Share

Saat Kita Harus Memilih

Bel tanda pergantian jam pelajaran sudah berbunyi. Aku bergegas menuju kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.

Seperti biasa, saat kaki mulai memasuki pintu kelas, semua pandangan menjijikkan, kurasa, tertuju padaku. Ini hal yang biasa. Jadi, tak terlalu kupikirkan. Aku segera duduk pada bangku kesayanganku yang berada di pojok kiri deretan paling belakang. Selain menjadi tak terlihat, aku juga bisa mendengarkan siswa-siswi di kelas ketika membicarakan hal-hal yang buruk tentang orang lain. Pun bisa tidur dengan bebas ketika sedang malas memperhatikan guru yang mengajar.

Capek banget hari ini.

Aku mulai dengan menyentuhkan pipi di atas meja. Dengan mata yang sayu, lelah sehabis berlari di lapangan basket, aku terlelap dan tak sadarkan diri.

--xxx--

Beberapa menit mungkin telah berlalu. Kubuka kedua mata dengan perlahan, kemudian menolehkan pandangan ke depan. Meja guru di depan papan tulis kudapati telah kosong.

Loh! Pelajaran udah selesai aja. Batinku heran, bercampur senang juga kurasa.

“Enak sekali, ya, kamu tidur di mata pelajaran Ibu!” aku terhenyak. Tersadar bahwa guru matematika yang mengajar di kelas tadi memekik murka.

“Ma-maaf, Bu. Maaf,” aku berucap sambil menoleh ke belakang, kemudian membersihkan liur yang berserakan di sekitar mulut.

“Ikut Ibu sekarang juga!” Sudah pasti nada suara sang guru penuh dengan penekanan. Aku tahu apa artinya.

“I-iya, Bu.”

Sang guru melangkah ke depan untuk membereskan barang-barang miliknya. “Ayo, ikut sekarang juga!”

“Mampus lo! Rasain lo!”

“Cowok culun emang pantes dapat hukuman!”

“Tidur di kelas, sih. Lo kira ini sekolah bapak moyang lo!”

Begitulah siswa-siswi di kelasku. Mereka senang ketika aku mendapatkan sebuah hukuman. Bukan hanya sekali ini, tetapi aku sudah sering kali mendengar kalimat bully yang mereka lontarkan. Entah, aku salah apa pada mereka.

Ngomong-ngomong, aku tak memiliki teman satu pun yang akrab denganku dari awal semester. Bahkan, aku sering kali menjadi bahan tertawaan mereka. Terkadang juga menjadi bahan gosip di kelas. Aku tidak punya yang namanya pacar dan tidak begitu peduli dengan hal-hal yang berbau romantis atau dunia percintaan.

Sebuah ruangan di lantai dua bangunan sekolah. Sang guru menghentikan langkah. Sementara, diriku menebak-nebak apa yang akan terjadi. Entah hukuman atau sesuatu yang lebih dari sekadar hukuman.

“Sekarang, hukuman kamu adalah membersihkan ruang kelas ini. Harus sampai bersih!” Ia berujar, bernada tinggi dan murka. Tersenyum miring.

“Se-semuanya, Bu?” Aku tak percaya harus membersihkan ruangan yang bahkan tiga kali lebih luas daripada kamarku.

“Iya. Ingat! Harus sampai kinclong!” balasnya, kemudian melangkah pergi dari hadapanku.

Ah, sial amat, sih!

--xxx--

Karena merasa lelah, letih, dan lesu, kuistirahatkan tubuh sejenak. Duduk pada pada bangku kelas di deretan paling depan.

“Apa kamu butuh air?” Seseorang bertanya. Sebuah botol mineral terpampang di hadapanku, dipegang oleh sosok tangan cantik berkulit putih.

Kutengadahkan pandangan. Senyum yang simpul tampak begitu sempurna. Tak salah lagi, sosok ini merupakan sosok gadis yang beberapa waktu lalu kulihat di ruang konseling. Gadis pintar dan super populer. Mulutku disihirnya sehingga bungkam tak tahu harus merespons seperti apa.

Ketika aku disibukkan oleh lamunan yang entah sudah sampai di langit keberapa, sosok gadis cantik itu berkata, “Hei! Ada apa?” tanya si cantik sambil melambai-lambaikan tangan di depan wajahku. Sesekali ia tersenyum tipis.

“Oh, maaf. Te-terima kasih,” aku berucap dengan gagap seraya mengambil sebotol mineral dari tangan si gadis sejuta pesona.

“Boleh duduk di sini?” Si gadis melemparkan senyum ramahnya.

“Oh, bo-boleh, kok. Silahkan!”

“Kamu kaku banget, sih. Biasa aja. Nggak apa-apa.” Si gadis anggun tertawa kecil. Aku mungkin berkeringat lagi karena gugup dekat dengan seorang gadis yang teramat memesona. Kuteguk sebotol minuman yang diberikan gadis tersebut beberapa kali. Aku mulai salah tingkah.

Ini memang kenyataan, kan?

Kalimat-kalimat yang mewakili rasa ketidakpercayaanku terus terlontarkan di dalam hati.

“Oh, iya. Nama aku Kalisa.” Gadis cantik di sampingku ini mengelungkan tangannya.

“A-aku Rio.” Kemudian kujabat tangan lembut berkulit putih milik Kalisa.

Maklum saja, kegugupanku merupakan sesuatu yang wajar, sebab ini adalah kali pertamanya aku merasakan lembut tangan seorang gadis seusiaku. Oke, dan ini membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.

“Kalau nggak salah, kamu yang tadi pagi di ruang konseling, kan?” Kalisa menukas dengan senyum yang terpahat di wajah.

“Iya, benar. Kamu anak kelas khusus, ya?”

Aku memang sudah tahu gadis bernama Kalisa ini adalah salah satu siswi kelas khusus yang telah diakui kepintarannya oleh sekolah. Tentu saja, tujuanku bertanya bukan sekadar untuk mencari tahu, tapi juga mempertahankan komunikasi di antara kami.

“Iya, benar.” Kalisa menolehkan pandangan ke arahku. “Oh iya! Tadi, aku ketemu sama Bu Siska. Aku disuruh bantuin kamu. Tapi, tahunya sudah bersih gini. Kinclong!” lanjut Kalisa tertawa pelan. Raut wajahnya begitu ramah.

“Oh, gitu. Nggak apa-apa. Kalau cuma bersih-bersih kayak gini, sih, nggak usah dibantu,” aku tersenyum meyakinkan. Tujuannya memang agar terlihat keren di hadapan Kalisa.

“Kamu hebat! Baguslah kalau gitu.”

Pertemuan pertama ini menjadi terasa sangat indah. Komunikasi terus berjalan. Namun, waktu terasa semakin cepat berlalu, sampai akhirnya bel waktu pulang pun bergema panjang. Di saat yang bersamaan, rasa kesal di hati bergelimang menyelimuti.

“Eh, udah jam pulang! Sampai jumpa besok ya, Rio!” Kalisa berkata sembari berdiri, kemudian melangkah pergi. Sesaat, ia menoleh ke arahku, melemparkan sebuah senyuman penuh makna.

Kuanggukkan kepala dan membalas senyum tulusnya. Kalisa menjejakkan langkahnya kembali dan menghilang setelah keluar dari ruang kelas.

Kalau gitu, aku harus pulang. Kalau kayak gini, sih, aku mau bersihin seluruh ruangan di sekolah. Asalkan ... hahahah.

Beberapa menit kemudian, aku kembali ke kelas untuk mengambil barang-barangku. Ketika memasuki kelas, seorang guru masih duduk terpaku. Memahat suatu kegelisahan di wajah.

“Permisi, Bu. Saya mau ambil tas,” ucapku sambil berjalan menuju meja deretan paling belakang. Kuambil tasku, kemudian melesat pergi. Namun, saat langkahku telah sampai di pintu ruang kelas, “Rio!” Sang guru memanggil dengan lembut.

“Iya, Bu?” aku menyahut setelah akhirnya membalikkan badan.

“Bisa ke sini sebentar?” Ia memerintah. Masih dengan nada yang lembut.

“Rio. Duduk dulu, Nak! Ada yang mau Ibu bicarakan sama kamu,” katanya tampak begitu serius.

Aku segera duduk atas perintahnya. “Apa yang mau dibicarakan, Bu?” aku penasaran dengan raut wajah yang ditampilkan sang guru.

“Nilai kamu sangat sempurna di pelajaran Ibu. Bahkan, kamu terlalu sering dapat nilai A plus.” Ia mengungkapkan sambil memperhatikan laporan nilai siswa.

“Memangnya kenapa, Bu?” aku masih belum bisa menangkap arah pembicaraan ini.

“Jadi begini. Karena menurut Ibu kamu itu sangat pintar dan berbakat dalam pelajaran TI, Ibu mau memasukkan kamu ke dalam kelompok kelas khusus TI. Bagaimana menurut kamu, Rio?” Ia menatapku. Namun, kutahu bahwa tatapannya mengandung arti pengharapan.

“Saya nggak pernah mikir sejauh itu, Bu. Gimana, ya?” Kutundukkan kepala dan berpikir.

Menurutku, komputer adalah sebuah perangkat yang memang begitu menarik untuk dipelajari. Kuakui, aku sangat menyukai segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia komputer dan teknologi. Namun, aku tidak pernah berpikir ingin mengembangkan kemampuanku lebih jauh lagi di masa-masa SMA ini.

“Jadi, bagaimana?” Sang guru menyadarkanku dari renungan.

“Gimana kalau saya pikir-pikir dulu, Bu?” tawarku, sebab merasa dilema.

“Kalau kamu memang sanggup, Ibu akan memberikan kamu pelajaran khusus. Jadi, kamu bisa sekalian belajar dan mencoba membuat program atau software dan semacamnya.” Ia menjelaskan. Tersenyum penuh makna.

Memang tak dapat dimungkiri lagi kalau sebenarnya aku memiliki keinginan semacam itu. Namun, aku hanya belum siap saja untuk hal yang memiliki beban berat seperti bergabung dengan kelas khusus. Mungkin akan sedikit susah untukku yang tidak memiliki seorang teman di sekolah ini. Apalagi untuk membuat software dan semacamnya, aku pasti akan sangat membutuhkan seorang partner.

“Apa saya boleh pulang, Bu?”

“Silahkan! Tapi, kamu harus pikirkan semuanya baik-baik, Rio! Jangan sampai kamu mengambil keputusan yang salah!” dalihnya bernada peringatan.

Jika dipikirkan lagi, memang benar apa yang dikatakannya padaku. Aku memang harus memikirkan semuanya dengan benar dan tidak mengambil keputusan yang salah. Akan tetapi, jika hati terlalu berat untuk mengambil keputusan dan risiko, semuanya juga akan percuma saja. Pada dasarnya, sesuatu akan tercapai jika seseorang melakukannya dengan hati yang didasari keinginan akan hal itu. Karena itulah, peranan hati dan keinginan sangatlah penting.

Namun, jika boleh dipikirkan kembali dengan diriku yang seperti ini. Maksudku, aku adalah orang yang kurang akan komunikasi. Tidak hanya dengan orang-orang yang tidak kukenal sebelumnya, aku juga sangat jarang berkomunikasi dengan orang-orang yang kukenal. Dengan keadaan seperti ini, aku memang pantas disebut sebagai lelaki penyendiri yang tak punya teman.

Tapi, di hari ini aku bertemu dengan seorang gadis yang pertama kalinya dapat membuatku tertarik untuk masuk ke dalam dunianya. Aku ingin memulainya dari sini, aku ingin dekat dengannya. Sayangnya, aku tak punya pengalaman dalam hal seperti itu. Untuk berkomunikasi dengannya saja sudah lumayan membuat tubuh bercucur keringat. Dekat dengan seorang gadis mungkin terkesan sangat tidak mungkin bagiku. Bukan bermaksud untuk merendah dan mendeskriminasi diri sendiri, tapi ini adalah kenyataan dan kesimpulan yang kukumpulkan di masa lalu. Namun, perlu kutegaskan di sini bahwa aku sama sekali tidak membenci diri sendiri. Aku suka dengan kehidupanku. Inilah hidup yang ditakdirkan Tuhan untukku, jadi aku harus menerimanya tanpa komplain kepada Sang Pencipta.

“Di balik penderitaan, akan ada kebahagiaan”. Itu merupakan kata-kata bijak yang selalu kupegang guna menyemangati diriku dalam menjalani kehidupan yang terasa hambar tanpa bumbu dan pemanis ini. Suatu saat, aku yakin bahwa akan tiba waktunya untuk menikmati hidup yang jauh lebih indah dari yang sekarang.

Malam sudah tiba, itu artinya aku harus memejamkan kedua mata dan menyambut hari esok yang pastinya kuharapkan akan lebih baik dari hari ini. Sedikit bermimpi tentang gadis berpesona anggun itu mungkin tidak masalah, karena setiap orang pasti memiliki sebuah mimpi.

--xxx--

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status