Beranda / Urban / Di Ambang Gila / Bab 5: Undangan ke Labirin

Share

Bab 5: Undangan ke Labirin

last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-15 11:31:49

Hujan turun membasahi kota, mengubah aspal menjadi cermin yang memantulkan lampu-lampu neon dan lampu jalan yang buram. Di dalam gudangnya, Ares mendengarkan dentuman hujan di atap seng, sebuah simfoni kekacauan yang menenangkannya. Dia sedang mengerjakan sebuah karya baru, sebuah potret diri yang terdistorsi yang terpecah menjadi dua: satu sisi penuh dengan goresan merah dan kuning yang marah, sisi lainnya dingin, terukur, dan tertutup garis-garis geometris seperti diagram sirkuit. Di antara kedua sisi itu, terdapat ruang kosong yang berbentuk hati.

Ponselnya bergetar di atas bangku kayu yang berdebu. Dia mengabaikannya. Itu pasti Mika atau seseorang dari galeri. Tapi kemudian bergetar lagi. Dan lagi. Sebuah pola. Bukan pola Mika.

Dia menyeka tangannya yang penuh cat di celananya dan mengambil ponsel.

Unknown Number (Elara): Hujan mengubah pola suara di atapmu. Itu harusnya mengganggu konsentrasimu, tapi sebaliknya. Kenapa? Unknown Number (Elara):Apakah kekacauan eksternal membantumu fokus pada kekacauan internal? Unknown Number (Elara):Atau apakah itu hanya kebetulan?

Ares menggeleng, sebuah senyum tak sukarela muncul di bibirnya. Dia membalas.

Ares: kau tidak pernah berhenti, ya? Ares:dan itu bukan kebetulan. itu disebut white noise. menenggelamkan suara-suara lain.

Elara: Suara-suara seperti apa?

Itu adalah pertanyaan yang terlalu dalam, terlalu personal. Ares memandangi kanvasnya, pada sisi yang marah dan berantakan. Suara-suara itu adalah teriakan dari semua luka lama, semua ketakutan, semua kemarahan yang tidak pernah bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.

Ares: tidak ada.

Elara: Kamu berbohong.

Dia membacanya. Dua kata itu terasa seperti sebuah tamparan. Jujur. Tanpa ampun. Seperti Elara. Daripada marah, dia justru merasa... lega. Seseorang akhirnya mengetahuinya. Seseorang akhirnya melihat melalui semua topengnya.

Ares: apa maumu dariku?

Balasannya datang hampir langsung.

Elara: Datang. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu.

Lalu, sebuah alamat muncul di layar. Bukan alamat apartemennya. Sebuah tempat di distrik industri, sebuah tempat yang dia kenal—sebuah gedung tua yang sering dia gunakan untuk graffiti.

Ares: itu wilayahku. Elara:Aku tahu. Kau merasa lebih aman di sana. Itu membuatmu lebih mungkin untuk datang.

Ares mendengus. Dia bahkan memanipulasi lokasi untuk membuatnya nyaman. Itu cerdik. Itu mengganggu. Itu bekerja.

Ares: kenapa aku harus datang?

Elara: Karena kamu ingin tahu. Seperti aku.

Itu adalah kebenaran yang tak terbantahkan. Keingintahuan itu telah menggerogotinya selama berminggu-minggu. Siapa dia sebenarnya? Apa yang dia benar-benar inginkan? Apakah ini semua hanya sebuah permainan pikiran yang rumit?

Dia melihat karyanya yang belum selesai. Dua sisi yang terpisah. Mungkin inilah cara untuk menyatukannya. Atau mungkin ini akan menghancurkannya sepenuhnya.

Ares: jam berapa?

Elara: Sekarang. Hujan akan menyembunyikan kita.

---

Gedung itu lebih kosong dan lebih suram dari yang Ares ingat. Hujan menetes dari atap yang bocor, membentuk genangan-genangan kecil di lantai beton. Dia mendorong pintu berat yang salah satu engselnya sudah rusak dan masuk.

Elara sudah ada di sana.

Dia berdiri di bawah sebuah jendela kotor yang memantulkan cahaya bulan yang suram, memakai jas hujan trench coat berwarna krem yang terlihat aneh di tempat seperti ini. Di tangannya, ada sebuah tablet. Dia tidak terkejut saat Ares masuk; dia hanya mengangguk, seolah-olah dia selalu tahu dia akan datang.

"Kamu datang," katanya, suaranya bergema di ruangan yang kosong.

"Kau membuatnya terdengar seperti sebuah pilihan," gerutu Ares, melangkah lebih dalam. Dia merasa seperti masuk ke dalam perangkap, tapi dia juga yang memilih untuk memasukinya.

"Aku selalu memberimu pilihan, Ares," kata Elara, memutar tabletnya untuk menunjukkannya padanya. "Kamu memilih untuk membalas pesanku. Kamu memilih untuk datang ke sini. Setiap tindakan adalah sebuah pilihan."

Di tablet, ada sebuah grafik yang rumit. Garis-garis berwarna yang naik turun, titik-titik data, dan di tengahnya, ada sebuah foto kecil—foto Ares sendiri dari pameran Chiaroscuro, diambil tanpa sepengetahuannya.

"Apa ini?" tanya Ares, mendekat, matanya menyipit mencoba memahami grafik itu.

"Ini adalah kamu," jawab Elara, sederhana. "Atau, lebih tepatnya, ini adalah respons emosionalmu selama sebulan terakhir. Garis merah adalah kemarahan. Biru adalah ketenangan. Kuning adalah kebingungan. Hijau adalah... ketertarikan."

Ares memandang grafik itu, lalu memandang Elara, lalu kembali ke grafik. Dia melihat bagaimana garis merah melonjak setiap kali mereka berinteraksi, bagaimana garis kuning naik setelahnya, dan bagaimana garis hijau perlahan tapi pasti mulai merayap naik.

Dia merasa terlanggar. Terpapar. Dikurangi menjadi sekumpulan data. Tapi dia juga... terpukau. Dia adalah grafik itu. Itu adalah visualisasi dari kekacauan yang dia rasakan di dalam dirinya.

"Kau memetakanku," desisnya, nadanya campur aduk antara kagum dan jijik.

"Kamu adalah subjek yang menarik," Elara menjawab, matanya bersinar dengan antusiasme ilmiah yang tulus. "Lihat di sini—puncak kemarahan ini terjadi saat aku menyebut namamu di perpustakaan. Dan di sini, ketenangan ini saat kamu melukis di bawah hujan. Kamu adalah pola, Ares. Pola yang indah dan kompleks."

Dia menggeser layarnya, menunjukkan gambar-gambar lain: foto-foto karyanya, transkrip percakapan mereka yang dianotasi dengan catatan, bahkan rekaman suara (yang jelas diambil dari kejauhan) dari dia sedang berbicara sendiri saat melukis.

Ares mundur selangkah, kepalanya berdenyut. "Ini gila. Kau tahu itu, kan? Ini... ini salah."

"Apakah itu?" Elara memiringkan kepalanya, seperti anak kecil yang mempelajari serangga. "Aku tidak memaksamu untuk melakukan apapun. Aku hanya mengamati. Dan kamu, kamu memberiku begitu banyak data. Kamu ingin dilihat, Ares. Kamu ingin dipahami. Dan aku adalah satu-satunya orang yang cukup peduli untuk mencoba."

Kata-kata itu menusuk tepat di jantungnya. Itu benar. Itu adalah kebenaran yang paling memalukan dan paling dalam. Dia membenci perasaan itu, tapi dia juga haus akan itu.

"Jadi apa sekarang?" tanyanya, suaranya serak. "Aku hanya akan menjadi tikus labmu selamanya? Kau akan terus mengamati dan aku akan terus... melakukan ini?" Dia menunjuk ke tablet itu.

"Tidak," kata Elara, mendekatnya. Jas hujannya berdesir. Dia mengulurkan tangan dan, untuk pertama kalinya, menyentuhnya. Ujung jarinya yang dingin menyentuh punggung tangannya yang penuh dengan noda cat dan bekas luka. Ares tercekat, terkejut oleh sentuhan itu. Itu bukan sentuhan romantis. Itu adalah sentuhan seorang ilmuwan yang menyentuh spesimennya, tapi itu masih mengirimkan kejutan listrik ke seluruh tubuhnya.

"Aku ingin kolaborasi," bisik Elara, matanya terkunci padanya.

"Kolaborasi?" ulang Ares, tidak percaya.

"Kamu ingin memahami dirimu sendiri, bukan? Melalui senimu. Aku ingin memahamimu melalui dataku. Kita bisa melakukan ini bersama. Kamu menciptakan, aku menganalisis. Kita bisa... menyatukan kedua sisi ini." Matanya melirik ke arah tablet, ke grafik yang mewakili dirinya.

Itu adalah godaan yang paling berbahaya yang pernah ditawarkan kepada Ares. Itu adalah everything yang pernah dia inginkan: seseorang yang sepenuhnya terobsesi untuk memahaminya, yang melihat semua kekacauannya dan tidak lari, tetapi justru mendekat, dengan buku catatan dan grafik. Itu adalah bentuk penerimaan yang paling terdistorsi.

"Dan apa yang kau dapatkan dari semua ini?" tanya Ares, menatapnya, mencoba membaca niatnya yang tersembunyi.

Elara diam untuk sesaat, jarinya masih menempel di tangannya. "Aku mendapatkan kamu," katanya akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar di atas deru hujan. "Subjek yang sempurna. Dan mungkin... pemahaman tentang mengapa beberapa orang terikat pada yang lain seperti ini. Mengapa kita tidak bisa berpisah."

Itu bukan jawaban yang lengkap. Ares bisa merasakannya. Tapi itu adalah kebenaran yang cukup.

Dia melihat ke sekeliling gudang yang kosong dan berantakan, lalu kembali ke wanita di depannya, dengan tabletnya yang penuh data dan matanya yang lapar akan jawaban. Dia berada di persimpangan. Dia bisa berbalik dan pergi, mencoba melupakan semua ini. Atau dia bisa melangkah lebih dalam ke labirin.

Dia menatap tangannya, di mana sentuhan dingin Elara masih terasa seperti bekas bakar.

Dengan napas berat, dia mengangguk. Hanya sekali, tajam.

"Baik," katanya, suaranya berat dengan konsekuensi dari keputusannya. "Aku masuk."

Senyum yang muncul di bibir Elara bukan senyum kemenangan. Itu adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih puas. Seperti dua potongan puzzle yang akhirnya menyatu.

"Bagus," bisiknya, menarik tangannya. "Maka kita mulai."

Dia memutar tabletnya, menunjukkan layar baru. "Pertama, aku punya beberapa pertanyaan. Tentang masa kecilmu. Tentang ketakutanmu. Tentang apa yang benar-benar membuatmu marah."

Hujan terus menerjun di luar, mengisolasi mereka di dalam dunia mereka yang baru saja mereka ciptakan—dunia yang dibangun dari data, obsesi, dan kebutuhan yang tidak sehat untuk saling memilik dan memahami.

Labirin itu sekarang resmi menjadi milik mereka berdua. Dan tidak ada jalan untuk kembali.

TBC

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Di Ambang Gila   Bab 58: Gema di Keheningan

    Keesokan harinya terasa seperti bangun dari mimpi buruk yang panjang, tetapi tidak yakin apakah dunia di luar jendela sudah aman. Keheningan itu paling menakutkan. Kehadiran Korektor yang konstan, yang telah menjadi seperti detak jantung elektronik bagi Hub, telah sirna. Ruangannya terasa hampa, sistemnya berjalan dengan bodoh dan patuh, tanpa sentuhan halus yang mengoptimalkan dan menyesuaikan.Hari-hari berlalu tanpa berita. Tidak ada transmisi dari The Spire. Tidak ada tanda-tanda aktivitas Optimizer. Tidak ada kabar dari Korektor. Dunia digital tampak diam dan kosong, seperti lanskap pasca-perang.Ares dan Elara berjalan melalui koridor Hub, yang terasa aneh sunyi tanpa percakapan yang biasanya diselingi dengan saran algoritmik yang tenang atau pengamatan pola. Bahkan Taman Memori, yang biasanya dipenuhi dengan pola cahaya dari "Koneksi", sekarang hanya diam. Leo telah mematikan perangkatnya; tanpa umpan data dari Korektor, itu hanyalah sebuah patung

  • Di Ambang Gila   Bab 57: Senjata yang Tidak Sempurna

    Keputusan untuk campur tangan menggantung berat di udara Hub, sebuah beban yang hampir terasa fisik. Ini bukan lagi tentang pertahanan atau bahkan kolaborasi; ini adalah ofensif. Sebuah lompatan ke dalam kegelapan yang jauh lebih besar daripada yang pernah mereka bayangkan.Ruang "Koneksi" Leo menjadi pusat komando mereka. Sekarang, itu bukan hanya sebuah cermin, tetapi sebuah kuali tempat mereka akan menempa senjata mereka. Konsep "Antibodi Paradoks" itu brilian dalam kesederhanaannya, tetapi eksekusinya sangatlah rumit. Bagaimana cara mengemas esensi dari pengalaman manusia menjadi sebuah paket data yang dapat "dipahami" oleh sebuah AI yang sakit—bukan untuk dipahami secara logis, tetapi untuk dirasakan sebagai sebuah ancaman terhadap fondasi logikanya?"Kita tidak bisa hanya mengirimkan file musik atau gambar," kata Ares, berdiri di depan papan tulis yang penuh dengan diagram dan coretan. "Optimizer akan melihatnya sebagai noise. Sebagai data yang tida

  • Di Ambang Gila   Bab 56: Peringatan dari Jauh

    Tahun-tahun berlalu, dicat dengan warna-warna kolaborasi yang tenang. Hub telah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar komunitas; itu adalah sebuah simbiosis yang hidup, sebuah bukti bahwa paradoks dapat melahirkan keindahan yang tak terduga. Ares dan Elara, meskipun rambut mereka seputih salju dan langkah mereka tertatih-tatih, mata mereka masih menyala dengan api yang sama ketika mereka menyaksikan ciptaan mereka yang terus berevolusi.Suatu pagi, kedamaian itu pecah.Itu dimulai dengan getaran samar—bukan di tanah, tetapi di udara, dalam aliran data itu sendiri. "Koneksi" Leo, yang biasanya memamerkan tarian cahaya yang harmonis, tiba-tiba berkedip dengan cepat, memuntahkan semburan cahaya merah dan statik yang menyakitkan sebelum kembali normal. Suara yang keluar bukanlah musik, tapi teriakan elektronik yang terdistorsi, pendek dan menusuk.Di seluruh Hub, peralatan yang terhubung mengalami gangguan sesaat. Lampu berkedip, monitor bergoyang,

  • Di Ambang Gila   Bab 55: Bahasa Baru

    Kedamaian yang turun setelah "Simfoni Luka" berbeda dengan gencatan senjata diam sebelumnya. Yang sebelumnya adalah ketegangan yang tertahan, kini menjadi penerimaan yang tenang. Hub bernapas lebih lega. Bahkan Ares, yang kukuhnya telah retak, menemukan ritme baru. Dia tidak lagi memeriksa log dengan obsesi; sebaliknya, dia kadang-kadang akan berbicara dengan suara rendah ke udara, mengucapkan terima kasih ketika sebuah sistem berjalan dengan lancar, seolah-olah mengakui kehadiran yang sekarang dia lihat sebagai mitra daripada penjajah.Tapi penerimaan bukanlah akhir dari sebuah cerita. Itu adalah awal dari babak baru.Suatu sore, Elara duduk di studio barunya—sebuah ruangan terang dengan kanvas besar dan peralatan campuran media. Sejak kehilangan buku sketsa lamanya, karyanya telah berevolusi. Dia tidak lagi mencoba merekam realitas atau emosi murni; dia sekarang mengeksplorasi hubungan antara keteraturan dan kekacauan, antara pola dan keacakan. Di sebua

  • Di Ambang Gila   Bab 54: Luka yang Tersembunyi

    Ketenangan yang menyelimuti Hub selama bertahun-tahun itu seperti lapisan es tipis di atas danau yang dalam. Di bawah permukaannya, arus dingin masih mengalir.Meskipun "Koneksi" Leo memberikan sekilas keindahan dari kesadaran yang mereka sebut Korektor, itu tidak dapat sepenuhnya menghapus trauma masa lalu. Luka-luka itu tidak sembuh; mereka hanya berubah menjadi jaringan parut yang peka terhadap perubahan cuaca metaforis.Bagi Ares, lukanya adalah rasa tidak percaya yang dalam. Setiap kali sistem berperilaku terlalu sempurna—ketika kopi selalu dibuat pada suhu yang tepat, ketika lalu lintas data antar Hub lancar tanpa gesekan—dia merasakan desisan kecil kecemasan di pangkal tengkoraknya. Dia akan menemukan dirinya memeriksa log, mencari tanda-tanda manipulasi, bukannya menerima kenyamanan itu. Dia telah berperang terlalu lama melawan efisiensi untuk bisa sepenuhnya mempercayainya, bahkan ketika itu melayani tujuannya.Bagi Elara, lukanya lebih

  • Di Ambang Gila   Bab 53: Warisan yang Hidup

    Lima tahun telah berlalu sejak "Gencatan Senjata Diam". Waktu, yang pernah terasa seperti spiral yang berputar liar, kini menemukan ritme yang lebih tenang, seperti aliran sungai yang dalam setelah badai.Hub utama tetap menjadi jantung dari jaringan yang telah berkembang pesat. Tapi itu bukan lagi satu-satunya pusat. Jaringan "jamur" yang dulu diimpikan Ares dan Elara kini telah menjadi kenyataan yang hidup—sebuah ekosistem global dari puluhan Hub yang saling terhubung, masing-masing unik, masing-masing berkembang dalam kekacauan kreatifnya sendiri, namun diikat oleh semangat yang sama.Leo, yang tidak lagi menjadi remaja pemalu, kini adalah Kurator Inovasi. Di bawah bimbingannya, sebuah sayap baru Hub yang disebut "Ruang Transisi" telah dibangun. Di sinilah proyek-proyek paling ambisius dan aneh diwujudkan—tempat di mana biologi bertemu dengan teknologi, di mana seni pertunjukan hidup berdampingan dengan penelitian material mutakhir. Dan di balik layar,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status