Share

2. Hidup Yang Suram.

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2025-04-23 20:00:54

"Bilang pada mereka untuk mengurus masalah mereka sendiri. Tapi kalau mereka memang mau mengurusi kita, sekalian suruh urus juga token listrik dan uang kontrakan. Ibu pergi dulu." Bu Mariana mencangklong tas. Ia menarik napas panjang terlebih dahulu sebelum keluar rumah. Ia harus mempersiapkan diri sebelum berjibaku dengan LC-LC baru dan muda-muda di club. Lihatlah, semua orang punya masalah sendiri-sendiri bukan? 

Malam semakin larut. Marwa masih duduk di lantai dapur, menyusun kue-kue buatannya. Tapi tangannya kini bergerak lebih lambat, pikirannya melayang pada kata-kata ibunya barusan.

Tiba-tiba, suara gaduh terdengar dari depan rumah. Pintu didorong kasar hingga hampir lepas dari engselnya. 

"Astaghfirullahaladzim!" Marwa mengucap karena kaget. Ayahnya masuk ke dalam rumah dalam keadaan teler seperti biasa. Tubuh ayahnya limbung dengan aroma alkohol menyengat yang menusuk hidung.

"Brengsek! Hidup memang tidak adil!" Pak Maryadi menggeram kesal dan berjalan sempoyongan. Saat sampai di tengah ruangan, ia tiba-tiba sambil menekan perutnya.

Marwa buru-buru bangkit saat melihat ayahnya membungkuk, lalu muntah-muntah di lantai. Bau asam menyebar, membuat perutnya ikut mual.

"Apa gunanya hidup kalau aku miskin begini, hah?!" Maryadi menggeram lagi, menghapus sisa muntah di dagunya dengan lengan baju yang sudah lusuh. Matanya merah dan kosong. Dulu ia sangat kaya, makanya Mariana yang cantik jelita bersedia ia persunting. Sayangnya ia kemudian bangkrut dan kehidupannya pun berubah!

"Ibumu mana?" Dengan tubuh sempoyongan, Pak Maryadi memandang seantero ruangan. 

"Ibu kerja seperti biasa, Yah," sahut Marwa sambil memegangi ayahnya. "Dasar perempuan tidak tahu diri! Dia enak-enakan berdandan cantik untuk laki-laki lain, sementara aku di sini sengsara!"

Marwa diam, sudah terlalu biasa mendengar ocehan seperti ini. Ia hanya mengambil lap, membersihkan muntahan ayahnya, lalu melangkah ke dapur, pura-pura sibuk. Tak ada gunanya menjawab atau membantah.

Tak lama kemudian, setelah mengumpat beberapa kali lagi, Pak Maryadi akhirnya roboh di atas sofa butut mereka dan tertidur dengan dengkuran keras.

Marwa menghela napas lega. Tapi baru saja ia hendak kembali ke dapur, pintu depan kembali terbuka. Kakaknya

Marsya masuk sambil mengibas-ngibaskan uang di tangannya. Bibirnya merah menyala, rambutnya masih acak-acakan seperti habis pulang dari pesta. Wajahnya sumringah, bertolak belakang dengan keadaan rumah mereka yang kumuh dan berantakan. Marsya putus sekolah tahun lalu karena sering menunggak uang SPP. Lagi pula Marsya memang tidak suka sekolah. 

"Malam yang menyenangkan," katanya riang, melempar tasnya ke sofa. "Lihat, Marwa! Aku mendapat hadiah banyak hari ini! Pacar baruku royal sekali!" Marsya mengibas-ngibaskan uang pecahan seratus ribu di depan wajah Marwa.

Marwa hanya melirik sekilas, lalu kembali menata kue-kue yang sudah disusun rapi ke atas meja. 

"Kamu iri kan melihatku mendapat uang sebanyak ini? Cepat lagi. Tidak sepertimu yang seharian membuat kue tapi hasilnya tidak seberapa. Mana capek lagi." Marsya memanas-manasi adiknya. 

"Tapi uangku halal, Kak. Dimakannya jadi daging," sahut Marwa sabar. 

"Halah. Makanan kalau dimakan, ya jadinya tai*. Nggak ada itu soal halal haram," cibir Marsya sinis. 

"Lihat, Wa. Dia sampai membelikan aku ini." Marsya mendongak. Memamerkan kalung emas  indah yang melingkari lehernya.

Marwa tak menjawab. Hatinya perih melihat betapa kakaknya begitu bangga hidup dengan cara seperti itu.

"Jangan pasang muka sok suci begitu, deh. Kamu itu masih SMP. Jadi kamu belum mengerti rasanya ingin tampil cantik dan keren tapi tidak punya duit. Coba nanti kamu seumurku. Paling tidak tiga tahun lagilah. Pasti kamu pengen ini itu juga. Tinggal menunggu waktu saja kamu akan menjadi sepertiku," imbuh Marsya yakin.

"Aku tidak mau uang kotor, Kak," jawab Marwa lirih.

Marsya tertawa sinis. "Terserah kamu deh. Tapi ingat, dunia ini bukan tempat buat orang baik. Kamu akan sadar sendiri nanti."

Setelah itu, Marsya masuk ke kamarnya, meninggalkan Marwa sendirian di dapur. Saat melewati kamar Marco, ia menutup hidup. Aroma asam muntahan membuatnya mual. Marsya berdecih. Tidak ayah tidak abang, sama saja kelakuannya. Tukang mabuk sekaligus pengangguran. Di rumah ini hanya Marwa yang masih bertahan dengan sikap sok sucinya. Ia muak berada di tempat ini. Semoga saja ia bisa secepatnya pergi dari rumah kontrakan kumuh ini. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Agustina Suzartiany
terima kasih ka Suzy
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   98. Akhir Kisah Cinta (END)

    Dedaunan di pekarangan rumah Haryo tampak bergoyang pelan, ditiup angin sore yang lembut. Aroma wangi daun pandan dari dapur menyapa Marwa saat ia turun dari mobil. Hari ini ia menjenguk Haryo dan Bu Ida, yang tadi pagi baru pulang dari rumah sakit.“Aku lanjut menemui klien dulu, ya? Nanti aku balik lagi ke sini. Silakan puas-puasin dulu pacaran dengan Haryo,” Siska nyengir sebelum memutar balik mobil.Marwa menjawab dengan kepalan tangannya. Setelah Siska berlalu, Marwa pun memencet bel.Tak butuh waktu lama, pintu pun dibuka. Hani berdiri di ambang pintu dengan air muka ramah.“Ayo masuk, Wa. Mas Haryo mengomel melulu karena kamu belum datang menjenguk,” tukasnya sambil menarik tangan Marwa masuk ke dalam rumah.Dari ruang tengah terdengar suara ceria anak-anak kecil yang membuat hati Marwa tergugah. Ia mengenali salah satu suara anak kecil itu.“Dokter Marwaaa!” seru Najwa, berlari kecil dengan rambut dicepol asal dan piyama yang kebesaran. Gadis kecil itu tampak sangat nyaman ber

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   97. Kesaksian Pak Tono.

    Setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit, Marwa akhirnya diperbolehkan pulang. Selanjutnya, ia akan menjalani rawat jalan dua minggu sekali hingga pulih seperti sediakala. Berbeda dengan dirinya, Haryo dan Bu Ida mungkin baru boleh pulang seminggu ke depan. Kondisi keduanya lebih serius darinya.Sekarang Marwa tinggal bersama Siska untuk sementara, karena rumahnya sudah habis dilalap api. Ia juga sudah membuat keputusan untuk tidak membangun kembali rumah itu. Terlalu banyak kenangan menyakitkan di sana.Ada satu hal yang membuat Marwa sangat bersyukur: alih-alih dirinya mengunjungi Pak Tono ke Pekalongan, justru Pak Tonolah yang akan mengunjunginya. Pak Tono memang harus memberikan keterangan ke kantor polisi setelah kondisinya membaik. Karena sedang berada di Jakarta, Pak Tono sekalian mengunjunginya untuk menceritakan tentang kejadian lima belas tahun yang lalu.Dan hari itu, sebuah pertemuan menjadi titik terang baru di tengah reruntuhan masa lalu.Pak Tono akhirnya datang. S

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   96. Menyemai Impian.

    "Ya terserahlah kalau kamu memaksa,” Marwa pura-pura pasrah.“Dasar gengsian.” Siska mengerucutkan bibirnya. “Aku ke mobil sebentar mengambil tas ya, Wa. Aku pengen mandi. Gerah banget.” Siska mengambil remote mobil dari dalam tas dan berlalu.Marwa menggeser punggung dan meringis setelahnya. Bahunya terasa perih. Namun ia tahu kalau dirinya akan baik-baik saja. Kehadiran Siska sedikit banyak menenangkannya. Ternyata di tengah badai hidup yang menghancurkan segalanya, Allah tetap mengirimkan satu dua tangan untuk menggenggamnya, menuntunnya kembali berdiri. Di antaranya adalah Haryo dan Siska.Marwa memejamkan mata, bibirnya berbisik pelan,“Alhamdulillah.”Ia tahu, selama masih ada cinta dan ketulusan dalam hidupnya, ia pasti bisa melewati apa pun***Dua hari di rumah sakit, kondisinya mulai membaik. Demikian juga dengan Haryo dan Bu Ida. Ia akhirnya diizinkan menjenguk mereka di ICU. Dengan bantuan Siska, yang sudah dua hari menemaninya di rumah sakit, Siska mendorong kursi rodanya

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   95. Alhamdullilah.

    Bunyi detak monitor dan aroma disinfektan menyapa indera Marwa begitu matanya terbuka perlahan. Cahaya lampu langit-langit menyilaukan, membuatnya menyipit. Tubuhnya berat, nyeri menyebar dari ujung kaki hingga ujung kepala. Beberapa bagian kulitnya terasa perih, dibalut perban. Napasnya masih terasa berat—tapi jauh lebih baik daripada sebelumnya.Butuh waktu beberapa detik sebelum ia menyadari—ia masih hidup.“Dokter Marwa sudah sadar? Syukurlah.” Suara lembut perawat terdengar dari samping. Suster Erna. Wajah Suster Erna dipenuhi kelegaan, namun juga kesedihan saat melihat keadaan Marwa.Marwa mencoba membuka mulut, namun hanya desahan lirih yang keluar. Matanya menatap sekitar, mencari seseorang. “Haryo...,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Sesuatu tiba-tiba saja memasuki benaknya. Ia teringat pada sosok lain.“Bu Ida?” Marwa kembali bertanya. Kecemasan mewarnai bola matanya.Suster Erna menggenggam tangannya. “Pak Haryo dan Bu Ida juga berhasil diselamatkan,” lanjut Suster Erna cep

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   94. Neraka Kedua.

    Tengah Malam Dalam tidurnya, Marwa bermimpi. Ia berada dalam kobaran api, seperti yang pernah terjadi lima belas tahun lalu. Namun kali ini, rumah yang terbakar bukan rumah lamanya, melainkan rumahnya yang sekarang. Ia melihat ayah, ibu, abang, dan kakaknya berdiri di tengah kobaran api dengan pakaian serba putih.Ia berlari di antara kobaran api, berteriak memanggil nama ayah, ibu, abang, dan kakaknya agar mereka semua menjauh. Namun mereka semua seperti tidak mendengar jeritannya. Mereka semua tetap berdiri di balik jilatan api yang mengamuk. Yang mengherankan mereka semua tidak terbakar.“Pergi, Marwa... Lari! Selamatkan dirimu sekarang juga!” seru ibunya dari tengah kobaran api.Tangan ibunya menjulur, ingin menggapainya. Namun pegangan mereka tak pernah sampai. Api terus membakar di antara mereka.Tiba-tiba, dari sudut ruangan, terdengar suara rendah, menggeram dengan kebencian yang menyesakkan. "Seharusnya dulu kamu ikut hangus terbakar!”Marwa terbangun dengan tubuh berpeluh.

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   93. Meragu.

    Tiga Bulan KemudianMalam itu, cahaya lampu jalan menyusup samar melalui celah tirai jendela rumah Marwa, menebarkan siluet redup di dinding ruang tamu. Di tangannya, sebuah ponsel menempel di telinga. Suaranya terdengar lirih, menahan haru saat menerima kabar baik dari seberang sana."Alhamdulillah... Terima kasih sudah mengabari saya, Pak Sudin. Saya sungguh senang mendengarnya," ucap Marwa gembira. Kabar inilah yang selalu ia nantikan."Pak Tono sudah jauh lebih baik, Nak," ujar Pak Sudin dari ujung telepon. "Sekarang beliau bukan cuma mengenali anak istri dan keluarganya. Tetangga-tetangga lamanya pun sudah bisa beliau kenalinya. Malah sekarang Pak Tononya sudah mulai rutin bermain catur dengan teman-teman lamanya." "Syukurlah Pak kalau Pak Tono makin membaik. Besok pagi saya ke sana ya, Pak. Saya ingin melihat keadaan Pak Tono." "Baik, Nak Marwa. Kami tunggu kedatangannya ya." Pak Sudin menyambut antusias rencananya. Marwa menutup panggilan itu dengan senyum tipis yang penuh ra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status