Hujan turun membasahi kota, mengubah aspal menjadi cermin yang memantulkan lampu-lampu neon dan lampu jalan yang buram. Di dalam gudangnya, Ares mendengarkan dentuman hujan di atap seng, sebuah simfoni kekacauan yang menenangkannya. Dia sedang mengerjakan sebuah karya baru, sebuah potret diri yang terdistorsi yang terpecah menjadi dua: satu sisi penuh dengan goresan merah dan kuning yang marah, sisi lainnya dingin, terukur, dan tertutup garis-garis geometris seperti diagram sirkuit. Di antara kedua sisi itu, terdapat ruang kosong yang berbentuk hati.
Ponselnya bergetar di atas bangku kayu yang berdebu. Dia mengabaikannya. Itu pasti Mika atau seseorang dari galeri. Tapi kemudian bergetar lagi. Dan lagi. Sebuah pola. Bukan pola Mika. Dia menyeka tangannya yang penuh cat di celananya dan mengambil ponsel. Unknown Number (Elara): Hujan mengubah pola suara di atapmu. Itu harusnya mengganggu konsentrasimu, tapi sebaliknya. Kenapa? Unknown Number (Elara):Apakah kekacauan eksternal membantumu fokus pada kekacauan internal? Unknown Number (Elara):Atau apakah itu hanya kebetulan? Ares menggeleng, sebuah senyum tak sukarela muncul di bibirnya. Dia membalas. Ares: kau tidak pernah berhenti, ya? Ares:dan itu bukan kebetulan. itu disebut white noise. menenggelamkan suara-suara lain. Elara: Suara-suara seperti apa? Itu adalah pertanyaan yang terlalu dalam, terlalu personal. Ares memandangi kanvasnya, pada sisi yang marah dan berantakan. Suara-suara itu adalah teriakan dari semua luka lama, semua ketakutan, semua kemarahan yang tidak pernah bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Ares: tidak ada. Elara: Kamu berbohong. Dia membacanya. Dua kata itu terasa seperti sebuah tamparan. Jujur. Tanpa ampun. Seperti Elara. Daripada marah, dia justru merasa... lega. Seseorang akhirnya mengetahuinya. Seseorang akhirnya melihat melalui semua topengnya. Ares: apa maumu dariku? Balasannya datang hampir langsung. Elara: Datang. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu. Lalu, sebuah alamat muncul di layar. Bukan alamat apartemennya. Sebuah tempat di distrik industri, sebuah tempat yang dia kenal—sebuah gedung tua yang sering dia gunakan untuk graffiti. Ares: itu wilayahku. Elara:Aku tahu. Kau merasa lebih aman di sana. Itu membuatmu lebih mungkin untuk datang. Ares mendengus. Dia bahkan memanipulasi lokasi untuk membuatnya nyaman. Itu cerdik. Itu mengganggu. Itu bekerja. Ares: kenapa aku harus datang? Elara: Karena kamu ingin tahu. Seperti aku. Itu adalah kebenaran yang tak terbantahkan. Keingintahuan itu telah menggerogotinya selama berminggu-minggu. Siapa dia sebenarnya? Apa yang dia benar-benar inginkan? Apakah ini semua hanya sebuah permainan pikiran yang rumit? Dia melihat karyanya yang belum selesai. Dua sisi yang terpisah. Mungkin inilah cara untuk menyatukannya. Atau mungkin ini akan menghancurkannya sepenuhnya. Ares: jam berapa? Elara: Sekarang. Hujan akan menyembunyikan kita. --- Gedung itu lebih kosong dan lebih suram dari yang Ares ingat. Hujan menetes dari atap yang bocor, membentuk genangan-genangan kecil di lantai beton. Dia mendorong pintu berat yang salah satu engselnya sudah rusak dan masuk. Elara sudah ada di sana. Dia berdiri di bawah sebuah jendela kotor yang memantulkan cahaya bulan yang suram, memakai jas hujan trench coat berwarna krem yang terlihat aneh di tempat seperti ini. Di tangannya, ada sebuah tablet. Dia tidak terkejut saat Ares masuk; dia hanya mengangguk, seolah-olah dia selalu tahu dia akan datang. "Kamu datang," katanya, suaranya bergema di ruangan yang kosong. "Kau membuatnya terdengar seperti sebuah pilihan," gerutu Ares, melangkah lebih dalam. Dia merasa seperti masuk ke dalam perangkap, tapi dia juga yang memilih untuk memasukinya. "Aku selalu memberimu pilihan, Ares," kata Elara, memutar tabletnya untuk menunjukkannya padanya. "Kamu memilih untuk membalas pesanku. Kamu memilih untuk datang ke sini. Setiap tindakan adalah sebuah pilihan." Di tablet, ada sebuah grafik yang rumit. Garis-garis berwarna yang naik turun, titik-titik data, dan di tengahnya, ada sebuah foto kecil—foto Ares sendiri dari pameran Chiaroscuro, diambil tanpa sepengetahuannya. "Apa ini?" tanya Ares, mendekat, matanya menyipit mencoba memahami grafik itu. "Ini adalah kamu," jawab Elara, sederhana. "Atau, lebih tepatnya, ini adalah respons emosionalmu selama sebulan terakhir. Garis merah adalah kemarahan. Biru adalah ketenangan. Kuning adalah kebingungan. Hijau adalah... ketertarikan." Ares memandang grafik itu, lalu memandang Elara, lalu kembali ke grafik. Dia melihat bagaimana garis merah melonjak setiap kali mereka berinteraksi, bagaimana garis kuning naik setelahnya, dan bagaimana garis hijau perlahan tapi pasti mulai merayap naik. Dia merasa terlanggar. Terpapar. Dikurangi menjadi sekumpulan data. Tapi dia juga... terpukau. Dia adalah grafik itu. Itu adalah visualisasi dari kekacauan yang dia rasakan di dalam dirinya. "Kau memetakanku," desisnya, nadanya campur aduk antara kagum dan jijik. "Kamu adalah subjek yang menarik," Elara menjawab, matanya bersinar dengan antusiasme ilmiah yang tulus. "Lihat di sini—puncak kemarahan ini terjadi saat aku menyebut namamu di perpustakaan. Dan di sini, ketenangan ini saat kamu melukis di bawah hujan. Kamu adalah pola, Ares. Pola yang indah dan kompleks." Dia menggeser layarnya, menunjukkan gambar-gambar lain: foto-foto karyanya, transkrip percakapan mereka yang dianotasi dengan catatan, bahkan rekaman suara (yang jelas diambil dari kejauhan) dari dia sedang berbicara sendiri saat melukis. Ares mundur selangkah, kepalanya berdenyut. "Ini gila. Kau tahu itu, kan? Ini... ini salah." "Apakah itu?" Elara memiringkan kepalanya, seperti anak kecil yang mempelajari serangga. "Aku tidak memaksamu untuk melakukan apapun. Aku hanya mengamati. Dan kamu, kamu memberiku begitu banyak data. Kamu ingin dilihat, Ares. Kamu ingin dipahami. Dan aku adalah satu-satunya orang yang cukup peduli untuk mencoba." Kata-kata itu menusuk tepat di jantungnya. Itu benar. Itu adalah kebenaran yang paling memalukan dan paling dalam. Dia membenci perasaan itu, tapi dia juga haus akan itu. "Jadi apa sekarang?" tanyanya, suaranya serak. "Aku hanya akan menjadi tikus labmu selamanya? Kau akan terus mengamati dan aku akan terus... melakukan ini?" Dia menunjuk ke tablet itu. "Tidak," kata Elara, mendekatnya. Jas hujannya berdesir. Dia mengulurkan tangan dan, untuk pertama kalinya, menyentuhnya. Ujung jarinya yang dingin menyentuh punggung tangannya yang penuh dengan noda cat dan bekas luka. Ares tercekat, terkejut oleh sentuhan itu. Itu bukan sentuhan romantis. Itu adalah sentuhan seorang ilmuwan yang menyentuh spesimennya, tapi itu masih mengirimkan kejutan listrik ke seluruh tubuhnya. "Aku ingin kolaborasi," bisik Elara, matanya terkunci padanya. "Kolaborasi?" ulang Ares, tidak percaya. "Kamu ingin memahami dirimu sendiri, bukan? Melalui senimu. Aku ingin memahamimu melalui dataku. Kita bisa melakukan ini bersama. Kamu menciptakan, aku menganalisis. Kita bisa... menyatukan kedua sisi ini." Matanya melirik ke arah tablet, ke grafik yang mewakili dirinya. Itu adalah godaan yang paling berbahaya yang pernah ditawarkan kepada Ares. Itu adalah everything yang pernah dia inginkan: seseorang yang sepenuhnya terobsesi untuk memahaminya, yang melihat semua kekacauannya dan tidak lari, tetapi justru mendekat, dengan buku catatan dan grafik. Itu adalah bentuk penerimaan yang paling terdistorsi. "Dan apa yang kau dapatkan dari semua ini?" tanya Ares, menatapnya, mencoba membaca niatnya yang tersembunyi. Elara diam untuk sesaat, jarinya masih menempel di tangannya. "Aku mendapatkan kamu," katanya akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar di atas deru hujan. "Subjek yang sempurna. Dan mungkin... pemahaman tentang mengapa beberapa orang terikat pada yang lain seperti ini. Mengapa kita tidak bisa berpisah." Itu bukan jawaban yang lengkap. Ares bisa merasakannya. Tapi itu adalah kebenaran yang cukup. Dia melihat ke sekeliling gudang yang kosong dan berantakan, lalu kembali ke wanita di depannya, dengan tabletnya yang penuh data dan matanya yang lapar akan jawaban. Dia berada di persimpangan. Dia bisa berbalik dan pergi, mencoba melupakan semua ini. Atau dia bisa melangkah lebih dalam ke labirin. Dia menatap tangannya, di mana sentuhan dingin Elara masih terasa seperti bekas bakar. Dengan napas berat, dia mengangguk. Hanya sekali, tajam. "Baik," katanya, suaranya berat dengan konsekuensi dari keputusannya. "Aku masuk." Senyum yang muncul di bibir Elara bukan senyum kemenangan. Itu adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih puas. Seperti dua potongan puzzle yang akhirnya menyatu. "Bagus," bisiknya, menarik tangannya. "Maka kita mulai." Dia memutar tabletnya, menunjukkan layar baru. "Pertama, aku punya beberapa pertanyaan. Tentang masa kecilmu. Tentang ketakutanmu. Tentang apa yang benar-benar membuatmu marah." Hujan terus menerjun di luar, mengisolasi mereka di dalam dunia mereka yang baru saja mereka ciptakan—dunia yang dibangun dari data, obsesi, dan kebutuhan yang tidak sehat untuk saling memilik dan memahami. Labirin itu sekarang resmi menjadi milik mereka berdua. Dan tidak ada jalan untuk kembali. TBCJurnal bersama itu dimulai di sebuah buku sketsa kulit berukuran besar. Ares yang membelinya, memilih yang sampulnya tidak sempurna, dengan sedikit cacat di sudutnya. "Seperti kita," katanya, menyerahkannya kepada Elara.Mereka menetapkan aturan. Tinta hitam untuk Ares (perasaan, pengalaman subjektif). Tinta biru untuk Elara (observasi, analisis objektif). Mereka akan menulis bergantian, setiap hari, dan bertemu setiap Jumat malam untuk membacanya bersama-sama.Halaman pertama milik Ares.[Tinta Hitam, tulisan agak berantakan dan penuh dengan coretan] Hari 1. Masih tidak yakin tentang ini. Terasa seperti memberikan senjataku pada musuh. Tapi dia bukan musuh, kan? Atau iya? Entahlah. Melukis hari ini. Warna abu-abu dan perak. Seperti mata nya. Apakah itu disengaja? Mungkin. Mika bertanya apakah aku baik-baik saja. Aku bilang iya. Itu bohong. Tidak baik-baik saja. Tapi juga tidak hancur. Seperti tanah setelah dibajak. Rusak, tapi siap untuk ditanami sesuatu
Pesan "Aku melihat" itu menggantung di antara mereka seperti sebuah gencatan senjata yang rapuh. Tidak ada kata-kata lebih lanjut selama berhari-hari. Tapi keheningan itu berbeda. Bukan lagi keheningan penghindaran, melainkan keheningan pemrosesan. Sebuah jeda untuk menilai kerusakan dan mempertimbangkan langkah selanjutnya.Bagi Ares, grafik yang dikirim Elara itu seperti cermin yang memantulkan kembali dinamika mereka dengan kejelasan yang kejam dan tak terbantahkan. Dia tidak bisa menyangkal kebenaran dalam data itu: amarah dan ketenangannya memang terikat, dan keterikatan itu, entah bagaimana, melibatkan Elara. Dia mulai melihat karyanya sendiri dengan mata baru—bukan sebagai ledakan murni, tetapi sebagai dialog. Sebuah percakapan dengan kekasih yang tak terlihat yang memahami bahasa kekerasan dan kelembutannya.Dia tidak kembali ke apartemen Elara. Tapi dia juga tidak melarikan diri. Dia tinggal bersama Mika, tetapi sekarang dia melukis lagi. Kanvas-kanvas bar
Keesokan harinya, apartemen Elara terasa seperti ruang mayat. Sunyi yang ada bukanlah ketenangan, melainkan kekosongan yang menusuk. Setiap sudut yang biasanya dia tempati dengan data dan pengamatan sekarang hanya menyisakan kehampaan. Dia membersihkan pecahan tablet yang hancur, setiap serpihan kaca terasa seperti potongan dari ilusinya yang ikut remuk. Dia mencoba kembali ke rutinitas. Dia membuat kopi (hanya satu cangkir). Dia membuka laptop, berusaha fokus pada pekerjaan lain—analisis data untuk konferensi neurosains yang akan datang. Tapi matanya terus tertarik ke sudut ruangan tempat Ares biasa meletakkan sepatu botnya. Ke sofa tempat dia sering tertidur. Dia bahkan menemukan sebuah noda cat biru tua di tepi karpet putihnya, dan alih-alih merasa jijik, dia justru berlutut dan menyentuhnya, seolah-olah itu adalah artefak berharga dari sebuah peradaban yang telah punah. Hipotesis salah. Kalimat itu terpampang di layarnya, sebuah pengakuan yang terus
Keesokan harinya, sebuah ketegangan yang tebal dan tak terucapkan menggantung di apartemen. Elara bangun lebih awal, mengubur dirinya dalam data, menciptakan penghalang dari grafik dan kode. Ares terbangun dengan kepala berdenyut dan rasa pahit di mulut, kenangan ciuman itu terasa seperti mimpi buruk yang indah. Mereka menghindari kontak mata. Elara menyajikan kopi tanpa bicara, menempatkannya di meja seolah-olah sedang menempatkan umpan untuk hewan percobaan. Ares mengambilnya, tetapi tidak minum. Dia hanya memandangi cairan hitam itu, melihat pantulan dirinya yang terdistorsi. "Kita harus berbicara," katanya akhirnya, suaranya kasar, memecah kesunyian yang menusuk. Elara tidak menoleh dari layar komputernya. "Tentang apa? Data dari kemarin malam masih dalam proses analisis. Aku butuh waktu—" "Lupakan data, Elara!" hardik Ares, meninju meja sehingga gelas kopinya bergoyang. "Tentang
Kolaborasi mereka menemukan rumah: apartemen Elara. Keputusan itu tidak diucapkan; itu terjadi secara alami, seperti tahap berikutnya dari sebuah eksperimen yang tak terhindarkan. Gudang Ares terlalu berantakan, terlalu "primal", seperti yang dikatakan Elara, untuk pengumpulan data yang optimal. Apartemen Elara, dengan dinding putihnya yang steril dan ruang yang terorganisir, adalah lab yang sempurna. Ares pindah dengan satu tas ransel berisi pakaian dan sebuah kotak berisi cat, kuas, dan beberapa kanvas kecil. Kehadirannya langsung menjadi noda yang hidup di lanskap yang sempurna itu. Jaket kulitnya tergantung di atas kursi Eames yang elegan. Kaleng catnya berjejer di atas meja kaca, meninggalkan cincin-cincin samar. Buku sketsanya yang penuh coretan tergeletak di samping sofa kulit yang bersih. Elara menyaksikan invasi ini dengan perasaan campur aduk antara jijik dan kegembiraan ilmiah. Setiap kekacauan yang ditimbulkan Ares adalah sebu
Hujan turun membasahi kota, mengubah aspal menjadi cermin yang memantulkan lampu-lampu neon dan lampu jalan yang buram. Di dalam gudangnya, Ares mendengarkan dentuman hujan di atap seng, sebuah simfoni kekacauan yang menenangkannya. Dia sedang mengerjakan sebuah karya baru, sebuah potret diri yang terdistorsi yang terpecah menjadi dua: satu sisi penuh dengan goresan merah dan kuning yang marah, sisi lainnya dingin, terukur, dan tertutup garis-garis geometris seperti diagram sirkuit. Di antara kedua sisi itu, terdapat ruang kosong yang berbentuk hati. Ponselnya bergetar di atas bangku kayu yang berdebu. Dia mengabaikannya. Itu pasti Mika atau seseorang dari galeri. Tapi kemudian bergetar lagi. Dan lagi. Sebuah pola. Bukan pola Mika. Dia menyeka tangannya yang penuh cat di celananya dan mengambil ponsel. Unknown Number (Elara): Hujan mengubah pola suara di atapmu. Itu harusnya mengganggu konsentrasimu, tapi sebaliknya. Kenapa? Unknown Number (Elara):Apakah kekacauan eksternal membant