Share

3. Layu Sebelum Berkembang.

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2025-04-23 20:01:27

Setelah menitip kue-kue di kantin seperti biasa, Marwa berjalan ke kelasnya. Semilir angin pagi yang sejuk, membelai-belai kulitnya. Saat mendekati lapangan basket, ia merasa ada sesuatu yang janggal. Biasanya ada suara bola basket yang memantul dan sorak-sorai para siswi yang sudah terdengar dari kejauhan. Namun kali ini lapangan basket tampak lengang.

Haryo tidak main hari ini? gumam Marwa dalam hati. Biasanya Haryo selalu jadi yang pertama di lapangan sebelum bel berbunyi. Tapi kali ini, sosoknya tidak ada di sana.

Marwa menguap lebar. Rasa kantuk masih menyelimutinya. Semalam ia tidur larut karena harus menyelesaikan pesanan kue lebih banyak dari biasanya. Ada pelanggan yang memesan kue-kue basah untuk acara selamatan. Demi melawan kantuk Marwa memutuskan untuk mampir ke toilet sekolah. Ia akan membasuh wajah agar lebih segar.

Baru saja ia bermaksud membuka keran air, sebuah suara memanggilnya.

"Marwa."

Marwa tersentak. Ia buru-buru menoleh.

Haryo. Mimpi apa ia semalam sampai-sampai Haryo mencarinya begini?

Namun ada sesuatu yang aneh. Haryo yang biasanya ramah dan murah senyum saat ini tampak tegang dan muram. Bukan itu saja, Haryo terlihat seperti marah padanya. Apa itu hanya perasaannya saja?  

Marwa menelan ludah. Pasti ada sesuatu yang salah. Dengan langkah ragu, Marwa mendekat. Tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Haryo sudah lebih dulu bicara.

"Tolong katakan pada ibumu agar jangan dekat-dekat dengan  ayahku lagi." Nada suara Haryo dingin, nyaris tanpa emosi.

Marwa membelalakkan mata. Ia terperanjat. "A—apa maksud Kakak?"

Haryo menghela napas, tampak berusaha menahan amarahnya. "Semalam ibuku melihat mereka jalan berduaan. Ibumu juga sering bertemu dengan ayahku di club." 

Marwa terkesiap. Ini soal ibunya rupanya. 

"Dengar Marwa, aku ini orang yang objektif. Aku tidak pernah ikut-ikutan membullymu seperti orang lain karena pekerjaan ibumu. Tapi kalau ibumu mengganggu rumah tangga orang tuaku, itu lain cerita."

Marwa terhenyak. Darah seperti surut dari wajahnya.

"Aku mencarimu karena ingin memberitahumu," lanjut Haryo, suaranya tetap datar. "Kalau ibumu tidak mengindahkan peringatanku ini dan tetap mendekati ayahku, jangan harap kontrakan itu bisa kalian tempati lagi."

Marwa terdiam. Ancaman itu jelas bukan main-main.

"Kak Haryo... Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi—"

"Aku juga sebenarnya tidak mau tahu," potong Haryo. "Tapi aku terpaksa. Aku cuma ingin memperingatkan. Selebihnya, terserah ibumu."

Tanpa menunggu jawaban, Haryo berbalik dan pergi.

Marwa terpaku di tempatnya.

Satu hal yang ia sadari, setelah hari ini, Haryo pasti akan membencinya. Tatapan dingin itu sudah membuktikan semuanya. 

"Dasar anak LC, pagi-pagi sudah berani menggoda laki-laki." Marwa kaget karena Asila dan Briana tiba-tiba sudah berdiri di depannya. 

"Service–mu tidak memuaskan ya, makanya Haryo murung tadi." Asila merangkul bahu Marwa. Meremas bahunya dengan geram. Marwa menggeliat. Melepaskan rangkulan Asila  dengan satu sentakan. Tubuhnya lebih besar dan tinggi dibandingkan Asila yang bertubuh mungil. 

"Tidak pantas anak sekolah mengucapkan kata-kata seperti itu!" bentak Marwa marah. 

"Woho, sekarang kamu sudah berani membentak-bentak kami. Kamu mau kami siram dengan air comberan lagi?" Briana menyenggol bahu Marwa keras. 

"Coba saja kalau Kak Briana berani? Nanti saya akan bilang pada anak-anak, kalau ibu Kak Briana yang sosialita itu menyambi jadi ani-ani pejabat. Berani tidak?" tantang Marwa. Air muka Briana seketika berubah pias. Ia sama sekali tidak menduga kalau Marwa mengetahui rahasia keluarganya. 

"Jangan sembarangan bicara kamu!" bantah Briana panik. Apalagi saat Asila ikut menatapnya dengan pandangan menuduh. 

"Sembarangan bicara? Aku punya buktinya. Mau aku perlihatkan?" Marwa menurunkan tas ranselnya. Bersiap mengeluarkan ponsel. Ia memang punya bukti rekaman di mana ibu Briana tengah bermesraan dengan seorang pejabat di club tempat ibunya bekerja. Ibunyalah yang merekamnya. Tujuan ibunya merekam, agar ia punya senjata saat Briana merudungnya di sekolah. 

"Sudah, tidak usah! Ayo, La, kita ke kelas saja." Brina menarik tangan Asila. 

"Awas kalau kamu berani sembarangan bicara!" Briana masih sempat mengancamnya sebelum berlalu. 

Sepeninggal Asila dan Briana, Marwa memutar keran dan membasuh wajahnya berkali-kali. Selain perlu menyegarkan mata, ia juga  ingin mendinginkan hatinya. Ia tidak sabar ingin pulang dan menanyakan kebenarannya pada ibunya. 

Di kelas, Marwa duduk dengan gelisah. Buku pelajaran terbuka di mejanya, tetapi ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Pikirannya terus-menerus dipenuhi ucapan Haryo tadi pagi.

Apa benar ibunya dekat dengan Pak Marno? Karena setahunya Ibunya hanya bertemu dengan Pak Marno jika berhubungan dengan masalah kontrakan. Entah komplain karena genteng bocor atau saat membayar kontrakan. 

Marwa menggigit bibir dan berulang kali melirik jam dinding kelas. Detik terasa berjalan lambat. Rasanya ia ingin pulang sekarang juga.

Begitu bel pulang berbunyi, Marwa langsung bergegas pulang tanpa menghiraukan ajakan teman-temannya yang ingin membahas perihal kerja kelompok. 

Setiba di rumah, ia menemukan ibunya, masih tertidur di kamar. Marwa segera mengguncang bahu ibunya.

"Ibu, bangun," panggilnya cemas.

Bu Mariana mengerjapkan mata, tampak masih mengantuk. "Kenapa sih, Wa? Ribut sekali. Ibu baru saja mau tidur siang," gumamnya dengan suara serak.

Marwa menarik napas dalam. "Bu, tadi di sekolah Haryo mencariku. Ia menyuruhkan mengatakan pada Ibu agar menjauhi ayahnya. Apa benar Ibu sekarang dekat dengan Pak Marno?" tanya Marwa tanda tedeng aling-aling. 

"Kamu ini ngomong apa sih?" Bu Mariana menguap lebar. Kantuk masih menggantung di matanya. 

"Kok ngomong apa? Kan Marwa sudah bilang tadi? Apa betul kemarin Ibu jalan berduaan dengan Pak Marno?" Marwa mendecakkan lidah kesal. Jangan-jangan ibunya tidak menyimak kata-katanya karena masih mengantuk. 

"Betul," sahut Bu Mariana enteng sambil mengulet nikmat. Meliukkan pinggang ke kini dan ke kanan. 

"Nah, berarti betul kata Haryo kalau Ibu selingkuh dengan Pak Marno?" tuduh Marwa kecewa. 

"Siapa yang berselingkuh, Marwa? Berjalan berdua itu bukan selingkuh. Rumah kita dan Pak Marno kan searah. Apa Ibu harus lari kalau kebetulan berpapasan dengan Pak Marno? Aneh kamu?" omel Bu Mariana kesal. 

Marwa menggigit bibirnya. Apa yang ibunya katakan benar juga. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Agustina Suzartiany
terima kasih update nya ka Suzy
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   98. Akhir Kisah Cinta (END)

    Dedaunan di pekarangan rumah Haryo tampak bergoyang pelan, ditiup angin sore yang lembut. Aroma wangi daun pandan dari dapur menyapa Marwa saat ia turun dari mobil. Hari ini ia menjenguk Haryo dan Bu Ida, yang tadi pagi baru pulang dari rumah sakit.“Aku lanjut menemui klien dulu, ya? Nanti aku balik lagi ke sini. Silakan puas-puasin dulu pacaran dengan Haryo,” Siska nyengir sebelum memutar balik mobil.Marwa menjawab dengan kepalan tangannya. Setelah Siska berlalu, Marwa pun memencet bel.Tak butuh waktu lama, pintu pun dibuka. Hani berdiri di ambang pintu dengan air muka ramah.“Ayo masuk, Wa. Mas Haryo mengomel melulu karena kamu belum datang menjenguk,” tukasnya sambil menarik tangan Marwa masuk ke dalam rumah.Dari ruang tengah terdengar suara ceria anak-anak kecil yang membuat hati Marwa tergugah. Ia mengenali salah satu suara anak kecil itu.“Dokter Marwaaa!” seru Najwa, berlari kecil dengan rambut dicepol asal dan piyama yang kebesaran. Gadis kecil itu tampak sangat nyaman ber

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   97. Kesaksian Pak Tono.

    Setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit, Marwa akhirnya diperbolehkan pulang. Selanjutnya, ia akan menjalani rawat jalan dua minggu sekali hingga pulih seperti sediakala. Berbeda dengan dirinya, Haryo dan Bu Ida mungkin baru boleh pulang seminggu ke depan. Kondisi keduanya lebih serius darinya.Sekarang Marwa tinggal bersama Siska untuk sementara, karena rumahnya sudah habis dilalap api. Ia juga sudah membuat keputusan untuk tidak membangun kembali rumah itu. Terlalu banyak kenangan menyakitkan di sana.Ada satu hal yang membuat Marwa sangat bersyukur: alih-alih dirinya mengunjungi Pak Tono ke Pekalongan, justru Pak Tonolah yang akan mengunjunginya. Pak Tono memang harus memberikan keterangan ke kantor polisi setelah kondisinya membaik. Karena sedang berada di Jakarta, Pak Tono sekalian mengunjunginya untuk menceritakan tentang kejadian lima belas tahun yang lalu.Dan hari itu, sebuah pertemuan menjadi titik terang baru di tengah reruntuhan masa lalu.Pak Tono akhirnya datang. S

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   96. Menyemai Impian.

    "Ya terserahlah kalau kamu memaksa,” Marwa pura-pura pasrah.“Dasar gengsian.” Siska mengerucutkan bibirnya. “Aku ke mobil sebentar mengambil tas ya, Wa. Aku pengen mandi. Gerah banget.” Siska mengambil remote mobil dari dalam tas dan berlalu.Marwa menggeser punggung dan meringis setelahnya. Bahunya terasa perih. Namun ia tahu kalau dirinya akan baik-baik saja. Kehadiran Siska sedikit banyak menenangkannya. Ternyata di tengah badai hidup yang menghancurkan segalanya, Allah tetap mengirimkan satu dua tangan untuk menggenggamnya, menuntunnya kembali berdiri. Di antaranya adalah Haryo dan Siska.Marwa memejamkan mata, bibirnya berbisik pelan,“Alhamdulillah.”Ia tahu, selama masih ada cinta dan ketulusan dalam hidupnya, ia pasti bisa melewati apa pun***Dua hari di rumah sakit, kondisinya mulai membaik. Demikian juga dengan Haryo dan Bu Ida. Ia akhirnya diizinkan menjenguk mereka di ICU. Dengan bantuan Siska, yang sudah dua hari menemaninya di rumah sakit, Siska mendorong kursi rodanya

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   95. Alhamdullilah.

    Bunyi detak monitor dan aroma disinfektan menyapa indera Marwa begitu matanya terbuka perlahan. Cahaya lampu langit-langit menyilaukan, membuatnya menyipit. Tubuhnya berat, nyeri menyebar dari ujung kaki hingga ujung kepala. Beberapa bagian kulitnya terasa perih, dibalut perban. Napasnya masih terasa berat—tapi jauh lebih baik daripada sebelumnya.Butuh waktu beberapa detik sebelum ia menyadari—ia masih hidup.“Dokter Marwa sudah sadar? Syukurlah.” Suara lembut perawat terdengar dari samping. Suster Erna. Wajah Suster Erna dipenuhi kelegaan, namun juga kesedihan saat melihat keadaan Marwa.Marwa mencoba membuka mulut, namun hanya desahan lirih yang keluar. Matanya menatap sekitar, mencari seseorang. “Haryo...,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Sesuatu tiba-tiba saja memasuki benaknya. Ia teringat pada sosok lain.“Bu Ida?” Marwa kembali bertanya. Kecemasan mewarnai bola matanya.Suster Erna menggenggam tangannya. “Pak Haryo dan Bu Ida juga berhasil diselamatkan,” lanjut Suster Erna cep

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   94. Neraka Kedua.

    Tengah Malam Dalam tidurnya, Marwa bermimpi. Ia berada dalam kobaran api, seperti yang pernah terjadi lima belas tahun lalu. Namun kali ini, rumah yang terbakar bukan rumah lamanya, melainkan rumahnya yang sekarang. Ia melihat ayah, ibu, abang, dan kakaknya berdiri di tengah kobaran api dengan pakaian serba putih.Ia berlari di antara kobaran api, berteriak memanggil nama ayah, ibu, abang, dan kakaknya agar mereka semua menjauh. Namun mereka semua seperti tidak mendengar jeritannya. Mereka semua tetap berdiri di balik jilatan api yang mengamuk. Yang mengherankan mereka semua tidak terbakar.“Pergi, Marwa... Lari! Selamatkan dirimu sekarang juga!” seru ibunya dari tengah kobaran api.Tangan ibunya menjulur, ingin menggapainya. Namun pegangan mereka tak pernah sampai. Api terus membakar di antara mereka.Tiba-tiba, dari sudut ruangan, terdengar suara rendah, menggeram dengan kebencian yang menyesakkan. "Seharusnya dulu kamu ikut hangus terbakar!”Marwa terbangun dengan tubuh berpeluh.

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   93. Meragu.

    Tiga Bulan KemudianMalam itu, cahaya lampu jalan menyusup samar melalui celah tirai jendela rumah Marwa, menebarkan siluet redup di dinding ruang tamu. Di tangannya, sebuah ponsel menempel di telinga. Suaranya terdengar lirih, menahan haru saat menerima kabar baik dari seberang sana."Alhamdulillah... Terima kasih sudah mengabari saya, Pak Sudin. Saya sungguh senang mendengarnya," ucap Marwa gembira. Kabar inilah yang selalu ia nantikan."Pak Tono sudah jauh lebih baik, Nak," ujar Pak Sudin dari ujung telepon. "Sekarang beliau bukan cuma mengenali anak istri dan keluarganya. Tetangga-tetangga lamanya pun sudah bisa beliau kenalinya. Malah sekarang Pak Tononya sudah mulai rutin bermain catur dengan teman-teman lamanya." "Syukurlah Pak kalau Pak Tono makin membaik. Besok pagi saya ke sana ya, Pak. Saya ingin melihat keadaan Pak Tono." "Baik, Nak Marwa. Kami tunggu kedatangannya ya." Pak Sudin menyambut antusias rencananya. Marwa menutup panggilan itu dengan senyum tipis yang penuh ra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status