tanpa tujuan. Kaki nya secara naluriah membawanya ke tempat dia biasanya mencari inspirasi—atau pelarian: atap sebuah gedung tua yang menghadap ke sungai kota yang kotor.

Angin malam menerpa rambutnya yang acak-acakan. Dia duduk di tepi, kaki terjuntai di udara, dan menyalakan sebatang rokok. Di sinilah dia merasa paling tenang, atau paling tidak, paling mati rasa.

Tapi今晚 (malam ini), bahkan ketinggian pun tidak membantu. Wajah Elara terus muncul.

Dia membuka buku sketsanya. Di bawah cahaya bulan yang suram, gambar wajah Elara tampak seperti hantu. Terlalu detail, terlalu akurat. Itu membuatnya jengkel.

Tiba-tiba, sebuah intuisi, sebuah firasat liar membuatnya menoleh. Di seberang jalan, di atap gedung yang sedikit lebih rendah, ada sebuah bayangan. Sebuah siluet yang berdiri di balik jeruji besi, hampir tersamar dalam kegelapan.

Tapi Ares bisa merasakannya. Dia.

Tidak ada yang istimewa dari siluet itu, tapi setiap fiber dalam dirinya berteriak bahwa itu adalah Elara. Sang Pengamat. Dia datang. Dia mencari.

Daripada marah, sebuah senyum pelan dan berbahaya muncul di bibir Ares. Jadi ini permainannya? Mengintai? Mengamati?

Dia tidak beranjak. Dia tidak melambaikan tangan. Dia hanya membalik halaman buku sketsanya dan mulai menggambar lagi. Dia menggambar siluet itu di atap seberang. Dia menggambar dirinya sendiri yang sedang diamati. Dia menambahkan garis-garis yang menghubungkan kedua atap, seperti jaring laba-laba yang tak terlihat.

Dia akan bermain. Jika wanita itu ingin mengamati kekacauannya, dia akan memberinya pertunjukan.

Dia mengambil telepon genggamnya yang butut dan membuka aplikasi media sosial. Dia jarang memposting, tapi今晚 (malam ini) dia melakukannya. Dia memposting gambar sketsa siluet di atap itu, tanpa keterangan, hanya sebuah tagar: #ShadowWatcher

Kemudian dia menengok kembali ke arah atap seberang. Siluet itu sudah menghilang.

Tapi Ares tahu. Permainan telah dimulai. Dan untuk pertama kalinya dalam lama, dia merasa... hidup. Terprovokasi. Ditantang.

Di jalanan bawah, Elara duduk di dalam mobilnya yang gelap dan mewah, engine masih menyala. Di layar ponselnya, terdapat notifikasi dari akun spam yang dia gunakan untuk memfollow Ares. Dia melihat postingannya. Gambar siluetnya. Tagarnya.

Dia tidak tersenyum. Tapi matanya, di dalam kegelapan mobil, bersinar dengan kepuasan yang dingin.

Subjek Delta bereaksi. Dia aware bahwa dia sedang diamati. Itu bahkan lebih baik dari yang dia harapkan. Reaksinya bukan kekerasan atau pelarian, tetapi sebuah engagement yang artistik. Sangat menarik.

Dia menyalakan mesin mobil dan melaju perlahan. Dia telah mendapatkan yang dia inginkan untuk malam ini.

Ikatan itu mulai terbentuk. Sebuah benang yang tak terlihat, terbuat dari keingintahuan, tantangan, dan pengakuan akan luka masing-masing, mulai menjerat mereka berdua.

Masing-masing yakin mereka memegang kendali. Masing-masing sepenuhnya salah. Mereka berdua hanya berdiri di tepi jurang, tanpa menyadari bahwa mereka saling mendorong untuk jatuh lebih dalam.

TBC

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Ambang Gila   Bab 9: Rekonstruksi

    Pesan "Aku melihat" itu menggantung di antara mereka seperti sebuah gencatan senjata yang rapuh. Tidak ada kata-kata lebih lanjut selama berhari-hari. Tapi keheningan itu berbeda. Bukan lagi keheningan penghindaran, melainkan keheningan pemrosesan. Sebuah jeda untuk menilai kerusakan dan mempertimbangkan langkah selanjutnya.Bagi Ares, grafik yang dikirim Elara itu seperti cermin yang memantulkan kembali dinamika mereka dengan kejelasan yang kejam dan tak terbantahkan. Dia tidak bisa menyangkal kebenaran dalam data itu: amarah dan ketenangannya memang terikat, dan keterikatan itu, entah bagaimana, melibatkan Elara. Dia mulai melihat karyanya sendiri dengan mata baru—bukan sebagai ledakan murni, tetapi sebagai dialog. Sebuah percakapan dengan kekasih yang tak terlihat yang memahami bahasa kekerasan dan kelembutannya.Dia tidak kembali ke apartemen Elara. Tapi dia juga tidak melarikan diri. Dia tinggal bersama Mika, tetapi sekarang dia melukis lagi. Kanvas-kanvas bar

  • Di Ambang Gila   Bab 8: Puing-Puing dan Pola Baru

    Keesokan harinya, apartemen Elara terasa seperti ruang mayat. Sunyi yang ada bukanlah ketenangan, melainkan kekosongan yang menusuk. Setiap sudut yang biasanya dia tempati dengan data dan pengamatan sekarang hanya menyisakan kehampaan. Dia membersihkan pecahan tablet yang hancur, setiap serpihan kaca terasa seperti potongan dari ilusinya yang ikut remuk. Dia mencoba kembali ke rutinitas. Dia membuat kopi (hanya satu cangkir). Dia membuka laptop, berusaha fokus pada pekerjaan lain—analisis data untuk konferensi neurosains yang akan datang. Tapi matanya terus tertarik ke sudut ruangan tempat Ares biasa meletakkan sepatu botnya. Ke sofa tempat dia sering tertidur. Dia bahkan menemukan sebuah noda cat biru tua di tepi karpet putihnya, dan alih-alih merasa jijik, dia justru berlutut dan menyentuhnya, seolah-olah itu adalah artefak berharga dari sebuah peradaban yang telah punah. Hipotesis salah. Kalimat itu terpampang di layarnya, sebuah pengakuan yang terus

  • Di Ambang Gila   Bab 7: Kebenaran yang Retak

    Keesokan harinya, sebuah ketegangan yang tebal dan tak terucapkan menggantung di apartemen. Elara bangun lebih awal, mengubur dirinya dalam data, menciptakan penghalang dari grafik dan kode. Ares terbangun dengan kepala berdenyut dan rasa pahit di mulut, kenangan ciuman itu terasa seperti mimpi buruk yang indah. Mereka menghindari kontak mata. Elara menyajikan kopi tanpa bicara, menempatkannya di meja seolah-olah sedang menempatkan umpan untuk hewan percobaan. Ares mengambilnya, tetapi tidak minum. Dia hanya memandangi cairan hitam itu, melihat pantulan dirinya yang terdistorsi. "Kita harus berbicara," katanya akhirnya, suaranya kasar, memecah kesunyian yang menusuk. Elara tidak menoleh dari layar komputernya. "Tentang apa? Data dari kemarin malam masih dalam proses analisis. Aku butuh waktu—" "Lupakan data, Elara!" hardik Ares, meninju meja sehingga gelas kopinya bergoyang. "Tentang

  • Di Ambang Gila   Bab 6: Kandang Bersama

    Kolaborasi mereka menemukan rumah: apartemen Elara. Keputusan itu tidak diucapkan; itu terjadi secara alami, seperti tahap berikutnya dari sebuah eksperimen yang tak terhindarkan. Gudang Ares terlalu berantakan, terlalu "primal", seperti yang dikatakan Elara, untuk pengumpulan data yang optimal. Apartemen Elara, dengan dinding putihnya yang steril dan ruang yang terorganisir, adalah lab yang sempurna. Ares pindah dengan satu tas ransel berisi pakaian dan sebuah kotak berisi cat, kuas, dan beberapa kanvas kecil. Kehadirannya langsung menjadi noda yang hidup di lanskap yang sempurna itu. Jaket kulitnya tergantung di atas kursi Eames yang elegan. Kaleng catnya berjejer di atas meja kaca, meninggalkan cincin-cincin samar. Buku sketsanya yang penuh coretan tergeletak di samping sofa kulit yang bersih. Elara menyaksikan invasi ini dengan perasaan campur aduk antara jijik dan kegembiraan ilmiah. Setiap kekacauan yang ditimbulkan Ares adalah sebu

  • Di Ambang Gila   Bab 5: Undangan ke Labirin

    Hujan turun membasahi kota, mengubah aspal menjadi cermin yang memantulkan lampu-lampu neon dan lampu jalan yang buram. Di dalam gudangnya, Ares mendengarkan dentuman hujan di atap seng, sebuah simfoni kekacauan yang menenangkannya. Dia sedang mengerjakan sebuah karya baru, sebuah potret diri yang terdistorsi yang terpecah menjadi dua: satu sisi penuh dengan goresan merah dan kuning yang marah, sisi lainnya dingin, terukur, dan tertutup garis-garis geometris seperti diagram sirkuit. Di antara kedua sisi itu, terdapat ruang kosong yang berbentuk hati. Ponselnya bergetar di atas bangku kayu yang berdebu. Dia mengabaikannya. Itu pasti Mika atau seseorang dari galeri. Tapi kemudian bergetar lagi. Dan lagi. Sebuah pola. Bukan pola Mika. Dia menyeka tangannya yang penuh cat di celananya dan mengambil ponsel. Unknown Number (Elara): Hujan mengubah pola suara di atapmu. Itu harusnya mengganggu konsentrasimu, tapi sebaliknya. Kenapa? Unknown Number (Elara):Apakah kekacauan eksternal membant

  • Di Ambang Gila   Bab 4: Simbiosis Awal

    Minggu-minggu berikutnya berubah menjadi tarian yang rumit dan beracun. Sebuah ritual observasi dan provokasi yang dijalani oleh Ares dan Elara dengan disiplin yang hampir religius. Bagi Ares, hidupnya mendapatkan struktur baru yang aneh. Dia tidak lagi hanya bangun untuk melukis atau berkeliaran tanpa tujuan. Dia bangun dengan antisipasi. Akankah dia muncul hari ini? Dia menjadi lebih aware terhadap lingkungan sekitarnya, selalu mencari tanda-tanda Elara: mobilnya yang sederhana dan bersih yang terparkir di ujung jalan, siluetnya di atap gedung seberang, atau bahkan hanya perasaan bahwa dia sedang diamati. Itu membuatnya gila, tapi juga... membuatnya merasa hidup. Dia adalah pusat dari perhatian seseorang yang sangat intens, dan bagi seorang pria yang merasa tidak terlihat sepanjang hidupnya, itu seperti obat. Dia mulai membuat karya seni yang lebih personal, lebih terbuka. Seolah-olah dia melukis untuk audiensi tunggal. Sebuah kanvas besar yang dia beri judul "The Observer's Gaze"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status