Di hari Minggu, rutinitas Nindi tak jauh berbeda, jogging bersama sang kakak di pagi hari, lalu nongkrong dengan Ningsih di siang harinya. Hanya duduk santai di kafe kecil sambil berbincang ringan sudah cukup membuatnya bahagia.Saat pulang, rumahnya tampak lengang. Awalnya ia mengira tak ada siapa pun di rumah, hingga matanya menangkap sosok pria di ruang tengah. Begitu mengenali wajah itu, senyum pun terulas di bibirnya.Begitu melihat Sam jongkok di ruang tamu sambil membuka kaleng cat, Nindi spontan menegakkan tubuhnya.Alisnya sedikit terangkat, bibirnya membentuk senyum kaku karena kaget."Sam, kamu lagi ngapain?" tanyanya pelan, suaranya naik setengah oktaf."Aku mau mengecat tembok ruang tengah ini, Nin," balasnya sambil memperlihatkan kaleng cat di hadapannya. Nindi manggut-manggut, pandangannya mulai menyeluruh. Ruang tengah memang sudah mulai kusam sejak almarhum ayahnya meninggal. Catnya mulai terkelupas, dan beberapa sudut tampak retak kecil. Begitu Nindi bertanya, Sam
"Nin kamu dipanggil Pak David ke ruangannya sekarang," ucap seorang rekan kerjanya. Nindi tercekat. Kalimat itu telah membuatnya berdebar. Dipandanginya rekan kerjanya dengan pandangan tak percaya. "Di-dipanggil?" Nindi memastikan, berharap ia hanya salah dengar. Semenjak jatuh cinta dengan bosnya sendiri, terkadang tanpa sadar Nindi melamun. Bayangan pria itu melintas begitu saja dalam benaknya. Dan barangkali ia juga sedang berhalusinasi sekarang. Rekan kerjanya mengangguk. Dahi Nindi mengkerut, masih tak percaya. "Tapi, kenapa?" Rekan kerjanya mengangkat bahu, "Aku kurang tahu, Nin. Aku cuma menyampaikan." "Oh gitu." Nindi mengangguk, pura-pura biasa-biasa saja padahal ia cukup terkejut. "Ya sudah, terima kasih infonya, ya." Begitu Nindi berterima kasih, sang rekan kerja sudah berlalu pergi. Nindi gamang sebelum memasuki ruangan David. Kenapa ia dipanggil? Apakah ia melakukan kesalahan? Memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu hanya membuat kepalanya ber
Seharusnya Nindi mengubur dalam-dalam perasaan itu, menyadari betul siapa dirinya dan siapa David. Jarak di antara mereka terasa seperti bumi dan langit. Namun setiap kali matanya menangkap sosok pria itu, ia sadar bahwa rasa suka tersebut mustahil benar-benar hilang. Seperti saat ini, Nindi duduk bersama jajaran investor, matanya tak lepas dari layar presentasi. Namun bukan materi yang sepenuhnya menyita perhatiannya, melainkan cara David menyampaikannya. Suaranya tenang, terukur, dan setiap kalimat mengalir begitu meyakinkan. Nindi diam-diam kagum, public speaking-nya membuat siapa pun betah mendengarkan. Setelah lama menyimak, kini giliran tim marketing yang presentasi. Raka, teman Nindi, sudah berdiri di depan sambil menampilkan slide. "Seperti yang kita lihat, kampanye EcoCity akan mengedepankan konsep green living. Kami yakin target pasar akan tertarik karena tren ramah lingkungan sedang meningkat." Pria itu menjelaskan, sembari pandangannya menyeluruh. Namun di tempat dud
"Jadi, bagaimana perkembangan hubungan Mbak Sinta dengan cowok itu?" Sinta terhenyak. Pertanyaan itu membuat dirinya yang berdiri memunggungi sang adik terdiam sejenak, sebelum akhirnya menoleh. "Kenapa kamu tiba-tiba nanya hal itu?" Raut keheranan terlihat jelas di wajahnya. Mungkin Sinta hanya sedikit terkejut, sebab tiba-tiba saja Nindi menyinggung hubungannya dengan pria yang disukainya. Nindi menahan senyumnya, kemudian bergumam, "Aku cuma penasaran." Gelak tawa Sinta terdengar setelahnya. Entah apa yang terasa lucu. Wanita itu kemudian duduk di sampingnya. Keduanya baru saja jogging di Minggu pagi dan istirahat sejenak di kursi taman. "Nggak gimana-gimana sih, Nin. Kita cuma ngobrol santai." Nindi berdecak, "Kenapa cuma begitu?" Ditatapnya sang kakak dengan keheranan. Sebab sudah beberapa hari ini, tak ada kemajuan hubungan antara Sinta dan pria yang dekat dengannya. Setiap hari Nindi memergoki, Sinta hanya saling berbalas pesan saja. "Kalau gitu, Mbak Sinta yang harus amb
"Kalian tahu nggak? Pak David ternyata masih jomblo." "Tahu dari mana?" "Aku nemuin akun Instagram temennya Pak David pas lagi stalking IG-nya. Eh, ada postingan bareng Pak David, terus temennya nulis caption yang intinya bilang kalau Pak David masih jomblo."Nindi yang tengah mengunyah daging sontak terhenti ketika nama David melintas di telinganya. Ia dan rekan-rekan kerjanya sedang makan bersama di sebuah restoran Korea selepas jam kantor. Sedari tadi, ia lebih banyak sibuk membolak-balik potongan daging di panggangan lalu menyuapkannya ke mulut, tak terlalu ikut larut dalam obrolan. Awalnya percakapan mereka hanya seputar hal-hal ringan, tapi tiba-tiba arah pembicaraan berbelok ke topik yang tak ia sangka. Nindi tetap memilih diam, meski telinganya diam-diam awas menyimak."Serius masih jomblo?" timpal salah satu temannya, Sari. Lalu diangguki oleh yang lain. "Rasanya seperti mustahil ya orang seperti dia belum punya pasangan? Maksudku, orang sekeren dia memang siapa yang nggak
"Bagus sekali, saya suka cara berpikirmu." Kata-kata ini seperti tertancap dalam kepala Nindi. Teringat senyum hangat David saat mengatakan hal itu padanya. Tak ada kata-kata spesial, hanya atasan yang memuji bawahannya. Namun kenapa mampu membuat Nindi tak berhenti memikirkannya? Akhir-akhir ini pikirannya memang tertuju pada sang atasan. Nindi pun tak mengerti. Mungkinkah hanya kagum biasa pada atasannya? Ataukah rasa lain? ...Tidak, Nindi menepis pikiran itu. Mungkin saja hanya kagum biasa sebab David adalah bos yang tampan, karimastik, dan pintar seperti yang dikatakan oleh Ningsih tempo hari lalu. Ia tidak ingin dianggap konyol karena menyukai atasannya sendiri. Saat ini dirinya ikut serta untuk survei lapangan. Nindi sedikit berdebar, sebab ini pertama kali ia terlibat langsung dalam proyek pertamanya dengan David. Begitu Nindi turun dari mobil, hawa pagi yang sudah menginjak pukul sepuluh menyambutnya. Udara terasa agak gerah, meski angin sesekali berhembus membawa aroma ta