Share

Bab 7

Author: N Lita S
last update Last Updated: 2025-09-11 16:07:18

“Kamu itu seluruh duniaku. Hidup tidak ada artinya tanpa kamu, Narendra.”

—Inara Swastika—

Di apartemennya yang mewah, Nara berdiri di depan cermin besar, merapikan penampilannya dengan saksama. Lipstik merah tebal membingkai bibirnya sempurna, menonjolkan kontras tajam dengan gaun hitam elegan yang pas di tubuhnya. Setiap detail ia persiapkan dengan teliti: tak ada rambut terurai sembarangan, tak ada noda mengganggu. Malam ini harus benar-benar sempurna.

“Bi, saya udah cantik belum?” tanyanya sambil memperhatikan bayangannya, seolah mencari kepastian dari penampilan yang sudah ia rancang matang-matang.

Pelayan setia yang sudah menemaninya bertahun-tahun menunduk hormat. “Cantik sekali, Non.”

Nara tersenyum tipis, tapi ada kegelisahan tersembunyi. Dalam hatinya, api persaingan dengan istri sah Rendra terus berkobar. Keisha selalu menjadi bayangan yang menghantui kebahagiaannya. Ia harus mengalahkan wanita itu dengan cara apa pun.

“Harus lebih cantik dari Keisha. Wajib banget,” gumamnya pelan sambil kembali menatap dirinya. Wajahnya tampak yakin, walau di baliknya ada kecemasan yang tak pernah padam.

Ia menarik napas panjang, lalu berbalik dengan langkah ringan. Malam ini adalah kesempatannya. Rendra akan datang, dan ia harus memastikan keberadaannya mampu mengalihkan Keisha dari Rendra.

Senyum penuh perhitungan menghiasi wajahnya saat ia melangkah ke ruang tamu. Apa pun yang terjadi, Nara yakin kemenangan pasti berpihak padanya.

Bel apartemen berbunyi. Membuat degup jantungnya melonjak, ia segera membuka pintu dengan senang.

“Ren, aku kang…en—” suaranya terputus ketika melihat sosok di depan pintu bukan hanya Rendra, melainkan juga seorang pria berjas rapi yang ia kenal sebagai pengacara Rendra.

Senyum lebarnya seketika lenyap. Tatapannya berubah kaget. Kehadiran pengacara itu membuatnya sadar, ada sesuatu yang tak beres.

“Nara, kita perlu bicara,” ucap Rendra dingin, tanpa basa-basi atau sapaan hangat yang biasanya.

Nara menahan diri, mencoba tersenyum lagi meski hatinya gamang. “Bicara? Soal apa, Ren?” tanyanya lembut, namun matanya melirik penuh curiga pada pengacara di samping Rendra.

Rendra melangkah masuk, diikuti pengacara. “Gue minta ini singkat. Gue nggak punya banyak waktu.” Nada suaranya kaku. Sama sekali tak bersahabat.

Nara merasa makin tak nyaman. “Kenapa ada pengacara? Kamu mau bicarain apa sebenarnya?”

Pengacara itu membuka tas kerja, mengeluarkan beberapa dokumen. “Mbak Nara, kedatangan saya untuk menyampaikan hal resmi. Pak Rendra ingin membicarakan pengalihan aset mendiang Pak Rafi yang masih di tangan beliau, sekaligus penegasan batas hubungan yang selama ini terjalin.”

Mata Nara sontak membelalak. “Pengalihan aset? Batas hubungan? Ren, maksud kamu apa, sih?” suaranya meninggi, mulai dipenuhi kecemasan.

Rendra menatapnya tajam. “Nara, cukup. Gue harus mengakhiri semuanya sebelum makin kacau. Lu tahu dari awal hubungan ini nggak akan ke mana-mana. Gue ada di sisi lu karena janji ke Rafi, bukan karena perasaan lain. Gue janji jagain lu, lalu serahin aset Rafi ke lu saat lu udah siap. Dan sekarang waktunya.”

Tubuh Nara gemetar. Semua rencana untuk menguasai Rendra seluruhnya runtuh seketika.

“Ren, kamu nggak serius, kan? Ini gara-gara Keisha, kan? Kamu berubah karena dia!”

“Ini tidak ada urusannya dengan Keisha. Ini keputusan gue. Gue nggak mau memperpanjang kesalahan.”

Pengacara Rendra menyerahkan dokumen. “Ini surat pernyataan Pak Rendra mengenai pembatasan hubungan serta implikasi aset.”

Nara menatap kosong kertas di tangannya. Air matanya menggenang. Dunia indah yang ia bangun dalam imajinasi hancur berantakan.

“Ren, kamu nggak bisa tinggalin aku begitu aja…” bisiknya lirih.

“Gue udah kasih lebih dari cukup, Nara. Semua ada batasnya. Gue udah larang lu usik Keisha, tapi lu ngelanggar.” Suara Rendra sangat dingin.

“Nggak!” teriak Nara histeris. “Kamu nggak bisa gini ke aku. Kamu itu milik aku, Narendra!”

Rendra menghela napas panjang lalu menoleh ke pengacaranya. “Bisa tinggalkan kami. Saya akan hubungi besok.”

Pengacara itu mengangguk paham dan undur diri.

Nara panik. Ia meraih Rendra, memeluk erat. “Bilang kalau kamu nggak serius, Ren. Aku nggak butuh harta Rafi, aku cuma butuh kamu. Aku butuh kamu di samping aku,” katanya dengan tatapan memelas.

Rendra hanya diam, tapi matanya menatap dingin.

“Ren, lihat aku! Aku lebih cantik dari Keisha, aku bisa kasih yang dia nggak bisa. Coba sekali aja tidur sama aku, Ren,” pintanya, bahkan tak segan merendahkan diri.

Rendra menepis kasar tangannya.

“Jangan melewati batas, Inara Swastika!” bentaknya tajam.

Nara terperanjat. “Kamu… ngebentak aku, Ren?” air matanya jatuh, wajahnya menunjukkan luka yang dalam.

Rendra berdiri, menghela napas sejenak lalu berucap, “Lu perlu istirahat. Gue harus pulang.”

Ia melangkah pergi tanpa menoleh lagi.

Suara pintu apartemen tertutup menegaskan segalanya telah berakhir. Nara terduduk, sendirian di ruangan dingin bersama mimpi-mimpi yang kini tinggal serpihan.

Akankah Nara menerima pengaturan Rendra?

Tbc…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Antara Dua Hati   Bab 7

    “Kamu itu seluruh duniaku. Hidup tidak ada artinya tanpa kamu, Narendra.”—Inara Swastika—Di apartemennya yang mewah, Nara berdiri di depan cermin besar, merapikan penampilannya dengan saksama. Lipstik merah tebal membingkai bibirnya sempurna, menonjolkan kontras tajam dengan gaun hitam elegan yang pas di tubuhnya. Setiap detail ia persiapkan dengan teliti: tak ada rambut terurai sembarangan, tak ada noda mengganggu. Malam ini harus benar-benar sempurna.“Bi, saya udah cantik belum?” tanyanya sambil memperhatikan bayangannya, seolah mencari kepastian dari penampilan yang sudah ia rancang matang-matang.Pelayan setia yang sudah menemaninya bertahun-tahun menunduk hormat. “Cantik sekali, Non.”Nara tersenyum tipis, tapi ada kegelisahan tersembunyi. Dalam hatinya, api persaingan dengan istri sah Rendra terus berkobar. Keisha selalu menjadi bayangan yang menghantui kebahagiaannya. Ia harus mengalahkan wanita itu dengan cara apa pun.“Harus lebih cantik dari Keisha. Wajib banget,” gumamny

  • Di Antara Dua Hati   Bab 6

    Keisha menatap layar ponselnya dengan kosong, air matanya kembali mengalir. Sakit hatinya kian dalam setelah membaca pengakuan Nara yang dengan angkuh menyatakan bahwa Rendra lebih memilih bersamanya. Luka itu bukan hanya karena pengkhianatan, tapi juga perasaan tak berdaya yang kian menjerat. Ia menutup mata, mencoba mengatur napas. Dalam kondisi seperti ini, hanya satu jalan: tetap tenang, jangan sampai terjebak dalam emosi. Jika ia lemah, Rendra dan Nara akan merasa menang. “Menyerah bukan berarti kalah,” gumamnya parau. Tekadnya semakin bulat, meski rasa sakit terus menggerogoti. Waktu berjalan lambat. Keisha duduk di tepi ranjang, memandangi pintu kamar yang tertutup rapat—simbol penjara tak kasat mata. Ia tahu Elena sedang menuju rumah, tapi kecemasan tetap menghantui. Bagaimana jika Rendra lebih dulu pulang? Bagaimana jika ia memergoki rencananya? Untuk mengusir rasa cemas, Keisha berjalan ke jendela, mengintip dari celah tirai. Benar saja, dua bodyguard berdiri di dep

  • Di Antara Dua Hati   Bab 5

    “Jika bertahan itu sakit, untuk apa tetap bertahan? Hatimu berhak memilih: melepaskan rasa sakit atau tetap memeluknya.”—Keisha Anandita Raveena—“Maaf, Bu. Bapak berpesan Ibu tidak boleh keluar rumah,” ucap Tuti sopan, menghadang Keisha yang hendak pergi dengan kopernya.“Mbak, saya harus pergi sekarang. Tolong jangan halangi saya!” suara Keisha bergetar penuh penekanan.Namun Tuti menggeleng, “Jangan persulit saya, Bu. Saya bisa kena hukuman Pak Rendra kalau Ibu sampai keluar.” Wajahnya memelas.Keisha menarik napas panjang, matanya berkaca. “Saya juga kesulitan kalau harus tetap bertahan di rumah ini, Mbak.” Ia sudah lelah. Mengapa Rendra sengaja mempersulit? Seolah pria itu tahu rencananya untuk pergi.Tuti menunduk, hatinya ikut terenyuh. “Bu, meskipun saya tak menghalangi, Ibu tetap akan sulit keluar. Baru saja bodyguard suruhan Pak Rendra datang. Mereka berjaga di pintu utama dan pos satpam.”Keisha membelalak. “Ma-maksud Mbak, suami saya menempatkan bodyguard di rumah ini? Di

  • Di Antara Dua Hati   Bab 04

    Jogja memang memberi ketenangan bagi jiwa yang terluka, tapi bagi Keisha itu hanya sesaat. Setelah hari-hari penuh ketidakpastian, akhirnya ia dan Elena kembali ke Jakarta. Hati Keisha masih berat, namun keputusannya sudah bulat: saatnya menyelesaikan semuanya dengan Rendra. Pesawat mereka mendarat mulus di Bandara Soekarno-Hatta. Usai mengambil bagasi, Keisha menerima pesan dari Rendra yang sudah menunggunya di pintu keluar. Mas Rendraku: “Sudah di mana?” Keisha: “Di pintu 3.” Tak lama, Rendra muncul dengan ekspresi datar. Keisha terbiasa dengan sikap dinginnya, tapi kali ini ada beban berbeda yang tampak jelas. Mereka saling berhadapan dalam hening sebelum Rendra mengambil koper istrinya. “Ayo, kita pulang,” ucapnya singkat. Keisha hanya mengangguk, mengikuti langkah suaminya yang tegas tapi penuh ketegangan. Di dalam mobil, hampir tak ada percakapan. Hanya suara mesin dan kendaraan lain yang terdengar. Elena sudah lebih dulu pulang dengan taksi online, memberi ruang untuk

  • Di Antara Dua Hati   Bab 03

    
 Mas Rendra Ku:Sadar kamu tanyakan itu ke suami kamu, Keisha?
 Keisha:Suami? Masih ingat kalau Mas itu seorang suami? Aku kira ingetnya udah jadi duda.
 Mas Rendra Ku:Jaga ketikan kamu, Keisha!Saya jelas suami kamu. Kamu lupa saya mengucap akad di hadapan mendiang kakek kamu?!
 Keisha:Dih, ngamuk.Aku lagi di Jogja sama Elena, ziarah ke makam Kakek. Kalau ada yang mau dibahas nanti aja pas aku pulang.
 Mas Rendra ku:Kamu di Jogja? Kenapa nggak izin saya?Kamu seorang istri, Keisha. Seharusnya kamu izin saya sebelum pergi ke Jogja.
 Keisha:Izin ke Jogja (Emot kedua tangan mengatup)
 Mas Rendra Ku: Sebelum pergi!
 Keisha hanya membaca pesan Rendra tanpa berniat membalasnya karena saat itu Elena sudah datang. 
 “Ayo, gue udah legah.” Kekeh Elena seraya mengelus perutnya yang rata.
 Keisha geleng-geleng kepala lalu bangkit dari duduknya. 
 ***Keisha berlutut di samping pusara kakeknya, air matanya menetes membasahi tanah yang masih basah oleh hujan semalam.

  • Di Antara Dua Hati   Bab 2

    Mas Rendra ku:(Foto ruangan meeting )Break meeting.Kamu tidak percaya sama saya?Keisha? Keisha memutar bola matanya malas membaca rentetan pesan Rendra yang tak akan dia balas saat ia baru saja mengaktifkan ponselnya. 
 “Maaf, gak akan percaya lagi. Takut musyrik percaya sama setan,” Gumam Keisha menatapi layar ponselnya.
 Jahat bukan mengatai suami ‘setan’? Tapi, sejujurnya Rendra lebih jahat dari Keisha. Istri mana yang akan baik-baik saja saat suaminya bobok di apartemen mantan dan mantannya pamer ke istri sah? 
 Iya, kan? Lebih jahatan Rendra, kan? 
 “Udah, mas. Cukup, aku nggak akan kasih kamu celah buat nyakitin aku lagi.” Keisha mencoba meyakinkan dirinya sendiri, ia menghela napas berat, “Memang cowok ganteng cuman kamu aja, mas? Gak, yang lebih ganteng banyak.” Kesalnya tiba-tiba.
 Pada akhirnya kekesalan itu berakhir dan Keisha ketiduran di kereta. Sampai, alarm ponselnya berbunyi, dan membangunkan Keisha juga Elena. Ya, Keisha mengatur alarm ponselnya 15 men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status