"Kalian tahu nggak? Pak David ternyata masih jomblo."
"Tahu dari mana?" "Aku nemuin akun I*******m temennya Pak David pas lagi stalking I*-nya. Eh, ada postingan bareng Pak David, terus temennya nulis caption yang intinya bilang kalau Pak David masih jomblo." Nindi yang tengah mengunyah daging sontak terhenti ketika nama David melintas di telinganya. Ia dan rekan-rekan kerjanya sedang makan bersama di sebuah restoran Korea selepas jam kantor. Sedari tadi, ia lebih banyak sibuk membolak-balik potongan daging di panggangan lalu menyuapkannya ke mulut, tak terlalu ikut larut dalam obrolan. Awalnya percakapan mereka hanya seputar hal-hal ringan, tapi tiba-tiba arah pembicaraan berbelok ke topik yang tak ia sangka. Nindi tetap memilih diam, meski telinganya diam-diam awas menyimak. "Serius masih jomblo?" timpal salah satu temannya, Sari. Lalu diangguki oleh yang lain. "Rasanya seperti mustahil ya orang seperti dia belum punya pasangan? Maksudku, orang sekeren dia memang siapa yang nggak mau?" "Mungkin Pak David orang yang pemilih. Dia nggak sembarangan dalam mencari pasangan. Tapi aku penasaran, kira-kira ada kemungkinannya nggak sih atasan menyukai bawahannya?" Rina, wanita yang duduk di hadapan Nindi tiba-tiba menimpali. Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tetapi telinga Nindi menangkapnya seolah hal itu diarahkan padanya. Ada denyut aneh di dadanya, campuran antara rasa kaget dan penasaran. Sebab diam-diam Nindi juga ikut mempertanyakan pertanyaan yang sama. "Mungkin aja bisa. Aku pikir Pak David suka sama Nindi." Nindi terbatuk-batuk saat tengah minum. Ditatapnya seorang engineer yang sempat ikut dengannya survei lapangan waktu itu. Matanya membelalak kaget, tak percaya dia mengatakan hal itu di depan teman-temannya yang lain. Saat pandangan Nindi mengedar, seluruh temannya sudah menatapnya seolah meminta penjelasan. Nindi menunduk, ia tergagap, "I-itu nggak mungkin. Pak David cuma menolong aku sewaktu aku hampir terjatuh saat survei lapangan." Mereka semua diam. Ada yang saling menatap satu sama lain, ada pula yang masih terpaku menatap Nindi. Bisik-bisik kecil mulai terdengar oleh temannya yang lain, tapi Nindi tak dapat mendengarnya dengan jelas. Mungkin mereka merasa sedikit kaget dan tak percaya. "Kalau diingat-ingat, sewaktu meeting juga Nindi dipuji sama Pak David. Apa jangan-jangan Pak David beneran suka sama Nindi?" timpal Sari yang membuat situasi semakin mendidih. Jatung Nindi terasa merosot. Kenapa jadi seperti ini? pikirnya. Nindi megap-megap, ia ingin menjelaskan tapi lidahnya terasa kelu. Dan temannya yang lain lebih dulu berkomentar, ia mengangguk-angguk setuju. "Bisa jadi." "Enggak. Semuanya nggak seperti apa yang kalian bayangkan. Pak David nggak mungkin punya perasaan seperti itu sama bawahannya," jelas Nindi dengan buru-buru. Ia hanya tidak ingin gosip ini semakin menjadi-jadi. "Udahlah, Nin. Nggak usah ngelak atau merendah. Kalau Pak David suka, itu wajar kok. Semua orang bisa aja jatuh cinta sama siapa pun, tanpa harus lihat status atau jabatan." Nindi terdiam. Kalimat Rina seolah merasuk melewati rongga dadanya. Ia kembali ingin mengelak, tetapi teman-temannya yang lain justru berpendapat hal yang sama. Rasa bimbang kembali menerpanya. Ada secercah harapan yang tersimpan dalam hatinya, tapi di sisi lain ia menyadari kenyataan pahitnya bahwa menyukai atasannya adalah hal yang mustahil. David sendiri adalah pria yang tenang, sangat menghargai dan memperhatikan karyawannya. Sulit menebak bagaimana isi hati pria itu padanya. Namun apakah benar yang dikatakan oleh teman-temannya, bahwa David menyukainya? *** Kejadian di restoran tadi lagi-lagi membekas dalam benak Nindi. Tengah malam Nindi terbangun dari tidurnya, ia menuju dapur untuk memenuhi dahaganya. Begitu ia ingin kembali ke kamarnya, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada pintu kamar Sinta yang terbuka setengah, menampilkan lampu kamarnya yang masih menyala. Kenapa sang kakak belum tertidur? pikirnya. Langkah Nindi terayun mendekati kamar yang kakak, mendorong pelan pintunya hingga ia dapat melihat sang kakak tengah berbaring bermain ponsel sembari senyum-senyum sendiri. "Mbak Sinta lagi ngapain?" Nindi bersandar di daun pintu, alisnya terangkat. Dipergoki oleh sang adik, Sinta cepat-cepat menyembunyikan ponselnya dari balik tubuhnya. Kemudian menggeleng. "Nggak ada apa-apa, Nin. Kamu belum tidur?" Sudut bibirnya berkedut menahan senyuman. Nindi tahu wanita itu menyembunyikan sesuatu. Akhirnya Nindi memilih duduk di tepi ranjangnya, membuat Sinta yang semula sedang berbaring kini mengubah posisinya menjadi duduk. "Masa sih nggak ada apa-apa?" Seringai nakal muncul di wajah Nindi. "Kalau nggak ada apa-apa, kenapa ponselnya diumpetin?" Sinta tersenyum lebar ketika kepergok oleh sang adik. Dikeluarkannya ponsel yang sempat disembunyikan. Kemudian Sinta mengatakan dengan wajah merona, "Aku menyukai seseorang." Mata Nindi membulat. Ia terdiam selama beberapa detik karena terperanjat. "Beneran?" Sinta mengangguk malu-malu. "Ya ampun Mbak, ketemu di mana emangnya?" tanya Nindi lagi penasaran. "Di pameran arsitektur." Pandangan wanita itu beralih ke arah lain, sambil mengulas senyum seolah sedang membayangkan rupa pria yang telah menjadi tambatan hatinya. "Dia pria yang dewasa, tenang, dan sangat menghargai lawan bicaranya. Aku nggak pernah bertemu pria seperti dia. Entah kenapa sejak bertemu dengannya, aku jadi merasa hidupku lebih berwarna, Nin." Nindi tertegun. Senyum yang menghias wajah sang kakak telah membuktikan betapa bahagianya wanita itu. Sinta tidak pernah berpacaran, bahkan jatuh cinta pun sebelumnya tak pernah. Hidupnya hanya berfokus pada mimpinya. Nindi masih ingat bagaimana beberapa minggu lalu Sinta sempat terpuruk setelah resign. Kini melihat sang kakak bisa tersenyum selebar itu, ia ikut merasa lega. Meski belum cerita banyak soal pekerjaannya, setidaknya wajahnya tak semuram waktu itu. Mungkin pria itulah yang diam-diam menjadi semangat baru untuknya. Nindi menyenggol lengan sang kakak dengan maksud menggodanya. "Kenalin ke aku dong, Mbak. Aku juga mau tahu pria seperti apa yang disukai Mbak Sinta." Sinta tersenyum malu-malu. "Dia masih jadi gebetan, Nin." Senyum Nindi luntur seketika. "Yah ... kalau begitu Mbak Sinta harus berjuang buat dapetin pria yang Mbak Sinta sukai." Sinta menggaruk pelipisnya, wajah kebingungannya terlihat jelas. "Bagaimana caranya? Mbak bahkan belum pernah dekat dengan pria manapun." Nindi menatap lekat-lekat, kedua tangannya meraih bahu sang kakak. Kemudian meyakinkannya, "Mbak Sinta itu cantik. Jadi harus percaya diri. Aku yakin pria manapun pasti suka sama Mbak Sinta." Sinta semakin tersipu dibuatnya. "Kamu terlalu berlebihan, Nin." Sinta balik menyenggol bahu Nindi. "Kamu sendiri punya orang yang disukai nggak?" Mata Nindi terbelalak. Tanpa disadari wajah David kembali muncul di kepalanya, membuat semburat kemerahan menghiasi wajahnya. "Nggak ada," jawabnya sangat pelan, tapi masih bisa didengar Sinta. Senyumnya tertahan. "Jangan bohong." Sinta menyadari akhir-akhir ini sang adik sering berdandan, memakai riasan, menata rambutnya, dan pakaiannya selalu rapi. Nindi memberanikan diri menatap mata Sinta, meskipun rasa malu telah menerpanya. "Ya aku juga punya, sih." Sinta menatap adiknya dengan sorot penuh arti, lalu berucap pelan, hampir seperti bisikan yang menancap ke dalam hati Nindi. "Bagaimana kalau kita buat perjanjian? Suatu hari nanti, kita harus saling memperkenalkan cowok yang kita sukai….""Kalian tahu nggak? Pak David ternyata masih jomblo." "Tahu dari mana?" "Aku nemuin akun Instagram temennya Pak David pas lagi stalking IG-nya. Eh, ada postingan bareng Pak David, terus temennya nulis caption yang intinya bilang kalau Pak David masih jomblo."Nindi yang tengah mengunyah daging sontak terhenti ketika nama David melintas di telinganya. Ia dan rekan-rekan kerjanya sedang makan bersama di sebuah restoran Korea selepas jam kantor. Sedari tadi, ia lebih banyak sibuk membolak-balik potongan daging di panggangan lalu menyuapkannya ke mulut, tak terlalu ikut larut dalam obrolan. Awalnya percakapan mereka hanya seputar hal-hal ringan, tapi tiba-tiba arah pembicaraan berbelok ke topik yang tak ia sangka. Nindi tetap memilih diam, meski telinganya diam-diam awas menyimak."Serius masih jomblo?" timpal salah satu temannya, Sari. Lalu diangguki oleh yang lain. "Rasanya seperti mustahil ya orang seperti dia belum punya pasangan? Maksudku, orang sekeren dia memang siapa yang nggak
"Bagus sekali, saya suka cara berpikirmu." Kata-kata ini seperti tertancap dalam kepala Nindi. Teringat senyum hangat David saat mengatakan hal itu padanya. Tak ada kata-kata spesial, hanya atasan yang memuji bawahannya. Namun kenapa mampu membuat Nindi tak berhenti memikirkannya? Akhir-akhir ini pikirannya memang tertuju pada sang atasan. Nindi pun tak mengerti. Mungkinkah hanya kagum biasa pada atasannya? Ataukah rasa lain? ...Tidak, Nindi menepis pikiran itu. Mungkin saja hanya kagum biasa sebab David adalah bos yang tampan, karimastik, dan pintar seperti yang dikatakan oleh Ningsih tempo hari lalu. Ia tidak ingin dianggap konyol karena menyukai atasannya sendiri. Saat ini dirinya ikut serta untuk survei lapangan. Nindi sedikit berdebar, sebab ini pertama kali ia terlibat langsung dalam proyek pertamanya dengan David. Begitu Nindi turun dari mobil, hawa pagi yang sudah menginjak pukul sepuluh menyambutnya. Udara terasa agak gerah, meski angin sesekali berhembus membawa aroma ta
"Kamu pikir mendapat pekerjaan jaman sekarang mudah, Sin?!""Tapi Sinta yakin pasti bisa, Bu. Selama Sinta mau berusaha dan terus berdoa. Lagipula Sinta punya alasan yang jelas kenapa memilih keluar dari pekerjaan itu." "Terserah! Ibu capek ngomong sama kamu!" Nindi tercekat. Ketika ia tak sengaja mendengar kegaduhan dari kamar Sinta. Ia baru saja pulang bekerja, memanggil-manggil Ibu dan sang kakak yang tak kunjung mendapat sahutan. Lalu tiba-tiba ia dikejutkan oleh pertikaian kecil keduanya. Nindi tidak tahu apa yang terjadi, tapi suara Sinta terdengar gemetar, isakannya telah membuat hatinya sedikit tergores. Sinta yang ia kenal sebagai seorang kakak yang selalu menampilkan senyum, justru menyembunyikan sisi rapuhnya. Sementara Bu Wina, ibunya, terdengar dari suaranya sepertinya telah berkobar api amarah dalam dirinya. Nindi tidak mendengar apa-apa lagi setelahnya, hanya menyisakan isakan kecil Sinta yang memilukan. Lalu Bu Wina keluar dari kamar melewatinya begitu saja yang ber
Setelah menyadari sesi perkenalan usai dan seluruh karyawan satu-persatu mulai keluar, Nindi buru-buru bangkit berdiri. Namun tiba-tiba pulpen yang dibawanya terjatuh. Sebelum ia sempat meraihnya, sebuah tangan lebih dulu telurur untuk mengambilkannya. Saat Nindi mendongak, wajah David, bosnya sudah terpampang di hadapannya. Tanpa sadar, pandangan Nindi terhenti pada wajah pria itu. Dari dekat, ia bisa melihat dengan jelas betapa mancung hidungnya, juga senyum yang tanpa ia pungkiri terlihat begitu manis. Begitu menyadari dirinya sedang mengagumi sang atasan, pipinya memanas, dan buru-buru ia menunduk kaku. "Terima kasih, Pak." Diambilnya hati-hati pulpen yang diberikan oleh bosnya. Dengan posisi masih menunduk, Nindi bertalah berbalik badan menghadap pintu keluar. Merasa malu. Namun ketika langkahnya hendak terayun, David justru membuatnya menunda langkahnya. "Tunggu." Nindi menelan kasar salivanya. Keringat sebesar biji jagung membasahi pelipisnya. Ada apa lagi? Pikirn
"Mbak Sinta hari ini cantik sekali," puji Nindi saat melihat sang kakak berdandan di depan meja rias. Sinta tersenyum menatap pantulan wajah sang adik dari cermin. "Hari ini 'kan hari yang spesial. Mbak akan memperkenalkan pacar Mbak ke kamu dan Ibu."Nindi ikut tersenyum, meski jantungnya ikut berdegup. Belum lama ini, mereka berjanji saling mengenalkan pria yang mereka sukai. Tapi Nindi masih ragu, apa dirinya mampu?Malam itu meja makan dipenuhi berbagai macam hidangan. Sang Ibu yang memasaknya, sengaja disiapkan untuk makan malam bersama calon menantunya nanti.Ketika suara mobil berbunyi, Sinta segera menyambut kedatangan sang kekasih. Sementara Nindi dan Ibunya menunggu di teras. Senyum Nindi mengembang memperhatikan dari jauh, tak sabar untuk segera mengenal siapa pria yang telah menjadi tambatan hati kakaknya. Namun sesaat kemudian senyumnya lenyap begitu saja, saat melihat sang kakak menggenggam erat jemari pria yang sangat ia kenali. Lututnya lemas seketika, sesuatu yang be