Nindi tak pernah menyangka hidupnya berubah setelah ayahnya meninggal. Kehangatan ibu dan kakak tirinya, Sinta, menjadi pelipur lara. Namun, saat ia jatuh cinta pada David—CEO muda di tempatnya bekerja—semuanya berantakan. Ketika Sinta tiba-tiba bergabung di perusahaan yang sama dan ternyata mencintai David juga, Nindi terjebak dalam dilema. Haruskah ia mengorbankan cintanya demi kakak yang selalu ada untuknya? Di tengah kegalauan, Sam, sahabat masa kecilnya, datang menawarkan kehangatan yang berbeda. Nindi pun dihadapkan pada pilihan antara cinta, keluarga, dan pengorbanan yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Lihat lebih banyak"Mbak Sinta hari ini cantik sekali," puji Nindi saat melihat sang kakak berdandan di depan meja rias.
Sinta tersenyum menatap pantulan wajah sang adik dari cermin. "Hari ini 'kan hari yang spesial. Mbak akan memperkenalkan pacar Mbak ke kamu dan Ibu." Nindi ikut tersenyum, meski jantungnya ikut berdegup. Belum lama ini, mereka berjanji saling mengenalkan pria yang mereka sukai. Tapi Nindi masih ragu, apa dirinya mampu? Malam itu meja makan dipenuhi berbagai macam hidangan. Sang Ibu yang memasaknya, sengaja disiapkan untuk makan malam bersama calon menantunya nanti. Ketika suara mobil berbunyi, Sinta segera menyambut kedatangan sang kekasih. Sementara Nindi dan Ibunya menunggu di teras. Senyum Nindi mengembang memperhatikan dari jauh, tak sabar untuk segera mengenal siapa pria yang telah menjadi tambatan hati kakaknya. Namun sesaat kemudian senyumnya lenyap begitu saja, saat melihat sang kakak menggenggam erat jemari pria yang sangat ia kenali. Lututnya lemas seketika, sesuatu yang besar seperti menghantam rongga dadanya. Namun sebelum semua itu terjadi, ada luka lain yang lebih dulu merenggut tenangnya, kehilangan ayah tercinta. *** Nindi tak pernah menyangka bahwa ia akan kehilangan ayahnya secepat ini. Namun kenangan kemarin, saat ia menyaksikan sendiri jenazah sang ayah diturunkan ke liang lahat, menyadarkannya bahwa semua itu bukan sekadar mimpi. Meski sudah beberapa hari berlalu, kesedihan itu masih menyelimutinya. Namun sehancur apapun dirinya, kehidupannya tetaplah harus berjalan. Hari ini adalah hari pertama dirinya kembali masuk kantor setelah mengambil cuti meninggalnya sang ayah. Setiap langkahnya terasa berat saat memasuki kantor, pandangannya juga kosong. Di tengah-tengah itu, tiba-tiba hadir Ningsih, rekan kerja sekaligus teman kuliahnya dulu, berjalan sejajar di sampingnya. "Nin, akhirnya aku seneng banget bisa melihatmu masuk kantor lagi. Ngomong-ngomong, aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu," kata Ningsih dengan ekspresi wajah muram di ujung kalimatnya. Nindi menghentikan langkahnya, begitupun juga Ningsih. Namun Nindi tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk lemah sebagai jawaban. Entahlah, hari ini tubuhnya seolah kehilangan daya, seperti ada sebagian energinya yang ikut terkubur bersama kepergian ayahnya. "Oh ya, Nin, ada yang mau aku bilang ke kamu." Wajah Ningsih yang semula datar kembali berbinar, matanya berbicara lebih dulu sebelum bibirnya tersenyum, memperlihatkan semangat yang mendadak tumbuh lagi. "Lain kali saja, aku lagi enggak mau mendengar celotehanmu," jawab Nindi dengan ekspresi dan nada datar. Kemudian ia melanjutkan lagi langkahnya, tetapi Ningsih tetap mengikutinya, tak mau menyerah dan tetap ingin melanjutkan ceritanya. Bukan sehari dua hari, Nindi sudah lama mengenal Ningsih. Ia tahu, sebentar lagi wanita itu akan berceloteh panjang, mulai dari perkara kecil hingga yang penting. Sayangnya, kebanyakan hanya hal remeh yang tak perlu didengar. Nindi pun memilih diam, tak sanggup meladeni di tengah suasana hatinya yang sedang buruk. "Tapi ini penting, Nin. Kamu harus dengarkan ceritaku dulu," tekan Ningsih memasang wajah memelas. "Kamu selalu bilang begitu, tapi ujung-ujungnya kalau aku mendengarkan, kamu cuma membuang-buang waktuku, Ning." Nindi menimpali tanpa menoleh dan tetap melanjutkan langkahnya. Berharap setelah ini Ningsih berhenti mengganggunya. Namun alih-alih berhenti bicara, Ningsih justru menghalau langkahnya dan mengatakan, "Ini super penting dan kamu pasti menyesal kalau enggak mau dengar." Dengan posisi Ningsih yang berdiri menghadangnya, Nindi akhirnya mengalah. Helaan napas panjang keluar dari bibirnya, ditatapnya Ningsih dengan ogah-ogahan. "Hal penting apa?" Ningsih terdiam sejenak untuk mengambil napas, sebelum akhirnya mengatakan dengan air muka penuh keceriaan, "Aku mendengar dari divisi sebelah, katanya hari ini akan kedatangan bos baru di kantor kita. Masih muda, ganteng, dan karismatik." Seolah kecewa karena tak kunjung mendapatkan respon dari Nindi, senyum yang terhias di wajah Ningsih kini sirna seketika. "Hanya itu?" Ningsih mengangguk. "Itu nggak penting, Ning," tekan Nindi. Ningsih tampak tak menerimanya, "Ini berita besar, Nin. Akhir-akhir ini gosip tentang bos baru yang ganteng itu sedang memanas." Ningsih menatapnya penuh kekesalan. "Harusnya kamu berterima kasih dapat gosip ini dariku. Beberapa hari ini 'kan kamu nggak masuk kantor." "Daripada kamu sibuk gosip, mending beresin dulu laporan keuangan bulan ini. Jangan sampai salah input angka lagi, nanti Pak Romi ngomel-ngomel kayak kemarin." Nindi terkekeh kecil, teringat betapa sering Ningsih kena semprot kepala divisi gara-gara ceroboh dalam pekerjaannya. Meski begitu, candaan itu sedikit menghiburnya di tengah suasana duka, meski kesedihan di dadanya tak benar-benar hilang. Nyatanya celotehan Ningsih tak dapat terhindarkan begitu saja pagi itu. Meski mengesalkan, terkadang Ningsih seperti memberi sedikit warna dalam hidupnya. Membuatnya tertawa. Sesuai dengan gosip Ningsih, hari ini memang akan kedatangan CEO baru di kantor mereka. Beberapa waktu kemudian, Nindi sudah duduk di kursi ruang meeting yang berjejer, yang mana sebagian besar sudah terisi oleh para kepala divisi dan staf yang ditunjuk untuk mewakilkan, termasuk dirinya. "Selamat pagi, rekan-rekan semua. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk berkumpul di sini. Hari ini adalah hari yang sangat penting bagi kita di Argenta Group, karena kita akan menyambut pemimpin baru yang akan membawa perusahaan kita ke level yang lebih tinggi." Seorang wanita berusia sekitar 45-an yang dikenal sebagai direktur operasional, memasuki ruang meeting. Nindi duduk di kursi bagian belakang. Kepalanya terasa berat, mungkin akibat jam tidurnya yang berantakan selama beberapa hari terakhir, masih diliputi rasa kehilangan. Suara-suara di ruangan itu terdengar sayup, seolah meredam, sementara pikirannya kembali tenggelam pada peristiwa itu. Beberapa hari yang lalu Nindi sedang duduk di kursi rotan teras rumahnya, sampai kemudian nama sang ayah muncul di layar ponselnya. Senyum Nindi merekah, ia selalu menunggu momen di mana ayahnya menghubunginya untuk melepas rindu. Baru-baru ini sang ayah bekerja dinas keluar kota. Maklum, sejak kecil ia tak pernah ditinggal oleh ayahnya. Jadi saat ayahnya pergi jauh, Nindi merasa kesepian meskipun di rumah masih ada ibu dan kakak tirinya. Mungkin karena belum terbiasa. Namun harapan Nindi hancur berkeping-keping saat mendengar suara orang asing yang mengatakan bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Hati Nindi terasa ditusuk sembilu, dunianya seketika hancur. Sekalinya pergi jauh darinya, sang ayah justru pergi untuk selama-lamanya. Sejak kejadian pilu itu menimpanya, Nindi tak dapat menelan makanan. Makanan seolah jadi terasa hambar. Yang dilakukannya hanya memeluk foto mendiang ayahnya, sementara air mata terus menerobos melewati pipinya tanpa henti. Untungnya, Sinta, sang kakak, selalu setia di sisinya. Ia menemani, membujuk agar Nindi mau makan, dan terus menyemangati sampai akhirnya adiknya bersedia mengisi perut. Sang ibu pun tak kalah berusaha, dengan penuh kasih ia memasak makanan favorit Nindi, hanya agar putrinya itu mau menyentuh hidangan di meja. Nindi menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa tidak seharusnya di momen seperti ini ia menumpahkan kesedihan itu. Ia harus bisa mengendalikan diri. Saat sudah merasa jauh lebih baik, pandangannya kembali tertuju ke depan, mencoba menyimak saat tiba waktunya memperkenalkan bos barunya. “Rekan-rekan, izinkan saya memperkenalkan CEO baru kita. Beliau adalah putra dari Bapak Argenta, lulusan Master of Business Administration dari Harvard University, dengan pengalaman yang tak diragukan lagi di dunia bisnis internasional. Mari kita sambut, Bapak David Argenta!" Seluruh karyawan berdiri dan bertepuk tangan menyambut kedatangan CEO baru mereka. Begitu pula Nindi. Di tengah-tengah rasa perih yang masih melekat dalam hatinya, matanya justru menangkap sosok pria berperawakan tegap dengan rahang tegas, hidung mancung, dan kulit putih bersih. Wajahnya memancarkan kesan dingin, namun senyum tipis yang muncul saat ia menyapa membuatnya tampak begitu memikat. Tepukan tangan Nindi perlahan melemah, matanya nyaris tak berkedip, seakan terhipnotis oleh sosok di hadapannya. Bahkan ketika suara pria itu bergema memenuhi ruangan, Nindi nyaris tak mendengar apa pun, terlalu larut dalam pandangannya. Sambil berbicara, pandangan David menyapu seluruh ruangan. Namun saat matanya sampai ke Nindi, tatapannya seolah bertahan sepersekian detik lebih lama."Kalian tahu nggak? Pak David ternyata masih jomblo." "Tahu dari mana?" "Aku nemuin akun Instagram temennya Pak David pas lagi stalking IG-nya. Eh, ada postingan bareng Pak David, terus temennya nulis caption yang intinya bilang kalau Pak David masih jomblo."Nindi yang tengah mengunyah daging sontak terhenti ketika nama David melintas di telinganya. Ia dan rekan-rekan kerjanya sedang makan bersama di sebuah restoran Korea selepas jam kantor. Sedari tadi, ia lebih banyak sibuk membolak-balik potongan daging di panggangan lalu menyuapkannya ke mulut, tak terlalu ikut larut dalam obrolan. Awalnya percakapan mereka hanya seputar hal-hal ringan, tapi tiba-tiba arah pembicaraan berbelok ke topik yang tak ia sangka. Nindi tetap memilih diam, meski telinganya diam-diam awas menyimak."Serius masih jomblo?" timpal salah satu temannya, Sari. Lalu diangguki oleh yang lain. "Rasanya seperti mustahil ya orang seperti dia belum punya pasangan? Maksudku, orang sekeren dia memang siapa yang nggak
"Bagus sekali, saya suka cara berpikirmu." Kata-kata ini seperti tertancap dalam kepala Nindi. Teringat senyum hangat David saat mengatakan hal itu padanya. Tak ada kata-kata spesial, hanya atasan yang memuji bawahannya. Namun kenapa mampu membuat Nindi tak berhenti memikirkannya? Akhir-akhir ini pikirannya memang tertuju pada sang atasan. Nindi pun tak mengerti. Mungkinkah hanya kagum biasa pada atasannya? Ataukah rasa lain? ...Tidak, Nindi menepis pikiran itu. Mungkin saja hanya kagum biasa sebab David adalah bos yang tampan, karimastik, dan pintar seperti yang dikatakan oleh Ningsih tempo hari lalu. Ia tidak ingin dianggap konyol karena menyukai atasannya sendiri. Saat ini dirinya ikut serta untuk survei lapangan. Nindi sedikit berdebar, sebab ini pertama kali ia terlibat langsung dalam proyek pertamanya dengan David. Begitu Nindi turun dari mobil, hawa pagi yang sudah menginjak pukul sepuluh menyambutnya. Udara terasa agak gerah, meski angin sesekali berhembus membawa aroma ta
"Kamu pikir mendapat pekerjaan jaman sekarang mudah, Sin?!""Tapi Sinta yakin pasti bisa, Bu. Selama Sinta mau berusaha dan terus berdoa. Lagipula Sinta punya alasan yang jelas kenapa memilih keluar dari pekerjaan itu." "Terserah! Ibu capek ngomong sama kamu!" Nindi tercekat. Ketika ia tak sengaja mendengar kegaduhan dari kamar Sinta. Ia baru saja pulang bekerja, memanggil-manggil Ibu dan sang kakak yang tak kunjung mendapat sahutan. Lalu tiba-tiba ia dikejutkan oleh pertikaian kecil keduanya. Nindi tidak tahu apa yang terjadi, tapi suara Sinta terdengar gemetar, isakannya telah membuat hatinya sedikit tergores. Sinta yang ia kenal sebagai seorang kakak yang selalu menampilkan senyum, justru menyembunyikan sisi rapuhnya. Sementara Bu Wina, ibunya, terdengar dari suaranya sepertinya telah berkobar api amarah dalam dirinya. Nindi tidak mendengar apa-apa lagi setelahnya, hanya menyisakan isakan kecil Sinta yang memilukan. Lalu Bu Wina keluar dari kamar melewatinya begitu saja yang ber
Setelah menyadari sesi perkenalan usai dan seluruh karyawan satu-persatu mulai keluar, Nindi buru-buru bangkit berdiri. Namun tiba-tiba pulpen yang dibawanya terjatuh. Sebelum ia sempat meraihnya, sebuah tangan lebih dulu telurur untuk mengambilkannya. Saat Nindi mendongak, wajah David, bosnya sudah terpampang di hadapannya. Tanpa sadar, pandangan Nindi terhenti pada wajah pria itu. Dari dekat, ia bisa melihat dengan jelas betapa mancung hidungnya, juga senyum yang tanpa ia pungkiri terlihat begitu manis. Begitu menyadari dirinya sedang mengagumi sang atasan, pipinya memanas, dan buru-buru ia menunduk kaku. "Terima kasih, Pak." Diambilnya hati-hati pulpen yang diberikan oleh bosnya. Dengan posisi masih menunduk, Nindi bertalah berbalik badan menghadap pintu keluar. Merasa malu. Namun ketika langkahnya hendak terayun, David justru membuatnya menunda langkahnya. "Tunggu." Nindi menelan kasar salivanya. Keringat sebesar biji jagung membasahi pelipisnya. Ada apa lagi? Pikirn
"Mbak Sinta hari ini cantik sekali," puji Nindi saat melihat sang kakak berdandan di depan meja rias. Sinta tersenyum menatap pantulan wajah sang adik dari cermin. "Hari ini 'kan hari yang spesial. Mbak akan memperkenalkan pacar Mbak ke kamu dan Ibu."Nindi ikut tersenyum, meski jantungnya ikut berdegup. Belum lama ini, mereka berjanji saling mengenalkan pria yang mereka sukai. Tapi Nindi masih ragu, apa dirinya mampu?Malam itu meja makan dipenuhi berbagai macam hidangan. Sang Ibu yang memasaknya, sengaja disiapkan untuk makan malam bersama calon menantunya nanti.Ketika suara mobil berbunyi, Sinta segera menyambut kedatangan sang kekasih. Sementara Nindi dan Ibunya menunggu di teras. Senyum Nindi mengembang memperhatikan dari jauh, tak sabar untuk segera mengenal siapa pria yang telah menjadi tambatan hati kakaknya. Namun sesaat kemudian senyumnya lenyap begitu saja, saat melihat sang kakak menggenggam erat jemari pria yang sangat ia kenali. Lututnya lemas seketika, sesuatu yang be
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen