Setelah dipaksa menukar jantung untuk cinta pertama suamiku, aku mati di koridor rumah sakit swasta yang didirikannya sendiri. Saat menjelang ajal, anak lelakiku yang berusia enam tahun menangis dan memohon padanya tiga kali. Pertama, anakku menggandeng tangan ayahnya dan berkata bahwa aku muntah darah. Ayahnya menyeringai dingin dan berkata, "Kali ini akhirnya ada kemajuan, sampai mengajarkan anak untuk berbohong." Lalu menyuruh pengawal mengusir anakku dari kamar. Kedua, anakku menarik lengan bajunya dan berkata bahwa aku sudah mulai mengoceh tak karuan karena menahan sakit. Ayahnya mengerutkan kening dan berkata, "Bukannya hanya mengganti jantung? Kata dokter, tidak akan mati." Pengawal maju dan kembali menyeret anakku keluar dari kamar. Ketiga, anakku merangkak di lantai, menggenggam erat ujung celananya sambil menangis, berkata bahwa aku sudah tidak sadarkan diri. Ayahnya akhirnya marah, mencekik leher anakku dan melemparkannya keluar dari kamar. "Sudah kukatakan, Kiyano tidak akan mati. Jika kamu masih berani mengganggu istirahat Sheilla, pasti akan kulempar kalian berdua keluar dari rumah sakit." Untuk menyelamatkanku, anakku menggadaikan Kalung Penjaga Umur yang paling berharga kepada perawat. "Bibi, aku tidak ingin panjang umur lagi, aku hanya ingin ibuku hidup." Perawat menerima Kalung Penjaga Umur dan bersiap mengatur kamar terakhir untukku. Namun Sheilla, cinta pertama suamiku, menyuruh orang menggendong anjing peliharaannya dan menghalangi depan kamar, lalu berkata, "Maaf ya nak, ayahmu khawatir aku akan bosan tidak bertemu anjing, kamar ini disediakan untuk anjingku."
Lihat lebih banyak"Kalau begitu, berlutut dulu pada anakku dan minta maaf padanya."Sheilla menatap Sutiarso dengan tidak percaya, tapi rasa sakit luar biasa di kulit kepalanya mengingatkannya bahwa dia tidak punya pilihan selain tunduk."Baik ... aku berlutut."Sheilla berlutut, terus menerus membenturkan kepalanya ke arah Martin."Martin, Tante salah, maafkan Tante ya.""Tante janji nggak akan berani lagi."Satu suara, satu ketukan. Setiap kali kepalanya menyentuh lantai, itu benar-benar keras tanpa pura-pura.Aku menatap dingin adegan dramatis ini, tapi tidak ada sedikit pun rasa lega di hatiku.Aku tahu, bahkan jika dia membenturkan kepalanya sampai mati di sini, itu tidak akan menghapus luka yang diterima anakku.Saat itu juga, seorang dokter tiba-tiba memberanikan diri berbicara, "Pak Sutiarso, aku ingin melapor!"Kata-kata yang mendadak itu membuat semua orang spontan menoleh.Terutama Sheilla, sebuah firasat buruk tiba-tiba muncul di hatinya.Sutiarso menyipitkan mata, dengan suara dingin berkat
Jantungku berdetak kencang.Aku melayang di depan pintu ruang perawatan intensif, tubuhku terus gemetar.Dia mau apa?Apakah dia masih akan menyakiti Martin, anakku?Tidak, tidak boleh!Anakku tidak boleh terluka lagi.Tidak boleh sama sekali!Melihat senyum samar di wajah Sheilla, aku benar-benar ingin menguliti dan mengoyak tubuhnya sampai habis.Sheilla tidak bisa melihatku, dia asal mencari alasan untuk menyuruh perawat pergi dari ruang perawatan intensif.Lalu diam-diam mendorong pintu terbuka.Melewati tubuhku yang tak tersentuh, Sheilla perlahan melangkah masuk ke ruang perawatan intensif.Dia berjalan ke ranjang Martin, bibirnya tersenyum tipis, kuku-kuku cantik yang terawat itu menggores pelan dahi, mata, dan mulut Martin.Sampai akhirnya berhenti di leher Martin yang rentan."Menurutmu, kalau Kiyano tahu keadaanmu yang menyedihkan ini, apa dia akan membenciku?"Sheilla tertawa, matanya berkilat jahat."Sayangnya tubuh ibumu terlalu lemah, aku cuma menyuruh orang mengeluarkan
Bengkak di wajah Martin sudah agak mereda, darah di sudut bibirnya pun telah dibersihkan dengan hati-hati oleh para perawat.Namun justru ini membuat bekas luka-luka di wajahnya tampak semakin jelas.Terutama bekas tamparan di pipinya.Jelas sekali itu hasil pukulan dengan kekuatan penuh.Sutiarso menatap kosong wajah Martin, kedua tangannya sudah mengepal kuat sejak tadi."Sutiarso?"Sheilla memanggilnya dengan suara gemetar, diselimuti rasa takut dan cemas.Sejak pagi tadi, dia sudah mendengar kabar dari rumah sakit.Tentang mayat seorang wanita yang ditemukan di koridor, bersama seorang anak berusia enam tahun.Saat itu Sheilla sedang merias wajah. Mendengar kabar ini, lipstik di tangannya langsung patah.Setelah mengikuti Sutiarso selama bertahun-tahun, dia sangat memahami Sutiarso.Laki-laki ini memang menyebalkan, dia cuma tertarik pada sesuatu yang tidak bisa diraihnya.Dulu itu adalah dirinya, sekarang ... Sheilla mulai panik ... Jadi ketika tahu Sutiarso mencarinya, Sheilla s
"Ki ... Kiyano ... "Sutiarso menyebut namaku dengan lirih, lalu tanpa ragu menerobos kerumunan dan bergegas menuju ranjangku.Melihat tubuhku yang kini hanya jasad, pucat, kaku, tanpa sedikit pun tanda kehidupan.Hati Sutiarso tiba-tiba terasa seperti diremas dengan keras.Sutiarso mengulurkan tangan dengan gemetar untuk memeriksa apakah aku masih bernapas, tetapi tanpa sengaja menyentuh wajah Martin yang lebam.Secara refleks, dia langsung memeluk Martin dalam pelukannya.Mata Sutiarso memerah, dia berteriak kepada orang-orang di sekelilingnya, "Dokter! Mana dokternya?!"Kerumunan mulai panik.Beberapa dokter dan perawat segera muncul dan menuntun Sutiarso menuju ruang perawatan.Sutiarso dengan sangat hati-hati membaringkan Martin yang tak sadarkan diri itu ke atas ranjang pasien.Jiwaku yang melayang di udara, akhirnya merasa sedikit tenang.Melihat kepanikan yang tak terbendung di wajah Sutiarso, aku justru ingin tertawa.Bukankah semua ini terjadi karena tindakan dia?Tadi malam,
Sheilla membelai bulu halus anjing kecil itu dan bertanya dengan suara lembut.Kemudian, seolah akhirnya merasa lelah, Sheilla menyuruh pengawal menurunkan Martin.Dia mengangkat kakinya dan menginjak wajah Martin yang sudah membiru dan lebam, dengan ekspresi penuh belas kasihan yang pura-pura."Kamu lihat sendiri, ayahmu pun sudah nggak menginginkanmu lagi.""Kasihan sekali."...Pintu lift perlahan tertutup.Hanya menyisakan tubuh kecil Martin yang menggigil kedinginan di lantai keramik yang dingin.Aku berlutut di sampingnya, meskipun tahu itu sia-sia, tetap berusaha lagi dan lagi untuk mencoba menggendongnya.Tapi tidak ada gunanya, sama sekali tidak ada gunanya.Pintu rumah sakit telah lama ditutup, tanpa perintah Sutiarso, tidak ada seorang pun yang berani menyelamatkan anakku.Darah di sudut bibir Martin sudah mengering.Dia mencoba menggerakkan kelopak matanya, tetapi sama sekali tidak bisa membuka matanya.Hanya selimut di pelukannya yang masih terbungkus plastik tipis, mengel
Lengan Martin mulai kejang tanpa henti, tapi dia menolak untuk menangis.Dia mengangkat kepala, matanya yang merah bengkak menatap tajam ke arah Sheilla yang berpenampilan mewah itu."Ibuku bukan perempuan murahan, ibuku adalah ibu terbaik di dunia ini!""Kamu wanita jahat, aku tidak mengizinkanmu menyakiti ibuku!"Setelah selesai berkata, Martin membuka mulutnya dan menggigit Sheilla dengan keras, berpikir bahwa dengan begitu dia bisa membuat Sheilla menarik kakinya.Sheilla yang sudah sangat marah benar-benar kehilangan kendali. Dia dengan keras menendang perut Martin yang rapuh menggunakan sepatu hak tinggi bertumit runcing."Bajingan kecil!"Aku berteriak keras, langsung menerjang untuk melindungi Martin dalam pelukanku.Martin malah melewati tubuhku, terhantam keras ke dinding, dan tiba-tiba meludahkan seteguk darah.Namun dia tetap menahan tangisnya, dengan keras kepala mengulurkan tangan kecilnya, meraba-raba di lantai."Selimut ... Selimut ... ""Ibu butuh selimut ... "Sheilla
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen