LOGINBab 2 – Jejak yang Tak Terhapus
Pagi di Arangyeon membawa udara yang terlalu tenang. Udara dingin membekas di kulit Haneul saat ia berdiri di beranda rumah kayu tempat ia menginap semalam. Ia belum sepenuhnya mempercayai tempat ini—terlalu indah, terlalu sunyi, terlalu jauh dari dunia yang ia kenal.
Namun yang membuatnya terus gelisah bukan hanya lokasi asing ini, melainkan perasaan… bahwa semua ini bukan kebetulan.
Jaewon muncul dari balik pintu, mengenakan baju hitam sederhana dan menyandang pedang di punggungnya. “Elder Yoon ingin bertemu. Sekarang.”
Haneul menatapnya tajam. “Aku belum siap.”
“Kau tidak akan pernah siap kalau terus menunggu,” balas Jaewon dingin, lalu berbalik pergi.
Di kuil batu yang terletak di ujung utara desa, Elder Yoon duduk bersila di depan kolam kecil yang berkilau oleh cahaya matahari pagi. Ia tidak menoleh saat Haneul datang, hanya berbicara pelan, seolah tahu siapa yang berdiri di belakangnya.
“Tidurmu gelisah tadi malam, ya?”
Haneul menarik napas. “Apakah semua orang di sini bisa membaca pikiran?”
“Bukan pikiranmu. Energi di sekitarmu,” jawab Elder Yoon sambil menatap permukaan air. “Energimu seperti api dalam botol kaca. Membara, tapi terkurung.”
“Kalau memang aku punya kekuatan, kenapa aku tak pernah tahu sebelumnya? Kenapa baru sekarang?”
Elder Yoon berbalik menatapnya. Tatapan matanya menusuk—seolah menelanjangi lapisan terdalam hati Haneul. “Karena masa lalumu dikunci. Seseorang—atau sesuatu—tak ingin kau mengingat siapa dirimu.”
Haneul memejamkan mata. Ia tidak tahu kenapa, tapi hatinya terasa sesak. Seolah ada sesuatu yang pernah hilang, dicuri dari dirinya.
“Apa ini ada hubungannya dengan orang tuaku?” tanyanya pelan.
Elder Yoon diam sejenak, lalu menjawab, “Mereka bukan seperti yang kau kira. Mereka melarikan diri dari Arangyeon, menyembunyikanmu di Dunia Luar untuk melindungimu... atau mungkin, untuk menjauhkanmu dari sesuatu.”
“Dari apa?”
“Dari masa lalu keluarga kalian. Pengkhianatan. Dendam. Perang yang belum selesai.”
Jaewon tiba tak lama kemudian. Ia berdiri di sisi Elder Yoon dan menyerahkan sebuah gulungan peta tua kepada Haneul.
“Apa ini?” tanya Haneul sambil membuka gulungan itu. Di dalamnya tergambar peta dengan simbol-simbol kuno, dan sebuah tanda merah menyala di tengah pegunungan.
“Menara Bintang,” kata Jaewon. “Tempat pusat energi dunia ini. Tapi kini, kekuatan gelap menggerogotinya dari dalam. Dan entah kenapa… kehadiranmu mengaktifkan sesuatu di sana.”
Haneul menggeleng, bingung. “Aku bukan pahlawan. Aku cuma arsitek dari kota Seowon. Hidupku… normal.”
Elder Yoon mendekat, suaranya lembut namun tegas. “Kau pikir begitu karena itulah yang mereka tanamkan dalam kepalamu. Tapi dalam darahmu mengalir warisan yang tidak bisa disangkal.”
Haneul menunduk. Sebuah suara kecil dalam dirinya berbisik—mengusik keraguannya.
Lalu sebuah kilasan muncul dalam benaknya: bayangan seorang perempuan berwajah lembut tersenyum padanya, lalu terbakar dalam kobaran api. Ia terperanjat.
“Apa itu?” desisnya, terengah.
“Potongan ingatan. Masih kabur. Tapi itu nyata,” ujar Elder Yoon. “Kau harus menemukannya semua—untuk tahu siapa yang telah menghapus masa lalumu dan mengapa.”
Malam hari, Haneul duduk di luar rumah, memandangi langit Arangyeon yang tak seperti langit bumi mana pun—berkilau seperti kaca retak. Jaewon duduk di sampingnya, diam.
“Apa kau percaya aku bisa membantu dunia ini?” tanya Haneul tanpa menoleh.
“Aku percaya dunia ini memilihmu karena alasan. Tapi aku juga tahu,” Jaewon menatap ke kejauhan, “orang yang dipilih belum tentu ingin menerima takdirnya.”
“Bagaimana denganmu?” tanya Haneul. “Apa kau menerima takdirmu?”
Jaewon tersenyum pahit. “Aku tidak punya pilihan.”
Di ujung malam, Haneul bermimpi. Ia melihat dirinya berdiri di tepi jurang, di hadapannya dua dunia: satu penuh cahaya dan struktur logam tinggi, satu lagi hutan raksasa yang hidup dan bernafas.
Dari belakangnya, suara lembut namun menyeramkan berbisik:
“Pilih satu. Tapi ingat, setiap pilihanmu akan menuntut korban.”
Haneul menoleh, tapi tak ada siapa-siapa di belakangnya. Hanya bayangannya sendiri—berubah menjadi sosok perempuan berjubah hitam dengan mata menyala merah.
Ia terbangun dengan jantung berdebar.
“Siapa aku sebenarnya?” gumamnya, mata menatap langit yang perlahan terang.
Dan jawaban itu, kini, mulai menuntunnya… pada jalan penuh luka dan pilihan yang tak bisa dibatalkan.
**Catatan Penulis** Di bab ini, Haneul mulai menyadari bahwa kedatangannya ke Arangyeon bukanlah kebetulan. Pertemuan dengan Elder Yoon membuka pintu menuju kebenaran yang selama ini tersembunyi: tentang takdirnya, kekuatan dalam dirinya, dan bayang-bayang ancaman yang perlahan mendekat. Namun, jawaban yang ia dapat justru memunculkan lebih banyak pertanyaan. Bab ini mengajak pembaca menyelami konflik batin Haneul yang mulai retak oleh rasa tanggung jawab dan keraguan. Jika kamu suka kisah dengan elemen rahasia kuno, takdir yang terjalin rumit, dan awal dari pertarungan besar, maka bab ini akan menarikmu semakin dalam ke dalam dunia Arangyeon.
Bab 61: Tanah yang Tidak Pernah Dijanjikan Udara di sekitar Retakan Timur terasa lebih tipis dari biasanya. Bahkan angin pun seakan enggan mendekat, menghormati batas yang memisahkan realitas. Cahaya biru lembut berdenyut di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh, seperti napas panjang dari entitas tak terlihat. Dunia Antara… bukan lagi sekadar batas. Ia hidup, bernapas, dan bereaksi. Seo Haneul berdiri di ambang jurang, jubah ungu tua berkibar perlahan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan Seowon bersiaga dengan alat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang menemani langkahnya: Hamin. "Aku tahu aku berjanji akan menunggumu," kata Hamin, memeriksa sarung tangannya yang dilapisi pelindung dimensi. "Tapi aku tak bisa tinggal diam saat kau melangkah ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuh." Haneul tersenyum tipis. "Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu." Jaewon mendekat, menyerahkan kristal se
Bab 60: Gerbang yang Tak Pernah SepiUdara di sekitar Retakan Timur menipis. Bahkan angin pun enggan menyentuh batas yang membelah kenyataan. Cahaya biru lembut bergetar di antara dua lapisan dimensi, menciptakan gema aneh seperti napas panjang dari makhluk yang belum terlihat. Dunia Antara… tidak lagi sekadar batas. Ia hidup. Ia merespons.Seo Haneul berdiri di tepi celah itu, jubah ungu-kelamnya berkibar pelan. Di belakangnya, para penjaga sihir dan ilmuwan dari Seowon menunggu dengan perangkat pemantau dan artefak pelindung. Namun hanya satu yang melangkah bersamanya: Hamin.“Aku tahu aku berjanji akan menunggumu,” kata Hamin sambil memeriksa sarung tangannya yang berlapis pembungkus dimensi. “Tapi aku tak bisa diam saja jika kau masuk ke tempat yang bahkan waktu pun enggan menyentuhnya.”Haneul menatapnya, tersenyum kecil. “Dan aku tahu aku tak bisa mencegahmu.”Jaewon mendekat, menyer
Bab 59: Saat Batas Menyatu Langit Aeloria kini terbentang tanpa batas: tidak lagi terbelah oleh sihir dan teknologi, tidak lagi dipagari oleh dogma atau dendam. Setelah penyatuan Menara Ketiga, udara di antara dunia terasa berbeda—lebih berat, lebih hidup. Tapi juga rapuh, seperti benang cahaya yang masih menunggu untuk dijalin agar tak tercerai kembali.Di puncak menara, Seo Haneul berdiri membisu. Angin baru menyapu rambutnya, membawa aroma tanah Arangyeon dan logam dingin dari kota Seowon. Dunia telah berubah. Namun dirinya… belum sepenuhnya utuh.“Kau terlihat seperti orang yang baru dilahirkan kembali,” ujar Jaewon dari belakang, suaranya rendah.Haneul menoleh, senyum tipis menghiasi wajah letihnya. “Aku merasa seperti itu. Tapi juga seperti... seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.”Jaewon berjalan mendekat, menatap hamparan langit yang kini bersih dari pet
Bab 58: Dua Jiwa di Satu LangitLangit Aeloria terbuka perlahan seperti kelopak bunga yang kehilangan warna. Di tengah pusaran cahaya dan bayangan, Haneul berdiri berdampingan dengan Hamin—jiwa kembar yang terpisah dunia, namun menyatu oleh takdir. Di antara mereka, seberkas cahaya berdenyut perlahan, seolah menjadi jembatan dari seluruh kemungkinan masa depan yang belum dipilih.Bayangan dari dunia yang gagal masih menggantung di udara. Ia tak memiliki bentuk tetap, matanya kosong namun memancarkan rasa kehilangan yang mendalam. Sosok itu bukan sekadar musuh—ia adalah sisa dari harapan yang gagal, jiwa yang terlambat memilih.“Kalian datang terlalu jauh,” suara itu bergema, retak dan tajam. “Kalian berpikir cinta dan pengorbanan bisa menebus dunia? Tidak ada yang bisa menghapus apa yang telah hancur.”Hamin melangkah maju. Suaranya rendah, tetapi mengandung kekuatan yang baru ia temukan dalam dirinya.
Bab 57: Cermin dari Dunia yang Gagal“Setiap pilihan yang tidak diambil tetap hidup, sebagai bayangan dari keputusan yang telah dibuat. Dan di dalam bayangan itu, dunia terus bernapas—dalam kehancuran yang tak pernah terjadi.”Gelap. Bukan malam, bukan kehampaan, tapi kegelapan yang basah, padat, dan berat. Ketika Haneul membuka matanya, ia tahu bahwa ini bukan Aeloria. Udara terasa pahit. Tanah yang dipijaknya seperti abu. Langit di atasnya retak, memancarkan kilatan merah dari celahnya, seolah langit sendiri menahan tangis yang tak bisa ditumpahkan.Ia berdiri di tengah kota. Atau yang dulunya kota.Gedung-gedung runtuh, ditelan akar logam dan api. Jalan-jalan penuh puing dan potongan peradaban: buku-buku terbakar setengah, robot penjaga yang membeku dalam posisi seperti berdoa, dan... sumpah-sumpah yang tertulis pada kelopak pohon kini berubah menjadi abu hitam.Di tengah reruntuhan, berdiri s
Bab 56: Tanda dari Langit Merah“Kebebasan adalah cahaya pertama yang dibutuhkan dunia. Tapi yang kedua adalah ujian: apakah cahaya itu cukup untuk bertahan di tengah kegelapan yang datang tanpa alasan.”Langit Aeloria pagi itu tidak seperti biasanya. Bukan karena warnanya—tetap biru lembut dengan semburat keemasan—melainkan karena keheningan yang turun begitu pekat, seolah alam sedang menahan napas. Di barat, kabut menggantung di antara pepohonan tinggi hutan Qairan, dan di tengahnya… berdiri sesuatu yang belum pernah dilihat siapa pun.Kristal merah gelap.Menancap di tengah padang, tertanam dalam tanah, dan berdenyut perlahan seolah memiliki detak jantungnya sendiri.“Dari langit semalam,” gumam Mira, saat ia berdiri bersama Haneul, Hamin, dan Jaewon di perbatasan hutan. “Itu bukan bintang. Bukan benda langit. Rasanya… seperti pesan.”“Bukan hany







