Share

Bab 6

Author: N Lita S
last update Last Updated: 2025-09-05 00:44:18

Keisha menatap layar ponselnya dengan kosong, air matanya kembali mengalir. Sakit hatinya kian dalam setelah membaca pengakuan Nara yang dengan angkuh menyatakan bahwa Rendra lebih memilih bersamanya.

Luka itu bukan hanya karena pengkhianatan, tapi juga perasaan tak berdaya yang kian menjerat.

Ia menutup mata, mencoba mengatur napas. Dalam kondisi seperti ini, hanya satu jalan: tetap tenang, jangan sampai terjebak dalam emosi. Jika ia lemah, Rendra dan Nara akan merasa menang.

“Menyerah bukan berarti kalah,” gumamnya parau. Tekadnya semakin bulat, meski rasa sakit terus menggerogoti.

Waktu berjalan lambat. Keisha duduk di tepi ranjang, memandangi pintu kamar yang tertutup rapat—simbol penjara tak kasat mata. Ia tahu Elena sedang menuju rumah, tapi kecemasan tetap menghantui. Bagaimana jika Rendra lebih dulu pulang? Bagaimana jika ia memergoki rencananya?

Untuk mengusir rasa cemas, Keisha berjalan ke jendela, mengintip dari celah tirai. Benar saja, dua bodyguard berdiri di depan gerbang, siaga penuh. Mustahil menembus mereka secara langsung.

Ia mendesah, makin terkurung. Perlawanan frontal sia-sia—ia harus mencari celah lain. Saat pikirannya berputar, notifikasi ponsel berbunyi. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan itu, berharap dari Elena.

Elena: “Kei, gue di jalan. Kita coba keluar lewat pintu belakang. Jangan sampai bodyguard lihat. Kita atur strategi nanti.”

Pesan itu menyalakan harapan. Pintu belakang jarang dipakai, mungkin lengah dari pengawasan. Itu bisa jadi jalannya! Ia harus bersiap.

Keisha merapikan barang-barangnya. Koper terasa semakin berat, seakan menampung seluruh beban yang ingin ia tinggalkan. Ia duduk lagi, berusaha menenangkan diri sambil menunggu Elena.

Di tengah ketegangan, pikirannya berbisik—ini mungkin akhir dari segalanya dengan Rendra, tapi juga awal bagi hidup baru: bebas dari manipulasi, pengkhianatan, dan rasa terkurung.

Ia menatap pantulan dirinya di cermin: rapuh, tapi dengan tekad menyala. “Gue akan keluar dari sini,” bisiknya.

Hanya satu kunci tersisa—Bi Tuti. Wanita tua itu bisa jadi satu-satunya celah.

Keisha menarik napas dalam-dalam, menyusun kata-kata. Ia harus meyakinkan tanpa memaksa. Dengan hati-hati, ia mengetuk pintu.

“Bi Tuti, saya mohon… boleh bicara sebentar?” suaranya bergetar.

Langkah mendekat, lalu kunci berputar. Pintu terbuka sedikit, menampilkan wajah Bi Tuti yang ragu.

“Ada apa, Bu?” tanyanya hati-hati, jelas serba salah.

Keisha berusaha tersenyum meski hatinya hancur.

“Bi… saya tahu Mas Rendra menyuruh Bi Tuti menjaga saya. Tapi tolong… izinkan saya pergi. Saya sudah tidak sanggup lagi.”

Bi Tuti makin gelisah. “Bu Keisha, saya takut sama Pak Rendra. Beliau jelas-jelas melarang saya kasih jalan keluar.”

Hati Keisha mencelos, tapi ia tak menyerah. “Bi, saya pun takut. Tapi tinggal di sini rasanya seperti dipenjara. Tolong… biarkan saya pergi. Jangan khawatir, semua saya tanggung sendiri. Bi Tuti nggak akan disalahkan.”

Air matanya kembali tumpah. “Saya hanya ingin bebas, Bi. Mohon, jangan biarkan saya hancur di sini.”

Bi Tuti terdiam, wajahnya diliputi dilema. Ia paham risikonya, tapi juga merasakan putus asa Keisha. Setelah hening beberapa saat, ia mengangkat wajah.

“Kalau saya buka pintu ini, Ibu harus janji segera pergi. Jangan sampai Pak Rendra tahu saya yang bantu.”

Keisha mengangguk cepat. “Saya janji, Bi. Terima kasih banyak.”

Dengan tangan gemetar, Bi Tuti membuka pintu lebih lebar. Jantung Keisha berdegup kencang.

“Cepat, Bu. Jangan lama-lama. Saya akan berjaga di sini,” bisik Bi Tuti, waspada melirik lorong.

Keisha menunduk penuh terima kasih. Ia menarik kopernya, melangkah pelan agar tak menimbulkan suara.

Saat mencapai tangga, ia menoleh. “Terima kasih, Bi. Saya nggak akan lupa kebaikan Bi Tuti.”

Bi Tuti mengangguk, terharu sekaligus khawatir. “Hati-hati ya, Bu. Semoga Ibu temukan ketenangan di luar sana.”

Keisha tersenyum tipis lalu menuruni tangga.

***

Ia merasa sedikit lega saat menyadari para bodyguard hanya berjaga di pintu depan. Kesempatan terbuka di area dapur. Dengan hati-hati, ia melangkah, menggenggam koper erat. Setiap derit lantai membuatnya tegang.

Dapur sepi. Hanya angin malam berdesir di luar. Keisha sempat tercekat melihat bayangan di jendela, tapi ternyata hanya daun tertiup angin. Ia segera menuju pintu belakang.

Tangannya gemetar saat memutar kunci, hingga akhirnya pintu berderit terbuka. Udara malam menyusup masuk, menusuk kulit. Perlahan, ia menyelinap keluar dan menutup pintu rapat-rapat.

Dengan merunduk, ia berlari kecil melewati halaman belakang, memanfaatkan gelap malam sebagai perlindungan. Ia menembus jalur sempit di samping rumah hingga akhirnya keluar dari area itu.

Kini, ia hanya perlu mencapai titik pertemuan dengan Elena. Jantungnya masih berdegup kencang, tapi langkahnya terasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar hampir bebas.

Tbc…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Antara Dua Hati   Bab 08 (II)

    Di tempat lain, Keisha duduk dengan gelisah di dalam mobil Elena, sahabatnya. Matanya masih basah oleh air mata, tetapi ada secercah harapan yang menguatkan hatinya. Bi Tuti telah mempertaruhkan segalanya demi membantunya keluar dari rumah yang sudah seperti penjara."Tenang, Keisha. Sekarang Lu udah aman," ujar Elena dengan lembut sambil menyetir. Suaranya mencoba menenangkan, meski ia tahu Keisha masih trauma dengan apa yang baru saja terjadi.Keisha mengangguk pelan, meski hatinya masih bergemuruh. “Gue nggak tahu harus ke mana sekarang. Kalau Mas Rendra tahu gue sama lu, dia nggak akan tinggal diam. Lu bisa ikutan kena.”Elena melirik sekilas, tatapannya penuh empati. “Kita bisa pergi ke tempat yang dia nggak akan bisa cari. Lu nggak perlu ngerasa sendirian, Keisha. Gue pasti nemenin lu sampai lu benar-benar aman dari suami gila lu itu.”Keisha menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Kini ia merasa memiliki kendali atas hidupnya sendiri. Dengan bantuan Elena dan Bi Tu

  • Di Antara Dua Hati   Bab 08

    "Dasar tidak becus kalian semua! Menjaga satu perempuan saja tidak bisa!" Rendra berteriak penuh amarah begitu sampai di rumah dan menerima kabar bahwa Keisha, telah melarikan diri.“Maaf, Pak. Saya tidak menyangka Bu Keisha akan kabur lewat pintu belakang,” jawab salah satu bodyguard dengan nada gemetar. Ia adalah salah satu dari sekian orang yang Rendra tugaskan untuk menjaga Keisha dan memastikan perempuan itu tetap berada di rumah.“Saya sudah bilang jangan lengah! Kenapa tidak ada yang berjaga di pintu belakang?!” Rendra menuntut penjelasan dengan suara yang semakin meninggi, dengan ledakan amarah yang nyaris tak terbendung.Para pengawal saling melirik gugup, pandangan mereka bergeser ke arah Bi Tuti, asisten rumah tangga yang berdiri kaku tak jauh dari sana. Bi Tuti hanya bisa menunduk, tubuhnya gemetar karena ketakutan. "Ya Allah, saya ketahuan," batin Bi Tuti panik. Sudah bisa ditebak, para bodyguard itu pasti akan membongkar perbuatannya. Dialah yang telah membantu Keisha me

  • Di Antara Dua Hati   Bab 7

    “Kamu itu seluruh duniaku. Hidup tidak ada artinya tanpa kamu, Narendra.”—Inara Swastika—Di apartemennya yang mewah, Nara berdiri di depan cermin besar, merapikan penampilannya dengan saksama. Lipstik merah tebal membingkai bibirnya sempurna, menonjolkan kontras tajam dengan gaun hitam elegan yang pas di tubuhnya. Setiap detail ia persiapkan dengan teliti: tak ada rambut terurai sembarangan, tak ada noda mengganggu. Malam ini harus benar-benar sempurna.“Bi, saya udah cantik belum?” tanyanya sambil memperhatikan bayangannya, seolah mencari kepastian dari penampilan yang sudah ia rancang matang-matang.Pelayan setia yang sudah menemaninya bertahun-tahun menunduk hormat. “Cantik sekali, Non.”Nara tersenyum tipis, tapi ada kegelisahan tersembunyi. Dalam hatinya, api persaingan dengan istri sah Rendra terus berkobar. Keisha selalu menjadi bayangan yang menghantui kebahagiaannya. Ia harus mengalahkan wanita itu dengan cara apa pun.“Harus lebih cantik dari Keisha. Wajib banget,” gumamny

  • Di Antara Dua Hati   Bab 6

    Keisha menatap layar ponselnya dengan kosong, air matanya kembali mengalir. Sakit hatinya kian dalam setelah membaca pengakuan Nara yang dengan angkuh menyatakan bahwa Rendra lebih memilih bersamanya. Luka itu bukan hanya karena pengkhianatan, tapi juga perasaan tak berdaya yang kian menjerat. Ia menutup mata, mencoba mengatur napas. Dalam kondisi seperti ini, hanya satu jalan: tetap tenang, jangan sampai terjebak dalam emosi. Jika ia lemah, Rendra dan Nara akan merasa menang. “Menyerah bukan berarti kalah,” gumamnya parau. Tekadnya semakin bulat, meski rasa sakit terus menggerogoti. Waktu berjalan lambat. Keisha duduk di tepi ranjang, memandangi pintu kamar yang tertutup rapat—simbol penjara tak kasat mata. Ia tahu Elena sedang menuju rumah, tapi kecemasan tetap menghantui. Bagaimana jika Rendra lebih dulu pulang? Bagaimana jika ia memergoki rencananya? Untuk mengusir rasa cemas, Keisha berjalan ke jendela, mengintip dari celah tirai. Benar saja, dua bodyguard berdiri di dep

  • Di Antara Dua Hati   Bab 5

    “Jika bertahan itu sakit, untuk apa tetap bertahan? Hatimu berhak memilih: melepaskan rasa sakit atau tetap memeluknya.”—Keisha Anandita Raveena—“Maaf, Bu. Bapak berpesan Ibu tidak boleh keluar rumah,” ucap Tuti sopan, menghadang Keisha yang hendak pergi dengan kopernya.“Mbak, saya harus pergi sekarang. Tolong jangan halangi saya!” suara Keisha bergetar penuh penekanan.Namun Tuti menggeleng, “Jangan persulit saya, Bu. Saya bisa kena hukuman Pak Rendra kalau Ibu sampai keluar.” Wajahnya memelas.Keisha menarik napas panjang, matanya berkaca. “Saya juga kesulitan kalau harus tetap bertahan di rumah ini, Mbak.” Ia sudah lelah. Mengapa Rendra sengaja mempersulit? Seolah pria itu tahu rencananya untuk pergi.Tuti menunduk, hatinya ikut terenyuh. “Bu, meskipun saya tak menghalangi, Ibu tetap akan sulit keluar. Baru saja bodyguard suruhan Pak Rendra datang. Mereka berjaga di pintu utama dan pos satpam.”Keisha membelalak. “Ma-maksud Mbak, suami saya menempatkan bodyguard di rumah ini? Di

  • Di Antara Dua Hati   Bab 04

    Jogja memang memberi ketenangan bagi jiwa yang terluka, tapi bagi Keisha itu hanya sesaat. Setelah hari-hari penuh ketidakpastian, akhirnya ia dan Elena kembali ke Jakarta. Hati Keisha masih berat, namun keputusannya sudah bulat: saatnya menyelesaikan semuanya dengan Rendra. Pesawat mereka mendarat mulus di Bandara Soekarno-Hatta. Usai mengambil bagasi, Keisha menerima pesan dari Rendra yang sudah menunggunya di pintu keluar. Mas Rendraku: “Sudah di mana?” Keisha: “Di pintu 3.” Tak lama, Rendra muncul dengan ekspresi datar. Keisha terbiasa dengan sikap dinginnya, tapi kali ini ada beban berbeda yang tampak jelas. Mereka saling berhadapan dalam hening sebelum Rendra mengambil koper istrinya. “Ayo, kita pulang,” ucapnya singkat. Keisha hanya mengangguk, mengikuti langkah suaminya yang tegas tapi penuh ketegangan. Di dalam mobil, hampir tak ada percakapan. Hanya suara mesin dan kendaraan lain yang terdengar. Elena sudah lebih dulu pulang dengan taksi online, memberi ruang untuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status