Home / Urban / Di Ambang Gila / Bab 3: Labirin yang Dijelajahi Bersama

Share

Bab 3: Labirin yang Dijelajahi Bersama

last update Last Updated: 2025-09-15 11:06:39

Keesokan harinya, langit di atas kota mendung, berwarna abu-abu baja yang sempurna mencerminkan suasana hati Ares. Postingannya semalam telah mendapatkan beberapa like dan komentar dari lingkaran seniman bawah tanahnya—kebanyakan lelucon tentang "pengagum rahasia" atau "mata-mata galeri". Tapi satu akun, anonim tanpa foto profil, hanya memberikan komentar berupa sebuah titik: .. Itu saja. Sebuah pengakuan. Sebuah tanda bahwa pesannya diterima. Ares hampir bisa membayangkan Elara mengetiknya, wajahnya datar, tidak ada emosi yang terlihat.

Kegelisahan dari malam sebelumnya telah berubah menjadi sebuah misi. Wanita itu ingin mengamati? Baiklah. Dia akan memberinya sesuatu untuk diamati.

Dia tidak pergi ke galeri atau ke gudangnya. Sebaliknya, dia pergi ke perpustakaan umum kota—tempat yang hampir tidak pernah dia kunjungi sejak masa kecilnya. Bau tua dari kertas dan debu menyergapnya. Di sini, segala sesuatu terasa sunyi, teratur, dan mati. Sangat tidak menjadi dirinya.

Dia menyusuri lorong-lorong, akhirnya berhenti di bagian psikologi. Matanya menyusuri deretan buku-buku tebal dengan judul-judul yang berisi kata-kata seperti "perilaku", "neurologis", "trauma". Dia merasa seperti penipu. Apa yang dia cari? Sebuah petunjuk tentang bagaimana pikiran seorang wanita seperti Elara bekerja? Sebuah senjata untuk melawan pengamatannya?

Tangannya secara acak menarik sebuah buku: "Prinsip-Prinsip Dasar Psikologi Eksperimental". Dia membukanya, membalik-balik halaman yang penuh dengan grafik dan terminologi yang membuat kepalanya pusing. Lalu, di bagian tentang etika penelitian, dia menemukan sebuah paragraf yang disorot dengan stabilo kuning—jelas oleh pembaca sebelumnya.

"...pengamat harus menjaga jarak emosional untuk menghindari bias dan mencegah bahaya psikologis baik pada subjek maupun pada peneliti itu sendiri."

Dia mendengus kecil. Elara sudah melanggar aturan itu di kontak pertama mereka. Dia ingin terlibat. Itu jelas.

"Menemukan sesuatu yang menarik?"

Suara itu membuatnya terkejut. Jantungnya berdebar kencang. Dia menoleh dan melihat Elara berdiri beberapa kaki darinya, memegang beberapa jurnal akademis di tangannya. Dia mengenakan kacamata dengan lensa tipis yang membuat matanya yang abu-abu itu terlihat lebih besar dan lebih dalam. Dia terlihat seperti ikan di airnya di sini, sementara Ares merasa seperti orang yang tenggelam.

"Belajar cara menjadi penguntit yang lebih baik?" balas Ares, menutup buku dengan suara keras yang menggema di lorong yang sunyi.

Elara tidak tersinggung. Sebaliknya, senyum tipis yang hampir tak terlihat muncul di bibirnya. "Ini adalah perpustakaan umum. Aku punya hak yang sama untuk berada di sini seperti kamu." Dia melirik buku di tangan Ares. "Psikologi Eksperimental? Apakah ada minat baru?"

"Aku hanya mencoba memahami jenis orang yang berpikir mereka memiliki hak untuk menganalisis orang lain seperti semut di bawah kaca pembesar," jawab Ares, nadanya tajam.

"Dan?" Elara melangkah sedikit lebih dekat. Suaranya rendah, hampir berbisik, memaksa Ares untuk fokus padanya. "Apa yang sudah kamu temukan?"

"Mereka punya aturan untuk tidak melakukan hal itu," kata Ares, menatapnya langsung.

"Aturan dibuat berdasarkan norma," Elara membalas, tak goyah. "Dan norma adalah ukuran rata-rata. Tidak ada yang menarik atau bermakna secara ilmiah dari yang 'rata-rata'. Yang menarik selalu berada di tepian, Ares. Dalam keunikan. Dalam... penyimpangan."

Dia mengucapkan namanya untuk pertama kalinya. Itu terdengar aneh di mulutnya, seperti sebuah istilah teknis, namun membuat kulit Ares merinding.

"Jadi aku adalah penyimpanganmu?" tantang Ares. Dia merasa percakapan ini berputar di luar kendalinya. Dia yang seharusnya mencari informasi, tapi sekali lagi, dia yang merasa seperti spesimen yang sedang dibedah.

"Kami semua menyimpang dalam beberapa hal," jawab Elara dengan ambigu. Matanya sekarang memeriksa dia, dari sepatu bootnya yang kotor hingga jaket kulitnya, hingga tatapannya yang penuh tantangan. Dia seolah-olah sedang mengumpulkan data baru. "Kamu datang ke sini. Itu menarik. Itu menunjukkan keingintahuan. Sebuah keinginan untuk memahami, atau mungkin untuk melawan. Mana yang benar?"

"Aku di sini karena kau ada di sini," hardik Ares, frustrasi karena sekali lagi dia merasa terbaca.

"Apakah itu sebuah pengakuan, Ares?" Elara mengangkat alisnya di balik kacamatanya. "Apakah kamu mengakui bahwa keberadaanku memengaruhi perilakumu? Bahwa kamu mencari aku seperti aku mencari kamu?"

Itu adalah pukulan langsung. Sebuah pernyataan yang begitu jujur dan telak sehingga membuat Ares kehilangan kata-kata. Dia hanya bisa menatapnya, mulutnya sedikit terbuka, merasakan amarah dan sesuatu yang lain—sesuatu yang mirip dengan ketertarikan yang memalukan—bercampur aduk di dalam dirinya.

Elara melihat reaksinya, dan untuk sesaat, sesuatu yang seperti kemenangan bersinar di matanya sebelum kembali menjadi dingin dan analitis. Dia menganggur, seolah-olah telah mengkonfirmasi sebuah hipotesis.

"Jangan khawatir," katanya, suaranya kembali datar. "Itu adalah reaksi yang wajar. Manusia adalah makhluk sosial. Kita terhubung. Terkadang hubungan itu saling menguntungkan. Terkadang... parasit."

"Denganmu sebagai parasitnya?" gerutu Ares, akhirnya menemukan suaranya lagi.

"Atau inangnya," balas Elara dengan tenang. "Itu tergantung perspektif. Selamat meneliti, Ares."

Dengan itu, dia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Ares sendirian di antara rak-rak buku, masih memegang erat buku psikologi itu, perasaanya campur aduk antara marah, terpukau, dan benar-benar bingung.

---

Perpustakaan bukanlah kebetulan. Itu adalah sebuah uji coba yang disengaja.

Elara duduk di mejanya di apartemen, merekam observasinya ke dalam perekam suara digital. Suaranya tenang dan terkendali.

"Catatan Hari 3. Interaksi Terencana di Habitat Netral (Perpustakaan Umum). Subjek Delta menunjukkan peningkatan dalam keterlibatan aktif. Dia secara proaktif mencari konteks untuk memahami interaksi kami, menunjukkan perkembangan dari reaksi defensif menjadi pendekatan yang lebih strategis, meskipun masih dipenuhi emosi."

Dia berhenti sejenak, memutar kembali rekaman percakapan mereka di kepalanya. Detak jantungnya sedikit meningkat saat dia mengingat tatapan terkejut dan marah di mata Ares ketika dia menyebut namanya.

"Subjek sangat responsif terhadap penggunaan namanya secara langsung. Ini menunjukkan kelangkaan pengakuan personal dalam interaksi sehari-harinya, memperkuat hipotesis isolasi sosial. Reaksinya terhadap konfrontasi mengenai pengaruh timbal balik kami menunjukkan kebingungan dan kemarahan, tetapi juga sebuah penerimaan bawah sadar akan dinamika tersebut. Dia tidak menyangkalnya; dia hanya membencinya."

Dia menarik napas dalam-dalam. Bagian selanjutnya lebih sulit untuk diucapkan dengan objektif.

"Pengamat (saya sendiri) mencatat peningkatan detak jantung dan gairah fisiologis selama konfrontasi. Sensasi ini konsisten dengan antisipasi sebelum sebuah terobosan data. Penting untuk mempertahankan jarak dan tidak salah mengartikan gairah ini sebagai sesuatu yang personal. Itu hanyalah sebuah produk dari kemajuan eksperimen yang sukses."

Dia mematikan perekamnya. Dia berdiri dan berjalan ke jendela, memandangi kota. Dia mengulangi kata-katanya sendiri di dalam kepalanya. Bukan sesuatu yang personal.

Tapi kenapa dia kemudian membuka laci mejanya dan mengeluarkan buku sketsa pribadinya—bukan yang untuk penelitian? Dan kenapa dia mulai membuat sketsa cepat wajah Ares, menangkap kemarahan dan kebingungan di matanya, dengan garis-garis yang sama seperti yang dia lihat di lukisannya, seolah-olah mencoba memahami bukan hanya perilakunya, tetapi dirinya?

Dia menutup buku sketsa itu dengan keras, merasa seperti telah melanggar protokolnya sendiri. Ini berbahaya. Dia mulai berinvestasi secara emosional. Tapi di balik bahaya itu, ada sebuah daya tarik yang tak terbantahkan. Ares bukan lagi sekadar Subjek Delta; dia adalah sebuah teka-teki yang hidup dan bernapas, dan Elara adalah satu-satunya orang yang memiliki kunci untuk membukanya.

Dia mengambil ponselnya dan membuka aplikasi pesan. Dia memiliki nomor Ares—dia mendapatkannya dari daftar kontak galeri bawah tanah. Dia mengetik sebuah pesan, jarinya ragu-ragu untuk pertama kalimalah.

Unknown Number: Perpustakaan menutup pukul 8 malam. Kamu mungkin ingin meminjam buku itu. Halaman 174 relevan dengan pertanyaanmu.

Dia menekan kirim. Itu adalah sebuah risiko. Sebuah undangan yang terbuka. Dia tidak menunggu balasan. Dia meletakkan ponselnya dan mencoba untuk kembali bekerja, tetapi pikirannya terus kembali ke ponsel yang diam.

Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar.

Ares: bagaimana kau tahu nomorku? Ares:dan pertanyaan apa?

Elara tidak bisa menahan senyum tipis. Dia membalas.

Unknown Number: Observasi. Dan pertanyaan tentang siapa yang mengendalikan siapa.

Balasannya datang hampir langsung.

Ares: kau gila.

Unknown Number: Kemungkinan besar. Tapi bukan itu intinya. Apakah kamu akan membaca halamannya atau tidak?

Tidak ada balasan lagi setelah itu. Tapi satu jam kemudian, Elara memeriksa sistem peminjaman perpustakaan online. Buku "Prinsip-Prinsip Dasar Psikologi Eksperimental" telah dipinjam dengan kartu anggota Ares.

Kemenangan. Dingin dan sempurna.

Dia tidak tahu bahwa di gudangnya, Ares tidak hanya membaca halaman 174—yang membahas tentang kekuatan dinamika pengamat-subjek—tetapi juga setiap halaman lainnya yang menurutnya relevan. Dia membuat catatan sendiri, di tepi-tepi halaman buku, dengan tulisan tangannya yang kasar dan penuh amarah.

Dia pikir dia yang memegang kendali. Dia pikir aku adalah tikus dalam labirinnya. Tapi tikus bisa menggigit. Tikus bisa mempelajari labirin. Tikus bisa menemukan jalan keluar. Atau... membawanya ke dalam labirin bersamaku.

Pertempuran kehendak telah dimulai. Labirin itu tidak lagi hanya milik Elara. Sekarang, mereka berdua berada di dalamnya, saling mempelajari, saling memancing, dan tanpa disadari, membangun sebuah ikatan yang dalam dan beracun yang akan membuat mereka tidak bisa lagi membedakan antara pengamat dan yang diamati, antara peneliti dan subjek, antara cinta dan kehancuran.

TBC

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Ambang Gila   Bab 9: Rekonstruksi

    Pesan "Aku melihat" itu menggantung di antara mereka seperti sebuah gencatan senjata yang rapuh. Tidak ada kata-kata lebih lanjut selama berhari-hari. Tapi keheningan itu berbeda. Bukan lagi keheningan penghindaran, melainkan keheningan pemrosesan. Sebuah jeda untuk menilai kerusakan dan mempertimbangkan langkah selanjutnya.Bagi Ares, grafik yang dikirim Elara itu seperti cermin yang memantulkan kembali dinamika mereka dengan kejelasan yang kejam dan tak terbantahkan. Dia tidak bisa menyangkal kebenaran dalam data itu: amarah dan ketenangannya memang terikat, dan keterikatan itu, entah bagaimana, melibatkan Elara. Dia mulai melihat karyanya sendiri dengan mata baru—bukan sebagai ledakan murni, tetapi sebagai dialog. Sebuah percakapan dengan kekasih yang tak terlihat yang memahami bahasa kekerasan dan kelembutannya.Dia tidak kembali ke apartemen Elara. Tapi dia juga tidak melarikan diri. Dia tinggal bersama Mika, tetapi sekarang dia melukis lagi. Kanvas-kanvas bar

  • Di Ambang Gila   Bab 8: Puing-Puing dan Pola Baru

    Keesokan harinya, apartemen Elara terasa seperti ruang mayat. Sunyi yang ada bukanlah ketenangan, melainkan kekosongan yang menusuk. Setiap sudut yang biasanya dia tempati dengan data dan pengamatan sekarang hanya menyisakan kehampaan. Dia membersihkan pecahan tablet yang hancur, setiap serpihan kaca terasa seperti potongan dari ilusinya yang ikut remuk. Dia mencoba kembali ke rutinitas. Dia membuat kopi (hanya satu cangkir). Dia membuka laptop, berusaha fokus pada pekerjaan lain—analisis data untuk konferensi neurosains yang akan datang. Tapi matanya terus tertarik ke sudut ruangan tempat Ares biasa meletakkan sepatu botnya. Ke sofa tempat dia sering tertidur. Dia bahkan menemukan sebuah noda cat biru tua di tepi karpet putihnya, dan alih-alih merasa jijik, dia justru berlutut dan menyentuhnya, seolah-olah itu adalah artefak berharga dari sebuah peradaban yang telah punah. Hipotesis salah. Kalimat itu terpampang di layarnya, sebuah pengakuan yang terus

  • Di Ambang Gila   Bab 7: Kebenaran yang Retak

    Keesokan harinya, sebuah ketegangan yang tebal dan tak terucapkan menggantung di apartemen. Elara bangun lebih awal, mengubur dirinya dalam data, menciptakan penghalang dari grafik dan kode. Ares terbangun dengan kepala berdenyut dan rasa pahit di mulut, kenangan ciuman itu terasa seperti mimpi buruk yang indah. Mereka menghindari kontak mata. Elara menyajikan kopi tanpa bicara, menempatkannya di meja seolah-olah sedang menempatkan umpan untuk hewan percobaan. Ares mengambilnya, tetapi tidak minum. Dia hanya memandangi cairan hitam itu, melihat pantulan dirinya yang terdistorsi. "Kita harus berbicara," katanya akhirnya, suaranya kasar, memecah kesunyian yang menusuk. Elara tidak menoleh dari layar komputernya. "Tentang apa? Data dari kemarin malam masih dalam proses analisis. Aku butuh waktu—" "Lupakan data, Elara!" hardik Ares, meninju meja sehingga gelas kopinya bergoyang. "Tentang

  • Di Ambang Gila   Bab 6: Kandang Bersama

    Kolaborasi mereka menemukan rumah: apartemen Elara. Keputusan itu tidak diucapkan; itu terjadi secara alami, seperti tahap berikutnya dari sebuah eksperimen yang tak terhindarkan. Gudang Ares terlalu berantakan, terlalu "primal", seperti yang dikatakan Elara, untuk pengumpulan data yang optimal. Apartemen Elara, dengan dinding putihnya yang steril dan ruang yang terorganisir, adalah lab yang sempurna. Ares pindah dengan satu tas ransel berisi pakaian dan sebuah kotak berisi cat, kuas, dan beberapa kanvas kecil. Kehadirannya langsung menjadi noda yang hidup di lanskap yang sempurna itu. Jaket kulitnya tergantung di atas kursi Eames yang elegan. Kaleng catnya berjejer di atas meja kaca, meninggalkan cincin-cincin samar. Buku sketsanya yang penuh coretan tergeletak di samping sofa kulit yang bersih. Elara menyaksikan invasi ini dengan perasaan campur aduk antara jijik dan kegembiraan ilmiah. Setiap kekacauan yang ditimbulkan Ares adalah sebu

  • Di Ambang Gila   Bab 5: Undangan ke Labirin

    Hujan turun membasahi kota, mengubah aspal menjadi cermin yang memantulkan lampu-lampu neon dan lampu jalan yang buram. Di dalam gudangnya, Ares mendengarkan dentuman hujan di atap seng, sebuah simfoni kekacauan yang menenangkannya. Dia sedang mengerjakan sebuah karya baru, sebuah potret diri yang terdistorsi yang terpecah menjadi dua: satu sisi penuh dengan goresan merah dan kuning yang marah, sisi lainnya dingin, terukur, dan tertutup garis-garis geometris seperti diagram sirkuit. Di antara kedua sisi itu, terdapat ruang kosong yang berbentuk hati. Ponselnya bergetar di atas bangku kayu yang berdebu. Dia mengabaikannya. Itu pasti Mika atau seseorang dari galeri. Tapi kemudian bergetar lagi. Dan lagi. Sebuah pola. Bukan pola Mika. Dia menyeka tangannya yang penuh cat di celananya dan mengambil ponsel. Unknown Number (Elara): Hujan mengubah pola suara di atapmu. Itu harusnya mengganggu konsentrasimu, tapi sebaliknya. Kenapa? Unknown Number (Elara):Apakah kekacauan eksternal membant

  • Di Ambang Gila   Bab 4: Simbiosis Awal

    Minggu-minggu berikutnya berubah menjadi tarian yang rumit dan beracun. Sebuah ritual observasi dan provokasi yang dijalani oleh Ares dan Elara dengan disiplin yang hampir religius. Bagi Ares, hidupnya mendapatkan struktur baru yang aneh. Dia tidak lagi hanya bangun untuk melukis atau berkeliaran tanpa tujuan. Dia bangun dengan antisipasi. Akankah dia muncul hari ini? Dia menjadi lebih aware terhadap lingkungan sekitarnya, selalu mencari tanda-tanda Elara: mobilnya yang sederhana dan bersih yang terparkir di ujung jalan, siluetnya di atap gedung seberang, atau bahkan hanya perasaan bahwa dia sedang diamati. Itu membuatnya gila, tapi juga... membuatnya merasa hidup. Dia adalah pusat dari perhatian seseorang yang sangat intens, dan bagi seorang pria yang merasa tidak terlihat sepanjang hidupnya, itu seperti obat. Dia mulai membuat karya seni yang lebih personal, lebih terbuka. Seolah-olah dia melukis untuk audiensi tunggal. Sebuah kanvas besar yang dia beri judul "The Observer's Gaze"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status