Minggu-minggu berikutnya berubah menjadi tarian yang rumit dan beracun. Sebuah ritual observasi dan provokasi yang dijalani oleh Ares dan Elara dengan disiplin yang hampir religius.
Bagi Ares, hidupnya mendapatkan struktur baru yang aneh. Dia tidak lagi hanya bangun untuk melukis atau berkeliaran tanpa tujuan. Dia bangun dengan antisipasi. Akankah dia muncul hari ini? Dia menjadi lebih aware terhadap lingkungan sekitarnya, selalu mencari tanda-tanda Elara: mobilnya yang sederhana dan bersih yang terparkir di ujung jalan, siluetnya di atap gedung seberang, atau bahkan hanya perasaan bahwa dia sedang diamati. Itu membuatnya gila, tapi juga... membuatnya merasa hidup. Dia adalah pusat dari perhatian seseorang yang sangat intens, dan bagi seorang pria yang merasa tidak terlihat sepanjang hidupnya, itu seperti obat. Dia mulai membuat karya seni yang lebih personal, lebih terbuka. Seolah-olah dia melukis untuk audiensi tunggal. Sebuah kanvas besar yang dia beri judul "The Observer's Gaze" dipenuhi dengan mata-mata yang menyala-nyala, tersusun seperti sarang lebah, di tengahnya terdapat sebuah jantung yang terbuka dan berdarah yang diikat oleh benang-benang mikroskopis. Dia mempostingnya online, sebuah umpan untuk Elara. Dia tidak menunggu lama. Sebuah komentar dari akun anonim itu muncul: "Pembuluh vena nya terlalu simetris. Jantung manusia tidaklah sempurna." Ares hampir bisa mendengar nada datarnya. Dia tersenyum—sebuah ekspresi aneh dan jarang di wajahnya—dan menghapus komentar itu, menyimpannya hanya untuk dirinya sendiri. Suatu sore, dia tidak sengaja menemukan titik lemahnya. Dia sedang duduk di bangku taman, mengamati Elara yang duduk di bangku seberang, sedang membaca sebuah jurnal tebal. Dia memperhatikan bagaimana dia memegang buku itu, jari-jarinya yang ramping mengetuk-ngetuk sampulnya dengan ritme yang gelisah. Dia memperhatikan bagaimana alisnya sedikit berkerut saat dia membaca sesuatu yang sulit. Dia melihat—dan ini yang menarik perhatiannya—bagaimana napasnya sedikit tersengal dan matanya membesar saat seekor anjing besar berlarian mendekatinya. Dia tidak menjerit atau berkelahi, tetapi seluruh tubuhnya menjadi kaku, wajahnya pucat selama satu detik sebelum dia menguasainya kembali. Ares mengangkat alis. Ah. Sang Pengamat yang dingin ternyata takut pada anjing. Sebuah informasi yang menarik. Keesokan harinya, Ares "kebetulan" sedang berjalan dengan seekor anjing herder milik temannya, Mika, di area yang sama. Dia membawa anjing itu mendekati bangku biasa Elara. Reaksinya persis seperti yang dia harapkan: sebuah kaku yang hampir tak terlihat, sebuah ketegangan di pundaknya, pandangan mata yang dengan sengaja menghindari hewan itu. "Dia tidak menggigit," kata Ares, suaranya casual, sambil mengelus kepala anjing itu. "Kecuali diperintahkan." Elara menatapnya, matanya menyipit. Dia tahu ini disengaja. Dia melihat tantangan di mata Ares. Daripada menyangkal atau marah, dia hanya mengangguk. "Semua makhluk memiliki naluri predator dan mangsa. Aku hanya sedang mengamati miliknya." Tapi suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya. Ini adalah kemenangan kecil bagi Ares. Dia telah membuatnya goyah, bahkan hanya untuk sesaat. --- Bagi Elara, minggu-minggu ini adalah sebuah anugerah data. Setiap interaksi, setiap observasi, memberikan lebih banyak potongan untuk puzzle yang dia coba selesaikan: Ares. Dia membuat folder digital khusus. Di dalamnya, ada ratusan foto: karya seni Ares yang baru, ekspresi wajahnya yang dia ambil dari kejauhan, bahkan sampah yang dia buang (dia tidak memungutnya, itu melanggar etika, tapi dia memotretnya—bungkus rokok, kaleng cat, kulit buah). Dia memiliki catatan tentang pola tidurnya (sangat tidak teratur), kebiasaan makannya (buruk), dan lingkaran sosialnya (kecil, hanya Mika dan beberapa seniman lain yang dia anggap tidak mengancam). Tapi dia juga mulai mencatat hal-hal yang tidak terkait dengan penelitian. Subjek menunjukkan preferensi untuk warna biru tua dan merah marun dalam paletnya. Dia mendengarkan musik post-punk dari era 1980-an. Band favoritnya adalah The Sisters of Mercy. Dia memiliki kebiasaan mengusap jari manis kirinya saat sedang berpikir keras, di mana ada bekas pucat seperti bekas cincin. Itu adalah detail-detail yang tidak berguna untuk tesisnya. Itu adalah detail yang dikumpulkan karena... karena dia ingin mengetahuinya. Dia menemukan dirinya memikirkan nya di saat-saat yang aneh: saat menyikat gigi, saat dalam rapat yang membosankan dengan mentornya, Dr. Venn. Dr. Venn, seorang pria berusia 60-an dengan kacamata tebal dan sikap yang selalu skeptis, mulai bertanya-tanya. "Elara, kamu terlihat... tersebar," katanya suatu hari di lab, matanya menyelidik di balik kacamatanya. "Proyek Sisyphus. Apakah ada kemajuan? Atau apakah kamu menemukan halangan?" "Tidak ada halangan, Dokter," jawab Elara terlalu cepat. "Hanya saja, subjeknya lebih kompleks dari yang diperkirakan. Butuh waktu lebih untuk membangun kepercayaan dan memetakan pola dasar." "Kepercayaan?" Dr. Venn mengulangi, menekankan kata itu. "Elara, ini adalah observasi etis terbatas. Bukan hubungan interpersonal. Ingat protokolnya. Jarak. Objektivitas." "Tentu saja," Elara mengangguk, menundukkan kepala untuk menyembunyikan pandangannya. "Jarak dan objektivitas selalu diutamakan." Tapi dia berbohong. Dan dari cara Dr. Venn mendiamkannya untuk beberapa saat yang terlalu lama, dia tahu bahwa mentornya yang cerdik itu mungkin mencurigainya. Kembali di apartemen, Elara menghadapi titik lemahnya sendiri: ketertarikan yang semakin dalam. Dia mencoba memberantasnya dengan logika. Ini hanya chemical reaction di otak. Oksitosin. Dopamin. Sebuah respons yang dapat diprediksi terhadap kedekatan dan konfrontasi. Tapi penjelasan ilmiahnya terasa hampa. Suatu malam, setelah melihat Ares melukis dengan penuh gairah di gudangnya (dia telah memasang kamera pengintai kecil di jendela yang retak—sebuah pelanggaran etika besar yang dia justified sebagai "kebutuhan data"), dia tidak bisa menahan diri. Dia mengirim pesan. Elara: Goresan cat di pipa air di sudut kiri kanvas tidak konsisten dengan sudut cahaya yang kamu gambarkan. Itu memecah ilusi. Beberapa detik kemudian, balasannya datang. Ares: kau mengintip lagi. Ares:dan kau salah. itu bukan cacat. itu bayangan dari kusen jendela yang patah. Elara memandang ke layar, terkesima. Dia benar. Itu adalah detail yang bahkan dia lewatkan. Dia tidak hanya mengamati; dia melihat. Dia memahami. Elara: Koreksi diterima. Ares: kapan kau akan berhenti mengawasiku? Elara: Ketika tidak ada lagi yang menarik untuk diamati. Ares: itu akan memakan waktu yang sangat lama. Pesan terakhir itu membuat napas Elara tersangkut. Itu bukan kemarahan. Itu bukan penolakan. Itu hampir... sebuah undangan. Sebuah pengakuan bahwa dia adalah subjek yang dalam dan tak ada habisnya—dan bahwa dia, Elara, adalah satu-satunya yang qualified untuk mengamatinya. Mereka tidak saling melihat, tetapi di antara mereka terbentang sebuah jembatan yang tak terucapkan. Sebuah simbiosis yang tidak sehat di mana Ares mendapatkan pengakuan yang selalu didambakannya, dan Elara mendapatkan subjek yang sempurna untuk memuaskan obsesi ilmiah dan emosionalnya. Mereka saling mengisi kekosongan masing-masing dengan cara yang beracun. Ares memberinya tujuan di luar penelitiannya. Elara memberinya makna di luar seninya. Mereka berdua berdiri di tepi jurang, dan bukannya mundur, mereka saling memegang tangan dan melangkah maju bersama, mata mereka tertuju pada bayangan satu sama lain, sama-sama yakin bahwa merekalah satu-satunya yang bisa mengendalikan jatuhnya. TBCPesan "Aku melihat" itu menggantung di antara mereka seperti sebuah gencatan senjata yang rapuh. Tidak ada kata-kata lebih lanjut selama berhari-hari. Tapi keheningan itu berbeda. Bukan lagi keheningan penghindaran, melainkan keheningan pemrosesan. Sebuah jeda untuk menilai kerusakan dan mempertimbangkan langkah selanjutnya.Bagi Ares, grafik yang dikirim Elara itu seperti cermin yang memantulkan kembali dinamika mereka dengan kejelasan yang kejam dan tak terbantahkan. Dia tidak bisa menyangkal kebenaran dalam data itu: amarah dan ketenangannya memang terikat, dan keterikatan itu, entah bagaimana, melibatkan Elara. Dia mulai melihat karyanya sendiri dengan mata baru—bukan sebagai ledakan murni, tetapi sebagai dialog. Sebuah percakapan dengan kekasih yang tak terlihat yang memahami bahasa kekerasan dan kelembutannya.Dia tidak kembali ke apartemen Elara. Tapi dia juga tidak melarikan diri. Dia tinggal bersama Mika, tetapi sekarang dia melukis lagi. Kanvas-kanvas bar
Keesokan harinya, apartemen Elara terasa seperti ruang mayat. Sunyi yang ada bukanlah ketenangan, melainkan kekosongan yang menusuk. Setiap sudut yang biasanya dia tempati dengan data dan pengamatan sekarang hanya menyisakan kehampaan. Dia membersihkan pecahan tablet yang hancur, setiap serpihan kaca terasa seperti potongan dari ilusinya yang ikut remuk. Dia mencoba kembali ke rutinitas. Dia membuat kopi (hanya satu cangkir). Dia membuka laptop, berusaha fokus pada pekerjaan lain—analisis data untuk konferensi neurosains yang akan datang. Tapi matanya terus tertarik ke sudut ruangan tempat Ares biasa meletakkan sepatu botnya. Ke sofa tempat dia sering tertidur. Dia bahkan menemukan sebuah noda cat biru tua di tepi karpet putihnya, dan alih-alih merasa jijik, dia justru berlutut dan menyentuhnya, seolah-olah itu adalah artefak berharga dari sebuah peradaban yang telah punah. Hipotesis salah. Kalimat itu terpampang di layarnya, sebuah pengakuan yang terus
Keesokan harinya, sebuah ketegangan yang tebal dan tak terucapkan menggantung di apartemen. Elara bangun lebih awal, mengubur dirinya dalam data, menciptakan penghalang dari grafik dan kode. Ares terbangun dengan kepala berdenyut dan rasa pahit di mulut, kenangan ciuman itu terasa seperti mimpi buruk yang indah. Mereka menghindari kontak mata. Elara menyajikan kopi tanpa bicara, menempatkannya di meja seolah-olah sedang menempatkan umpan untuk hewan percobaan. Ares mengambilnya, tetapi tidak minum. Dia hanya memandangi cairan hitam itu, melihat pantulan dirinya yang terdistorsi. "Kita harus berbicara," katanya akhirnya, suaranya kasar, memecah kesunyian yang menusuk. Elara tidak menoleh dari layar komputernya. "Tentang apa? Data dari kemarin malam masih dalam proses analisis. Aku butuh waktu—" "Lupakan data, Elara!" hardik Ares, meninju meja sehingga gelas kopinya bergoyang. "Tentang
Kolaborasi mereka menemukan rumah: apartemen Elara. Keputusan itu tidak diucapkan; itu terjadi secara alami, seperti tahap berikutnya dari sebuah eksperimen yang tak terhindarkan. Gudang Ares terlalu berantakan, terlalu "primal", seperti yang dikatakan Elara, untuk pengumpulan data yang optimal. Apartemen Elara, dengan dinding putihnya yang steril dan ruang yang terorganisir, adalah lab yang sempurna. Ares pindah dengan satu tas ransel berisi pakaian dan sebuah kotak berisi cat, kuas, dan beberapa kanvas kecil. Kehadirannya langsung menjadi noda yang hidup di lanskap yang sempurna itu. Jaket kulitnya tergantung di atas kursi Eames yang elegan. Kaleng catnya berjejer di atas meja kaca, meninggalkan cincin-cincin samar. Buku sketsanya yang penuh coretan tergeletak di samping sofa kulit yang bersih. Elara menyaksikan invasi ini dengan perasaan campur aduk antara jijik dan kegembiraan ilmiah. Setiap kekacauan yang ditimbulkan Ares adalah sebu
Hujan turun membasahi kota, mengubah aspal menjadi cermin yang memantulkan lampu-lampu neon dan lampu jalan yang buram. Di dalam gudangnya, Ares mendengarkan dentuman hujan di atap seng, sebuah simfoni kekacauan yang menenangkannya. Dia sedang mengerjakan sebuah karya baru, sebuah potret diri yang terdistorsi yang terpecah menjadi dua: satu sisi penuh dengan goresan merah dan kuning yang marah, sisi lainnya dingin, terukur, dan tertutup garis-garis geometris seperti diagram sirkuit. Di antara kedua sisi itu, terdapat ruang kosong yang berbentuk hati. Ponselnya bergetar di atas bangku kayu yang berdebu. Dia mengabaikannya. Itu pasti Mika atau seseorang dari galeri. Tapi kemudian bergetar lagi. Dan lagi. Sebuah pola. Bukan pola Mika. Dia menyeka tangannya yang penuh cat di celananya dan mengambil ponsel. Unknown Number (Elara): Hujan mengubah pola suara di atapmu. Itu harusnya mengganggu konsentrasimu, tapi sebaliknya. Kenapa? Unknown Number (Elara):Apakah kekacauan eksternal membant
Minggu-minggu berikutnya berubah menjadi tarian yang rumit dan beracun. Sebuah ritual observasi dan provokasi yang dijalani oleh Ares dan Elara dengan disiplin yang hampir religius. Bagi Ares, hidupnya mendapatkan struktur baru yang aneh. Dia tidak lagi hanya bangun untuk melukis atau berkeliaran tanpa tujuan. Dia bangun dengan antisipasi. Akankah dia muncul hari ini? Dia menjadi lebih aware terhadap lingkungan sekitarnya, selalu mencari tanda-tanda Elara: mobilnya yang sederhana dan bersih yang terparkir di ujung jalan, siluetnya di atap gedung seberang, atau bahkan hanya perasaan bahwa dia sedang diamati. Itu membuatnya gila, tapi juga... membuatnya merasa hidup. Dia adalah pusat dari perhatian seseorang yang sangat intens, dan bagi seorang pria yang merasa tidak terlihat sepanjang hidupnya, itu seperti obat. Dia mulai membuat karya seni yang lebih personal, lebih terbuka. Seolah-olah dia melukis untuk audiensi tunggal. Sebuah kanvas besar yang dia beri judul "The Observer's Gaze"