Share

Bab 04

Author: N Lita S
last update Last Updated: 2025-09-05 00:38:31

Jogja memang memberi ketenangan bagi jiwa yang terluka, tapi bagi Keisha itu hanya sesaat. Setelah hari-hari penuh ketidakpastian, akhirnya ia dan Elena kembali ke Jakarta. Hati Keisha masih berat, namun keputusannya sudah bulat: saatnya menyelesaikan semuanya dengan Rendra.

Pesawat mereka mendarat mulus di Bandara Soekarno-Hatta. Usai mengambil bagasi, Keisha menerima pesan dari Rendra yang sudah menunggunya di pintu keluar.

Mas Rendraku:

“Sudah di mana?”

Keisha:

“Di pintu 3.”

Tak lama, Rendra muncul dengan ekspresi datar. Keisha terbiasa dengan sikap dinginnya, tapi kali ini ada beban berbeda yang tampak jelas. Mereka saling berhadapan dalam hening sebelum Rendra mengambil koper istrinya.

“Ayo, kita pulang,” ucapnya singkat.

Keisha hanya mengangguk, mengikuti langkah suaminya yang tegas tapi penuh ketegangan. Di dalam mobil, hampir tak ada percakapan. Hanya suara mesin dan kendaraan lain yang terdengar. Elena sudah lebih dulu pulang dengan taksi online, memberi ruang untuk Keisha dan Rendra.

Keisha berusaha menata pikirannya. Rendra jelas tahu ada yang salah, tapi tak tahu dari mana harus memulai. Sesekali ia melirik Keisha yang menatap keluar jendela, hingga perjalanan berakhir di rumah.

Keisha masuk dengan langkah ragu. Rendra menutup pintu perlahan, menghela napas panjang, lalu memecah keheningan.

“Kamu kelihatan nggak senang berada di sini.”

Keisha menoleh, tatapannya penuh luka. “Bukan soal tempatnya, Mas. Tapi dengan siapa aku harus menjalaninya.”

Rendra menunduk, merasakan setiap kata istrinya bagai pukulan. “Ayo bicara. Mungkin saya bukan suami yang baik, tapi—”

“Bukan mungkin, memang begitu,” potong Keisha tajam. Suaranya bergetar antara marah dan sakit. “Tahu apa yang paling menyakitkan? Bukan hanya soal Nara, tapi karena Mas memilih terus terjebak masa lalu, sementara aku di sini berusaha mengerti dan bertahan.”

Rendra berusaha tenang. “Saya dan Nara tidak seperti yang kamu pikir. Dia hanya butuh bantuan. Saya cuma ingin memastikan dia baik-baik saja.”

Keisha menggeleng, air mata menahan. “Seharusnya Mas sadar, kenapa terus membiarkan dia hadir di antara kita? Aku lelah. Aku nggak sanggup lagi merasa diabaikan, hanya sekadar formalitas istri di mata orang lain. Aku butuh cinta dan perhatian, bukan status kosong.”

Kata-katanya membuat Rendra terdiam. Selama ini ia mengira Keisha kuat tanpa banyak menuntut. Ternyata di balik itu, ada kepedihan yang ia pendam.

Keheningan menyesakkan kembali hadir. Rendra sadar, percakapan ini adalah titik kritis rumah tangga mereka.

“Aku nggak bisa terus begini,” lirih Keisha. “Kalau Mas nggak bisa benar-benar putus dari Nara, lebih baik kita akhiri. Aku nggak mau terjebak dalam hubungan yang hanya membuatku menderita.”

Rendra terdiam, menimbang. Keputusan ada di tangannya, tapi apakah ia berani?

Tanpa menunggu jawaban, Keisha berdiri. “Aku butuh waktu sendiri,” ucapnya lalu masuk kamar.

Di dalam, ia menjatuhkan diri di ranjang. Air mata akhirnya tumpah, pecah bersama seluruh luka dan frustrasi yang dipendam. Dari luar, Rendra masih berdiri terpaku, mendengar isak tangis samar istrinya.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Nara muncul.

Nara:

“Kamu masih di mana, Ren? Aku butuh kamu. Apa kamu sungguh akan mengabaikanku?”

Rendra memejamkan mata. Di satu sisi, Keisha menangis menunggunya. Di sisi lain, Nara memanggilnya kembali. Dengan napas berat, ia meraih kunci mobil dan melangkah pergi.

***

Keisha, yang berdiri di depan jendela, melihat jelas mobil Rendra meninggalkan rumah. Ia tahu ke mana suaminya pergi—menemui Nara.

“Kamu memilih dia rupanya, Mas,” gumamnya getir. Sesak semakin menghimpit dada. Apa lagi yang bisa ia harapkan dari seorang suami yang lebih memilih masa lalunya?

Air matanya kembali mengalir. Keisha kian yakin, dirinya tak berarti apa-apa bagi Rendra. Semua cinta, pengorbanan, dan kesetiaan yang ia beri tak lebih dari butiran pasir yang hilang tertiup angin.

“Baik, kamu yang memilih. Aku juga sudah memutuskan. Perceraian memang jalan terbaik,” lirihnya sambil menghapus air mata. Hatinya bulat, tak ingin lagi bertahan dalam luka.

Keisha sadar, ia tak bisa terus berharap pada cinta sepihak ini. Jika Rendra memilih Nara, maka ia akan memilih dirinya sendiri. Sudah saatnya keluar dari lingkaran penderitaan dan memulai hidup baru.

Meski perih, ia merasakan sedikit lega. Rumah tangganya memang di ambang kehancuran, dan kali ini ia tidak akan menghalangi.

Setelah air matanya kering, Keisha bangkit dan menuju walk-in closet. Setiap baju, sepatu, dan aksesori di sana menyimpan cerita yang kini terasa hampa.

Ia meraih koper besar, mulai berkemas. Setiap lipatan baju yang masuk seolah ikut melipat kenangan pahit. Ini langkah pertamanya menuju kebebasan, meninggalkan bayang-bayang masa lalu Rendra.

“Pada akhirnya, semua berakhir,” gumamnya sambil mengunci koper. Tangannya sempat gemetar, bukan karena ragu, tapi karena lega yang perlahan hadir.

Keisha menatap bayangannya di cermin. Di sana berdiri wanita yang terluka, tapi kuat, siap membuka lembaran baru. “Aku layak bahagia,” bisiknya pada diri sendiri.

Dengan langkah mantap, ia keluar dari walk-in closet, menyeret koper. Keputusan sudah diambil. Waktunya meninggalkan rumah ini—bersama semua harapan kosong yang dulu pernah ia simpan.

Berhasilkah Keisha pergi?

Tbc…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Antara Dua Hati   Bab 08 (II)

    Di tempat lain, Keisha duduk dengan gelisah di dalam mobil Elena, sahabatnya. Matanya masih basah oleh air mata, tetapi ada secercah harapan yang menguatkan hatinya. Bi Tuti telah mempertaruhkan segalanya demi membantunya keluar dari rumah yang sudah seperti penjara."Tenang, Keisha. Sekarang Lu udah aman," ujar Elena dengan lembut sambil menyetir. Suaranya mencoba menenangkan, meski ia tahu Keisha masih trauma dengan apa yang baru saja terjadi.Keisha mengangguk pelan, meski hatinya masih bergemuruh. “Gue nggak tahu harus ke mana sekarang. Kalau Mas Rendra tahu gue sama lu, dia nggak akan tinggal diam. Lu bisa ikutan kena.”Elena melirik sekilas, tatapannya penuh empati. “Kita bisa pergi ke tempat yang dia nggak akan bisa cari. Lu nggak perlu ngerasa sendirian, Keisha. Gue pasti nemenin lu sampai lu benar-benar aman dari suami gila lu itu.”Keisha menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Kini ia merasa memiliki kendali atas hidupnya sendiri. Dengan bantuan Elena dan Bi Tu

  • Di Antara Dua Hati   Bab 08

    "Dasar tidak becus kalian semua! Menjaga satu perempuan saja tidak bisa!" Rendra berteriak penuh amarah begitu sampai di rumah dan menerima kabar bahwa Keisha, telah melarikan diri.“Maaf, Pak. Saya tidak menyangka Bu Keisha akan kabur lewat pintu belakang,” jawab salah satu bodyguard dengan nada gemetar. Ia adalah salah satu dari sekian orang yang Rendra tugaskan untuk menjaga Keisha dan memastikan perempuan itu tetap berada di rumah.“Saya sudah bilang jangan lengah! Kenapa tidak ada yang berjaga di pintu belakang?!” Rendra menuntut penjelasan dengan suara yang semakin meninggi, dengan ledakan amarah yang nyaris tak terbendung.Para pengawal saling melirik gugup, pandangan mereka bergeser ke arah Bi Tuti, asisten rumah tangga yang berdiri kaku tak jauh dari sana. Bi Tuti hanya bisa menunduk, tubuhnya gemetar karena ketakutan. "Ya Allah, saya ketahuan," batin Bi Tuti panik. Sudah bisa ditebak, para bodyguard itu pasti akan membongkar perbuatannya. Dialah yang telah membantu Keisha me

  • Di Antara Dua Hati   Bab 7

    “Kamu itu seluruh duniaku. Hidup tidak ada artinya tanpa kamu, Narendra.”—Inara Swastika—Di apartemennya yang mewah, Nara berdiri di depan cermin besar, merapikan penampilannya dengan saksama. Lipstik merah tebal membingkai bibirnya sempurna, menonjolkan kontras tajam dengan gaun hitam elegan yang pas di tubuhnya. Setiap detail ia persiapkan dengan teliti: tak ada rambut terurai sembarangan, tak ada noda mengganggu. Malam ini harus benar-benar sempurna.“Bi, saya udah cantik belum?” tanyanya sambil memperhatikan bayangannya, seolah mencari kepastian dari penampilan yang sudah ia rancang matang-matang.Pelayan setia yang sudah menemaninya bertahun-tahun menunduk hormat. “Cantik sekali, Non.”Nara tersenyum tipis, tapi ada kegelisahan tersembunyi. Dalam hatinya, api persaingan dengan istri sah Rendra terus berkobar. Keisha selalu menjadi bayangan yang menghantui kebahagiaannya. Ia harus mengalahkan wanita itu dengan cara apa pun.“Harus lebih cantik dari Keisha. Wajib banget,” gumamny

  • Di Antara Dua Hati   Bab 6

    Keisha menatap layar ponselnya dengan kosong, air matanya kembali mengalir. Sakit hatinya kian dalam setelah membaca pengakuan Nara yang dengan angkuh menyatakan bahwa Rendra lebih memilih bersamanya. Luka itu bukan hanya karena pengkhianatan, tapi juga perasaan tak berdaya yang kian menjerat. Ia menutup mata, mencoba mengatur napas. Dalam kondisi seperti ini, hanya satu jalan: tetap tenang, jangan sampai terjebak dalam emosi. Jika ia lemah, Rendra dan Nara akan merasa menang. “Menyerah bukan berarti kalah,” gumamnya parau. Tekadnya semakin bulat, meski rasa sakit terus menggerogoti. Waktu berjalan lambat. Keisha duduk di tepi ranjang, memandangi pintu kamar yang tertutup rapat—simbol penjara tak kasat mata. Ia tahu Elena sedang menuju rumah, tapi kecemasan tetap menghantui. Bagaimana jika Rendra lebih dulu pulang? Bagaimana jika ia memergoki rencananya? Untuk mengusir rasa cemas, Keisha berjalan ke jendela, mengintip dari celah tirai. Benar saja, dua bodyguard berdiri di dep

  • Di Antara Dua Hati   Bab 5

    “Jika bertahan itu sakit, untuk apa tetap bertahan? Hatimu berhak memilih: melepaskan rasa sakit atau tetap memeluknya.”—Keisha Anandita Raveena—“Maaf, Bu. Bapak berpesan Ibu tidak boleh keluar rumah,” ucap Tuti sopan, menghadang Keisha yang hendak pergi dengan kopernya.“Mbak, saya harus pergi sekarang. Tolong jangan halangi saya!” suara Keisha bergetar penuh penekanan.Namun Tuti menggeleng, “Jangan persulit saya, Bu. Saya bisa kena hukuman Pak Rendra kalau Ibu sampai keluar.” Wajahnya memelas.Keisha menarik napas panjang, matanya berkaca. “Saya juga kesulitan kalau harus tetap bertahan di rumah ini, Mbak.” Ia sudah lelah. Mengapa Rendra sengaja mempersulit? Seolah pria itu tahu rencananya untuk pergi.Tuti menunduk, hatinya ikut terenyuh. “Bu, meskipun saya tak menghalangi, Ibu tetap akan sulit keluar. Baru saja bodyguard suruhan Pak Rendra datang. Mereka berjaga di pintu utama dan pos satpam.”Keisha membelalak. “Ma-maksud Mbak, suami saya menempatkan bodyguard di rumah ini? Di

  • Di Antara Dua Hati   Bab 04

    Jogja memang memberi ketenangan bagi jiwa yang terluka, tapi bagi Keisha itu hanya sesaat. Setelah hari-hari penuh ketidakpastian, akhirnya ia dan Elena kembali ke Jakarta. Hati Keisha masih berat, namun keputusannya sudah bulat: saatnya menyelesaikan semuanya dengan Rendra. Pesawat mereka mendarat mulus di Bandara Soekarno-Hatta. Usai mengambil bagasi, Keisha menerima pesan dari Rendra yang sudah menunggunya di pintu keluar. Mas Rendraku: “Sudah di mana?” Keisha: “Di pintu 3.” Tak lama, Rendra muncul dengan ekspresi datar. Keisha terbiasa dengan sikap dinginnya, tapi kali ini ada beban berbeda yang tampak jelas. Mereka saling berhadapan dalam hening sebelum Rendra mengambil koper istrinya. “Ayo, kita pulang,” ucapnya singkat. Keisha hanya mengangguk, mengikuti langkah suaminya yang tegas tapi penuh ketegangan. Di dalam mobil, hampir tak ada percakapan. Hanya suara mesin dan kendaraan lain yang terdengar. Elena sudah lebih dulu pulang dengan taksi online, memberi ruang untuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status