Share

Gadis Baru

“Biarkan aku selalu di sisimu. Ketika pedih menyapa, biarkan aku mengusirnya dengan pancaran senyumku. Sandarkan jiwamu pada kasihku, maka kebahagiaan akan tercipta.”

Satu minggu telah berlalu semenjak Kalisa datang ke rumah sakit untuk melihat keadaanku. Dengan waktu istirahat satu minggu penuh, keadaanku sudah benar-benar membaik. Hari ini aku sudah boleh pulang dan melakukan aktivitas sehari-hari.

Lina, adikku satu-satunya, ia datang menghampiri. Bukan hanya Lina, tapi juga kedua orang tuaku. Karena kedua orang tuaku merupakan orang yang pekerja keras dan selalu sibuk, mereka sangat jarang memiliki waktu luang. Karena mungkin menurut mereka aku adalah anak yang penting plus tersayang, mereka pun bisa datang hari ini.

“Kak Rio!” sapa Lina yang sedari tadi sudah ada di hadapanku. Seperti biasa, Lina selalu tampak antusias dalam melakukan hal apa pun.

“Iya? Kenapa?” tanyaku kemudian.

Sementara itu, kedua orang tuaku mulai menghampiri diriku yang sedang terpaku di atas ranjang. Tentu ada suatu kecemasan di wajah mereka yang menyelinap masuk melalui pikiran-pikiran buruk tentang keadaanku.

“Nak, maafkan kami yang baru saja bisa datang.” Ayah mengelus-elus pundakku. Raut wajahnya menunjukkan suatu kelegaan, juga kecemasan.

“Nggak apa-apa, Yah,” aku membalas. Tak keberatan sama sekali. Aku mengerti mereka melakukan pekerjaan mereka hanya untukku dan Lina.

“Kamu sudah bisa jalan kan, Nak?” Ibu bertanya yang duduk di sisi kanan.

“Sudah bisa kok, Bu. Udah nggak sakit lagi.”

“Kalau gitu, ayo kita bawa Kakak ke mobil. Lina tahu, Kakak pasti sudah sangat rindu rumah, kan?” Lina menukas dengan seratus persen keyakinannya.

Hampir aja benar. Tapi, saat ini aku kangennya sama Kalisa.

Dengan dibantu oleh kedua orang tua, aku berhasil masuk ke mobil. Sebenarnya aku sudah bisa berjalan sendiri, tetapi karena kecemasan orang tuaku terlalu berlebihan, mereka membantuku seperti orang yang sakit parah dan tak bisa berjalan. Memang sesuatu yang wajar jika orang tua mengkhawatirkan anaknya.

Entah sudah berapa lama, kami akhirnya sampai di rumah. Mobil berhenti tepat di depan gerbang. Kemudian ayah dan ibuku segera keluar dari mobil. Ketika aku akan memasuki rumah, kulihat seorang gadis yang tak kukenal. Gadis tersebut menatap ke arahku. Ia bersembunyi di dinding-dinding rumah tetangga. Rambut sebahu, tubuhnya ramping, juga cantik. Ketika memperhatikan seragam yang dikenakannya, aku sangat yakin bahwa seragam itu adalah seragam khas sekolahku di SMA Negeri 2 Mataram. Aku sedikit penasaran dengan gadis tersebut, tatapan cemas selalu mengarah padaku.

Mungkin salah satu pengagum rahasiaku kali.

--xxx--

Sesuai rencana, aku bersekolah seperti biasa. Walau dengan tangan yang masih terbalut perban karena luka-lukaku belum sepenuhnya mengering, mau tidak mau aku harus tetap bersemangat. Hari ini sepeda kesayanganku juga masih terbaring lemah di garasi. Dan itu membuatku harus berjalan kaki menuju sekolah.

Langkah demi langkah, detik, menit, sampai akhirnya tak sadar aku sudah tiba di sekolah. Semoga aja Kalisa kangen, batinku sambil senyam-senyum tak karuan.

Karena terbuai lamunan yang romantis-romantis bersama Kalisa, aku tak menyadari bahwa Bu Yuni berkali-kali memanggilku. Begitu tersadar kembali, aku melesat menghampirinya yang sedang berdiri di depan ruang konseling.

“Pagi, Bu!” aku menyapa sembari tersenyum ramah.

“Pagi juga, Rio!” Bu Yuni tersenyum lega. Tak seperti biasanya ia tidak menampakkan wajah mengerikan. “Jadi, kamu sudah mulai bersekolah hari ini? Apa tidak akan jadi masalah nanti? Luka-luka kamu, kan, masih belum sepenuhnya sembuh?” lanjutnya seraya menatap tambalan luka pada kepala dan tanganku.

“Oh, ini? Nggak apa-apa, Bu,” aku membalas sambil memegangi kepala yang terbalut perban.

Kening Bu Yuni mengerut, kemudian bersedekap dan berkata, “Kalau begitu, cepat masuk kelas! Lagi sebentar pelajaran dimulai.”

“Iya, Bu.”

Kelas seperti biasa terdengar gaduh. Aku hanya duduk terpaku, bisu sambil menopang dagu. Sementara itu, siswa-siswi lainnya bergosip ria dan melakukan keributan segala macam. Tentu saja, ini hal yang sangat menyebalkan bagiku. Meskipun tidak seperti siswa-siswi normal lainnya, aku tetap menikmati masa SMA-ku dengan bahagia.

Ketika jam istirahat telah tiba, aku kepikiran untuk mencari Kalisa di kelasnya. Siapa tahu aja dia sudah kangen sama aku, batinku dengan gembira.

Aku tiba di kelas Kalisa, berdiri di samping kelas ini sambil kedua mata menembus, menerawang jendela-jendela kaca. Kedua mataku berusaha menemukan gadis cantik yang kaya akan pesona. Namun, setelah beberapa saat, aku gagal menemukan sosok bidadari tersebut.

Salah seorang siswi yang tampaknya merupakan teman sekelas Kalisa, berjalan keluar dari kelas khusus. Tanya sama dia aja, ah, pikirku.

“Hai. Kamu teman sekelas Kalisa, ya?” Aku memberanikan diri.

Gadis itu berhenti di hadapanku, kemudian menjawab, “Iya, benar.”

“Kalisanya ada nggak, ya?”

“Maaf, sudah seminggu ini Kalisa nggak pernah masuk. Tanpa keterangan lagi. Para guru dan teman-teman yang lain nggak tahu kabar tentang Kalisa.”

Aku terperangah kemudian. Pernyataan gadis tadi mengurai kegelisahan. Harapanku untuk bertemu dengan Kalisa hari ini mungkin hanya akan menjadi sebatas angan-angan.

“Oh, gitu. Makasih, ya,” aku berlirih.

Mengetahui hal tersebut, hatiku tak henti-hentinya membatin. Rasa khawatir dan penasaran terus membayang-bayangi. Hal ini membuatku sadar betapa tidak mengertinya aku tentang kehidupan yang selama ini Kalisa jalani. Tak mungkin hanya karena sakit ia sampai tak mengirim surat.

Pasti ada alasan lain atau masalah lain yang sedang dihadapinya.

Entah sudah berapa lama pikiranku bergentayangan di alam fantasi. Tanpa sadar, seorang gadis yang tak kukenal berdiri tegap di hadapanku.

“Hei!” Gadis tersebut menyapa, tampak ramah.

“S-siapa?” Aku sedikit terkejut karena baru saja tersadar dari imaji.

“Kamu Rio, kan?” Gadis ini menebak-nebak.

“Iya, aku Rio. Memangnya kamu siapa?” Rasa penasaran mulai menghampiri.

“Masa nggak tahu?!”

“Nggak. Emangnya kita pernah ketemu?”

“Masak iya kamu nggak kenal aku?” Gadis ini bertanya lagi, tampak semakin tak percaya.

“Iya ... aku nggak tahu. Siapa, sih?”

“Padahal kita satu kelas, loh!”

“Sori. Aku nggak kenal siapa-siapa di kelas.”

“Ya, udah. Aku Clara.” Diacungkannya tangan kanan, tampak mengajakku bersalaman.

Dengan malu-malu aku menyambut tangan gadis bernama Clara. “Aku Rio,” kataku dengan lirih.

Karena menyadari tangan kami berjabat cukup lama, kami segera melepaskan tangan secepat kilat. Clara sedikit memerah dan salah tingkah. Ia tertunduk malu. Suasana mematikan menyelimuti kami cukup lama. Tetapi, bel masuk kelas menyelamatkan beberapa saat.

“Bel sudah bunyi. A-aku masuk duluan, ya. Sampai ketemu di kelas!” Gadis berambut sebahu itu pun melangkah untuk menuruni tangga.

Untuk mengingat orang lain, tentunya orang itu harus memiliki kesan dalam ingatan. Entah itu kesan buruk atau baik, karena otak mampu mengingat hal-hal yang berkesan. Anak-anak di kelasku tak berkesan sama sekali bagiku, karena itulah aku mungkin tidak mengetahui nama mereka. Juga karena diriku yang tidak punya keinginan untuk mengingatnya, maka otakku pasti membuang setiap ingatan tersebut atas kehendakku.

--xxx--

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status