Awan mengerang frustrasi karena Sonya sama sekali tidak bergerak di atasnya, Sonya hanya diam seolah memberikan jeda pada Awan untuk merasakan letupan kenikmatan yang akan berubah menjadi gulungan hasrat yang meledak.
“Awan,” pekik Sonya kaget saat Awan mengentaknya dengan keras dan cepat membuat Sonya kelabakan mencari pegangan karena tubuhnya bergerak tak tentu arah.
Dengan sigap Awan menangkap tubuh Sonya sembari beringsut duduk dan memeluk tubuh Sonya, “Gerak Sonya, atau aku buat kamu minta ampun seperti tadi malam,” bisik Awan di kuping Sonya.
Sonya mengangguk dan bergerak memompa turun dan naik, berusaha meraih kenikmatannya sembari menengadahkan kepalanya.
Melihat leher mulus Sonya Awan dengan cepat mengecupinya, sedangkan kedua tangannya terulur untuk menangkup payudara Sonya dan mengangkatnya, lalu meremasnya. Awan menundukkan kepalanya lalu meraih satu puting Sonya dengan mulutnya, menghisapnya sekeras mungkin.
Sonya melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi hanya mengenakan pakaian dalam merah berbahan renda kesukaannya, matanya menyisir setiap sudut kamar yang dulu sangat ia benci itu. Senyuman merekah saat melihat ranjangnya yang sudah berantakkan dan terlihat sensual bagi dirinya, ranjang yang dulu ia benci itu saat ini berubah menjadi ranjang yang akan selalu menjadi saksi bisu betapa panasnya ia dan Awan bercinta.Tanpa sadar Sonya menyentuh bagian bawah perutnya seraya menutup kelopak matanya, dan seperti rekaman sebuah film, Sonya kembali melihat menyaksikan dirinya yang sedang digauli dengan liar oleh Awan. Tubuhnya bergidik saat merasakan kembali kejantanan Awan yang melesak masuk ke tubuhnya. Sesak dan keras."Sonya ...."Suara bariton menyadarkan Sonya dari khayalan sensualnya."Iya ...." Sonya membuka matanya sembari mengambil kimono berbahan handuk tebal yang ada di kursi dan mengenakannya.
Sonya bangkit dari duduknya, "Awan ... kamu mau ini lanjut?" tanya Sonya sembari menunjuk wajahnya dan wajah Awan bergantian. Kaget, mungkin itu adalah kata-kata yang tepat menggambarkan apa yang Sonya rasakan saat ini. Walaupun tadi malam Sonya sempat berpikir kalau Awan adalah miliknya tapi, kali ini akal sehatnya seolah menyadarkan dirinya kalau apa yang mereka lakukan itu salah.Sonya gamang dan bimbang, dia benar-benar bingung dengan perasaannya yang tidak berjalan beriringan dengan akal sehatnya. Perasaannya saat ini sedang bersorak-sorai mendengarkan pengakuan Awan, tapi, akal sehatnya saat ini sedang memarahinya, dan berjuang untuk menyadarkan dirinya kalau apa yang ia lakukan ini salah."Kamu nggak mau?" Awan balik bertanya pada Sonya. "Kamu nggak mau lanjuti ini semuanya? Kamu ingin sama suami kamu? Disiksa secara lahir dan batin?"
Tarian lidah Awan terus bergerak ke sepanjang kaki Sonya, bokong, punggung hingga bahu Sonya, menggigit bahu Sonya hingga Sonya yakin kalau itu semua akan meninggalkan bekas.Tangan Awan yang hangat membuka tali bra dan melepaskannya dari tubuh Sonya. Jemari Awan menggelitik rusuk Sonya dan terus bergerak ke bagian pinggang celana dalam Sonya, terus bergerak ke bagian depan di mana ceruk kenikmatan milik Sonya berada."Awan ... ah," desah Sonya saat merasakan jemari Awan menyentuh benda terkecil tubuhnya dengan gerakkan memutar, membuat Sonya terus meracau dan melebarkan kakinya.Dengan posisi tubuh Awan yang seolah memeluk Sonya dari belakang, Awan memasukkan jemarinya ke dalam tubuh Sonya, memaju mundurkannya dengan gerakan yang sangat ahli hingga membuat Sonya mendesahkan terus nama Awan."Suka?" tanya Awan sembari menggerakkan telunjuk dan jari tengah tangan kanannya di dalam tubuh Sonya. Sedangkan tangan kirinya mulai bergerak ke payudara Sonya yang
Sonya melesakkan tubuhnya ke dada Awan yang hangat, menarik selimut tipis yang selalu ada di ruang keluarga miliknya seerat mungkin ke dadanya. Saat ini posisi Sonya membelakangi Awan dan kedua tangan Awan memeluknya seolah melindungi Sonya. Rasa hangat dada Awan terasa sangat jelas di kulit telanjang Sonya, membangkitkan bayangan Awan yang sedang menggaulinya beberapa jam yang lalu. Sonya ingat kalau Awan langsung ambruk dan menimpa badannya setelah melakukan pelepasan di dalam dirinya entah untuk ke berapa kalinya. Baru dua hari sayu malam mereka bersama bahkan kurang dari 48 jam, namun, Sonya sudah merasakan berkali-kali orgasme. Sonya tersenyum kecil sembari mengecup lengan Awan yang saat ini dijadikan bantalan kepalanya, membuat Awan mengecup bagian belakang kepalanya lembut. “Pilm apa?” tanya Awan yang baru terbangun dari tidurnya setelah lelah memuaskan Sonya. “Kamu udah bangun?” tanya Sonya yang kaget karena Awan sudah bangun, rasanya Awan bar
Sonya baru saja selesai mandi dan keluar dari kamar mandi dan melihat Awan yang sedang duduk di ujung ranjang dan menelepon seseorang. Saat melihat Sonya, Awan terlihat kikuk dan mendekati Sonya. "Aku ada telepon," bisik Awan sembari mengecup kening Sonya dan meninggalkannya di kamar sendirian. Sonya menatap Awan dengan tatapan aneh, kenapa Awan harus menelepon sejauh mungkin dengan dirinya? Memang siapa yang Awan telepon? Apakah pacarnya? Ibunya, kah? Tapi, dilihat dari data diri Awan, Sonya tahu kalai Awan itu yatim piatu. "Hana, jangan gitu ...." Sayup-sayup Sonya mendengar perkataan Awan yang sedang membujuk seseorang bernama Hana, seketika itu juga Sonya penasaran dengan siapa Awan berbicara melalui telepon. Siapa Hana? Ngapain Awan menelepon Hana? Hana ini nama cewek,
"Hah ... kenapa, Nak? Kamu ngomong apa?" tanya Parwati dengan intonasi suara yang sangat lembut."Ini sudah malam, Bu," dusta Sonya, Sonya tidak mungkin mengatakan kalau dia tadi mengumpat."Oh ... Ibu sangka kamu mau ngomong apa, Nak. Inget pendengaran Ibu sudah kurang baik, jadi, kalau mau ngomong sama Ibu harus rada keras." Parwati mengingatkan Sonya akan daya pendengarannya yang sudah sangat kurang di usia senjanya."Iya, Bu." Sonya hanya bisa mengiyakan apa yang Parwati ucapkan, demi kedamaian jantung mertuanya."Sonya, Ibu kangen ... Ibu mau ke rumah kamu, kapan kamu libur, Nak?" tanya Parwati yang tahu betapa sibuk menantunya itu, hingga bila ingin bertemu terkadang harus membuat janji. Karena, beberapa kali Parwati datang ke rumah Sonya, malah mendapati rumah dalam keada
Sonya menggigiti jempol kukunya dengan kesal, kenapa suaminya itu sama sekali tidak membalas chatnya. Sekali lagi Sonya melihat layar ponselnnya dan centang itu masih berwarna biru, yang artinya sudah dibaca tapi, belum di balas sama sekali. Sialan.Sonya membulak balik surat peringatan yang ada di tangannya itu, dan matanya membulat saat melihat nominal yang harus di bayarkan 27 juta. Berarti Emir meminjam uang 1,5 milyar dengan jangka waktu 10 atau 15 tahun. Ampun ... apa yang ada di otak suaminya itu sampai berani meminjam uang sebanyak itu tanpa memberitahukan dirinya.
Sonya sama sekali tidak bisa tidur dengan tenang padahal waktu sudah menunjukkan jam setengah dua malam, diliriknya Awan yang sedang tertidur pulan di sampingnya karena menolak pulang ke rumahnya dan meminta untuk menginap.Tangan Sonya mengelus pucuk hidung Awan pelan, kemudian jemarinya beralih ke bagian bulu mata Awan yang tebal, Sonya tersenyum membayangkan manik mata Awan yang selalu menatapnya dengan tatapan penuh cinta dan kasih sayang, dipadukan dengan senyuman manis Awan yang selalu membuat Sonya tersipu."Kamu kenapa mau sama aku, sih, Wan?" tanya Sonya pelan sembari menggosok ujung hidungnya ke ujung hidung Awan."Padahal aku istri orang rasa janda kalau kata Lidya," ucap Sonya lagi.Awan tidak bergeming ia hanya tertidur dengan pulas sembari memeluk Sonya hanya sesek