Keseimbangan yang mereka raih terasa rapuh bagai kaca, indah namun selalu berada di ambang retak. Mereka berdua menyadarinya, dan dalam kesadaran itulah mereka menemukan keindahan yang getir. Namun, dunia luar tidak pernah berhenti berputar, dan masa lalu memiliki caranya sendiri untuk mengetuk pintu yang paling tidak terduga.
Bagi Elara, masa lalu itu bernama Daniel. Seorang peneliti post-doktoral yang baru bergabung di lab Dr. Venn, dia adalah jenis pria yang membuat Elara, dalam kehidupan lamanya, akan anggap sebagai "kandidat yang sesuai": cerdas, teratur, ambisius, dan secara akademis sangat disegani. Dia adalah pria yang akan dengan mudah memahami grafik-grafiknya, yang akan menghargai metodenya yang ketat, dan yang tidak akan pernah mencoret-coret dinding dengan cat semprot.Suatu sore, Daniel mendekatinya di ruang break lab, menenteng dua cangkir kopi. "Dr. Vance," ujarnya dengan suara halus, "saya sangat terkesan dengan paper terbaru Anda tentang konektiviKemenangan atas Venn seharusnya terasa seperti kemenangan. Tapi yang tertinggal adalah rasa hampa yang getir, seperti asap setelah kebakaran. Mereka telah membela diri, tapi serangannya telah meninggalkan luka yang dalam, mengingatkan mereka betapa rapuhnya keseimbangan mereka.Ketegangan yang konstan mulai membebani. Ares, yang selalu bergerak, menjadi seperti singa yang dikurung, mondar-mandir di apartemen. Setiap kali Elara terkejut oleh suara yang tidak terduga, setiap kali dia memeriksa kunci pintu untuk ketiga kalinya, Ares merasakan gelombang kemarahan yang tidak berdaya. Dia ingin melindunginya, tetapi musuhnya adalah hantu, sebuah ide yang tidak bisa dia tinju atau dia lukis.Elara, di sisi lain, mundur ke dalam dirinya sendiri. Dia menjadi pendiam, analitisnya berubah menjadi sebuah paranoia yang sunyi. Dia mulai mendokumentasikan segalanya—setiap interaksi, setiap perasaan—bukan untuk penelitian, tetapi sebagai bukti, sebagai pertahanan terhadap serangan
Keesokan harinya, ketegangan terasa seperti lapisan ozon yang menipis di apartemen mereka. Elara terbangun dengan mata sembab dan gelisah, langsung mengecek ponselnya, mengharapkan—dan sekaligus takut—pesan baru dari Venn. Ares mengawasinya, rasa bersalah menggerogoti dirinya karena telah mengirimkan email kepada jurnalis tanpa sepengetahuannya. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk memberitahunya, tetapi tidak sekarang. Tidak saat dia sudah begitu ketakutan.Hari itu berlalu dengan sunyi yang tidak alami. Tidak ada email. Tidak ada paket. Tidak ada tanda-tanda dari Venn. Keheningan itu justru lebih menakutkan daripada ancaman itu sendiri. Itu seperti menunggu detonasi yang terlambat.Elara mencoba bekerja, menganalisis data untuk penelitian barunya, tetapi pikirannya terus melayang. Setiap notifikasi dari laptop-nya membuatnya terkejut. Dia menemukan dirinya membaca ulang email Venn, menganalisis setiap kata, setiap tanda baca, mencoba memprediksi langkahnya ber
Kebahagiaan mereka seperti gelembung sabun yang sempurna—berwarna-warni, memantulkan cahaya, dan sangat rapuh. Mereka hampir lupa bagaimana rasanya dihantui. Hampir.Itu dimulai dengan hal-hal kecil. Sebuah email anonim yang dikirim ke alamat kerja baru Elara.Subjek: Penipu Isi: Ilmuwan sejati tidak mencampuradukkan data dengan emosi. Penelitianmu adalah lelucon. Kau adalah pengkhianat bagi sains.Elara menghapusnya dengan geram, menganggapnya sebagai troll internet yang kesepian. Tapi kemudian ada yang lain. Sebuah komentar di bawah postingan galeri yang memamerkan karya Ares: "Seni? Atau hanya terapi untuk orang sakit jiwa? Tanyakan pada psikiater kekasihmu."Ares melihatnya dan merasa darahnya mendidih, tapi dia juga mencoba untuk tidak ambil pusing. "Lupakan saja, El. Mereka cuma iri."Tapi kemudian, paket itu tiba.Itu adalah kotak kardus polos, tanpa nama pengirim, ditinggalkan di depan pintu apartemen mereka. Elara y
Kota baru itu lebih dingin, baik secara harfiah maupun metaforis. Bangunan-bangunannya menjulang tinggi dan terbuat dari kaca dan baja, mencerminkan langit kelabu yang seringkali mendung. Tapi bagi Ares dan Elara, itu adalah sebuah kanvas kosong. Sebuah awal yang baru, jauh dari hantu-hantu masa lalu mereka.Apartemen baru mereka adalah sebuah kompromi yang sempurna. Itu memiliki ruangan dengan pencahayaan utara yang bagus untuk Ares—"studio"—dan sebuah kantor kecil yang soundproof untuk Elara—"lab". Di antara keduanya adalah ruang hidup, di mana buku-buku seni dan jurnal neurosains berbaur di rak yang sama, sebuah perwujudan fisik dari dunia mereka yang menyatu.Hari-hari pertama diisi dengan kegembiraan mengatur ulang: di mana meletakkan sofa, rak buku mana untuk siapa, perdebatan sengit tentang estetika versus fungsionalitas (Ares menginginkan tanaman merambat di seluruh tempat, Elara menginginkan segala sesuatu yang modular dan mudah dibersihkan). Mereka berten
Kemenangan mereka atas Dr. Venn terasa pahit. Ya, ancamannya sirna—Venn menarik proposal pendanaannya dan menghilang dari kehidupan publik universitas untuk "cuti panjang"—tapi kemenangan itu dibayar dengan hilangnya naungan bagi Elara. Labnya dialihkan, proyek-proyeknya yang lain ditunda. Dia menjadi orang yang dihindari, seorang akademisi yang terkontaminasi oleh skandal yang tidak pernah benar-benar terjadi.Bagi Elara, yang identitasnya selama ini terbungkus rapi dalam jas lab dan gelar akademis, ini adalah amputasi. Dia berkeliaran di apartemen seperti hantu, mencoba mengatur data, membaca jurnal, tetapi tidak bisa fokus. Dunia yang dia pahami telah menolaknya."Mereka berpikir aku tidak objektif," katanya suatu malam, memandangi laptopnya yang gelap. "Mereka berpikir aku menjadi bias. Seolah-olah objektivitas mutlak itu mungkin. Setiap peneliti membawa biasnya sendiri. Itu adalah fakta yang diketahui!"Ares menyaksikan kemundurannya dengan perasaan t
Kestabilan yang mereka raih adalah sebuah taman yang terawat baik, tetapi di balik pagarnya, badai selalu mengintai. Badai itu datang dalam bentuk yang paling tidak terduga: sebuah panggilan telepon dari Dr. Venn yang terdengar aneh, suaranya lebih datar dan lebih terpotong-potong dari biasanya, meminta Elara datang ke labnya—"segera, sendirian."Elara merasakan sebuah desisan peringatan di dasar tengkoraknya, sesuatu yang primitif yang tidak bisa dijelaskan oleh data. Tapi ini adalah Venn, mentornya. Orang yang telah membimbingnya selama bertahun-tahun."Aku harus pergi ke lab," katanya pada Ares, yang sedang menyiapkan kanvas baru di sudut apartemen. "Venn mengatakan ada sesuatu yang mendesak."Ares mengangkat kepalanya, merasakan ketegangan dalam suaranya. "Apakah semuanya baik-baik saja?""Tidak tahu. Dia terdengar... aneh." Elara sudah mengenakan jas labnya, sebuah gerakan refleks yang membuatnya merasa lebih aman, lebih terkendali.