Share

7. Selamat Tinggal.

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2025-04-23 20:13:29

Seperti dejavu, Marwa memandangi tiga makam baru di depannya dengan pandangan kosong. Tiga makam itu adalah makam ayah, abang, dan kakaknya. Tepat di samping makam ayahnya, masih terlihat tanah basah makam ibunya. Dalam waktu seminggu, Marwa telah kehilangan seluruh anggota keluarganya.

Di tengah isak tangis, Marwa menangkap suara bisik-bisik. Beberapa tetangga yang mayoritas ibu-ibu tetangganya tengah menggosipinya.

"Betul kan apa yang aku bilang, Bu Tika? Suatu saat keluarga si Mariana itu pasti akan terkena azab. Lha wong, satu keluarga, tidak ada satu pun yang benar kelakuannya. Kecuali, ya, si Marwa ini."

Suara Bu Nurma. Marwa mengenali suara cemprengnya.

"Halah, si Marwa itu juga cikal bakal seperti ibu dan kakaknya, Bu Nur. Sekarang kan dia masih kecil, belum mengerti uang banyak. Coba lihat beberapa tahun lagi. Pasti sama saja kelakuannya," bisik salah satu dari mereka.

Yang ini suara Bu Tutik.

"Benar juga, ya? Kata orang, buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya. Padahal namanya bagus sekali, Marwa Shidqia, yang artinya selalu berhati-hati dan berkata jujur."

Bu Nurma masih terus menggosipinya.

"Mungkin sewaktu memberi nama, Pak Maryadi dalam keadaan sadar. Makanya nama anaknya bener."

Bu Tutik tertawa, diikuti ibu-ibu lainnya. Marwa menggigit bibir. Kebiasaan ayahnya yang suka mabuk-mabukan membuat ibi-ibu itu merasa lucu kalau ayahnya dalam keadaan sadar. 

"Kalian tahu tidak gosip terbaru hari ini?" Marwa menajamkan pendengarannya. Bu Tutik memang tak pernah kehabisan bahan gosip.

"Apa itu, Bu Tut?" suara-suara penasaran menimpali.

"Kata Bu Ida, Pak Marno itu sudah berniat menceraikannya. Bu Ida tahunya dari notaris yang biasa mengurus surat-surat Pak Marno. Pasti si Mariana sudah membuatnya mabuk kepayang sampai Pak Marno nekat ingin bercerai!"

"Jahat sekali ya, si Mariana itu. Sudah membuat rumah tangga Bu Ida berantakan eh, malah ikut menggoda suami-suami kita pula. Aku kemarin dulu memergoki si Jarot mengigau memanggil-manggil nama si Mariana." Suara ghibah semakin nyaring. 

"Ya sama. Aku juga pernah kok memergoki suamiku senyum-senyum sendiri sambil memandangi potret si Mariana di hape." 

Marwa mengepalkan tangan, lalu bangkit dari posisi bersimpuhnya. Dengan geram, ia melangkah mendekati kumpulan ibu-ibu yang tengah menggosipkannya.

"Dengar ya, Ibu-Ibu sekalian!" suara Marwa menggema, membuat mereka tersentak diam sejenak. "Ibuku tidak punya hubungan apapun dengan Pak Marno maupun suami-suami kalian. Ibuku di club itu bekerja, mencari nafkah. Semua orang bisa datang ke sana asal punya uang. Termasuk suami-suami kalian."

Tatapan Marwa menyapu wajah-wajah mereka yang masih memandangnya dengan remeh.

"Kalau kalian tidak suka suami-suami kalian ke club, ya dilarang dong. Kalau mereka ngeyel, ceraikan sekalian. Berani tidak? Bisanya cuma menyalahkan orang lain!" sembur Marwa getas. 

Wajah para ibu itu memerah, entah karena malu atau marah. Marwa tak peduli soal tata krama lagi. Mereka jual, ia akan membeli.

"Kamu ini anak kecil tahu apa?" Bu Tutik merangsek maju. Wajah Marwa yang mirip Mariana membuatnya emosi. 

"Eh, sudah... sudah... Bu Tutik. Marwa sedang berduka. Tidak baik ribut-ribut di sini. Kasihan Marwa. Dia masih anak-anak." Irna, seorang janda muda dalam rombongan, sigap menghalangi langkah Bu Tutik.

"Kamu sih bisa sabar, Na. Karena kamu itu janda. Jadi kamu tidak punya suami yang bisa digoda si Mariana. Coba statusmu sama seperti kita, aku tidak yakin kamu bisa sebijak ini," dengkus Bu Tutik kesal.

"Jangan begitu, Bu Tutik. Marwa kan tidak tahu apa-apa. Berempatilah sedikit." Irna menatap mereka dengan tatapan memohon pengertian.

"Lihat, Marwa. Perempuan yang mencari nafkah yang benar, ya seperti si Irna ini. Masih muda, cantik dan menjanda tidak membuatnya mencari jalan pintas. Ia bekerja keras membuka warung dari pagi sampai malam. Tidak seperti ibumu, bisanya cuma mengangkang!" Bu Tutik masih belum puas melampiaskan amarahnya.

"Semoga saja anak dan keturunan Bu Tutik kelak semuanya berkecukupan dan menjadi orang baik. Agar semua sumpah serapah Ibu tidak berbalik pada Ibu sendiri," sahut Marwa dingin.

Bu Tutik tak berkata apa-apa lagi, hanya mendengkus jijik dan berlalu bersama ibu-ibu yang lain. Tinggal Irna yang terus mengelus punggung Marwa.

"Sabar ya, Wa. Jangan dengarkan omongan mereka semua." Irna menghibur Marwa.

"Mbak percaya tidak kalau ibu saya tidak menggoda suami-suami mereka? Apalagi Pak Marno?" tanya Marwa lesu.

"Mbak percaya, Marwa," kata Irna sungguh-sungguh. "Mbak turut berdukacita ya? Mbak sangat mengerti kesedihanmu. Ditinggal orang yang kita cinta memang sangat menyakitkan," ujarnya nelangsa sambil merangkum kedua tangan Marwa.

"Kamu tinggal di mana sekarang, Wa?" tanya Irna lagi.

"Untuk sementara di rumah Pak RT, Mbak. Rencananya lusa, aku akan pergi ke alamat yang diberikan ayah."

"Di mana itu, Wa? Setahu Mbak, kedua orang tuamu tidak punya keluarga lain?" tanya Irna cemas.

"Ke Surabaya, Mbak. Ayah sempat memberikan secarik kertas yang bertuliskan sebuah alamat. Ayah berpesan kalau aku harus ke sana jikalau ada apa-apa pada Ayah," kata Marwa apa adanya.

"Ya sudah, kalau maumu begitu." Irna mengalah.

"Kamu punya uang untuk pegangan, Wa?" tanya Irna hati-hati.

Marwa tak menjawab. Ia memang sudah tidak punya uang, tetapi sungkan mengatakannya. Irna yang mengerti pergolakan hatinya segera membuka resleting tasnya. Ia mengeluarkan dompet dan menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah.

"Mbak punya sedikit uang. Diterima ya? Ambil saja buat pegangan."

"Tidak usah, Mbak. Nanti saya tidak bisa mengembalikannya. Saya akan pergi jauh soalnya." Marwa menolak halus.

"Tidak apa-apa, Marwa. Ambil saja. Kamu boleh mengembalikannya nanti, kalau kamu sudah sukses. Mbak pulang dulu ya? Mau membuka warung." Irna menepuk lembut bahu Marwa sebelum berlalu.

Marwa memandang kepergian Irna dengan tatapan penuh rasa terima kasih. Kebaikan hati, kelembutan, dan kesedihan yang menggelayuti air muka Irna bukan pura-pura. Irna terlihat tulus. Semoga saja di lain waktu ia bisa membalas kebaikan Irna ini berkali lipat. Aamiin. 

*** 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Wulan Ruslan
Mewekkk baca nya aku kak ............
goodnovel comment avatar
Wulan Ruslan
Semoga awal hidup baru Marwa Harus nya Masya selamat biar mereka balas orng yang buat rumah kebakar
goodnovel comment avatar
Agustina Suzartiany
aamiin......semoga ya wa...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   98. Akhir Kisah Cinta (END)

    Dedaunan di pekarangan rumah Haryo tampak bergoyang pelan, ditiup angin sore yang lembut. Aroma wangi daun pandan dari dapur menyapa Marwa saat ia turun dari mobil. Hari ini ia menjenguk Haryo dan Bu Ida, yang tadi pagi baru pulang dari rumah sakit.“Aku lanjut menemui klien dulu, ya? Nanti aku balik lagi ke sini. Silakan puas-puasin dulu pacaran dengan Haryo,” Siska nyengir sebelum memutar balik mobil.Marwa menjawab dengan kepalan tangannya. Setelah Siska berlalu, Marwa pun memencet bel.Tak butuh waktu lama, pintu pun dibuka. Hani berdiri di ambang pintu dengan air muka ramah.“Ayo masuk, Wa. Mas Haryo mengomel melulu karena kamu belum datang menjenguk,” tukasnya sambil menarik tangan Marwa masuk ke dalam rumah.Dari ruang tengah terdengar suara ceria anak-anak kecil yang membuat hati Marwa tergugah. Ia mengenali salah satu suara anak kecil itu.“Dokter Marwaaa!” seru Najwa, berlari kecil dengan rambut dicepol asal dan piyama yang kebesaran. Gadis kecil itu tampak sangat nyaman ber

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   97. Kesaksian Pak Tono.

    Setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit, Marwa akhirnya diperbolehkan pulang. Selanjutnya, ia akan menjalani rawat jalan dua minggu sekali hingga pulih seperti sediakala. Berbeda dengan dirinya, Haryo dan Bu Ida mungkin baru boleh pulang seminggu ke depan. Kondisi keduanya lebih serius darinya.Sekarang Marwa tinggal bersama Siska untuk sementara, karena rumahnya sudah habis dilalap api. Ia juga sudah membuat keputusan untuk tidak membangun kembali rumah itu. Terlalu banyak kenangan menyakitkan di sana.Ada satu hal yang membuat Marwa sangat bersyukur: alih-alih dirinya mengunjungi Pak Tono ke Pekalongan, justru Pak Tonolah yang akan mengunjunginya. Pak Tono memang harus memberikan keterangan ke kantor polisi setelah kondisinya membaik. Karena sedang berada di Jakarta, Pak Tono sekalian mengunjunginya untuk menceritakan tentang kejadian lima belas tahun yang lalu.Dan hari itu, sebuah pertemuan menjadi titik terang baru di tengah reruntuhan masa lalu.Pak Tono akhirnya datang. S

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   96. Menyemai Impian.

    "Ya terserahlah kalau kamu memaksa,” Marwa pura-pura pasrah.“Dasar gengsian.” Siska mengerucutkan bibirnya. “Aku ke mobil sebentar mengambil tas ya, Wa. Aku pengen mandi. Gerah banget.” Siska mengambil remote mobil dari dalam tas dan berlalu.Marwa menggeser punggung dan meringis setelahnya. Bahunya terasa perih. Namun ia tahu kalau dirinya akan baik-baik saja. Kehadiran Siska sedikit banyak menenangkannya. Ternyata di tengah badai hidup yang menghancurkan segalanya, Allah tetap mengirimkan satu dua tangan untuk menggenggamnya, menuntunnya kembali berdiri. Di antaranya adalah Haryo dan Siska.Marwa memejamkan mata, bibirnya berbisik pelan,“Alhamdulillah.”Ia tahu, selama masih ada cinta dan ketulusan dalam hidupnya, ia pasti bisa melewati apa pun***Dua hari di rumah sakit, kondisinya mulai membaik. Demikian juga dengan Haryo dan Bu Ida. Ia akhirnya diizinkan menjenguk mereka di ICU. Dengan bantuan Siska, yang sudah dua hari menemaninya di rumah sakit, Siska mendorong kursi rodanya

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   95. Alhamdullilah.

    Bunyi detak monitor dan aroma disinfektan menyapa indera Marwa begitu matanya terbuka perlahan. Cahaya lampu langit-langit menyilaukan, membuatnya menyipit. Tubuhnya berat, nyeri menyebar dari ujung kaki hingga ujung kepala. Beberapa bagian kulitnya terasa perih, dibalut perban. Napasnya masih terasa berat—tapi jauh lebih baik daripada sebelumnya.Butuh waktu beberapa detik sebelum ia menyadari—ia masih hidup.“Dokter Marwa sudah sadar? Syukurlah.” Suara lembut perawat terdengar dari samping. Suster Erna. Wajah Suster Erna dipenuhi kelegaan, namun juga kesedihan saat melihat keadaan Marwa.Marwa mencoba membuka mulut, namun hanya desahan lirih yang keluar. Matanya menatap sekitar, mencari seseorang. “Haryo...,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Sesuatu tiba-tiba saja memasuki benaknya. Ia teringat pada sosok lain.“Bu Ida?” Marwa kembali bertanya. Kecemasan mewarnai bola matanya.Suster Erna menggenggam tangannya. “Pak Haryo dan Bu Ida juga berhasil diselamatkan,” lanjut Suster Erna cep

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   94. Neraka Kedua.

    Tengah Malam Dalam tidurnya, Marwa bermimpi. Ia berada dalam kobaran api, seperti yang pernah terjadi lima belas tahun lalu. Namun kali ini, rumah yang terbakar bukan rumah lamanya, melainkan rumahnya yang sekarang. Ia melihat ayah, ibu, abang, dan kakaknya berdiri di tengah kobaran api dengan pakaian serba putih.Ia berlari di antara kobaran api, berteriak memanggil nama ayah, ibu, abang, dan kakaknya agar mereka semua menjauh. Namun mereka semua seperti tidak mendengar jeritannya. Mereka semua tetap berdiri di balik jilatan api yang mengamuk. Yang mengherankan mereka semua tidak terbakar.“Pergi, Marwa... Lari! Selamatkan dirimu sekarang juga!” seru ibunya dari tengah kobaran api.Tangan ibunya menjulur, ingin menggapainya. Namun pegangan mereka tak pernah sampai. Api terus membakar di antara mereka.Tiba-tiba, dari sudut ruangan, terdengar suara rendah, menggeram dengan kebencian yang menyesakkan. "Seharusnya dulu kamu ikut hangus terbakar!”Marwa terbangun dengan tubuh berpeluh.

  • Di Antara Aku, Ibuku, dan Mantan Suami Musuhku   93. Meragu.

    Tiga Bulan KemudianMalam itu, cahaya lampu jalan menyusup samar melalui celah tirai jendela rumah Marwa, menebarkan siluet redup di dinding ruang tamu. Di tangannya, sebuah ponsel menempel di telinga. Suaranya terdengar lirih, menahan haru saat menerima kabar baik dari seberang sana."Alhamdulillah... Terima kasih sudah mengabari saya, Pak Sudin. Saya sungguh senang mendengarnya," ucap Marwa gembira. Kabar inilah yang selalu ia nantikan."Pak Tono sudah jauh lebih baik, Nak," ujar Pak Sudin dari ujung telepon. "Sekarang beliau bukan cuma mengenali anak istri dan keluarganya. Tetangga-tetangga lamanya pun sudah bisa beliau kenalinya. Malah sekarang Pak Tononya sudah mulai rutin bermain catur dengan teman-teman lamanya." "Syukurlah Pak kalau Pak Tono makin membaik. Besok pagi saya ke sana ya, Pak. Saya ingin melihat keadaan Pak Tono." "Baik, Nak Marwa. Kami tunggu kedatangannya ya." Pak Sudin menyambut antusias rencananya. Marwa menutup panggilan itu dengan senyum tipis yang penuh ra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status