Share

Bab 4

Author: Quinn
Sheilla membelai bulu halus anjing kecil itu dan bertanya dengan suara lembut.

Kemudian, seolah akhirnya merasa lelah, Sheilla menyuruh pengawal menurunkan Martin.

Dia mengangkat kakinya dan menginjak wajah Martin yang sudah membiru dan lebam, dengan ekspresi penuh belas kasihan yang pura-pura.

"Kamu lihat sendiri, ayahmu pun sudah nggak menginginkanmu lagi."

"Kasihan sekali."

...

Pintu lift perlahan tertutup.

Hanya menyisakan tubuh kecil Martin yang menggigil kedinginan di lantai keramik yang dingin.

Aku berlutut di sampingnya, meskipun tahu itu sia-sia, tetap berusaha lagi dan lagi untuk mencoba menggendongnya.

Tapi tidak ada gunanya, sama sekali tidak ada gunanya.

Pintu rumah sakit telah lama ditutup, tanpa perintah Sutiarso, tidak ada seorang pun yang berani menyelamatkan anakku.

Darah di sudut bibir Martin sudah mengering.

Dia mencoba menggerakkan kelopak matanya, tetapi sama sekali tidak bisa membuka matanya.

Hanya selimut di pelukannya yang masih terbungkus plastik tipis, mengeluarkan suara lembut yang nyaris tak terdengar.

Kalung Penjaga Umur di lehernya sudah tidak tahu di mana rimbanya.

Hanya tersisa bekas halus yang menunjukkan bahwa Martin juga pernah menjadi harta yang dilindungi dengan penuh kasih sayang.

Aku tidak tahu sudah berapa lama berlutut, sudah berapa lama menangis.

Hanya tahu bahwa hatiku sudah mati rasa karena sakit, air mata pun sudah benar-benar kering.

Tepat ketika aku mengira semuanya akan berakhir, Sutiarso turun.

Suara sepatu buatan tangan terdengar nyaring saat melangkah di lantai.

Sutiarso berjalan ke tengah lobi, memandangi punggung Martin yang diam tak bergerak dengan tatapan yang sulit ditebak.

"Belum puas aktingnya?"

"Apakah Kiyano mengajarimu untuk berpura-pura kasihan seperti ini?"

"Kalian pikir dengan terlihat menyedihkan, aku akan luluh?"

"Jangan mimpi!"

Suara dingin Sutiarso terus terdengar, setiap kata seperti pisau tajam yang menusuk jantungku berulang kali.

Aku ingin sekali bertanya padanya, apakah kamu masih manusia?

Bagaimana bisa kamu menuduh anakku seperti itu?

Dia begitu patuh, begitu pengertian, begitu ...

Air mata jatuh berderai, menetes ke wajah Martin.

Entah itu hanya ilusiku atau bukan, tapi bulu mata Martin tampak tiba-tiba bergerak sedikit.

Sutiarso di sana masih terus mengucapkan kata-kata keras, setelah menyadari Martin tidak bereaksi, Sutiarso akhirnya merasa sedikit tidak tenang.

Dia mengangkat kaki, melangkah perlahan ke arah Martin.

"Martin?"

"Kenapa kamu diam saja?"

"Aku sudah tahu tipuanmu, jangan berpura-pura lagi."

Nada suara Sutiarso semakin tegang, langkah kakinya semakin cepat.

Ketika hampir sampai di hadapan Martin, tangan Martin bergerak sedikit.

Langkah Sutiarso terhenti.

Kepanikan di wajahnya langsung berubah menjadi kemarahan karena merasa ditipu sekali lagi.

Sutiarso mengambil ponselnya, memotret beberapa foto punggung Martin, dan mengirimkannya ke ponselku.

[Kiyano, kamu hebat juga ya? Dirimu sendiri belum puas berpura-pura, sekarang bahkan mengajarkan anak untuk menipu orang!]

[Baik, kalau kamu suka menyuruh anak berpura-pura, maka kita lihat saja siapa yang akhirnya akan merasa sakit hati!]

Setelah mengirim pesan itu, Sutiarso berbalik, dia ragu sebentar, tapi akhirnya pergi tanpa menoleh sedikit pun.

Saat lobi kembali sunyi, Martin perlahan membuka matanya dengan susah payah, dan batuk beberapa kali.

Setiap kali batuk mengeluarkan darah.

Sampai darah menetes ke kantong plastik di pelukannya, barulah dia tiba-tiba tersadar.

Dia bangkit dengan hati-hati, memeluk selimut erat-erat di dadanya, lalu tersenyum dengan sudut bibir yang pecah karena pukulan.

Kemudian, Martin membawa selimut itu tersandung-sandung kembali ke koridor tempat ranjangku ditempatkan.

Menyentuh tubuhku yang sudah dingin, Martin tertegun.

Kemudian, dengan sisa tenaganya, dia membuka selimut dan menyelimutkannya di tubuhku.

"Ibu yang baik, pakai selimut nanti nggak dingin lagi."

Setelah berkata demikian, Martin pingsan.

...

Keesokan harinya, seorang dokter magang yang kebetulan lewat menjerit. Jeritannya menggema di seluruh rumah sakit.

"Cepat, ada pasien yang meninggal di sini!"

Sutiarso mendengar suara itu, dengan kesal mendorong kerumunan orang yang berjejalan.

"Apa yang kalian lakukan berkerumun di sini? Jika kalian menggangu Sheilla beristirahat, kalian satu per satu ... "

Perkataan Sutiarso terhenti.

Saat melihat wanita yang terbaring di ranjang rumah sakit, dan Martin yang terbaring di atas wanita itu dengan napas lemah, wajahnya langsung pucat.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Antara Tangis Anakku dan Diam Suamiku   Bab 8

    "Kalau begitu, berlutut dulu pada anakku dan minta maaf padanya."Sheilla menatap Sutiarso dengan tidak percaya, tapi rasa sakit luar biasa di kulit kepalanya mengingatkannya bahwa dia tidak punya pilihan selain tunduk."Baik ... aku berlutut."Sheilla berlutut, terus menerus membenturkan kepalanya ke arah Martin."Martin, Tante salah, maafkan Tante ya.""Tante janji nggak akan berani lagi."Satu suara, satu ketukan. Setiap kali kepalanya menyentuh lantai, itu benar-benar keras tanpa pura-pura.Aku menatap dingin adegan dramatis ini, tapi tidak ada sedikit pun rasa lega di hatiku.Aku tahu, bahkan jika dia membenturkan kepalanya sampai mati di sini, itu tidak akan menghapus luka yang diterima anakku.Saat itu juga, seorang dokter tiba-tiba memberanikan diri berbicara, "Pak Sutiarso, aku ingin melapor!"Kata-kata yang mendadak itu membuat semua orang spontan menoleh.Terutama Sheilla, sebuah firasat buruk tiba-tiba muncul di hatinya.Sutiarso menyipitkan mata, dengan suara dingin berkat

  • Di Antara Tangis Anakku dan Diam Suamiku   Bab 7

    Jantungku berdetak kencang.Aku melayang di depan pintu ruang perawatan intensif, tubuhku terus gemetar.Dia mau apa?Apakah dia masih akan menyakiti Martin, anakku?Tidak, tidak boleh!Anakku tidak boleh terluka lagi.Tidak boleh sama sekali!Melihat senyum samar di wajah Sheilla, aku benar-benar ingin menguliti dan mengoyak tubuhnya sampai habis.Sheilla tidak bisa melihatku, dia asal mencari alasan untuk menyuruh perawat pergi dari ruang perawatan intensif.Lalu diam-diam mendorong pintu terbuka.Melewati tubuhku yang tak tersentuh, Sheilla perlahan melangkah masuk ke ruang perawatan intensif.Dia berjalan ke ranjang Martin, bibirnya tersenyum tipis, kuku-kuku cantik yang terawat itu menggores pelan dahi, mata, dan mulut Martin.Sampai akhirnya berhenti di leher Martin yang rentan."Menurutmu, kalau Kiyano tahu keadaanmu yang menyedihkan ini, apa dia akan membenciku?"Sheilla tertawa, matanya berkilat jahat."Sayangnya tubuh ibumu terlalu lemah, aku cuma menyuruh orang mengeluarkan

  • Di Antara Tangis Anakku dan Diam Suamiku   Bab 6

    Bengkak di wajah Martin sudah agak mereda, darah di sudut bibirnya pun telah dibersihkan dengan hati-hati oleh para perawat.Namun justru ini membuat bekas luka-luka di wajahnya tampak semakin jelas.Terutama bekas tamparan di pipinya.Jelas sekali itu hasil pukulan dengan kekuatan penuh.Sutiarso menatap kosong wajah Martin, kedua tangannya sudah mengepal kuat sejak tadi."Sutiarso?"Sheilla memanggilnya dengan suara gemetar, diselimuti rasa takut dan cemas.Sejak pagi tadi, dia sudah mendengar kabar dari rumah sakit.Tentang mayat seorang wanita yang ditemukan di koridor, bersama seorang anak berusia enam tahun.Saat itu Sheilla sedang merias wajah. Mendengar kabar ini, lipstik di tangannya langsung patah.Setelah mengikuti Sutiarso selama bertahun-tahun, dia sangat memahami Sutiarso.Laki-laki ini memang menyebalkan, dia cuma tertarik pada sesuatu yang tidak bisa diraihnya.Dulu itu adalah dirinya, sekarang ... Sheilla mulai panik ... Jadi ketika tahu Sutiarso mencarinya, Sheilla s

  • Di Antara Tangis Anakku dan Diam Suamiku   Bab 5

    "Ki ... Kiyano ... "Sutiarso menyebut namaku dengan lirih, lalu tanpa ragu menerobos kerumunan dan bergegas menuju ranjangku.Melihat tubuhku yang kini hanya jasad, pucat, kaku, tanpa sedikit pun tanda kehidupan.Hati Sutiarso tiba-tiba terasa seperti diremas dengan keras.Sutiarso mengulurkan tangan dengan gemetar untuk memeriksa apakah aku masih bernapas, tetapi tanpa sengaja menyentuh wajah Martin yang lebam.Secara refleks, dia langsung memeluk Martin dalam pelukannya.Mata Sutiarso memerah, dia berteriak kepada orang-orang di sekelilingnya, "Dokter! Mana dokternya?!"Kerumunan mulai panik.Beberapa dokter dan perawat segera muncul dan menuntun Sutiarso menuju ruang perawatan.Sutiarso dengan sangat hati-hati membaringkan Martin yang tak sadarkan diri itu ke atas ranjang pasien.Jiwaku yang melayang di udara, akhirnya merasa sedikit tenang.Melihat kepanikan yang tak terbendung di wajah Sutiarso, aku justru ingin tertawa.Bukankah semua ini terjadi karena tindakan dia?Tadi malam,

  • Di Antara Tangis Anakku dan Diam Suamiku   Bab 4

    Sheilla membelai bulu halus anjing kecil itu dan bertanya dengan suara lembut.Kemudian, seolah akhirnya merasa lelah, Sheilla menyuruh pengawal menurunkan Martin.Dia mengangkat kakinya dan menginjak wajah Martin yang sudah membiru dan lebam, dengan ekspresi penuh belas kasihan yang pura-pura."Kamu lihat sendiri, ayahmu pun sudah nggak menginginkanmu lagi.""Kasihan sekali."...Pintu lift perlahan tertutup.Hanya menyisakan tubuh kecil Martin yang menggigil kedinginan di lantai keramik yang dingin.Aku berlutut di sampingnya, meskipun tahu itu sia-sia, tetap berusaha lagi dan lagi untuk mencoba menggendongnya.Tapi tidak ada gunanya, sama sekali tidak ada gunanya.Pintu rumah sakit telah lama ditutup, tanpa perintah Sutiarso, tidak ada seorang pun yang berani menyelamatkan anakku.Darah di sudut bibir Martin sudah mengering.Dia mencoba menggerakkan kelopak matanya, tetapi sama sekali tidak bisa membuka matanya.Hanya selimut di pelukannya yang masih terbungkus plastik tipis, mengel

  • Di Antara Tangis Anakku dan Diam Suamiku   Bab 3

    Lengan Martin mulai kejang tanpa henti, tapi dia menolak untuk menangis.Dia mengangkat kepala, matanya yang merah bengkak menatap tajam ke arah Sheilla yang berpenampilan mewah itu."Ibuku bukan perempuan murahan, ibuku adalah ibu terbaik di dunia ini!""Kamu wanita jahat, aku tidak mengizinkanmu menyakiti ibuku!"Setelah selesai berkata, Martin membuka mulutnya dan menggigit Sheilla dengan keras, berpikir bahwa dengan begitu dia bisa membuat Sheilla menarik kakinya.Sheilla yang sudah sangat marah benar-benar kehilangan kendali. Dia dengan keras menendang perut Martin yang rapuh menggunakan sepatu hak tinggi bertumit runcing."Bajingan kecil!"Aku berteriak keras, langsung menerjang untuk melindungi Martin dalam pelukanku.Martin malah melewati tubuhku, terhantam keras ke dinding, dan tiba-tiba meludahkan seteguk darah.Namun dia tetap menahan tangisnya, dengan keras kepala mengulurkan tangan kecilnya, meraba-raba di lantai."Selimut ... Selimut ... ""Ibu butuh selimut ... "Sheilla

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status