Seperti dejavu, Marwa memandangi tiga makam baru di depannya dengan pandangan kosong. Tiga makam itu adalah makam ayah, abang, dan kakaknya. Tepat di samping makam ayahnya, masih terlihat tanah basah makam ibunya. Dalam waktu seminggu, Marwa telah kehilangan seluruh anggota keluarganya.
Di tengah isak tangis, Marwa menangkap suara bisik-bisik. Beberapa tetangga yang mayoritas ibu-ibu tetangganya tengah menggosipinya.
"Betul kan apa yang aku bilang, Bu Tika? Suatu saat keluarga si Mariana itu pasti akan terkena azab. Lha wong, satu keluarga, tidak ada satu pun yang benar kelakuannya. Kecuali, ya, si Marwa ini."
Suara Bu Nurma. Marwa mengenali suara cemprengnya.
"Halah, si Marwa itu juga cikal bakal seperti ibu dan kakaknya, Bu Nur. Sekarang kan dia masih kecil, belum mengerti uang banyak. Coba lihat beberapa tahun lagi. Pasti sama saja kelakuannya," bisik salah satu dari mereka.
Yang ini suara Bu Tutik.
"Benar juga, ya? Kata orang, buah jatuh nggak akan jauh dari pohonnya. Padahal namanya bagus sekali, Marwa Shidqia, yang artinya selalu berhati-hati dan berkata jujur."
Bu Nurma masih terus menggosipinya.
"Mungkin sewaktu memberi nama, Pak Maryadi dalam keadaan sadar. Makanya nama anaknya bener."
Bu Tutik tertawa, diikuti ibu-ibu lainnya. Marwa menggigit bibir. Kebiasaan ayahnya yang suka mabuk-mabukan membuat ibi-ibu itu merasa lucu kalau ayahnya dalam keadaan sadar.
"Kalian tahu tidak gosip terbaru hari ini?" Marwa menajamkan pendengarannya. Bu Tutik memang tak pernah kehabisan bahan gosip.
"Apa itu, Bu Tut?" suara-suara penasaran menimpali.
"Kata Bu Ida, Pak Marno itu sudah berniat menceraikannya. Bu Ida tahunya dari notaris yang biasa mengurus surat-surat Pak Marno. Pasti si Mariana sudah membuatnya mabuk kepayang sampai Pak Marno nekat ingin bercerai!"
"Jahat sekali ya, si Mariana itu. Sudah membuat rumah tangga Bu Ida berantakan eh, malah ikut menggoda suami-suami kita pula. Aku kemarin dulu memergoki si Jarot mengigau memanggil-manggil nama si Mariana." Suara ghibah semakin nyaring.
"Ya sama. Aku juga pernah kok memergoki suamiku senyum-senyum sendiri sambil memandangi potret si Mariana di hape."
Marwa mengepalkan tangan, lalu bangkit dari posisi bersimpuhnya. Dengan geram, ia melangkah mendekati kumpulan ibu-ibu yang tengah menggosipkannya.
"Dengar ya, Ibu-Ibu sekalian!" suara Marwa menggema, membuat mereka tersentak diam sejenak. "Ibuku tidak punya hubungan apapun dengan Pak Marno maupun suami-suami kalian. Ibuku di club itu bekerja, mencari nafkah. Semua orang bisa datang ke sana asal punya uang. Termasuk suami-suami kalian."
Tatapan Marwa menyapu wajah-wajah mereka yang masih memandangnya dengan remeh.
"Kalau kalian tidak suka suami-suami kalian ke club, ya dilarang dong. Kalau mereka ngeyel, ceraikan sekalian. Berani tidak? Bisanya cuma menyalahkan orang lain!" sembur Marwa getas.
Wajah para ibu itu memerah, entah karena malu atau marah. Marwa tak peduli soal tata krama lagi. Mereka jual, ia akan membeli.
"Kamu ini anak kecil tahu apa?" Bu Tutik merangsek maju. Wajah Marwa yang mirip Mariana membuatnya emosi.
"Eh, sudah... sudah... Bu Tutik. Marwa sedang berduka. Tidak baik ribut-ribut di sini. Kasihan Marwa. Dia masih anak-anak." Irna, seorang janda muda dalam rombongan, sigap menghalangi langkah Bu Tutik.
"Kamu sih bisa sabar, Na. Karena kamu itu janda. Jadi kamu tidak punya suami yang bisa digoda si Mariana. Coba statusmu sama seperti kita, aku tidak yakin kamu bisa sebijak ini," dengkus Bu Tutik kesal.
"Jangan begitu, Bu Tutik. Marwa kan tidak tahu apa-apa. Berempatilah sedikit." Irna menatap mereka dengan tatapan memohon pengertian.
"Lihat, Marwa. Perempuan yang mencari nafkah yang benar, ya seperti si Irna ini. Masih muda, cantik dan menjanda tidak membuatnya mencari jalan pintas. Ia bekerja keras membuka warung dari pagi sampai malam. Tidak seperti ibumu, bisanya cuma mengangkang!" Bu Tutik masih belum puas melampiaskan amarahnya.
"Semoga saja anak dan keturunan Bu Tutik kelak semuanya berkecukupan dan menjadi orang baik. Agar semua sumpah serapah Ibu tidak berbalik pada Ibu sendiri," sahut Marwa dingin.
Bu Tutik tak berkata apa-apa lagi, hanya mendengkus jijik dan berlalu bersama ibu-ibu yang lain. Tinggal Irna yang terus mengelus punggung Marwa.
"Sabar ya, Wa. Jangan dengarkan omongan mereka semua." Irna menghibur Marwa.
"Mbak percaya tidak kalau ibu saya tidak menggoda suami-suami mereka? Apalagi Pak Marno?" tanya Marwa lesu.
"Mbak percaya, Marwa," kata Irna sungguh-sungguh. "Mbak turut berdukacita ya? Mbak sangat mengerti kesedihanmu. Ditinggal orang yang kita cinta memang sangat menyakitkan," ujarnya nelangsa sambil merangkum kedua tangan Marwa.
"Kamu tinggal di mana sekarang, Wa?" tanya Irna lagi.
"Untuk sementara di rumah Pak RT, Mbak. Rencananya lusa, aku akan pergi ke alamat yang diberikan ayah."
"Di mana itu, Wa? Setahu Mbak, kedua orang tuamu tidak punya keluarga lain?" tanya Irna cemas.
"Ke Surabaya, Mbak. Ayah sempat memberikan secarik kertas yang bertuliskan sebuah alamat. Ayah berpesan kalau aku harus ke sana jikalau ada apa-apa pada Ayah," kata Marwa apa adanya.
"Ya sudah, kalau maumu begitu." Irna mengalah.
"Kamu punya uang untuk pegangan, Wa?" tanya Irna hati-hati.
Marwa tak menjawab. Ia memang sudah tidak punya uang, tetapi sungkan mengatakannya. Irna yang mengerti pergolakan hatinya segera membuka resleting tasnya. Ia mengeluarkan dompet dan menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah.
"Mbak punya sedikit uang. Diterima ya? Ambil saja buat pegangan."
"Tidak usah, Mbak. Nanti saya tidak bisa mengembalikannya. Saya akan pergi jauh soalnya." Marwa menolak halus.
"Tidak apa-apa, Marwa. Ambil saja. Kamu boleh mengembalikannya nanti, kalau kamu sudah sukses. Mbak pulang dulu ya? Mau membuka warung." Irna menepuk lembut bahu Marwa sebelum berlalu.
Marwa memandang kepergian Irna dengan tatapan penuh rasa terima kasih. Kebaikan hati, kelembutan, dan kesedihan yang menggelayuti air muka Irna bukan pura-pura. Irna terlihat tulus. Semoga saja di lain waktu ia bisa membalas kebaikan Irna ini berkali lipat. Aamiin.
***
Meja-meja penuh makanan mulai dikerubungi. Nasi kuning mengepul hangat, ayam goreng, sambal terasi, dan lalapan memenuhi piring. Beberapa bapak-bapak sudah duduk mengitari meja terpal di sudut halaman, bercanda sambil menyeruput teh manis. Sebagian mulai mengeluarkan rokok dan menghisapnya sembari mengobrol.Haryo datang di antara keramaian, berjalan cepat mendekati Marwa. Di tangannya ada sepiring nasi lengkap dengan lauknya.“Kita duduk di sana, yuk, Wa?” Haryo menunjuk kursi di pojok dengan dagunya. “Tapi kamu ikut makan juga dong. Biar aku nggak kelihatan rakus sendirian,” usul Haryo.Marwa pun bergegas mengambil sepiring nasi dan lauk-pauk. Setelahnya, ia berjalan bersisian dengan Haryo menuju kursi di pojokan.“Bagaimana rasanya jadi tuan rumah, Wa?” bisiknya, sambil mencomot kerupuk dari piring Marwa.“Bagi ya?” pintanya dengan senyum tengil.“Jangan sok mesra, Yo. Nanti ada yang melihat dan mengadukan kedekatan kita ke ibumu,” Marwa memperingatkan Haryo.“Ibu sudah tahu kok ka
Minggu siang itu, kesibukan di Gang Kenanga terasa berbeda. Riuh dan hangat. Matahari menyinari pekarangan rumah Marwa yang baru direnovasi. Hari ini, Marwa resmi menempati rumah peninggalan keluarganya—rumah yang dahulu penuh luka, kini ia ubah menjadi rumah mungil yang nyaman. Sejak pagi buta, ia sudah sibuk menata barang-barang dan perabot yang datang hampir bersamaan. Ranjang, lemari es, televisi, sofa, meja makan, kursi… semuanya masih dibungkus plastik. Rumahnya masih bau cat dan kardus baru.Untungnya, Siska—yang sudah hampir pulih seperti sedia kala setelah peristiwa kecelakaan—datang membantu. Bersama "trio legend" Gang Kenanga: Bu Tutik, Bu Tika, dan Bu Nurma, mereka semua bahu-membahu membantu Marwa yang akan melakukan syukuran pindah ke rumah baru. Ibu-ibu ini menjadi seksi konsumsi untuk acara syukuran hari ini.Siapa yang menyangka, ketiga perempuan yang dulu paling gencar memusuhi keluarganya, kini bersikap sebaliknya. Mereka siap siaga membantu Marwa. Waktu memang bisa
Dan akhirnya, mereka pun kembali ke rumah-rumah petak yang mereka datangi pertama kalinya. Ternyata, Pak Hendro dan Bu Zainab—istrinya tinggal di sini. Semangat Marwa langsung menguap. Soalnya tadi ia sudah menanyai semua warga di sini dan tidak ada yang mengenal perempuan di fotonya.“Tadi kami sudah duluan ke sini, Pak. Tapi semua penghuni kontrakan tidak ada yang kenal dengan orang yang ada di foto saya,” ujar Marwa lesu.“Tapi kan kalian berdua belum bertemu dengan istri saya. Istri saya itu kakinya sakit karena diabetes. Jadi jarang keluar rumah. Kalian pasti belum menanyainya,” tukas Pak Hendro sambil membuka pintu kontrakan berwarna biru langit.Pak Hendro benar. Mereka memang belum menanyai rumah ini karena tadi tidak ada orangnya.Mereka pun kemudian masuk ke dalam rumah Pak Hendro. Rumah kontrakan ini kecil dan temboknya kusam, tapi tak disangka, dalamnya bersih. Di ruang tamu yang sempit tampak seorang perempuan setengah baya bersandar pada tongkat, langkahnya tertatih.“In
"Siapa lagi yang markir mobil di depan pintu gerbang gue? Lo buta huruf, kagak bisa baca tulisan 'Dilarang Parkir'?"Marwa meringis. Baru saja memarkirkan kendaraan, ia sudah mendengar umpatan Tante Hilda."Ini aku, Tante. Marwa," ucap Marwa sambil sedikit mengeraskan suaranya."Oh, elo. Ya udah, masuk aja, Wa. Pintunya kagak gue kunci," seru Tante Hilda.Marwa memutar handle pintu yang langsung terbuka."Gue lagi nyupir. Lo langsung ke dapur aja," seru Tante Hilda lagi.Marwa pun lantas berjalan menuju dapur. Terlihat Tante Hilda sedang mencuci piring."Duduk dulu ya, Wa. Gue bentar lagi selesai." Tante Hilda terus bekerja dengan cekatan. Marwa mengangguk dan duduk di kursi dapur, mengamati Tante Hilda yang tengah membilas beberapa gelas dan piring dan menyusun barang pecah belah itu di rak agar cepat kering. Lantas, ia mengelap bak cuci piring dan mencuci tangannya hingga bersih."Oke, gue udah selesai. Mana foto-foto yang mau lo perlihatkan ke gue?"Tante Hilda mengulurkan tanganny
Langit Jakarta mulai memutih oleh awan tipis saat Marwa turun dari mobil di depan Rumah Sakit Jiwa Soeroso. Di sisi kiri dan kanannya, Bu Endah dan Pak Sudin menyusul turun dengan langkah cepat. Keduanya tidak sabar ingin bertemu Pak Tono. Mereka bertiga pun bergegas menuju meja pendaftaran pasien. Setelah Bu Endah dan Pak Sudin menyampaikan keinginannya untuk menjenguk Pak Tono, mereka berdua pun diantar ke bangsalnya. Di meja kedokteran hanya tinggal Marwa seseorang.“Saya ingin bertemu dengan Dokter Wulan,” kata Marwa sopan namun tegas.Staf administrasi saling pandang dan mengangkat wajah dengan sedikit gugup. “Maaf, Bu. Dokter Wulan sedang tidak ada di tempat."Marwa mengangguk singkat, lalu mengeluarkan dokumen dari map plastik bening dan menyodorkannya. “Ini SPDP dari penyidik Polresta Jakarta. Saya diizinkan mendapatkan informasi yang diperlukan terkait pasien atas nama Sumitro atau Sartono.”Staf administrasi itu tidak menjawab. Ia hanya saling pandang dengan rekannya dengan
Sore itu, Gang Kenanga terasa lebih ramai dari biasanya. Para ibu tampak membentuk masing-masing kelompok untuk mengobrol di teras rumah. Marwa melambatkan laju mobil dan berhenti di depan rumahnya. Sontak pandangan para ibu tertuju padanya. Begitu ia turun dari mobil, beberapa ibu-ibu langsung mengerubungi. Mereka seperti sudah menunggu kedatangannya. Ada Bu Ani, Bu Desi, Bu Sinurat, Bu Siti, Bu Rita juga trio legend Gang Kenanga yaitu Bu Tutik, Bu Tika dan Bu Nurma."Benar ya, Wa? Kalau yang selingkuh dengan Pak Marno itu bukan almarhumah ibumu... tapi perempuan lain? Seorang perempuan bernama Na?" tanya Bu Nurma tanpa basa-basi."Ah pasti bohong. Orang kata Bu Ida itu cuma akal-akalan Marwa dan Haryo supaya hubungan mereka berdua direstui kok," cibir Bu Desi."Belum tentu juga, Des. Siapa tahu itu benar. Bu Ida itu kan sudah terlanjur benci sama Si Anna. Makanya apa pun yang menyangkut Anna pasti salah saja di matanya." Bu Rita tidak setuju dengan pernyataan Bu Desi."Iya benar. O