Share

Keinginan yang Tumbuh

Sepulang sekolah, di dalam ruangan kosong ber-AC, aku dan seorang guru saling berhadapan. Aku berniat memenuhi janji untuk memberikan jawaban kepadanya jika sudah memikirkan dengan matang tawarannya tempo hari. Guru bernama Sri itu menawarkan padaku untuk memasuki program khusus Teknologi Informatika. Walau bisa dibilang bahwa aku menyukai dan sedikit ahli dalam bidang teknologi, tapi belum saatnya aku disibukkan dengan hal-hal semacam itu. Apalagi beban pikirannya sangat berat.

“Jadi, bagaimana keputusan kamu, Nak?” Bu Sri bertanya sambil menatapku penuh harap. Aku tertunduk, tak mampu menyorotkan tatapan mengecewakanku.

“Maaf, Bu. Saat ini saya belum bisa menerima tawaran Ibu. Sekali lagi maaf.”

Mendengar jawabanku yang memang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, ia mendesah pelan. “Baiklah kalau begitu. Kalau kamu berubah pikiran nanti, kamu bisa langsung ngomong sama Ibu, ya.” Pandangannya sekarang mengandung sebuah kekecewaan.

“Saya permisi.” Aku segera keluar dari ruangan Bu Sri.

Entah mengapa, aku merasa sangat bersalah telah membuat keputusan yang mengecewakan. Namun, mau bagaimana lagi? Aku tak bisa memaksa ketidakinginanku menjadi keinginan. Setidaknya, aku butuh sebuah motivasi dulu untuk menerima tawaran itu. Tetapi, nyatanya aku memang tidak punya motivasi. Kemudian akhirnya aku membuat orang lain kecewa atas tindakanku.

Sambil berpikir, aku melangkah pelan menuju parkiran sekolah. Kulihat sepeda merah kesayanganku ternyata tertindih sepeda-sepeda lainnya.

Sial! Jadi lecet gini, deh.

Kutunggangi si merah, kemudian keluar dari gerbang sekolah. Ketika melewati gerbang sekolah di sebelah timur, kulihat sesosok gadis yang tampak tak asing. Rambut hitam bergelombang, itu sudah pasti gadis anggun bernama Kalisa. Kuhentikan laju sepedaku tepat di belakang gadis manis tersebut, ia belum menyadari kehadiranku. Tampak sangat jelas bahwa Kalisa sedang menunggu seseorang. Atau mungkin sedang menunggu ayahnya menjemput.

“Kalisa!” panggilku.

Kalisa segera menoleh ke arahku. “Rio?!” Ia terkejut dan matanya membulat. “Lho! Kamu belum pulang?” lanjutnya seraya meneliti diriku.

“Iya ... tadi, aku ada sedikit urusan.” Aku turun dari sepeda.

“Oh, begitu. Sekarang mau ke mana?”

“Tadinya aku mau pulang. Tapi, setelah lihat ada kamu, aku jadi mau nyamperin.” Entah kenapa aku ingin berkata begitu. Ini tidak seperti diriku yang biasanya malu-malu kucing saat berbicara dengan lawan jenis.

Mendengar perkataanku yang terlalu jujur seperti tadi, kedua pipi Kalisa memerah. Ia tertunduk malu, kemudian menatapku kembali dan berkata, “Ru-rumah kamu di mana, Rio?”

“Rumah aku, sih, nggak jauh dari sini. Kamu pulang sama siapa, Sa?”

“Aku lagi nunggu dijemput. Tapi, sampai sekarang nggak datang-datang.” Keningnya mengerut. Tiba-tiba dengan wajah tersipu, Kalisa berkata, “A-aku ... bisa pulang sama kamu ... nggak?” Tatapannya tertunduk menghadap tanah. Aku tahu, ekspresi malu-malu kucing gadis seperti ini yang tak seorang lelaki di dunia dapat menolak setelah melihatnya.

“Bo-boleh. Tapi ... sepedaku nggak punya boncengan, Sa.”

“Di depan ... apa nggak bisa?” Kalisa menunjuk kerangka besi yang membentang di antara kemudi dan jok sepeda.

“Di de-depan?!” aku mendadak gagap. Tak percaya dengan pertanyaan yang baru saja terlontar dari seorang gadis cantik, super populer pula. Benar-benar ide yang gila. Aku hanya takut kalau saja kehidupanku ini bisa berubah menjadi kisah komedi romantis.

Setelah menyadari, Kalisa tampak malu, kedua pipinya kembali memerah.

“Kalau gitu, gimana kalau kita jalan bareng aja?” saran Kalisa kemudian. Ia sepertinya mengalihkan pikiranku untuk memudarkan suasana yang cukup mencekam.

“Ide bagus. Ayo jalan, Sa!”

Kami berjalan beriringan. Besok akan kupasang boncengan, pikirku. Ketika sedang terbuai lamunan-lamunan romantis bersama gadis berpesona anggun itu, Kalisa angkat bicara dan khayalanku pun berhamburan.

“Setiap hari kamu selalu sendiri, ya?” tanya Kalisa sambil terus melangkah.

“I-iya. Apa boleh buat. Dari semester awal, aku emang nggak punya teman yang akrab sama aku, Sa.”

“Terus kenapa nggak ngajak teman-teman di kelas kamu berteman?”

“Sudah sering kucoba, kok. Tapi, aku nggak pernah bisa nyambung sama mereka.”

“Oh, gitu.” Kalisa manggut-manggut tanda mengerti.

“Kalau kamu? Apa kamu punya banyak teman?”

Kalisa tertunduk menatap langkah kakinya. Kemudian, dengan perlahan, ia kembali menatap ke depan seraya berkata, “Nggak, Yo. Aku sama sekali nggak bisa akrab dan nggak bisa nyambung ke dalam obrolan mereka.”

“Gi-gimana bisa?! Aku dengar-dengar, kamu punya potensi dan bakat yang bagus dalam setiap mata pelajaran di sekolah. Dengan bakat yang kamu punya, pastinya nggak sulit buat dapat satu teman atau bahkan lebih.” Kutatap wajah manis Kalisa seakan tak percaya apa yang baru saja dinyatakannya.

Dengan menghela napas panjang, Kalisa menjawab, “Itu sama sekali nggak berlaku buat aku, Rio. Mereka kayaknya iri gitu sama aku. Bahkan, mereka kadang-kadang membenci sesuatu yang nggak mereka punya. Hasilnya, mereka juga membenci orang-orang yang nggak punya kemampuan sama sekali.”

Sangat jelas penderitaan di wajahnya. Memang, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Mungkin juga Kalisa mempunyai dendam dan perasaan benci akan hal tersebut untuk beberapa alasan yang ia yakini.

Aku yang tengah mendengar perkataan gadis sejuta pesona itu, hanya bisa membisu dan terus melangkah. Tidak terasa waktu dan langkah kami sudah sangat jauh. Pada akhirnya, kami sampai di sebuah persimpangan jalan dan harus memisahkan kami.

“Rio. Terima kasih sudah mau jalan bareng. Rumahku sudah nggak jauh dari sini. Kalau gitu, sampai ketemu di sekolah, ya!” Sambil melambaikan tangan, gadis bernama Kalisa segera menyeberangi persimpangan jalan. Sementara itu, aku masih terdiam. Kuanggukkan kepala tanda setuju pada gadis berhidung mungil itu.

Siapa yang akan mengira gadis cantik yang dianugerahi kecerdasan seperti Kalisa ternyata menyimpan sebuah kepedihan yang mendalam? Tidak ada yang sempurna. Kata-kata itu terus terpikirkan di benakku. Seseorang diberikan kelebihan, tapi pada akhirnya memiliki kekurangan dalam hal lainnya. Namun, inilah hidup. Percuma menyalahkan hidup, dunia akan terus berputar, tak peduli kita menangis atau tertawa. Karena dunia tidak pernah baik pada siapa pun.

Kutunggangi si merah, lalu berbelok ke kiri pada persimpangan jalan. Entah mengapa pengakuan Kalisa itu membuat hatiku tersentuh. Padahal, aku juga adalah orang yang bernasib seperti dirinya, yang tidak mempunyai teman dan selalu sendiri.

Karena terbuai pikiran-pikiran aneh, aku tak menyadari seseorang sedang mencoba menyeberangi jalan. Begitu tersadar, aku terkesiap, lalu membanting kemudi sepeda ke kanan. Anehnya, ada sebuah mobil melintas. Mobil hitam elegan itu segera mengerem secara mendadak. Alhasil, aku terempas ketika mobil menghantam tubuhku.

Pandanganku buram dan kepalaku terasa pening. Perlahan-lahan, kupejamkan kedua mata, semua jadi gelap gulita hingga akhirnya ditelan oleh kegelapan.

--xxx--

Aku membuka kedua mata secara perlahan. Namun, jidat, tangan, serta kaki kananku sudah tampak dibalut perban. Di dalam sebuah ruangan yang aromanya memang sudah sangat kukenal, salah satu ruangan di rumah sakit Kota Mataram, seorang perempuan berjalan masuk. Wajah beserta senyumnya menampakkan kesedihan, tapi ada juga mimik kelegaan. Ia adalah Lina, adik perempuanku satu-satunya yang masih duduk di bangku SMP.

Lina mendekat ke ranjangku. Sebuah kantong plastik ditaruhnya di atas meja. Lina duduk di samping ranjang seraya berkata, “Kakak sudah sadar?”

“Memang kamu ngelihatnya kayak gimana?”

“Sewot amat. Kak! Ada yang jengukin, tuh. Katanya teman sekolah Kakak,” kata Lina. Ia kemudian menoleh ke pintu masuk ruangan. “Silahkan masuk, Kak!”

Sesosok gadis cantik berambut hitam gelombang. Dengan membawa setangkai bunga, ia berjalan ke arahku. Tentunya, gadis pertama yang menjadi temanku, tak lain gadis bernama Kalisa.

“Kalau gitu, Lina tunggu di luar, Kak. Semoga sukses!” Lina tampak seru. Oke, aku tahu ini karena sesuatu yang sangat langka sehingga Lina bisa melihatku dekat dengan seorang perempuan. Apalagi gadis yang dekat denganku ialah Kalisa, yang merupakan gadis sempurna dan super cerdas, ditambah cantik yang tiada tara.

“Sip!”

Lina segera melangkah ke luar ruangan seraya berkata pada Kalisa, “Masuk aja, Kak! Nggak apa-apa, kok.”

“Iya, terima kasih,” balas Kalisa tersenyum tipis.

Kalisa duduk di sampingku. Ia menarik napas, tampak seperti mempersiapkan diri untuk mengatakan sesuatu.

“Ja-jadi, keadaan kamu gimana, Yo?” Gadis manis tersebut menyorotkan pandangan pada beberapa tambalan luka di tubuhku.

“Aku sudah nggak apa-apa, kok. Cuma pusing dikit aja, Sa,” jawabku sembari memegangi kepala yang tengah terbalut perban.

“Maaf, ya, Yo. Semua ini gara-gara aku.” Terlihat sangat jelas mimik wajahnya yang begitu cemas. Perasaan bersalah membalutnya.

“Bukan! Ini bukan gara-gara kamu, kok! Kenapa kamu mikirnya kayak gitu? Ini sudah jadi takdir aku, Sa.” Kutatap Kalisa. Sedangkan gadis cerdas itu hanya menundukkan kepala, menyembunyikan perasaan bersalahnya. Ketika gadis bagai bidadari itu mengangkat wajah, mata kami saling bertemu satu sama lain. Oke, suasana canggung pun dimulai. Aku akhirnya salah tingkah.

Jauh di balik jendela ruangan, Lina mengintip kami yang tak tahu harus bersikap bagaimana. Kupandangi sepasang mata milik Lina. Begitu lugas Lina menjulurkan lidah, mengejekku yang terlihat begitu bodoh di hadapan Kalisa.

Untuk memudarkan suasana canggung, Kalisa angkat bicara, “Karena aku nggak tahu harus bawa apa, jadi aku cuma bawa ini, Yo,” katanya seraya menunjukkan sebuket bunga indah yang dibawanya, tetapi aku tak mampu meraihnya.

“Nggak bawa apa-apa pun sudah bikin aku senang kok, Sa!” cetusku segera. Kalisa terdiam, kemudian menatap kedua mataku lagi.

“Aku taruh di sini aja bunganya, ya?” Kalisa meletakkan bunga tersebut pada sebuah vas di atas meja.

“Iya. Makasih, Sa. Ngomong-ngomong, kamu tahu dari mana kalau aku kecelakaan?”

“Kemarin, waktu aku lagi ngembaliin absensi ke ruang konseling, aku nggak sengaja dengar pembicaraan Bu Yuni sama adik kamu yang pada waktu itu ngantarin surat keterangan dokter. Waktu aku nyobain masuk ke dalam obrolan mereka dan bertanya, ternyata benar kalau yang mereka bahas saat itu adalah kamu. Akhirnya aku minta nomor handphone adik kamu dan tanya alamat rumah sakit tempat kamu dirawat,”  jelas Kalisa menerangkan.

Mendengar penjelasan Kalisa, aku tak tahu harus merespons seperti apa. Karena mengetahui Kalisa ternyata diam-diam mengkhawatirkan keadaanku, tentu aku sangat senang. Baru kali ini seorang gadis seumuranku begitu cemas dengan keadaanku.

“Intinya Kak Kalisa ini adalah cewek pertama yang benar-benar mengkhawatirkan Kak Rio!” seru Lina sembari berdiri di samping Kalisa.

“Memang sudah berapa hari aku di rumah sakit ini?”

“Cuma dua hari, Kak. Kalau berhari-hari, kayaknya Kakak nggak bisa diselamatkan, tuh,” canda Lina, kemudian terkikik.

“Jadi, Lina nggak sayang sama Kakak sampai-sampai senang lihat Kakak berbaring di sini?” balasku tak mau kalah dengan Lina.

“Nggak, Kak. Aku sayang kok sama Kakak,” kata Lina sambil tersenyum tulus. Ia kembali terkekeh.

Sementara aku dan Lina saling bercanda seperti layaknya kakak-beradik yang benar-benar akrab, Kalisa bangkit seraya berkata, “Rio. Aku pulang dulu, ya. Semoga kamu lekas sembuh. Aku tunggu kehadiran kamu di sekolah.”

Gadis cantik nan anggun itu pun berbalik arah, kemudian melangkah keluar dari ruangan.

“Terima kasih, Sa,” ucapku sambil memperhatikan Kalisa. Sebelum melewati pintu, ia sempat menoleh, melemparkan sebuah senyuman yang begitu hangat.

Sungguh, aku tidak tahu apa arti senyum yang ia berikan. Memang hangat, tetapi ada perihal yang begitu mengganjal di bola matanya. Tampaknya Kalisa sedang mempunyai masalah serius yang tentu tak bisa ia ungkapkan kepada siapa pun.

Aku pikir, luka-luka di tubuhku tidak seberapa dengan luka yang ditanggung oleh Kalisa. Luka di tubuh memang sakit, tetapi dapat hilang dan kita akan dengan cepat melupakan rasa sakitnya. Sedangkan, luka di hati yang ditanggungnya, apakah bisa hilang dan dilupakan dalam waktu singkat? Entahlah, apakah luka di hati juga memiliki penawar. Ketika pikiran itu menghantuiku, terselip sebuah pertanyaan. Dapatkah aku menjadi penawar untuk sekadar meringankan luka di hatinya? Di sisi lain, ketidakberdayaanku menolak. Apa yang bisa dilakukan oleh orang sepertiku yang juga punya luka sama seperti Kalisa?

Oh, Tuhan. Aku tak minta banyak. Aku hanya ingin ada di sisinya tatkala kepedihan ingin membelainya ....

--xxx--

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status