"Bilang pada mereka untuk mengurus masalah mereka sendiri. Tapi kalau mereka memang mau mengurusi kita, sekalian suruh urus juga token listrik dan uang kontrakan. Ibu pergi dulu." Bu Mariana mencangklong tas. Ia menarik napas panjang terlebih dahulu sebelum keluar rumah. Ia harus mempersiapkan diri sebelum berjibaku dengan LC-LC baru dan muda-muda di club. Lihatlah, semua orang punya masalah sendiri-sendiri bukan?
Malam semakin larut. Marwa masih duduk di lantai dapur, menyusun kue-kue buatannya. Tapi tangannya kini bergerak lebih lambat, pikirannya melayang pada kata-kata ibunya barusan.
Tiba-tiba, suara gaduh terdengar dari depan rumah. Pintu didorong kasar hingga hampir lepas dari engselnya.
"Astaghfirullahaladzim!" Marwa mengucap karena kaget. Ayahnya masuk ke dalam rumah dalam keadaan teler seperti biasa. Tubuh ayahnya limbung dengan aroma alkohol menyengat yang menusuk hidung.
"Brengsek! Hidup memang tidak adil!" Pak Maryadi menggeram kesal dan berjalan sempoyongan. Saat sampai di tengah ruangan, ia tiba-tiba sambil menekan perutnya.
Marwa buru-buru bangkit saat melihat ayahnya membungkuk, lalu muntah-muntah di lantai. Bau asam menyebar, membuat perutnya ikut mual.
"Apa gunanya hidup kalau aku miskin begini, hah?!" Maryadi menggeram lagi, menghapus sisa muntah di dagunya dengan lengan baju yang sudah lusuh. Matanya merah dan kosong. Dulu ia sangat kaya, makanya Mariana yang cantik jelita bersedia ia persunting. Sayangnya ia kemudian bangkrut dan kehidupannya pun berubah!
"Ibumu mana?" Dengan tubuh sempoyongan, Pak Maryadi memandang seantero ruangan.
"Ibu kerja seperti biasa, Yah," sahut Marwa sambil memegangi ayahnya. "Dasar perempuan tidak tahu diri! Dia enak-enakan berdandan cantik untuk laki-laki lain, sementara aku di sini sengsara!"
Marwa diam, sudah terlalu biasa mendengar ocehan seperti ini. Ia hanya mengambil lap, membersihkan muntahan ayahnya, lalu melangkah ke dapur, pura-pura sibuk. Tak ada gunanya menjawab atau membantah.
Tak lama kemudian, setelah mengumpat beberapa kali lagi, Pak Maryadi akhirnya roboh di atas sofa butut mereka dan tertidur dengan dengkuran keras.
Marwa menghela napas lega. Tapi baru saja ia hendak kembali ke dapur, pintu depan kembali terbuka. Kakaknya
Marsya masuk sambil mengibas-ngibaskan uang di tangannya. Bibirnya merah menyala, rambutnya masih acak-acakan seperti habis pulang dari pesta. Wajahnya sumringah, bertolak belakang dengan keadaan rumah mereka yang kumuh dan berantakan. Marsya putus sekolah tahun lalu karena sering menunggak uang SPP. Lagi pula Marsya memang tidak suka sekolah."Malam yang menyenangkan," katanya riang, melempar tasnya ke sofa. "Lihat, Marwa! Aku mendapat hadiah banyak hari ini! Pacar baruku royal sekali!" Marsya mengibas-ngibaskan uang pecahan seratus ribu di depan wajah Marwa.
Marwa hanya melirik sekilas, lalu kembali menata kue-kue yang sudah disusun rapi ke atas meja.
"Kamu iri kan melihatku mendapat uang sebanyak ini? Cepat lagi. Tidak sepertimu yang seharian membuat kue tapi hasilnya tidak seberapa. Mana capek lagi." Marsya memanas-manasi adiknya.
"Tapi uangku halal, Kak. Dimakannya jadi daging," sahut Marwa sabar.
"Halah. Makanan kalau dimakan, ya jadinya tai*. Nggak ada itu soal halal haram," cibir Marsya sinis.
"Lihat, Wa. Dia sampai membelikan aku ini." Marsya mendongak. Memamerkan kalung emas indah yang melingkari lehernya.
Marwa tak menjawab. Hatinya perih melihat betapa kakaknya begitu bangga hidup dengan cara seperti itu.
"Jangan pasang muka sok suci begitu, deh. Kamu itu masih SMP. Jadi kamu belum mengerti rasanya ingin tampil cantik dan keren tapi tidak punya duit. Coba nanti kamu seumurku. Paling tidak tiga tahun lagilah. Pasti kamu pengen ini itu juga. Tinggal menunggu waktu saja kamu akan menjadi sepertiku," imbuh Marsya yakin.
"Aku tidak mau uang kotor, Kak," jawab Marwa lirih.
Marsya tertawa sinis. "Terserah kamu deh. Tapi ingat, dunia ini bukan tempat buat orang baik. Kamu akan sadar sendiri nanti."
Setelah itu, Marsya masuk ke kamarnya, meninggalkan Marwa sendirian di dapur. Saat melewati kamar Marco, ia menutup hidup. Aroma asam muntahan membuatnya mual. Marsya berdecih. Tidak ayah tidak abang, sama saja kelakuannya. Tukang mabuk sekaligus pengangguran. Di rumah ini hanya Marwa yang masih bertahan dengan sikap sok sucinya. Ia muak berada di tempat ini. Semoga saja ia bisa secepatnya pergi dari rumah kontrakan kumuh ini.
Meja-meja penuh makanan mulai dikerubungi. Nasi kuning mengepul hangat, ayam goreng, sambal terasi, dan lalapan memenuhi piring. Beberapa bapak-bapak sudah duduk mengitari meja terpal di sudut halaman, bercanda sambil menyeruput teh manis. Sebagian mulai mengeluarkan rokok dan menghisapnya sembari mengobrol.Haryo datang di antara keramaian, berjalan cepat mendekati Marwa. Di tangannya ada sepiring nasi lengkap dengan lauknya.“Kita duduk di sana, yuk, Wa?” Haryo menunjuk kursi di pojok dengan dagunya. “Tapi kamu ikut makan juga dong. Biar aku nggak kelihatan rakus sendirian,” usul Haryo.Marwa pun bergegas mengambil sepiring nasi dan lauk-pauk. Setelahnya, ia berjalan bersisian dengan Haryo menuju kursi di pojokan.“Bagaimana rasanya jadi tuan rumah, Wa?” bisiknya, sambil mencomot kerupuk dari piring Marwa.“Bagi ya?” pintanya dengan senyum tengil.“Jangan sok mesra, Yo. Nanti ada yang melihat dan mengadukan kedekatan kita ke ibumu,” Marwa memperingatkan Haryo.“Ibu sudah tahu kok ka
Minggu siang itu, kesibukan di Gang Kenanga terasa berbeda. Riuh dan hangat. Matahari menyinari pekarangan rumah Marwa yang baru direnovasi. Hari ini, Marwa resmi menempati rumah peninggalan keluarganya—rumah yang dahulu penuh luka, kini ia ubah menjadi rumah mungil yang nyaman. Sejak pagi buta, ia sudah sibuk menata barang-barang dan perabot yang datang hampir bersamaan. Ranjang, lemari es, televisi, sofa, meja makan, kursi… semuanya masih dibungkus plastik. Rumahnya masih bau cat dan kardus baru.Untungnya, Siska—yang sudah hampir pulih seperti sedia kala setelah peristiwa kecelakaan—datang membantu. Bersama "trio legend" Gang Kenanga: Bu Tutik, Bu Tika, dan Bu Nurma, mereka semua bahu-membahu membantu Marwa yang akan melakukan syukuran pindah ke rumah baru. Ibu-ibu ini menjadi seksi konsumsi untuk acara syukuran hari ini.Siapa yang menyangka, ketiga perempuan yang dulu paling gencar memusuhi keluarganya, kini bersikap sebaliknya. Mereka siap siaga membantu Marwa. Waktu memang bisa
Dan akhirnya, mereka pun kembali ke rumah-rumah petak yang mereka datangi pertama kalinya. Ternyata, Pak Hendro dan Bu Zainab—istrinya tinggal di sini. Semangat Marwa langsung menguap. Soalnya tadi ia sudah menanyai semua warga di sini dan tidak ada yang mengenal perempuan di fotonya.“Tadi kami sudah duluan ke sini, Pak. Tapi semua penghuni kontrakan tidak ada yang kenal dengan orang yang ada di foto saya,” ujar Marwa lesu.“Tapi kan kalian berdua belum bertemu dengan istri saya. Istri saya itu kakinya sakit karena diabetes. Jadi jarang keluar rumah. Kalian pasti belum menanyainya,” tukas Pak Hendro sambil membuka pintu kontrakan berwarna biru langit.Pak Hendro benar. Mereka memang belum menanyai rumah ini karena tadi tidak ada orangnya.Mereka pun kemudian masuk ke dalam rumah Pak Hendro. Rumah kontrakan ini kecil dan temboknya kusam, tapi tak disangka, dalamnya bersih. Di ruang tamu yang sempit tampak seorang perempuan setengah baya bersandar pada tongkat, langkahnya tertatih.“In
"Siapa lagi yang markir mobil di depan pintu gerbang gue? Lo buta huruf, kagak bisa baca tulisan 'Dilarang Parkir'?"Marwa meringis. Baru saja memarkirkan kendaraan, ia sudah mendengar umpatan Tante Hilda."Ini aku, Tante. Marwa," ucap Marwa sambil sedikit mengeraskan suaranya."Oh, elo. Ya udah, masuk aja, Wa. Pintunya kagak gue kunci," seru Tante Hilda.Marwa memutar handle pintu yang langsung terbuka."Gue lagi nyupir. Lo langsung ke dapur aja," seru Tante Hilda lagi.Marwa pun lantas berjalan menuju dapur. Terlihat Tante Hilda sedang mencuci piring."Duduk dulu ya, Wa. Gue bentar lagi selesai." Tante Hilda terus bekerja dengan cekatan. Marwa mengangguk dan duduk di kursi dapur, mengamati Tante Hilda yang tengah membilas beberapa gelas dan piring dan menyusun barang pecah belah itu di rak agar cepat kering. Lantas, ia mengelap bak cuci piring dan mencuci tangannya hingga bersih."Oke, gue udah selesai. Mana foto-foto yang mau lo perlihatkan ke gue?"Tante Hilda mengulurkan tanganny
Langit Jakarta mulai memutih oleh awan tipis saat Marwa turun dari mobil di depan Rumah Sakit Jiwa Soeroso. Di sisi kiri dan kanannya, Bu Endah dan Pak Sudin menyusul turun dengan langkah cepat. Keduanya tidak sabar ingin bertemu Pak Tono. Mereka bertiga pun bergegas menuju meja pendaftaran pasien. Setelah Bu Endah dan Pak Sudin menyampaikan keinginannya untuk menjenguk Pak Tono, mereka berdua pun diantar ke bangsalnya. Di meja kedokteran hanya tinggal Marwa seseorang.“Saya ingin bertemu dengan Dokter Wulan,” kata Marwa sopan namun tegas.Staf administrasi saling pandang dan mengangkat wajah dengan sedikit gugup. “Maaf, Bu. Dokter Wulan sedang tidak ada di tempat."Marwa mengangguk singkat, lalu mengeluarkan dokumen dari map plastik bening dan menyodorkannya. “Ini SPDP dari penyidik Polresta Jakarta. Saya diizinkan mendapatkan informasi yang diperlukan terkait pasien atas nama Sumitro atau Sartono.”Staf administrasi itu tidak menjawab. Ia hanya saling pandang dengan rekannya dengan
Sore itu, Gang Kenanga terasa lebih ramai dari biasanya. Para ibu tampak membentuk masing-masing kelompok untuk mengobrol di teras rumah. Marwa melambatkan laju mobil dan berhenti di depan rumahnya. Sontak pandangan para ibu tertuju padanya. Begitu ia turun dari mobil, beberapa ibu-ibu langsung mengerubungi. Mereka seperti sudah menunggu kedatangannya. Ada Bu Ani, Bu Desi, Bu Sinurat, Bu Siti, Bu Rita juga trio legend Gang Kenanga yaitu Bu Tutik, Bu Tika dan Bu Nurma."Benar ya, Wa? Kalau yang selingkuh dengan Pak Marno itu bukan almarhumah ibumu... tapi perempuan lain? Seorang perempuan bernama Na?" tanya Bu Nurma tanpa basa-basi."Ah pasti bohong. Orang kata Bu Ida itu cuma akal-akalan Marwa dan Haryo supaya hubungan mereka berdua direstui kok," cibir Bu Desi."Belum tentu juga, Des. Siapa tahu itu benar. Bu Ida itu kan sudah terlanjur benci sama Si Anna. Makanya apa pun yang menyangkut Anna pasti salah saja di matanya." Bu Rita tidak setuju dengan pernyataan Bu Desi."Iya benar. O