Share

3. Layu Sebelum Berkembang.

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2025-04-23 20:01:27

Setelah menitip kue-kue di kantin seperti biasa, Marwa berjalan ke kelasnya. Semilir angin pagi yang sejuk, membelai-belai kulitnya. Saat mendekati lapangan basket, ia merasa ada sesuatu yang janggal. Biasanya ada suara bola basket yang memantul dan sorak-sorai para siswi yang sudah terdengar dari kejauhan. Namun kali ini lapangan basket tampak lengang.

Haryo tidak main hari ini? gumam Marwa dalam hati. Biasanya Haryo selalu jadi yang pertama di lapangan sebelum bel berbunyi. Tapi kali ini, sosoknya tidak ada di sana.

Marwa menguap lebar. Rasa kantuk masih menyelimutinya. Semalam ia tidur larut karena harus menyelesaikan pesanan kue lebih banyak dari biasanya. Ada pelanggan yang memesan kue-kue basah untuk acara selamatan. Demi melawan kantuk Marwa memutuskan untuk mampir ke toilet sekolah. Ia akan membasuh wajah agar lebih segar.

Baru saja ia bermaksud membuka keran air, sebuah suara memanggilnya.

"Marwa."

Marwa tersentak. Ia buru-buru menoleh.

Haryo. Mimpi apa ia semalam sampai-sampai Haryo mencarinya begini?

Namun ada sesuatu yang aneh. Haryo yang biasanya ramah dan murah senyum saat ini tampak tegang dan muram. Bukan itu saja, Haryo terlihat seperti marah padanya. Apa itu hanya perasaannya saja?  

Marwa menelan ludah. Pasti ada sesuatu yang salah. Dengan langkah ragu, Marwa mendekat. Tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Haryo sudah lebih dulu bicara.

"Tolong katakan pada ibumu agar jangan dekat-dekat dengan  ayahku lagi." Nada suara Haryo dingin, nyaris tanpa emosi.

Marwa membelalakkan mata. Ia terperanjat. "A—apa maksud Kakak?"

Haryo menghela napas, tampak berusaha menahan amarahnya. "Semalam ibuku melihat mereka jalan berduaan. Ibumu juga sering bertemu dengan ayahku di club." 

Marwa terkesiap. Ini soal ibunya rupanya. 

"Dengar Marwa, aku ini orang yang objektif. Aku tidak pernah ikut-ikutan membullymu seperti orang lain karena pekerjaan ibumu. Tapi kalau ibumu mengganggu rumah tangga orang tuaku, itu lain cerita."

Marwa terhenyak. Darah seperti surut dari wajahnya.

"Aku mencarimu karena ingin memberitahumu," lanjut Haryo, suaranya tetap datar. "Kalau ibumu tidak mengindahkan peringatanku ini dan tetap mendekati ayahku, jangan harap kontrakan itu bisa kalian tempati lagi."

Marwa terdiam. Ancaman itu jelas bukan main-main.

"Kak Haryo... Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi—"

"Aku juga sebenarnya tidak mau tahu," potong Haryo. "Tapi aku terpaksa. Aku cuma ingin memperingatkan. Selebihnya, terserah ibumu."

Tanpa menunggu jawaban, Haryo berbalik dan pergi.

Marwa terpaku di tempatnya.

Satu hal yang ia sadari, setelah hari ini, Haryo pasti akan membencinya. Tatapan dingin itu sudah membuktikan semuanya. 

"Dasar anak LC, pagi-pagi sudah berani menggoda laki-laki." Marwa kaget karena Asila dan Briana tiba-tiba sudah berdiri di depannya. 

"Service–mu tidak memuaskan ya, makanya Haryo murung tadi." Asila merangkul bahu Marwa. Meremas bahunya dengan geram. Marwa menggeliat. Melepaskan rangkulan Asila  dengan satu sentakan. Tubuhnya lebih besar dan tinggi dibandingkan Asila yang bertubuh mungil. 

"Tidak pantas anak sekolah mengucapkan kata-kata seperti itu!" bentak Marwa marah. 

"Woho, sekarang kamu sudah berani membentak-bentak kami. Kamu mau kami siram dengan air comberan lagi?" Briana menyenggol bahu Marwa keras. 

"Coba saja kalau Kak Briana berani? Nanti saya akan bilang pada anak-anak, kalau ibu Kak Briana yang sosialita itu menyambi jadi ani-ani pejabat. Berani tidak?" tantang Marwa. Air muka Briana seketika berubah pias. Ia sama sekali tidak menduga kalau Marwa mengetahui rahasia keluarganya. 

"Jangan sembarangan bicara kamu!" bantah Briana panik. Apalagi saat Asila ikut menatapnya dengan pandangan menuduh. 

"Sembarangan bicara? Aku punya buktinya. Mau aku perlihatkan?" Marwa menurunkan tas ranselnya. Bersiap mengeluarkan ponsel. Ia memang punya bukti rekaman di mana ibu Briana tengah bermesraan dengan seorang pejabat di club tempat ibunya bekerja. Ibunyalah yang merekamnya. Tujuan ibunya merekam, agar ia punya senjata saat Briana merudungnya di sekolah. 

"Sudah, tidak usah! Ayo, La, kita ke kelas saja." Brina menarik tangan Asila. 

"Awas kalau kamu berani sembarangan bicara!" Briana masih sempat mengancamnya sebelum berlalu. 

Sepeninggal Asila dan Briana, Marwa memutar keran dan membasuh wajahnya berkali-kali. Selain perlu menyegarkan mata, ia juga  ingin mendinginkan hatinya. Ia tidak sabar ingin pulang dan menanyakan kebenarannya pada ibunya. 

Di kelas, Marwa duduk dengan gelisah. Buku pelajaran terbuka di mejanya, tetapi ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Pikirannya terus-menerus dipenuhi ucapan Haryo tadi pagi.

Apa benar ibunya dekat dengan Pak Marno? Karena setahunya Ibunya hanya bertemu dengan Pak Marno jika berhubungan dengan masalah kontrakan. Entah komplain karena genteng bocor atau saat membayar kontrakan. 

Marwa menggigit bibir dan berulang kali melirik jam dinding kelas. Detik terasa berjalan lambat. Rasanya ia ingin pulang sekarang juga.

Begitu bel pulang berbunyi, Marwa langsung bergegas pulang tanpa menghiraukan ajakan teman-temannya yang ingin membahas perihal kerja kelompok. 

Setiba di rumah, ia menemukan ibunya, masih tertidur di kamar. Marwa segera mengguncang bahu ibunya.

"Ibu, bangun," panggilnya cemas.

Bu Mariana mengerjapkan mata, tampak masih mengantuk. "Kenapa sih, Wa? Ribut sekali. Ibu baru saja mau tidur siang," gumamnya dengan suara serak.

Marwa menarik napas dalam. "Bu, tadi di sekolah Haryo mencariku. Ia menyuruhkan mengatakan pada Ibu agar menjauhi ayahnya. Apa benar Ibu sekarang dekat dengan Pak Marno?" tanya Marwa tanda tedeng aling-aling. 

"Kamu ini ngomong apa sih?" Bu Mariana menguap lebar. Kantuk masih menggantung di matanya. 

"Kok ngomong apa? Kan Marwa sudah bilang tadi? Apa betul kemarin Ibu jalan berduaan dengan Pak Marno?" Marwa mendecakkan lidah kesal. Jangan-jangan ibunya tidak menyimak kata-katanya karena masih mengantuk. 

"Betul," sahut Bu Mariana enteng sambil mengulet nikmat. Meliukkan pinggang ke kini dan ke kanan. 

"Nah, berarti betul kata Haryo kalau Ibu selingkuh dengan Pak Marno?" tuduh Marwa kecewa. 

"Siapa yang berselingkuh, Marwa? Berjalan berdua itu bukan selingkuh. Rumah kita dan Pak Marno kan searah. Apa Ibu harus lari kalau kebetulan berpapasan dengan Pak Marno? Aneh kamu?" omel Bu Mariana kesal. 

Marwa menggigit bibirnya. Apa yang ibunya katakan benar juga. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   4. Tragedi.

    "Tapi Ibu sering bertemu dengan Pak Marno di club kan? Jangan lagi menemui Pak Marno di sana ya, Bu? Nanti Haryo marah."Bu Mariana mengibaskan tangannya dengan kesal. "Dengar ya, Marwa. Ibu ini bekerja di sana. Club itu tempat umum. Siapa saja boleh datang kalau punya uang. Ibu tidak boleh menolak tamu yang mau ditemani minum karena itu memang pekerjaan Ibu. Sumber uang kita semua! Kalau Haryo tidak mau ayahnya menemui Ibu, minta ayahnya supaya tidak ke club! Si Ida yang cemburu buta, kenapa jadi Ibu yang susah?" sembur Bu Mariana gusar.Marwa hanya diam. Ia tidak bisa menolak argumen ibunya."Lagipula, Ibu tidak tertarik lagi dengan yang namanya cinta atau urusan asmara-asmaraan. Yang ada di kepala Ibu cuma satu: uang. Ibu punya banyak tanggungan yang harus dipikirkan," lanjut Bu Mariana seraya bangkit dari tempat tidur. Ia kemudian meraih jepit rambutnya di ranjang. "Apa betul di club Ibu hanya menemani tamu minum-minum?" Marwa akhirnya mengajukan pertanyaan yang selama ini hanya

    Last Updated : 2025-04-23
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   5. Tuduhan Tanpa Dasar.

    Begitu tiba di Rumah Sakit Medika, Marwa dan Marsya langsung berlari ke ruang UGD. Tapi langkah mereka terhenti begitu melihat dua sosok yang berdiri di depan pintu dengan wajah tegang.Bu Ida dan Haryo!Bu Ida berdiri berkacak pinggang dengan wajah penuh kemarahan. Sementara Haryo yang berdiri di sisinya memandang dengan ekspresi sinis. Rasa jijik jelas terlihat di wajah keduanya. "Kalian tahu Ibu kalian kecelakaan bersama siapa? Bersama Marno, suamiku!" Bu Ida menepuk dadanya keras. "Ibumu memang perempuan murahan!" Nada suara Bu Ida meninggi. "Suami Ibu juga murahan dong. Kok Ibu cuma mengatai Ibu saya saja?" ejek Marsya sinis. "Sudah, Kak. Kita langsung temui Ibu saja." Marwa menggamit lengan sang kakak. "Aku lihat cuma kamu yang paling waras di antara keluargamu yang lain." Bu Ida mendekati Marwa. Menahan langkahnya yang siap melesat pergi."Harusnya kamu bisa memperingati ibumu agar tidak selingkuh dengan suami orang! Haryo sudah memperingati kamu bukan?" amuk Bu Ida lagi.

    Last Updated : 2025-04-23
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   6. Dendam!

    "Ibumu pembawa bencana," gumam Haryo, suaranya rendah tetapi tajam. "Kalian semua cuma sampah!"Marwa menatap Haryo tajam, tapi ia tidak membalas umpatan Haryo. Ia terlalu shock menghadapi semua musibah ini.Haryo boleh membenci. Bu Ida boleh mencaci. Tapi tidak ada satu pun kata yang bisa lebih menyakitkan daripada fakta bahwa ibunya kini telah pergi.Tanpa sadar, Marwa menggenggam tangan Marsya erat, seakan itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap berpijak di dunia.Mereka hanya punya satu sama lain sekarang.***Sudah tujuh hari ibunya berpulang, namun suasana rumah masih terasa seperti kuburan. Duka menyelimuti setiap sudutnya. Ayahnya tak henti-henti merintih dan memanggil nama ibunya dalam kepedihan yang tak berujung. Seperti inilah hidup. Pada saat ibunya masih ada, keduanya kerap bertengkar dan saling mencela. Namun setelah tiada, ayahnya terus merindukan ibunya. Rasa sedih dan kecewa membuat ayahnya kian menenggelamkan diri dalam botol-botol minuman keras. Marco, abangnya,

    Last Updated : 2025-04-23
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   7. Selamat Tinggal.

    Seperti dejavu, Marwa memandangi tiga makam baru di depannya dengan pandangan kosong. Tiga makam itu adalah makam ayah, abang, dan kakaknya. Tepat di samping makam ayahnya, masih terlihat tanah basah makam ibunya. Dalam waktu seminggu, Marwa telah kehilangan seluruh anggota keluarganya.Di tengah isak tangis, Marwa menangkap suara bisik-bisik. Beberapa tetangga yang mayoritas ibu-ibu tetangganya tengah menggosipinya."Betul kan apa yang aku bilang, Bu Tika? Suatu saat keluarga si Mariana itu pasti akan terkena azab. Lha wong, satu keluarga, tidak ada satu pun yang benar kelakuannya. Kecuali, ya, si Marwa ini."Suara Bu Nurma. Marwa mengenali suara cemprengnya."Halah, si Marwa itu juga cikal bakal seperti ibu dan kakaknya, Bu Nur. Sekarang kan dia masih kecil, belum mengerti uang banyak. Coba lihat beberapa tahun lagi. Pasti sama saja kelakuannya," bisik salah satu dari mereka.Yang ini suara Bu Tutik."Benar juga, ya? Kata orang, buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya. Padahal nama

    Last Updated : 2025-04-23
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   8. Meniti Masa Depan.

    Pak RT, Rahmad, dan istrinya, Bu Sundari, berdiri di sisi Marwa di stasiun bus yang ramai. Marwa mengeratkan genggaman pada tali ranselnya. Udara sore terasa gerah, bercampur dengan kegelisahan yang terus menekan dadanya."Marwa, kalau sudah sampai di Surabaya, segera kabari kami, ya?" pesan Pak Rahmad dengan suara penuh perhatian. "Kalau alamatnya tidak ada atau kamu kesulitan menemukannya, jangan sungkan menghubungi. Kami akan mencari cara untuk membantumu."Marwa mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi keraguan. "Iya, Pak. Saya akan kabari. Terima kasih sudah mengurus saya selama ini."Bu Sundari meraih tangan Marwa, menggenggamnya erat. "Kalau ada masalah, jangan ragu cari kantor polisi, ya? Surabaya itu kota besar, Nak. Jangan mudah percaya dengan orang asing."Marwa menelan ludah. Ia sadar nasihat itu penting, tapi hatinya tetap tak bisa tenang. "Iya, Bu. Saya mengerti."Bus Mutiara Express sudah bersiap berangkat. Suara klakson berbunyi nyaring, memanggil para penumpang unt

    Last Updated : 2025-04-23
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   9. Kisah Masa Lalu.

    Marwa menghela napas panjang dua kali sebelum mendekati pintu gerbang. Seorang Satpam keluar dari pos dan langsung menghampirinya dari balik pagar yang masih tertutup. "Adik mencari siapa?" tanya sang Satpam dengan tatapan menyelidik. "Saya Marwa. Anak dari Maryadi Noto Kusumo. Ayah saya meminta saya untuk menyerahkan ini pada pemilik rumah." Marwa mengulurkan kertas yang diberikan ayahnya pada sang Satpam. Sang Satpam membaca kertas itu sekilas, lalu menatap Marwa dengan ekspresi yang sulit diartikan. Hening sejenak, sebelum akhirnya dia mengangguk dan menghubungi seseorang melalui handy talkie."Silakan masuk," ucapnya setelah beberapa saat, membuka gerbang yang tinggi dan kokoh itu.Marwa melangkah masuk, hatinya dipenuhi debaran tak menentu. Langkahnya mengikuti seorang Asisten Rumah Tangga yang membawanya ke ruang tamu. Begitu ia tiba di dalam, matanya langsung tertumbuk pada sesuatu yang membuatnya tercekat. Sebuah foto pria muda yang tampak begitu dikenalnya-ayahnya, Maryadi.

    Last Updated : 2025-05-08
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   10. Marwa yang Baru.

    "Ayahmu Maryadi, dulu adalah anak yang pintar dan cekatan. Cita-citanya adalah menjadi seorang pilot. Yadi... baru mulai pendidikan di Poltekbang saat bertemu dengan ibumu- Mariana." Oma Lastri mulai bercerita setelah Marwa meneguk minumnya dan mereka semua mulai tenang.Marwa menatap sang oma penuh perhatian. Ia ingin mengetahui masa lalu kedua orang tuanya. "Mariana adalah anak panti asuhan pindahan dari Jakarta. Ayahmu yang masih muda, mabuk kepayang pada Mariana yang memang sangat cantik. Mariana yang takut ditinggalkan oleh ayahmu karena status sosial yang berbeda, memaksa ayahmu untuk menikahinya. Padahal saat itu mereka baru berusia sembilan belas tahun."Oma Lastri menghela napas panjang, sambil memandangi langit-langit. Opa dan Oma jelas menolak. Mereka masih terlalu muda, Terlebih, ayahmu baru saja menempuh pendidikan penerbangannya."Marwa menggigit bibirnya. Ada luka lama yang masih membekas dalam suara neneknya."Penolakan kami... membuat ayahmu nekat. Ia kawin lari deng

    Last Updated : 2025-05-08
  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   11. Ketulusan Marwa.

    Marwa melangkah masuk ke tempat praktik Arga. Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 20.30 WIB. Masih setengah jam lagi dari waktu Arga tutup praktek. Begitu memasuki ruang tunggu, Marwa disambut oleh Suster Erlin yang tengah duduk di meja depan."Selamat malam, Dokter Marwa," sapanya ramah.Marwa tersenyum kecil, sambil sedikit mengangkat rantang empat susun yang dibawanya. "Malam, Suster Erlin. Pasien Arga masih banyak?"Suster Erlin melirik ke daftar pasien di depannya sebelum menjawab, "Tinggal satu orang lagi, Dok. Sepertinya sebentar lagi selesai."Marwa menghela napas lega. Setidaknya, ia tak perlu menunggu terlalu lama. Makanan yang dibawanya masih hangat, dan ia ingin Arga bisa menikmatinya dalam kondisi terbaik.Tak berapa lama, pintu ruang praktik terbuka. Seorang pria paruh baya dengan wajah muram keluar. Langkahnya tegap dan mantap, tidak seperti orang yang sedang sakit. Marwa meliriknya sekilas sebelum menoleh ke Suster Erlin."Pasien tadi sakit apa, Sus?"

    Last Updated : 2025-05-08

Latest chapter

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   14. Jumpa Lagi.

    Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya—saat ia pertama kali masuk sebagai dokter muda, belajar dengan penuh semangat di bawah bimbingan para dokter senior. Ia teringat pada senyum pertama Arga, juga bagaimana pria itu perlahan merebut hatinya. Dan semuanya kini akan menjadi kenangan.Usai pesta kecil itu, Marwa mengangkat kardus terakhir ke mobilnya di area parkir. Saat ia hendak membuka pintu bagasi, suara langkah pelan menghampiri.“Marwa...”Suara itu tidak asing. Sebenarnya Marwa tidak ingin menggubris suara itu. Namun hati nuraninya berkata lain. Ia tidak boleh bersikap seperti anak kecil setelah dengan gagah berani membela Arga dan Selina di persidangan rumah sakit. Ia pun menoleh. Arga berdiri di sana, mata merah menahan haru.“Aku tidak mau mengucapkan kata selamat berpisah. Karena hati kecilku tidak ingin berpisah denganmu,” ucap Arga pelan.“Kalau begitu, tidak usah. Jangan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuranimu,” jawab Marwa singkat.“Terima kasih ya, k

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   13. Goodbye, My Ex-Lover.

    Marwa keluar dari tangga darurat dengan langkah tak tentu arah. Dunia terasa asing. Cahaya lampu lorong rumah sakit yang biasanya tampak biasa saja, kini seperti membutakannya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena lelah-tapi karena luka. Luka yang tak berdarah, tapi menyesakkan sampai ke tulang.Di belakang, pintu tangga terdorong keras. Langkah kaki Arga terdengar memburu."Marwa, tunggu! Dengar dulu penjelasanku!" Arga berteriak memanggil Marwa. Marwa mempercepat langkahnya. Tapi Arga lebih cepat. Ia menahan lengan Marwa, memaksanya berhenti."Lepaskan," ucap Marwa dingin tanpa menoleh."Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini-ini tidak seperti yang kamu pikir," ucap Arga dengan napas memburu."Baik. Sekarang jelaskan. Apa yang katamu tidak seperti yang aku pikir itu?" Marwa menyilangkan tangan di dada, menatap Arga tajam.Arga menelan ludah. Ia tahu nasibnya sekarang berada di ujung tanduk. "Aku tidak punya hubungan apa pun dengan Selina. Bulan lalu, sepulang dari praktik, dia dat

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   12. Hianat!

    Marwa tersenyum, menggeleng lembut."Aku tidak repot kok, Ga. Ibumu baik sekali padaku. Ia mengisi tempat yang kosong di hatiku. Ibuku sudah tiada. Jadi aku ingin menjadikan ibumu sebagai penggantinya. Aku tidak salah kan?"Arga menatap Marwa dalam diam sejenak, lalu mengangguk pelan dengan senyum sendu. "Tidak, Sayang. Kamu tidak pernah salah. Aku yang salah," lanjut Arga pelan. Mendengar kata-kata Arga, Marwa mengerutkan dahi. "Lho kok jadi kamu yang salah?" tanya Marwa bingung. "Aku salah... karena tidak peka terhadap ibuku sendiri," imbuh Arga cepat. "Oh, itu mah wajar. Kamu laki-laki. Hal-hal kecil begini biasanya luput dari pikiran kalian. Santai saja," ujar Marwa sambil menepuk bahu Arga seperti caranya menenangkan pasien-pasiennya."Oh ya, aku juga belikan ini juga untuk Anggi." Marwa mengeluarkan kotak yang lebih kecil lagi."Apalagi ini, Wa?" Arga menggeleng tak percaya."Jam tangan idaman adikmu. Kemarin dulu Anggi bilang temannya punya jam keren, lantas ia menunjukkan

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   11. Ketulusan Marwa.

    Marwa melangkah masuk ke tempat praktik Arga. Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 20.30 WIB. Masih setengah jam lagi dari waktu Arga tutup praktek. Begitu memasuki ruang tunggu, Marwa disambut oleh Suster Erlin yang tengah duduk di meja depan."Selamat malam, Dokter Marwa," sapanya ramah.Marwa tersenyum kecil, sambil sedikit mengangkat rantang empat susun yang dibawanya. "Malam, Suster Erlin. Pasien Arga masih banyak?"Suster Erlin melirik ke daftar pasien di depannya sebelum menjawab, "Tinggal satu orang lagi, Dok. Sepertinya sebentar lagi selesai."Marwa menghela napas lega. Setidaknya, ia tak perlu menunggu terlalu lama. Makanan yang dibawanya masih hangat, dan ia ingin Arga bisa menikmatinya dalam kondisi terbaik.Tak berapa lama, pintu ruang praktik terbuka. Seorang pria paruh baya dengan wajah muram keluar. Langkahnya tegap dan mantap, tidak seperti orang yang sedang sakit. Marwa meliriknya sekilas sebelum menoleh ke Suster Erlin."Pasien tadi sakit apa, Sus?"

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   10. Marwa yang Baru.

    "Ayahmu Maryadi, dulu adalah anak yang pintar dan cekatan. Cita-citanya adalah menjadi seorang pilot. Yadi... baru mulai pendidikan di Poltekbang saat bertemu dengan ibumu- Mariana." Oma Lastri mulai bercerita setelah Marwa meneguk minumnya dan mereka semua mulai tenang.Marwa menatap sang oma penuh perhatian. Ia ingin mengetahui masa lalu kedua orang tuanya. "Mariana adalah anak panti asuhan pindahan dari Jakarta. Ayahmu yang masih muda, mabuk kepayang pada Mariana yang memang sangat cantik. Mariana yang takut ditinggalkan oleh ayahmu karena status sosial yang berbeda, memaksa ayahmu untuk menikahinya. Padahal saat itu mereka baru berusia sembilan belas tahun."Oma Lastri menghela napas panjang, sambil memandangi langit-langit. Opa dan Oma jelas menolak. Mereka masih terlalu muda, Terlebih, ayahmu baru saja menempuh pendidikan penerbangannya."Marwa menggigit bibirnya. Ada luka lama yang masih membekas dalam suara neneknya."Penolakan kami... membuat ayahmu nekat. Ia kawin lari deng

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   9. Kisah Masa Lalu.

    Marwa menghela napas panjang dua kali sebelum mendekati pintu gerbang. Seorang Satpam keluar dari pos dan langsung menghampirinya dari balik pagar yang masih tertutup. "Adik mencari siapa?" tanya sang Satpam dengan tatapan menyelidik. "Saya Marwa. Anak dari Maryadi Noto Kusumo. Ayah saya meminta saya untuk menyerahkan ini pada pemilik rumah." Marwa mengulurkan kertas yang diberikan ayahnya pada sang Satpam. Sang Satpam membaca kertas itu sekilas, lalu menatap Marwa dengan ekspresi yang sulit diartikan. Hening sejenak, sebelum akhirnya dia mengangguk dan menghubungi seseorang melalui handy talkie."Silakan masuk," ucapnya setelah beberapa saat, membuka gerbang yang tinggi dan kokoh itu.Marwa melangkah masuk, hatinya dipenuhi debaran tak menentu. Langkahnya mengikuti seorang Asisten Rumah Tangga yang membawanya ke ruang tamu. Begitu ia tiba di dalam, matanya langsung tertumbuk pada sesuatu yang membuatnya tercekat. Sebuah foto pria muda yang tampak begitu dikenalnya-ayahnya, Maryadi.

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   8. Meniti Masa Depan.

    Pak RT, Rahmad, dan istrinya, Bu Sundari, berdiri di sisi Marwa di stasiun bus yang ramai. Marwa mengeratkan genggaman pada tali ranselnya. Udara sore terasa gerah, bercampur dengan kegelisahan yang terus menekan dadanya."Marwa, kalau sudah sampai di Surabaya, segera kabari kami, ya?" pesan Pak Rahmad dengan suara penuh perhatian. "Kalau alamatnya tidak ada atau kamu kesulitan menemukannya, jangan sungkan menghubungi. Kami akan mencari cara untuk membantumu."Marwa mengangguk, meski pikirannya masih dipenuhi keraguan. "Iya, Pak. Saya akan kabari. Terima kasih sudah mengurus saya selama ini."Bu Sundari meraih tangan Marwa, menggenggamnya erat. "Kalau ada masalah, jangan ragu cari kantor polisi, ya? Surabaya itu kota besar, Nak. Jangan mudah percaya dengan orang asing."Marwa menelan ludah. Ia sadar nasihat itu penting, tapi hatinya tetap tak bisa tenang. "Iya, Bu. Saya mengerti."Bus Mutiara Express sudah bersiap berangkat. Suara klakson berbunyi nyaring, memanggil para penumpang unt

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   7. Selamat Tinggal.

    Seperti dejavu, Marwa memandangi tiga makam baru di depannya dengan pandangan kosong. Tiga makam itu adalah makam ayah, abang, dan kakaknya. Tepat di samping makam ayahnya, masih terlihat tanah basah makam ibunya. Dalam waktu seminggu, Marwa telah kehilangan seluruh anggota keluarganya.Di tengah isak tangis, Marwa menangkap suara bisik-bisik. Beberapa tetangga yang mayoritas ibu-ibu tetangganya tengah menggosipinya."Betul kan apa yang aku bilang, Bu Tika? Suatu saat keluarga si Mariana itu pasti akan terkena azab. Lha wong, satu keluarga, tidak ada satu pun yang benar kelakuannya. Kecuali, ya, si Marwa ini."Suara Bu Nurma. Marwa mengenali suara cemprengnya."Halah, si Marwa itu juga cikal bakal seperti ibu dan kakaknya, Bu Nur. Sekarang kan dia masih kecil, belum mengerti uang banyak. Coba lihat beberapa tahun lagi. Pasti sama saja kelakuannya," bisik salah satu dari mereka.Yang ini suara Bu Tutik."Benar juga, ya? Kata orang, buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya. Padahal nama

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   6. Dendam!

    "Ibumu pembawa bencana," gumam Haryo, suaranya rendah tetapi tajam. "Kalian semua cuma sampah!"Marwa menatap Haryo tajam, tapi ia tidak membalas umpatan Haryo. Ia terlalu shock menghadapi semua musibah ini.Haryo boleh membenci. Bu Ida boleh mencaci. Tapi tidak ada satu pun kata yang bisa lebih menyakitkan daripada fakta bahwa ibunya kini telah pergi.Tanpa sadar, Marwa menggenggam tangan Marsya erat, seakan itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap berpijak di dunia.Mereka hanya punya satu sama lain sekarang.***Sudah tujuh hari ibunya berpulang, namun suasana rumah masih terasa seperti kuburan. Duka menyelimuti setiap sudutnya. Ayahnya tak henti-henti merintih dan memanggil nama ibunya dalam kepedihan yang tak berujung. Seperti inilah hidup. Pada saat ibunya masih ada, keduanya kerap bertengkar dan saling mencela. Namun setelah tiada, ayahnya terus merindukan ibunya. Rasa sedih dan kecewa membuat ayahnya kian menenggelamkan diri dalam botol-botol minuman keras. Marco, abangnya,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status