Share

Di Antara Dua Hati
Di Antara Dua Hati
Penulis: Momoy

Benih Cinta

“Benih cinta tumbuh dari pandangan di kedua matamu. Kemudian, tersirami kebersamaan dan kedekatan. Menjadi indah ketika kita saling tersenyum. Menenangkan.”

Aku berlari secepat kilat, melewati gerbang sekolah dengan selamat. Kuhentikan langkah dengan posisi setengah berdiri dan kedua tangan berada di lutut. Terengah-engah, aku mengembus dan menarik napas. Sedangkan bulir keringat juga mulai menyembul melalui pori-pori kulit di leher dan keningku.

“Wah, wah! Kamu nggak pernah absen terlambat, ya. Setiap hari kamu terus yang jadi langganan.” Pak Satpam berdalih sambil menutup pintu gerbang.

Tak heran. Apa yang dikatakan satpam sekolah tadi memang kenyataan. Meski berkata seperti itu, aku hanya terdiam, tak merespons apa yang dikatakannya.

Ketika napas sudah mulai teratur, dengan perlahan kuhadapkan wajah ke depan. Aku melihat sepasang mata mengerikan dengan segores kerutan di dahi, menatap ke arahku. Sepasang mata tersebut merupakan milik Bu Yuni, seorang guru konseling di SMAN 2 Mataram. Tentunya, ia bertugas memberikan hukuman kepada siswa-siswi yang tidak disiplin sepertiku. Meski memiliki tatapan yang terkesan mengerikan, tetapi tak menutup kemungkinan bahwa ia adalah guru termuda plus tercantik di sekolah ini. Karena pesona Bu Yuni, hampir seluruh siswa laki-laki tergila-gila karenanya. Tak terkecuali diriku.

“Kamu harus ikut Ibu sekarang juga!” Dengan sedikit penekanan nada suara dan tatapan tajamnya, aku tahu ke mana akan dibawa.

Nggak salah lagi. Pasti kena hukum, nih!

Di dalam ruang konseling, aku berdiri dan bergeming di hadapan semua guru yang ada. Sedikit gemetar, karena sebentar lagi aku pasti akan dikenakan sanksi atas ketidakdisiplinanku.

“Jadi, alasan kamu apa lagi hari ini, Rio?!” Bu Yuni bertanya, menatap kecewa dan sepertinya ada rasa bosan karena terlalu sering melihatku datang terlambat. Menyilangkan tangan dan bersandar pada kursi empuknya.

“Ma-maaf—”

“Maaf tidak akan menyelesaikan masalah,  Rio!” Guru cantik ini memotong kalimatku dengan lugas. Sesekali ia melenguh dengan pasrah.

Bibirku sudah sepenuhnya tak dapat mengurai kata-kata. Kenyataannya, aku memang sudah sering kali terlambat dan melontarkan alasan yang sama setiap hari. Alasan seperti: telat bangun, macet, dan lainnya sudah tidak mempan di hadapan guru cantik ini.

“Bagaimana, Rio? Apa alasan kamu hari ini? Kenapa cuma diam saja?” Bu Yuni membuyarkan lamunanku saat mencoba memikirkan sebuah alasan yang pas untuk mengelak

Apa boleh buat, nih.

“Pahlawan datang ketika musuh sudah membunuh korban. Polisi datang ketika kecelakaan sudah terjadi. Menurutku, keterlambatan adalah keadilan, Bu!” aku berdalih dengan tampang sok keren. Senyumku mengembang. Bangga dengan kata-kata bijak yang baru saja kulontarkan. Ya, tentu saja.

“Jangan ngomong seenaknya! Sudahlah!” Bu Yuni menghela napas kekecewaan. “Ibu akan memberikan kamu hukuman sekarang juga, Rio.” Tanpa sedikit mempertimbangkan, ia menyodorkan selembar kertas padaku. Tentunya, secarik kertas tersebut sudah tak asing di kedua mata. Kertas yang kumaksud ini berisi sekumpulan nama siswa dan siswi yang datang terlambat atau tidak disiplin berdasarkan aturan sekolah. Dengan kata lain, absensi siswa terlambat.

“Dengan ini, kamu sudah terlambat 5 hari berturut-turut. Sekarang, tulis namamu di kertas itu!” Ia memerintahkan dengan nada suara yang mengandung suatu kekecewaan. Sesekali melenguh kesal.

Ya, tentu saja. Aku tidak menyalahkan lenguhan kesalnya. Aku tahu diri bahwa selama ini selalu terlambat.

Aku segera duduk di sebuah kursi, kemudian mulai menulis nama pada kertas yang disodorkan guru bertubuh elok tersebut.

“Bu ... ini daftar hadir yang sudah ditandatangani hari ini.”

Sebuah suara terdengar begitu lembut. Membuatku begitu ingin melihat sang empunya suara.

Dengan segera kupercepat gerakan tangan dan menyelesaikan goresan tinta di atas kertas. Perlahan, kutolehkan pandangan pada sesosok gadis yang kaya akan pesona. Seketika itu juga, mata kami saling bertemu satu sama lain. Namun, karena merasa malu, aku kembali menolehkan pandangan ke posisi semula.

Aku mengenal gadis ini. Atau lebih tepatnya, aku tahu. Gadis cantik ini merupakan salah satu siswi kelas khusus yang memiliki kemampuan super cerdas. Aku tahu karena sering kali mendengar siswa-siswa di kelasku membicarakannya. Sama seperti gadis-gadis, laki-laki di kelasku juga sangat hobi bergosip. Tentunya, mereka hanya menggosipkan gadis-gadis super populer di sekolah.

“Apa kamu sudah selesai?!” Bu Yuni tiba-tiba menghamburkan fantasiku tentang gadis super populer tadi.

Dengan cepat kutolehkan pandangan pada Bu Yuni. “Sudah selesai, Bu,” aku menjawab seraya menyodorkan kembali kertas absensi siswa terlambat yang telah diisi dengan namaku.

“Baiklah. Karena kamu terlambat lagi hari ini, Ibu akan memberikan kamu hukuman untuk berlari di lapangan basket sebanyak 30 kali putaran.”

Waduh! Tiga puluh kali?!

“Rio, apa kamu mengerti?!” lanjutnya dengan tegas. Seperti biasa, tatapan matanya selalu tajam dan mengerikan.

“Mengerti, Bu!”

Aku menjejakkan langkah menuju lapangan basket dan mengalungkan sebuah kertas bertuliskan, “Aku terlambat hari ini. Aku pantas mendapatkan hukuman ini!”

Aku menjalani hukumanku dengan berlari mengitari lapangan basket. Sepuluh kali memutar saja sudah membuatku begitu letih. Keringat bercucur di seluruh tubuh hingga seragam pun basah kuyub. Napasku tersengal-sengal tiada henti.

Karena Bu Yuni terus mengawasi dari ruang konseling, aku tak dapat mencuri waktu untuk mengistirahatkan kedua kaki yang sudah terasa sangat pegal. Tentu, aku terus berlari. Sedangkan, detak jantungku berontak. Tenggorokanku juga rasanya telah kering.

Beberapa saat, kutolehkan lagi kedua mata ke ruang konseling. Bu Yuni menghilang entah ke mana. Mungkin bosan atau semacamnya. Oleh sebab itu, aku dapat beristirahat sejenak. Napas yang tak karuan menandakan bahwa aku sudah sampai pada batas kemampuan.

Aku menjongkok sembari kedua tangan kuletakkan pada lutut. Dalam beberapa waktu, kutengadahkan pandangan ke lantai dua yang merupakan kelas siswa-siswi super cerdas. Dan suatu kebetulan, aku melihat sesosok gadis sedang memandang ke arahku dari atas sana.

Itu kan cewek yang tadi di ruang konseling. Dia lagi merhatiin aku atau cuma aku yang kepedean, ya? Batinku mulai penasaran.

Gadis itu mulai menyadari tatapanku yang tertuju padanya, lalu segera menoleh, berbalik badan dan masuk ke dalam kelasnya.

Ketika pikiran sedang asik-asiknya bergentayangan di alam fantasi, sebuah tangan menepuk bahuku. Kulihat lagi kedua mata tajam itu. Keningnya mengerut, lantas bertanya, “Apa kamu sudah selesai, Rio?”

“I-iya, Bu,” aku menjawab dengan gagap. Berdiri tegak dengan cepat.

“Kalau begitu, kamu sudah boleh masuk ke kelas,” tandas Bu Yuni asal percaya.

Tentu saja, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, lalu segera melangkah pergi dari hadapan sang guru.

Hukuman menyebalkan sudah berakhir. Namun, karena masih berlangsung jam pelajaran kedua, maka aku menyempatkan diri menjejak ke kantin sekolah untuk membeli sebotol minuman dingin demi membasahi tenggorokan yang terasa kering. Selepas itu, aku menuju tempat tongkrongan favoritku, tempat di mana aku biasa menghabiskan waktu isitrahat dari awal menjadi siswa di sekolah ini. Tempat tersebut tak jauh dari kantin sekolah. Suasana yang sepi dan nyaman. Ya, sangat cocok untukku yang merupakan lelaki penyendiri.

--xxx--

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status