LOGIN"Kamu pikir mendapat pekerjaan jaman sekarang mudah, Sin?!"
"Tapi Sinta yakin pasti bisa, Bu. Selama Sinta mau berusaha dan terus berdoa. Lagipula Sinta punya alasan yang jelas kenapa memilih keluar dari pekerjaan itu." "Terserah! Ibu capek ngomong sama kamu!" Nindi tercekat. Ketika ia tak sengaja mendengar kegaduhan dari kamar Sinta. Ia baru saja pulang bekerja, memanggil-manggil Ibu dan sang kakak yang tak kunjung mendapat sahutan. Lalu tiba-tiba ia dikejutkan oleh pertikaian kecil keduanya. Nindi tidak tahu apa yang terjadi, tapi suara Sinta terdengar gemetar, isakannya telah membuat hatinya sedikit tergores. Sinta yang ia kenal sebagai seorang kakak yang selalu menampilkan senyum, justru menyembunyikan sisi rapuhnya. Sementara Bu Wina, ibunya, terdengar dari suaranya sepertinya telah berkobar api amarah dalam dirinya. Nindi tidak mendengar apa-apa lagi setelahnya, hanya menyisakan isakan kecil Sinta yang memilukan. Lalu Bu Wina keluar dari kamar melewatinya begitu saja yang berdiri dari balik pintu. Nindi tak pernah melihat ibunya semarah itu. Berarti perkara ini bukanlah suatu hal yang kecil. Perlahan, Nindi mengintip dari pintu. Dilihatnya sang kakak yang sudah kacau, menangis tergugu dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Hati Nindi mencelos. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, "Ada apa?" "Beban berat apa yang telah dipikulnya?" Langkahnya sangat pelan, tapi cukup membuat Sinta menyadari kehadirannya karena kemudian wanita itu menyeka air matanya dan mengalihkan padangan, seolah enggan sisi rapuhnya dilihat sang adik. Namun Nindi sudah lebih dulu melihatnya. Ia tahu kakaknya sedang tidak baik-baik saja sekarang. "Mbak Sinta nggak perlu menyembunyikannya dariku," ucap Nindi tatkala sudah duduk di tepi ranjang tepat di samping Sinta. Sinta terdiam. Mungkin sibuk menyeka sisa air mata, berusaha menahan diri agar emosinya tak semakin meledak di depan sang adik. Begitulah Sinta, selalu pandai menyembunyikan luka dan berpura-pura baik-baik saja. Tapi Nindi tahu, seorang kakak tetaplah manusia biasa, tak perlu terus-menerus terlihat kuat, karena setiap orang punya sisi rapuhnya sendiri. Ingin sekali Nindi mengatakannya... "Kamu sudah pulang?" Kali ini Sinta menoleh padanya, mengulas senyum tipis tapi matanya sudah sembab. Masih ada air mata yang menghiasi wajahnya. Wanita itu tak menyekanya dengan benar. "Nggak usah berpura-pura lagi, Mbak." Dada Nindi terasa sesak dibuatnya. "Apa yang sebenarnya terjadi?" Meski sudah mendengar sekilas potongan obrolan keduanya sebelumnya, Nindi tetap ingin mendengar penjelasannya langsung pada sang kakak. Wanita itu menarik napas dalam-dalam, seolah terasa berat mengatakannya. Pandangannya lurus. "Aku ingin resign dari tempat kerjaku, Nin. Tapi Ibu nggak setuju." Nindi sedikit terperanjat, tapi memilih diam saja, menunggu Sinta melanjutkan kalimatnya. "Mungkin Ibu terkejut. Sejak dulu aku selalu bermimpi menjadi Desainer Interior, dan ketika impian itu akhirnya tercapai di sebuah perusahaan yang cukup bagus … justru aku memilih berhenti." "Padahal aku sudah menjelaskan alasannya. Lingkungan kerjanya toxic dan aku sulit berkembang di sana," lanjutnya dengan bibir gemetar. Nindi merapatkan duduknya di dekat Sinta. Diraihnya tangan wanita itu di atas pangkuannya untuk digenggam. "Mungkin Ibu hanya takut Mbak Sinta kehilangan mimpinya." Dengan suara pelan Sinta menjawab, "Aku tahu. Aku juga mengerti kekhawatiran Ibu. Tapi kenapa Ibu nggak mau mengerti kondisiku juga?" Nindi mengelus punggung wanita itu. Sekadar memberikan rasa tenang. "Mungkin Ibu hanya butuh waktu, Mbak. Nanti kita coba lain waktu untuk bujuk Ibu lagi." Hanya kalimat itu yang mampu Nindi lontarkan untuk membuat Sinta jauh lebih baik. Perlahan wanita itu menoleh padanya. Mendekap tubuhnya dan memeluknya begitu erat. Nindi bisa merasakan ketakutan besar dalam diri sang kakak. Mungkin saja Sinta hanya takut ia akan mengecewakan sang ibu. Nindi membalas dekapan itu, membelai punggung wanitanya. Namun di tengah-tengah itu, pandangannya menangkap foto keluarganya di dinding kamar Sinta. Ada dirinya yang masih berusia 12 tahun, dan Sinta yang berusia 14 tahun berdiri diapit kedua orang tuanya. Foto itu diambil sehari setelah ayahnya menikah dengan Ibu Sinta. Dahulu Nindi tak mau memiliki Ibu dan kakak tiri. Ia hanya takut mereka tidak memperlakukannya dengan baik seperti di film-film. "Aku enggak mau punya Ibu dan kakak tiri, Yah," ucap Nindi kala itu pada ayahnya. "Kenapa? Bukankah Nindi selalu bilang kalau Nindi kesepian di rumah sendirian saat Ayah bekerja?" Sang ayah menatapnya lekat-lekat. "Sekarang akhirnya Nindi bisa punya Ibu dan kakak. Nindi tidak boleh menilai seseorang dari luar saja, tidak semua Ibu dan kakak tiri jahat, Nin." Begitulah sekelebat bayangan masa lalu yang muncul lagi dalam ingatannya kala itu. Namun siapa sangka, keduanya justru menjadi pelengkap dalam hidupnya setelah ia kehilangan ayahnya untuk selama-lamanya. Ketika ia hancur karena kehilangan ayahnya, Sinta hadir untuk menopangnya. Namun kini sebaliknya, Nindi yang hadir di sisinya saat sang kakak sedang rapuh. *** Malam itu, Nindi tidur dengan pikiran penuh kecemasan tentang Sinta. Namun besok paginya realitas pekerjaannya menuntutnya kembali fokus. Nindi menghadiri meeting untuk membahas proyek baru di kantornya. AC ruang meeting terasa begitu dingin menyapu kulitnya. Ia duduk bersama rekan-rekan kerjanya yang lain. Ruangan dengan kaca-kaca lebar yang menampilkan pemandangan kota Jakarta itu sejenak membuat atmosfernya berubah tegang, karena untuk pertama kalinya Nindi bekerja berdampingan dengan David. Tatapan mata Nindi tak lepas dari pria itu. David berdiri di depan layar, menjelaskan proyek baru perusahaan mereka dengan begitu percaya diri. Nada bicaranya tegas, namun ramah, sementara senyum tipis yang sesekali tersungging di wajahnya membuat Nindi nyaris tak mampu berkedip. Seolah-olah pesona David telah benar-benar menyihirnya, menciptakan gemuruh halus di dada yang sulit ia kendalikan. "Proyek Argenta EcoCity ini bukan hanya soal membangun perumahan, tapi juga memberikan dampak bagi lingkungan. Kita akan memadukan desain modern dengan keberlanjutan." David kembali menjelaskan, pandangannya menyapu sekitar sampai kemudian terhenti pada Nindi. "Nindi, apa ide awal untuk kampanye pemasaran kita?" Nindi yang masih tenggelam dalam lamunannya, sedikit tersentak saat salah satu rekan kerjanya menyenggol lengannya. Ia yang baru sadar pada lamunannya, menatap sekeliling dengan bingung sampai akhirnya beralih menatap David. Ada jeda sedikit yang ia butuhkan untuk memikirkan jawaban David secara tiba-tiba. "Kalau kita ingin orang percaya bahwa EcoCity ini benar-benar ramah lingkungan, kampanye kita juga harus terasa nyata. Saya membayangkan bukan sekadar iklan, tapi pengalaman langsung. Misalnya, kita adakan program ‘Satu Rumah, Satu Pohon’, setiap calon pembeli yang mendaftar akan menanam pohon di area perumahan. Kita dokumentasikan prosesnya di media sosial sebagai bagian dari kampanye, sehingga calon penghuni merasa mereka ikut membangun lingkungan ini sejak awal." Nindi menelan salivanya. Diremasnya ujung blazernya saat David memandangnya tanpa bereaksi. Meski sempat melamun, tapi Nindi masih dapat sedikit memahami apa yang David jelaskan. Hanya saja ia takut, jawaban yang ia berikan tak dapat diterima oleh David. "Bagus sekali, saya suka cara berpikirmu," ucap David. Sorot matanya menempel sesaat pada Nindi sebelum kembali menyapu ruangan. Nindi menunduk, berusaha mengatur napas. Tapi ia tidak tahu, senyum samar di bibir David masih tersisa, senyum yang tidak ditujukan pada siapa pun selain dirinya.Bunyi notifikasi WhatsApp telah memecah keheningan kantor yang mulai sepi menjelang sore. Nindi meraih ponsel di mejanya, memeriksa pesan yang masuk. Itu pesan dari Sinta, kakaknya. [Nin, aku sudah pacaran dengan cowok itu][Pulang bekerja bisa ketemu? Kebetulan aku ada di dekat kantormu]Mata Nindi melebar, ia tak langsung menjawab dan justru membaca pesan itu untuk kedua kalinya. Barangkali ia salah membaca. Kakaknya ... sudah berpacaran dengan pria itu? Ia nyaris tak memercayainya. Itu akhir kisah manis yang sesuai harapan. Nindi teringat pria itu telah memberi warna baru dalam kehidupan Sinta. Rasa bahagia menyeruak dalam dadanya. Ia tak bisa menahan untuk tak tersenyum. Lantas jemari Nindi mulai mengetik di layar ponsel untuk menjawab pesan yang menggembirakan itu. [Beneran, Mbak? Aku enggak nyangka! Jadi, di mana nanti kita ketemu?]Tak lama kemudian pesan balasan kembali masuk dari Sinta. [Gimana kalau di kafe dekat kantormu aja, Nin?][Oke, Mbak. Nanti aku kabari lagi,
Di hari Minggu, rutinitas Nindi tak jauh berbeda, jogging bersama sang kakak di pagi hari, lalu nongkrong dengan Ningsih di siang harinya. Hanya duduk santai di kafe kecil sambil berbincang ringan sudah cukup membuatnya bahagia.Saat pulang, rumahnya tampak lengang. Awalnya ia mengira tak ada siapa pun di rumah, hingga matanya menangkap sosok pria di ruang tengah. Begitu mengenali wajah itu, senyum pun terulas di bibirnya.Begitu melihat Sam jongkok di ruang tamu sambil membuka kaleng cat, Nindi spontan menegakkan tubuhnya.Alisnya sedikit terangkat, bibirnya membentuk senyum kaku karena kaget."Sam, kamu lagi ngapain?" tanyanya pelan, suaranya naik setengah oktaf."Aku mau mengecat tembok ruang tengah ini, Nin," balasnya sambil memperlihatkan kaleng cat di hadapannya. Nindi manggut-manggut, pandangannya mulai menyeluruh. Ruang tengah memang sudah mulai kusam sejak almarhum ayahnya meninggal. Catnya mulai terkelupas, dan beberapa sudut tampak retak kecil. Begitu Nindi bertanya, Sam
"Nin kamu dipanggil Pak David ke ruangannya sekarang," ucap seorang rekan kerjanya. Nindi tercekat. Kalimat itu telah membuatnya berdebar. Dipandanginya rekan kerjanya dengan pandangan tak percaya. "Di-dipanggil?" Nindi memastikan, berharap ia hanya salah dengar. Semenjak jatuh cinta dengan bosnya sendiri, terkadang tanpa sadar Nindi melamun. Bayangan pria itu melintas begitu saja dalam benaknya. Dan barangkali ia juga sedang berhalusinasi sekarang. Rekan kerjanya mengangguk. Dahi Nindi mengkerut, masih tak percaya. "Tapi, kenapa?" Rekan kerjanya mengangkat bahu, "Aku kurang tahu, Nin. Aku cuma menyampaikan." "Oh gitu." Nindi mengangguk, pura-pura biasa-biasa saja padahal ia cukup terkejut. "Ya sudah, terima kasih infonya, ya." Begitu Nindi berterima kasih, sang rekan kerja sudah berlalu pergi. Nindi gamang sebelum memasuki ruangan David. Kenapa ia dipanggil? Apakah ia melakukan kesalahan? Memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu hanya membuat kepalanya ber
Seharusnya Nindi mengubur dalam-dalam perasaan itu, menyadari betul siapa dirinya dan siapa David. Jarak di antara mereka terasa seperti bumi dan langit. Namun setiap kali matanya menangkap sosok pria itu, ia sadar bahwa rasa suka tersebut mustahil benar-benar hilang. Seperti saat ini, Nindi duduk bersama jajaran investor, matanya tak lepas dari layar presentasi. Namun bukan materi yang sepenuhnya menyita perhatiannya, melainkan cara David menyampaikannya. Suaranya tenang, terukur, dan setiap kalimat mengalir begitu meyakinkan. Nindi diam-diam kagum, public speaking-nya membuat siapa pun betah mendengarkan. Setelah lama menyimak, kini giliran tim marketing yang presentasi. Raka, teman Nindi, sudah berdiri di depan sambil menampilkan slide. "Seperti yang kita lihat, kampanye EcoCity akan mengedepankan konsep green living. Kami yakin target pasar akan tertarik karena tren ramah lingkungan sedang meningkat." Pria itu menjelaskan, sembari pandangannya menyeluruh. Namun di tempat dud
"Jadi, bagaimana perkembangan hubungan Mbak Sinta dengan cowok itu?" Sinta terhenyak. Pertanyaan itu membuat dirinya yang berdiri memunggungi sang adik terdiam sejenak, sebelum akhirnya menoleh. "Kenapa kamu tiba-tiba nanya hal itu?" Raut keheranan terlihat jelas di wajahnya. Mungkin Sinta hanya sedikit terkejut, sebab tiba-tiba saja Nindi menyinggung hubungannya dengan pria yang disukainya. Nindi menahan senyumnya, kemudian bergumam, "Aku cuma penasaran." Gelak tawa Sinta terdengar setelahnya. Entah apa yang terasa lucu. Wanita itu kemudian duduk di sampingnya. Keduanya baru saja jogging di Minggu pagi dan istirahat sejenak di kursi taman. "Nggak gimana-gimana sih, Nin. Kita cuma ngobrol santai." Nindi berdecak, "Kenapa cuma begitu?" Ditatapnya sang kakak dengan keheranan. Sebab sudah beberapa hari ini, tak ada kemajuan hubungan antara Sinta dan pria yang dekat dengannya. Setiap hari Nindi memergoki, Sinta hanya saling berbalas pesan saja. "Kalau gitu, Mbak Sinta yang harus amb
"Kalian tahu nggak? Pak David ternyata masih jomblo." "Tahu dari mana?" "Aku nemuin akun Instagram temennya Pak David pas lagi stalking IG-nya. Eh, ada postingan bareng Pak David, terus temennya nulis caption yang intinya bilang kalau Pak David masih jomblo."Nindi yang tengah mengunyah daging sontak terhenti ketika nama David melintas di telinganya. Ia dan rekan-rekan kerjanya sedang makan bersama di sebuah restoran Korea selepas jam kantor. Sedari tadi, ia lebih banyak sibuk membolak-balik potongan daging di panggangan lalu menyuapkannya ke mulut, tak terlalu ikut larut dalam obrolan. Awalnya percakapan mereka hanya seputar hal-hal ringan, tapi tiba-tiba arah pembicaraan berbelok ke topik yang tak ia sangka. Nindi tetap memilih diam, meski telinganya diam-diam awas menyimak."Serius masih jomblo?" timpal salah satu temannya, Sari. Lalu diangguki oleh yang lain. "Rasanya seperti mustahil ya orang seperti dia belum punya pasangan? Maksudku, orang sekeren dia memang siapa yang nggak







