"Bagus sekali, saya suka cara berpikirmu."
Kata-kata ini seperti tertancap dalam kepala Nindi. Teringat senyum hangat David saat mengatakan hal itu padanya. Tak ada kata-kata spesial, hanya atasan yang memuji bawahannya. Namun kenapa mampu membuat Nindi tak berhenti memikirkannya? Akhir-akhir ini pikirannya memang tertuju pada sang atasan. Nindi pun tak mengerti. Mungkinkah hanya kagum biasa pada atasannya? Ataukah rasa lain? ... Tidak, Nindi menepis pikiran itu. Mungkin saja hanya kagum biasa sebab David adalah bos yang tampan, karimastik, dan pintar seperti yang dikatakan oleh Ningsih tempo hari lalu. Ia tidak ingin dianggap konyol karena menyukai atasannya sendiri. Saat ini dirinya ikut serta untuk survei lapangan. Nindi sedikit berdebar, sebab ini pertama kali ia terlibat langsung dalam proyek pertamanya dengan David. Begitu Nindi turun dari mobil, hawa pagi yang sudah menginjak pukul sepuluh menyambutnya. Udara terasa agak gerah, meski angin sesekali berhembus membawa aroma tanah bercampur rumput liar yang terinjak roda kendaraan. Di seberangnya, sudah terlihat lahan luas yang ditumbuhi ilalang. David turun paling akhir, kemudian memimpin di depan sembari menjelaskan. Ada dua engineer, seorang arsitek, seorang surveyor dengan alat total station-nya, dan Nindi sendiri sebagai staf marketing. Tak begitu banyak jumlahnya. “Baik, mari kita mulai.” Suara David tegas, memecah kesibukan tim. Ia berjalan perlahan ke tengah lahan, sesekali menyingkirkan rumput liar dengan kakinya. “Pertama, kita cek akses. Dari sini ke jalan utama berapa meter?” Surveyor menunduk pada tablet yang menampilkan koordinat GPS. “Kurang lebih dua ratus delapan puluh meter, Pak. Jalannya bisa diperlebar, tapi ada beberapa rumah penduduk yang mungkin terdampak.” Engineer menambahkan, “Kalau untuk struktur tanah, sejauh pengamatan awal, ini tanah liat campur pasir. Cukup kuat, tapi resapan airnya lambat. Kalau musim hujan, area ini berpotensi becek.” David mengangguk pelan. “Artinya, kita harus siapkan sistem drainase yang serius.” Arsitek yang dari tadi menggambar cepat-cepat menyodorkan sketsanya. "Saya pikir cluster utama lebih baik dibangun menghadap timur. Cahaya pagi bagus untuk rumah, lebih sehat, dan bisa jadi nilai jual." David tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Nindi. "Bagaimana menurutmu? Dari sudut pandang marketing." Nindi tertegun sejenak. Agak terkejut tiba-tiba David bertanya padanya. “Saya… melihat potensi besar di area terbuka itu, Pak,” ujarnya sambil menunjuk ke sebidang lahan yang lebih rendah di sisi utara. “Kalau dijadikan taman komunal dengan jalur pejalan kaki atau area hijau, konsepnya bisa kita jual sebagai hunian ramah lingkungan. Cocok untuk keluarga muda yang mencari keseimbangan antara modern dan alam.” "Usulan yang menarik," katanya tenang, suaranya cukup keras untuk didengar semua orang. "Bukan hanya soal menjual rumah, tapi bagaimana kita bisa memberikan kualitas hidup bagi penghuninya. Konsep ruang hijau komunal akan membuat perumahan ini lebih dari sekadar tempat tinggal, ia bisa jadi ruang tumbuh bagi keluarga." Ia berjalan beberapa langkah ke sisi lahan yang lebih tinggi, menatap keseluruhan area dengan pandangan luas. "Kita semua tahu, membangun bukan hanya menancapkan beton dan batu bata. Kita membangun sesuatu yang kelak akan dihuni, dijalani, dan diwariskan. Itu sebabnya setiap detail harus kita pikirkan, dari drainase, arah matahari, hingga bagaimana penghuni merasa betah setiap hari." David menoleh ke arah tim, matanya bergantian menatap surveyor, engineer, arsitek, lalu Nindi. "Saya tidak ingin ini hanya menjadi proyek besar di atas kertas. Saya ingin setiap orang di sini merasa punya andil, punya suara. Karena saya percaya, perumahan terbaik lahir dari kerja tim yang saling melengkapi, bukan dari satu kepala saja." Sejenak hening, hanya terdengar angin yang berembus di antara rerumputan liar. Nindi diam-diam mengagumi bagaimana cara pria itu berbicara. Terlihat tenang, jelas, dan terbuka untuk menerima masukan karyawannya. Tidak ada kesan arogan meski statusnya CEO. Anehnya, justru sikap itu yang membuat Nindi semakin salah tingkah. "Untuk tahap awal, mari kita buat pemetaan detail. Akses jalan harus segera kita koordinasikan dengan pihak desa, jangan sampai ada konflik dengan warga. Drainase dan kualitas tanah kita uji lebih dalam minggu ini. Dan untuk konsep ruang terbuka, saya ingin kita siapkan beberapa alternatif desain, supaya nanti kita bisa pilih mana yang paling realistis sekaligus bernilai jual." Pada survei lapangan ini, David hanya mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, serta kacamata yang bertengger di hidungnya. Dari samping, Nindi memuji bagaimana profil pria itu yang menawan. Nindi kembali menyimak saat David menjelaskan bagian lain. Namun karena terlalu fokus, Nindi nyaris tergelincir jalan yang licin. David yang berdiri di sampingnya sigap menahan lengannya, agar Nindi bisa menstabilkan diri. Napas Nindi tercekat, kulitnya terasa hangat tepat di tempat jemari David menggenggam. Jantungnya berdegup liar. Beberapa rekan setimnya menoleh padanya, kemudian saling berpandangan satu sama lain. Ada yang pura-pura tidak melihat, ada juga yang malah tersenyum simpul. Kendati demikian membuat Nindi sedikit menunduk, ada rasa tak enak yang menyusup dalam dirinya. Meskipun Nindi juga tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Namun rasanya tak etis berada sedekat ini dengan sang atasan walaupun niatnya hanya menolongnya. "Kamu tidak apa-apa?" David bertanya setelah Nindi sudah berdiri dengan stabil. Tampak ada sedikit raut kekhawatiran yang Nindi lihat dari wajahnya. Ya wajar saja seorang atasan mengkhawatirkan bawahannya, kan? Nindi mengangguk pelan, sedikit kikuk, kemudian berkata, "Saya tidak apa-apa, Pak. Maaf." "Ya sudah. Lain kali hati-hati, jalanan di sini sedikit licin karena semalam sempat hujan." Begitu kiranya nasihat yang diberikan David sebelum akhirnya pria itu kembali menjelaskan perihal survei lapangan. Nindi tertegun. Kejadian itu terasa mimpi baginya ... Ketika matahari sudah menggantung tepat di atas kepala, survei lapangan akhirnya usai. Nindi dan tim kembali memasuki mobil. Selama dalam perjalanan, Nindi memandangi lengannya yang sempat disentuh David. Kehangatan tangan David seolah masih tertinggal di sana. Tanpa sadar, kedua sudut bibirnya terangkat. Peristiwa itu tanpa terasa berlalu begitu saja. Beberapa hari ini Nindi memikirkan banyak hal sampai kepalanya terasa berat. Pertanyaan seperti, "Kenapa wajah David sering terlintas dalam benaknya?" "Kenapa interaksi sekecil apapun dengan pria itu membuat dadanya berdebar?" Akhirnya Nindi menemukan jawabannya. Ia tak ingin mengakuinya. Ia berusaha menolak, menepis, menyangkal. Tapi semakin ia mencoba, semakin jelas kenyataan itu menusuk benaknya. Nindi menggenggam dadanya erat, menutup mata seakan bisa melarikan diri dari perasaan itu. Tapi mustahil. Satu kalimat akhirnya menyeruak, begitu gamblang dan tak terbantahkan. Ia… jatuh cinta pada bosnya sendiri."Kalian tahu nggak? Pak David ternyata masih jomblo." "Tahu dari mana?" "Aku nemuin akun Instagram temennya Pak David pas lagi stalking IG-nya. Eh, ada postingan bareng Pak David, terus temennya nulis caption yang intinya bilang kalau Pak David masih jomblo."Nindi yang tengah mengunyah daging sontak terhenti ketika nama David melintas di telinganya. Ia dan rekan-rekan kerjanya sedang makan bersama di sebuah restoran Korea selepas jam kantor. Sedari tadi, ia lebih banyak sibuk membolak-balik potongan daging di panggangan lalu menyuapkannya ke mulut, tak terlalu ikut larut dalam obrolan. Awalnya percakapan mereka hanya seputar hal-hal ringan, tapi tiba-tiba arah pembicaraan berbelok ke topik yang tak ia sangka. Nindi tetap memilih diam, meski telinganya diam-diam awas menyimak."Serius masih jomblo?" timpal salah satu temannya, Sari. Lalu diangguki oleh yang lain. "Rasanya seperti mustahil ya orang seperti dia belum punya pasangan? Maksudku, orang sekeren dia memang siapa yang nggak
"Bagus sekali, saya suka cara berpikirmu." Kata-kata ini seperti tertancap dalam kepala Nindi. Teringat senyum hangat David saat mengatakan hal itu padanya. Tak ada kata-kata spesial, hanya atasan yang memuji bawahannya. Namun kenapa mampu membuat Nindi tak berhenti memikirkannya? Akhir-akhir ini pikirannya memang tertuju pada sang atasan. Nindi pun tak mengerti. Mungkinkah hanya kagum biasa pada atasannya? Ataukah rasa lain? ...Tidak, Nindi menepis pikiran itu. Mungkin saja hanya kagum biasa sebab David adalah bos yang tampan, karimastik, dan pintar seperti yang dikatakan oleh Ningsih tempo hari lalu. Ia tidak ingin dianggap konyol karena menyukai atasannya sendiri. Saat ini dirinya ikut serta untuk survei lapangan. Nindi sedikit berdebar, sebab ini pertama kali ia terlibat langsung dalam proyek pertamanya dengan David. Begitu Nindi turun dari mobil, hawa pagi yang sudah menginjak pukul sepuluh menyambutnya. Udara terasa agak gerah, meski angin sesekali berhembus membawa aroma ta
"Kamu pikir mendapat pekerjaan jaman sekarang mudah, Sin?!""Tapi Sinta yakin pasti bisa, Bu. Selama Sinta mau berusaha dan terus berdoa. Lagipula Sinta punya alasan yang jelas kenapa memilih keluar dari pekerjaan itu." "Terserah! Ibu capek ngomong sama kamu!" Nindi tercekat. Ketika ia tak sengaja mendengar kegaduhan dari kamar Sinta. Ia baru saja pulang bekerja, memanggil-manggil Ibu dan sang kakak yang tak kunjung mendapat sahutan. Lalu tiba-tiba ia dikejutkan oleh pertikaian kecil keduanya. Nindi tidak tahu apa yang terjadi, tapi suara Sinta terdengar gemetar, isakannya telah membuat hatinya sedikit tergores. Sinta yang ia kenal sebagai seorang kakak yang selalu menampilkan senyum, justru menyembunyikan sisi rapuhnya. Sementara Bu Wina, ibunya, terdengar dari suaranya sepertinya telah berkobar api amarah dalam dirinya. Nindi tidak mendengar apa-apa lagi setelahnya, hanya menyisakan isakan kecil Sinta yang memilukan. Lalu Bu Wina keluar dari kamar melewatinya begitu saja yang ber
Setelah menyadari sesi perkenalan usai dan seluruh karyawan satu-persatu mulai keluar, Nindi buru-buru bangkit berdiri. Namun tiba-tiba pulpen yang dibawanya terjatuh. Sebelum ia sempat meraihnya, sebuah tangan lebih dulu telurur untuk mengambilkannya. Saat Nindi mendongak, wajah David, bosnya sudah terpampang di hadapannya. Tanpa sadar, pandangan Nindi terhenti pada wajah pria itu. Dari dekat, ia bisa melihat dengan jelas betapa mancung hidungnya, juga senyum yang tanpa ia pungkiri terlihat begitu manis. Begitu menyadari dirinya sedang mengagumi sang atasan, pipinya memanas, dan buru-buru ia menunduk kaku. "Terima kasih, Pak." Diambilnya hati-hati pulpen yang diberikan oleh bosnya. Dengan posisi masih menunduk, Nindi bertalah berbalik badan menghadap pintu keluar. Merasa malu. Namun ketika langkahnya hendak terayun, David justru membuatnya menunda langkahnya. "Tunggu." Nindi menelan kasar salivanya. Keringat sebesar biji jagung membasahi pelipisnya. Ada apa lagi? Pikirn
"Mbak Sinta hari ini cantik sekali," puji Nindi saat melihat sang kakak berdandan di depan meja rias. Sinta tersenyum menatap pantulan wajah sang adik dari cermin. "Hari ini 'kan hari yang spesial. Mbak akan memperkenalkan pacar Mbak ke kamu dan Ibu."Nindi ikut tersenyum, meski jantungnya ikut berdegup. Belum lama ini, mereka berjanji saling mengenalkan pria yang mereka sukai. Tapi Nindi masih ragu, apa dirinya mampu?Malam itu meja makan dipenuhi berbagai macam hidangan. Sang Ibu yang memasaknya, sengaja disiapkan untuk makan malam bersama calon menantunya nanti.Ketika suara mobil berbunyi, Sinta segera menyambut kedatangan sang kekasih. Sementara Nindi dan Ibunya menunggu di teras. Senyum Nindi mengembang memperhatikan dari jauh, tak sabar untuk segera mengenal siapa pria yang telah menjadi tambatan hati kakaknya. Namun sesaat kemudian senyumnya lenyap begitu saja, saat melihat sang kakak menggenggam erat jemari pria yang sangat ia kenali. Lututnya lemas seketika, sesuatu yang be