Home / Romansa / Di Antara Dua Cinta / Bab 5 : Kisah Asmara Adik Kakak

Share

Bab 5 : Kisah Asmara Adik Kakak

Author: Swannera
last update Last Updated: 2025-05-07 14:17:07

"Kalian tahu nggak? Pak David ternyata masih jomblo."

"Tahu dari mana?"

"Aku nemuin akun I*******m temennya Pak David pas lagi stalking I*-nya. Eh, ada postingan bareng Pak David, terus temennya nulis caption yang intinya bilang kalau Pak David masih jomblo."

Nindi yang tengah mengunyah daging sontak terhenti ketika nama David melintas di telinganya. Ia dan rekan-rekan kerjanya sedang makan bersama di sebuah restoran Korea selepas jam kantor. Sedari tadi, ia lebih banyak sibuk membolak-balik potongan daging di panggangan lalu menyuapkannya ke mulut, tak terlalu ikut larut dalam obrolan. Awalnya percakapan mereka hanya seputar hal-hal ringan, tapi tiba-tiba arah pembicaraan berbelok ke topik yang tak ia sangka. Nindi tetap memilih diam, meski telinganya diam-diam awas menyimak.

"Serius masih jomblo?" timpal salah satu temannya, Sari. Lalu diangguki oleh yang lain. "Rasanya seperti mustahil ya orang seperti dia belum punya pasangan? Maksudku, orang sekeren dia memang siapa yang nggak mau?"

"Mungkin Pak David orang yang pemilih. Dia nggak sembarangan dalam mencari pasangan. Tapi aku penasaran, kira-kira ada kemungkinannya nggak sih atasan menyukai bawahannya?" Rina, wanita yang duduk di hadapan Nindi tiba-tiba menimpali.

Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tetapi telinga Nindi menangkapnya seolah hal itu diarahkan padanya. Ada denyut aneh di dadanya, campuran antara rasa kaget dan penasaran. Sebab diam-diam Nindi juga ikut mempertanyakan pertanyaan yang sama.

"Mungkin aja bisa. Aku pikir Pak David suka sama Nindi."

Nindi terbatuk-batuk saat tengah minum. Ditatapnya seorang engineer yang sempat ikut dengannya survei lapangan waktu itu. Matanya membelalak kaget, tak percaya dia mengatakan hal itu di depan teman-temannya yang lain. Saat pandangan Nindi mengedar, seluruh temannya sudah menatapnya seolah meminta penjelasan. Nindi menunduk, ia tergagap, "I-itu nggak mungkin. Pak David cuma menolong aku sewaktu aku hampir terjatuh saat survei lapangan."

Mereka semua diam. Ada yang saling menatap satu sama lain, ada pula yang masih terpaku menatap Nindi. Bisik-bisik kecil mulai terdengar oleh temannya yang lain, tapi Nindi tak dapat mendengarnya dengan jelas. Mungkin mereka merasa sedikit kaget dan tak percaya.

"Kalau diingat-ingat, sewaktu meeting juga Nindi dipuji sama Pak David. Apa jangan-jangan Pak David beneran suka sama Nindi?" timpal Sari yang membuat situasi semakin mendidih.

Jatung Nindi terasa merosot. Kenapa jadi seperti ini? pikirnya. Nindi megap-megap, ia ingin menjelaskan tapi lidahnya terasa kelu.

Dan temannya yang lain lebih dulu berkomentar, ia mengangguk-angguk setuju. "Bisa jadi."

"Enggak. Semuanya nggak seperti apa yang kalian bayangkan. Pak David nggak mungkin punya perasaan seperti itu sama bawahannya," jelas Nindi dengan buru-buru. Ia hanya tidak ingin gosip ini semakin menjadi-jadi.

"Udahlah, Nin. Nggak usah ngelak atau merendah. Kalau Pak David suka, itu wajar kok. Semua orang bisa aja jatuh cinta sama siapa pun, tanpa harus lihat status atau jabatan."

Nindi terdiam. Kalimat Rina seolah merasuk melewati rongga dadanya. Ia kembali ingin mengelak, tetapi teman-temannya yang lain justru berpendapat hal yang sama. Rasa bimbang kembali menerpanya. Ada secercah harapan yang tersimpan dalam hatinya, tapi di sisi lain ia menyadari kenyataan pahitnya bahwa menyukai atasannya adalah hal yang mustahil. David sendiri adalah pria yang tenang, sangat menghargai dan memperhatikan karyawannya. Sulit menebak bagaimana isi hati pria itu padanya.

Namun apakah benar yang dikatakan oleh teman-temannya, bahwa David menyukainya?

***

Kejadian di restoran tadi lagi-lagi membekas dalam benak Nindi. Tengah malam Nindi terbangun dari tidurnya, ia menuju dapur untuk memenuhi dahaganya. Begitu ia ingin kembali ke kamarnya, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada pintu kamar Sinta yang terbuka setengah, menampilkan lampu kamarnya yang masih menyala. Kenapa sang kakak belum tertidur? pikirnya.

Langkah Nindi terayun mendekati kamar yang kakak, mendorong pelan pintunya hingga ia dapat melihat sang kakak tengah berbaring bermain ponsel sembari senyum-senyum sendiri.

"Mbak Sinta lagi ngapain?" Nindi bersandar di daun pintu, alisnya terangkat.

Dipergoki oleh sang adik, Sinta cepat-cepat menyembunyikan ponselnya dari balik tubuhnya. Kemudian menggeleng. "Nggak ada apa-apa, Nin. Kamu belum tidur?"

Sudut bibirnya berkedut menahan senyuman. Nindi tahu wanita itu menyembunyikan sesuatu. Akhirnya Nindi memilih duduk di tepi ranjangnya, membuat Sinta yang semula sedang berbaring kini mengubah posisinya menjadi duduk.

"Masa sih nggak ada apa-apa?" Seringai nakal muncul di wajah Nindi. "Kalau nggak ada apa-apa, kenapa ponselnya diumpetin?"

Sinta tersenyum lebar ketika kepergok oleh sang adik. Dikeluarkannya ponsel yang sempat disembunyikan. Kemudian Sinta mengatakan dengan wajah merona, "Aku menyukai seseorang."

Mata Nindi membulat. Ia terdiam selama beberapa detik karena terperanjat. "Beneran?"

Sinta mengangguk malu-malu.

"Ya ampun Mbak, ketemu di mana emangnya?" tanya Nindi lagi penasaran.

"Di pameran arsitektur." Pandangan wanita itu beralih ke arah lain, sambil mengulas senyum seolah sedang membayangkan rupa pria yang telah menjadi tambatan hatinya. "Dia pria yang dewasa, tenang, dan sangat menghargai lawan bicaranya. Aku nggak pernah bertemu pria seperti dia. Entah kenapa sejak bertemu dengannya, aku jadi merasa hidupku lebih berwarna, Nin."

Nindi tertegun. Senyum yang menghias wajah sang kakak telah membuktikan betapa bahagianya wanita itu. Sinta tidak pernah berpacaran, bahkan jatuh cinta pun sebelumnya tak pernah. Hidupnya hanya berfokus pada mimpinya. Nindi masih ingat bagaimana beberapa minggu lalu Sinta sempat terpuruk setelah resign. Kini melihat sang kakak bisa tersenyum selebar itu, ia ikut merasa lega. Meski belum cerita banyak soal pekerjaannya, setidaknya wajahnya tak semuram waktu itu. Mungkin pria itulah yang diam-diam menjadi semangat baru untuknya.

Nindi menyenggol lengan sang kakak dengan maksud menggodanya. "Kenalin ke aku dong, Mbak. Aku juga mau tahu pria seperti apa yang disukai Mbak Sinta."

Sinta tersenyum malu-malu. "Dia masih jadi gebetan, Nin."

Senyum Nindi luntur seketika. "Yah ... kalau begitu Mbak Sinta harus berjuang buat dapetin pria yang Mbak Sinta sukai."

Sinta menggaruk pelipisnya, wajah kebingungannya terlihat jelas. "Bagaimana caranya? Mbak bahkan belum pernah dekat dengan pria manapun."

Nindi menatap lekat-lekat, kedua tangannya meraih bahu sang kakak. Kemudian meyakinkannya, "Mbak Sinta itu cantik. Jadi harus percaya diri. Aku yakin pria manapun pasti suka sama Mbak Sinta."

Sinta semakin tersipu dibuatnya. "Kamu terlalu berlebihan, Nin." Sinta balik menyenggol bahu Nindi. "Kamu sendiri punya orang yang disukai nggak?"

Mata Nindi terbelalak. Tanpa disadari wajah David kembali muncul di kepalanya, membuat semburat kemerahan menghiasi wajahnya. "Nggak ada," jawabnya sangat pelan, tapi masih bisa didengar Sinta. Senyumnya tertahan.

"Jangan bohong." Sinta menyadari akhir-akhir ini sang adik sering berdandan, memakai riasan, menata rambutnya, dan pakaiannya selalu rapi.

Nindi memberanikan diri menatap mata Sinta, meskipun rasa malu telah menerpanya. "Ya aku juga punya, sih."

Sinta menatap adiknya dengan sorot penuh arti, lalu berucap pelan, hampir seperti bisikan yang menancap ke dalam hati Nindi.

"Bagaimana kalau kita buat perjanjian? Suatu hari nanti, kita harus saling memperkenalkan cowok yang kita sukai…."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Antara Dua Cinta   Bab 10 : Akhir Manis Kisah Sinta

    Bunyi notifikasi WhatsApp telah memecah keheningan kantor yang mulai sepi menjelang sore. Nindi meraih ponsel di mejanya, memeriksa pesan yang masuk. Itu pesan dari Sinta, kakaknya. [Nin, aku sudah pacaran dengan cowok itu][Pulang bekerja bisa ketemu? Kebetulan aku ada di dekat kantormu]Mata Nindi melebar, ia tak langsung menjawab dan justru membaca pesan itu untuk kedua kalinya. Barangkali ia salah membaca. Kakaknya ... sudah berpacaran dengan pria itu? Ia nyaris tak memercayainya. Itu akhir kisah manis yang sesuai harapan. Nindi teringat pria itu telah memberi warna baru dalam kehidupan Sinta. Rasa bahagia menyeruak dalam dadanya. Ia tak bisa menahan untuk tak tersenyum. Lantas jemari Nindi mulai mengetik di layar ponsel untuk menjawab pesan yang menggembirakan itu. [Beneran, Mbak? Aku enggak nyangka! Jadi, di mana nanti kita ketemu?]Tak lama kemudian pesan balasan kembali masuk dari Sinta. [Gimana kalau di kafe dekat kantormu aja, Nin?][Oke, Mbak. Nanti aku kabari lagi,

  • Di Antara Dua Cinta   Bab 9 : Rahasia Sam

    Di hari Minggu, rutinitas Nindi tak jauh berbeda, jogging bersama sang kakak di pagi hari, lalu nongkrong dengan Ningsih di siang harinya. Hanya duduk santai di kafe kecil sambil berbincang ringan sudah cukup membuatnya bahagia.Saat pulang, rumahnya tampak lengang. Awalnya ia mengira tak ada siapa pun di rumah, hingga matanya menangkap sosok pria di ruang tengah. Begitu mengenali wajah itu, senyum pun terulas di bibirnya.Begitu melihat Sam jongkok di ruang tamu sambil membuka kaleng cat, Nindi spontan menegakkan tubuhnya.Alisnya sedikit terangkat, bibirnya membentuk senyum kaku karena kaget."Sam, kamu lagi ngapain?" tanyanya pelan, suaranya naik setengah oktaf."Aku mau mengecat tembok ruang tengah ini, Nin," balasnya sambil memperlihatkan kaleng cat di hadapannya. Nindi manggut-manggut, pandangannya mulai menyeluruh. Ruang tengah memang sudah mulai kusam sejak almarhum ayahnya meninggal. Catnya mulai terkelupas, dan beberapa sudut tampak retak kecil. Begitu Nindi bertanya, Sam

  • Di Antara Dua Cinta   Bab 8 : Semakin Dekat Dengannya

    "Nin kamu dipanggil Pak David ke ruangannya sekarang," ucap seorang rekan kerjanya. Nindi tercekat. Kalimat itu telah membuatnya berdebar. Dipandanginya rekan kerjanya dengan pandangan tak percaya. "Di-dipanggil?" Nindi memastikan, berharap ia hanya salah dengar. Semenjak jatuh cinta dengan bosnya sendiri, terkadang tanpa sadar Nindi melamun. Bayangan pria itu melintas begitu saja dalam benaknya. Dan barangkali ia juga sedang berhalusinasi sekarang. Rekan kerjanya mengangguk. Dahi Nindi mengkerut, masih tak percaya. "Tapi, kenapa?" Rekan kerjanya mengangkat bahu, "Aku kurang tahu, Nin. Aku cuma menyampaikan." "Oh gitu." Nindi mengangguk, pura-pura biasa-biasa saja padahal ia cukup terkejut. "Ya sudah, terima kasih infonya, ya." Begitu Nindi berterima kasih, sang rekan kerja sudah berlalu pergi. Nindi gamang sebelum memasuki ruangan David. Kenapa ia dipanggil? Apakah ia melakukan kesalahan? Memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu hanya membuat kepalanya ber

  • Di Antara Dua Cinta   Bab 7 : Langkah Pertama Nindi

    Seharusnya Nindi mengubur dalam-dalam perasaan itu, menyadari betul siapa dirinya dan siapa David. Jarak di antara mereka terasa seperti bumi dan langit. Namun setiap kali matanya menangkap sosok pria itu, ia sadar bahwa rasa suka tersebut mustahil benar-benar hilang. Seperti saat ini, Nindi duduk bersama jajaran investor, matanya tak lepas dari layar presentasi. Namun bukan materi yang sepenuhnya menyita perhatiannya, melainkan cara David menyampaikannya. Suaranya tenang, terukur, dan setiap kalimat mengalir begitu meyakinkan. Nindi diam-diam kagum, public speaking-nya membuat siapa pun betah mendengarkan. Setelah lama menyimak, kini giliran tim marketing yang presentasi. Raka, teman Nindi, sudah berdiri di depan sambil menampilkan slide. "Seperti yang kita lihat, kampanye EcoCity akan mengedepankan konsep green living. Kami yakin target pasar akan tertarik karena tren ramah lingkungan sedang meningkat." Pria itu menjelaskan, sembari pandangannya menyeluruh. Namun di tempat dud

  • Di Antara Dua Cinta   Bab 6 : Menggapai Cinta

    "Jadi, bagaimana perkembangan hubungan Mbak Sinta dengan cowok itu?" Sinta terhenyak. Pertanyaan itu membuat dirinya yang berdiri memunggungi sang adik terdiam sejenak, sebelum akhirnya menoleh. "Kenapa kamu tiba-tiba nanya hal itu?" Raut keheranan terlihat jelas di wajahnya. Mungkin Sinta hanya sedikit terkejut, sebab tiba-tiba saja Nindi menyinggung hubungannya dengan pria yang disukainya. Nindi menahan senyumnya, kemudian bergumam, "Aku cuma penasaran." Gelak tawa Sinta terdengar setelahnya. Entah apa yang terasa lucu. Wanita itu kemudian duduk di sampingnya. Keduanya baru saja jogging di Minggu pagi dan istirahat sejenak di kursi taman. "Nggak gimana-gimana sih, Nin. Kita cuma ngobrol santai." Nindi berdecak, "Kenapa cuma begitu?" Ditatapnya sang kakak dengan keheranan. Sebab sudah beberapa hari ini, tak ada kemajuan hubungan antara Sinta dan pria yang dekat dengannya. Setiap hari Nindi memergoki, Sinta hanya saling berbalas pesan saja. "Kalau gitu, Mbak Sinta yang harus amb

  • Di Antara Dua Cinta   Bab 5 : Kisah Asmara Adik Kakak

    "Kalian tahu nggak? Pak David ternyata masih jomblo." "Tahu dari mana?" "Aku nemuin akun Instagram temennya Pak David pas lagi stalking IG-nya. Eh, ada postingan bareng Pak David, terus temennya nulis caption yang intinya bilang kalau Pak David masih jomblo."Nindi yang tengah mengunyah daging sontak terhenti ketika nama David melintas di telinganya. Ia dan rekan-rekan kerjanya sedang makan bersama di sebuah restoran Korea selepas jam kantor. Sedari tadi, ia lebih banyak sibuk membolak-balik potongan daging di panggangan lalu menyuapkannya ke mulut, tak terlalu ikut larut dalam obrolan. Awalnya percakapan mereka hanya seputar hal-hal ringan, tapi tiba-tiba arah pembicaraan berbelok ke topik yang tak ia sangka. Nindi tetap memilih diam, meski telinganya diam-diam awas menyimak."Serius masih jomblo?" timpal salah satu temannya, Sari. Lalu diangguki oleh yang lain. "Rasanya seperti mustahil ya orang seperti dia belum punya pasangan? Maksudku, orang sekeren dia memang siapa yang nggak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status