"Dasar tidak becus kalian semua! Menjaga satu perempuan saja tidak bisa!" Rendra berteriak penuh amarah begitu sampai di rumah dan menerima kabar bahwa Keisha, telah melarikan diri.
“Maaf, Pak. Saya tidak menyangka Bu Keisha akan kabur lewat pintu belakang,” jawab salah satu bodyguard dengan nada gemetar. Ia adalah salah satu dari sekian orang yang Rendra tugaskan untuk menjaga Keisha dan memastikan perempuan itu tetap berada di rumah.
“Saya sudah bilang jangan lengah! Kenapa tidak ada yang berjaga di pintu belakang?!” Rendra menuntut penjelasan dengan suara yang semakin meninggi, dengan ledakan amarah yang nyaris tak terbendung.
Para pengawal saling melirik gugup, pandangan mereka bergeser ke arah Bi Tuti, asisten rumah tangga yang berdiri kaku tak jauh dari sana. Bi Tuti hanya bisa menunduk, tubuhnya gemetar karena ketakutan. "Ya Allah, saya ketahuan," batin Bi Tuti panik. Sudah bisa ditebak, para bodyguard itu pasti akan membongkar perbuatannya. Dialah yang telah membantu Keisha melarikan diri.
Rendra mengikuti arah pandangan anak buahnya dan segera menyorot Bi Tuti. Melihat wajah yang dipenuhi rasa bersalah, ia langsung menyadari apa yang terjadi.
“Bibi yang bantu istri saya melarikan diri?” suara Rendra terdengar rendah tapi mengintimidasi, seperti ancaman yang siap meledak kapan saja.
Bi Tuti menarik napas pendek, tenggorokannya terasa kering. Kakinya lemas, sementara rasa bersalah dan ketakutan bercampur menjadi satu. “Ma-maaf, Pak... Saya menyesal. Saya mohon, jangan pecat saya...” pintanya dengan suara bergetar, tangannya terkatup di depan dada, memohon belas kasihan.
Sorot Rendra mengeras, matanya seolah menelanjangi setiap kebohongan yang mungkin tersisa. Amarahnya tak terkontrol. Bi Tuti tahu, keputusannya untuk membantu Keisha telah membawa risiko besar. Tapi, demi melihat Keisha bebas dari cengkeraman Rendra, ia rela mempertaruhkan semuanya.
“Sa-saya sungguh minta maaf, Pak. Saya nggak tega lihat Bu Keisha menangis,” Bi Tuti mencoba menjelaskan, ada perasaan bersalah dalam dirinya. “Hati kecil saya sebagai orang tua terketuk melihat penderitaan Bu Keisha. Saya mohon maaf, Pak.”
Pandangan Rendra membekukan, amarahnya bergejolak seperti bara yang siap membakar. “Bibi seharusnya tidak ikut campur dalam urusan saya! Sebelum pergi, saya sudah bilang: apapun yang terjadi, jangan biarkan Keisha keluar. Kenapa Bibi mengabaikan peringatan saya?” Rendra mengangkat suaranya, setiap katanya terdengar menusuk. “Bibi merasa hebat? Bertindak sebagai pahlawan untuk istri saya, ya? Merasa berhak menolong dan menyelamatkan orang yang tidak perlu diselamatkan?”
Bi Tuti tersentak mendengar nada suara Rendra yang penuh kegeraman. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi ia tetap mencoba berdiri tegak. “Saya... saya hanya tidak tahan melihat Bu Keisha dikurung seperti itu, Pak. Bu Keisha terus menangis dan memohon untuk keluar. Saya tahu ini salah, tapi...”
“Tapi apa?!” potong Rendra emosi, menghentakkan kakinya ke lantai hingga ruangan bergemuruh. Bi Tuti terlonjak kaget. “Bibi bukan siapa-siapa di sini untuk memutuskan apa yang baik atau buruk bagi istri saya. Dan kalau Bibi merasa lebih tahu, lebih hebat, atau ingin jadi pahlawan untuk istri saya, maka Bibi harus siap menanggung konsekuensinya!”
Bi Tuti hanya bisa menunduk, merasakan ketegangan yang begitu mencekam. Hatinya memberontak, tapi ia sadar, melawan atau membantah Rendra hanya akan memperburuk keadaan. Namun, dalam hatinya, melihat kelakuan Rendra saat ini, ia tidak menyesal telah membantu Keisha keluar dari jerat yang selama ini mengekangnya.
Rendra mendekati Bi Tuti dengan langkah berat. “Mulai sekarang, Bibi tidak usah ikut campur urusan rumah tangga saya! Kalau Bibi tidak bisa menghormati aturan di sini, Bibi tidak punya tempat di rumah ini lagi.”
Bi Tuti tersentak, tubuhnya bergetar mendengar ancaman Rendra yang terasa begitu nyata. Air matanya mengalir deras tanpa bisa dibendung. “Saya... saya mohon, Pak. Saya menyesal. Saya hanya ingin membantu Bu Keisha. Saya tidak bisa melihat dia menderita setiap hari...” Katanya cepat.
Rendra menggeleng, tak ingin mendengar penjelasan apa pun lagi. “Keisha adalah urusan saya, bukan Bibi. Jangan sok tahu, jangan ikut campur. Lebih baik, Bibi pulang. Pergi dari rumah ini sebelum saya berubah pikiran.”
Sebelum Bi Tuti bisa merespons, Rendra sudah berbalik dan melangkah pergi dengan wajah merah padam. Para pengawal yang berdiri di sekitar hanya bisa terdiam, tidak ada yang berani menentang perintah majikan mereka.
“Bi, tenang dulu. Saya yakin Pak Rendra sedang emosi, beliau tidak benar-benar memecat Bibi,” ucap Rahman–sopir pribadi Rendra. “Bibi ke rumah belakang dulu, jangan muncul sampai emosi Pak Rendra mereda.”
Bi Tuti mengangguk lirih. “Makasih, Man,” jawabnya sebelum berlalu pergi.
Ia tahu, sebenarnya tak mungkin meninggalkan rumah itu. Ia sudah bekerja lama dengan keluarga Rendra, dan yang jelas—tidak punya tempat tujuan lain.
Dan Rendra sudah pergi entah...
Tbc.
Di tempat lain, Keisha duduk dengan gelisah di dalam mobil Elena, sahabatnya. Matanya masih basah oleh air mata, tetapi ada secercah harapan yang menguatkan hatinya. Bi Tuti telah mempertaruhkan segalanya demi membantunya keluar dari rumah yang sudah seperti penjara."Tenang, Keisha. Sekarang Lu udah aman," ujar Elena dengan lembut sambil menyetir. Suaranya mencoba menenangkan, meski ia tahu Keisha masih trauma dengan apa yang baru saja terjadi.Keisha mengangguk pelan, meski hatinya masih bergemuruh. “Gue nggak tahu harus ke mana sekarang. Kalau Mas Rendra tahu gue sama lu, dia nggak akan tinggal diam. Lu bisa ikutan kena.”Elena melirik sekilas, tatapannya penuh empati. “Kita bisa pergi ke tempat yang dia nggak akan bisa cari. Lu nggak perlu ngerasa sendirian, Keisha. Gue pasti nemenin lu sampai lu benar-benar aman dari suami gila lu itu.”Keisha menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Kini ia merasa memiliki kendali atas hidupnya sendiri. Dengan bantuan Elena dan Bi Tu
"Dasar tidak becus kalian semua! Menjaga satu perempuan saja tidak bisa!" Rendra berteriak penuh amarah begitu sampai di rumah dan menerima kabar bahwa Keisha, telah melarikan diri.“Maaf, Pak. Saya tidak menyangka Bu Keisha akan kabur lewat pintu belakang,” jawab salah satu bodyguard dengan nada gemetar. Ia adalah salah satu dari sekian orang yang Rendra tugaskan untuk menjaga Keisha dan memastikan perempuan itu tetap berada di rumah.“Saya sudah bilang jangan lengah! Kenapa tidak ada yang berjaga di pintu belakang?!” Rendra menuntut penjelasan dengan suara yang semakin meninggi, dengan ledakan amarah yang nyaris tak terbendung.Para pengawal saling melirik gugup, pandangan mereka bergeser ke arah Bi Tuti, asisten rumah tangga yang berdiri kaku tak jauh dari sana. Bi Tuti hanya bisa menunduk, tubuhnya gemetar karena ketakutan. "Ya Allah, saya ketahuan," batin Bi Tuti panik. Sudah bisa ditebak, para bodyguard itu pasti akan membongkar perbuatannya. Dialah yang telah membantu Keisha me
“Kamu itu seluruh duniaku. Hidup tidak ada artinya tanpa kamu, Narendra.”—Inara Swastika—Di apartemennya yang mewah, Nara berdiri di depan cermin besar, merapikan penampilannya dengan saksama. Lipstik merah tebal membingkai bibirnya sempurna, menonjolkan kontras tajam dengan gaun hitam elegan yang pas di tubuhnya. Setiap detail ia persiapkan dengan teliti: tak ada rambut terurai sembarangan, tak ada noda mengganggu. Malam ini harus benar-benar sempurna.“Bi, saya udah cantik belum?” tanyanya sambil memperhatikan bayangannya, seolah mencari kepastian dari penampilan yang sudah ia rancang matang-matang.Pelayan setia yang sudah menemaninya bertahun-tahun menunduk hormat. “Cantik sekali, Non.”Nara tersenyum tipis, tapi ada kegelisahan tersembunyi. Dalam hatinya, api persaingan dengan istri sah Rendra terus berkobar. Keisha selalu menjadi bayangan yang menghantui kebahagiaannya. Ia harus mengalahkan wanita itu dengan cara apa pun.“Harus lebih cantik dari Keisha. Wajib banget,” gumamny
Keisha menatap layar ponselnya dengan kosong, air matanya kembali mengalir. Sakit hatinya kian dalam setelah membaca pengakuan Nara yang dengan angkuh menyatakan bahwa Rendra lebih memilih bersamanya. Luka itu bukan hanya karena pengkhianatan, tapi juga perasaan tak berdaya yang kian menjerat. Ia menutup mata, mencoba mengatur napas. Dalam kondisi seperti ini, hanya satu jalan: tetap tenang, jangan sampai terjebak dalam emosi. Jika ia lemah, Rendra dan Nara akan merasa menang. “Menyerah bukan berarti kalah,” gumamnya parau. Tekadnya semakin bulat, meski rasa sakit terus menggerogoti. Waktu berjalan lambat. Keisha duduk di tepi ranjang, memandangi pintu kamar yang tertutup rapat—simbol penjara tak kasat mata. Ia tahu Elena sedang menuju rumah, tapi kecemasan tetap menghantui. Bagaimana jika Rendra lebih dulu pulang? Bagaimana jika ia memergoki rencananya? Untuk mengusir rasa cemas, Keisha berjalan ke jendela, mengintip dari celah tirai. Benar saja, dua bodyguard berdiri di dep
“Jika bertahan itu sakit, untuk apa tetap bertahan? Hatimu berhak memilih: melepaskan rasa sakit atau tetap memeluknya.”—Keisha Anandita Raveena—“Maaf, Bu. Bapak berpesan Ibu tidak boleh keluar rumah,” ucap Tuti sopan, menghadang Keisha yang hendak pergi dengan kopernya.“Mbak, saya harus pergi sekarang. Tolong jangan halangi saya!” suara Keisha bergetar penuh penekanan.Namun Tuti menggeleng, “Jangan persulit saya, Bu. Saya bisa kena hukuman Pak Rendra kalau Ibu sampai keluar.” Wajahnya memelas.Keisha menarik napas panjang, matanya berkaca. “Saya juga kesulitan kalau harus tetap bertahan di rumah ini, Mbak.” Ia sudah lelah. Mengapa Rendra sengaja mempersulit? Seolah pria itu tahu rencananya untuk pergi.Tuti menunduk, hatinya ikut terenyuh. “Bu, meskipun saya tak menghalangi, Ibu tetap akan sulit keluar. Baru saja bodyguard suruhan Pak Rendra datang. Mereka berjaga di pintu utama dan pos satpam.”Keisha membelalak. “Ma-maksud Mbak, suami saya menempatkan bodyguard di rumah ini? Di
Jogja memang memberi ketenangan bagi jiwa yang terluka, tapi bagi Keisha itu hanya sesaat. Setelah hari-hari penuh ketidakpastian, akhirnya ia dan Elena kembali ke Jakarta. Hati Keisha masih berat, namun keputusannya sudah bulat: saatnya menyelesaikan semuanya dengan Rendra. Pesawat mereka mendarat mulus di Bandara Soekarno-Hatta. Usai mengambil bagasi, Keisha menerima pesan dari Rendra yang sudah menunggunya di pintu keluar. Mas Rendraku: “Sudah di mana?” Keisha: “Di pintu 3.” Tak lama, Rendra muncul dengan ekspresi datar. Keisha terbiasa dengan sikap dinginnya, tapi kali ini ada beban berbeda yang tampak jelas. Mereka saling berhadapan dalam hening sebelum Rendra mengambil koper istrinya. “Ayo, kita pulang,” ucapnya singkat. Keisha hanya mengangguk, mengikuti langkah suaminya yang tegas tapi penuh ketegangan. Di dalam mobil, hampir tak ada percakapan. Hanya suara mesin dan kendaraan lain yang terdengar. Elena sudah lebih dulu pulang dengan taksi online, memberi ruang untuk