Share

Luka cerita lama

Mata om Rudy membuka dan melihat sekelilingnya, rasanya mimpinya sangat nyata ketika perempuan muda yang tengah mengandung itu ikut lelap dalam dekapannya. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan mendekati dini hari. Lelaki paruh baya itu terbangun dan meminum segelas air dari kulkas yang tak jauh dari tempat tidurnya. Kantuknya hilang dan Om Rudy memilih untuk masuk ke ruang kerjanya. Dinyalakan laptopnya dan lagi-lagi pandangannya tertuju pada jendelanya. Kamar Liany masih gelap tentunya perempuan muda itu masih tengah terlelap tidur.

Menjelang subuh barulah kamar itu terang, sekali lagi Om Rudy memandangi kamar Liany dan melihat siluetnya yang berjalan mondar-mandir. Terbit kasihan dari pertama dia melihat perempuan itu, tetapi sorot mata Liany yang sayup masih menyiratkan ketegaran dan ketabahan. Om Rudy seperti melihat tante Katrin di masa muda, sendirian di tepi jalan saat tengah hujan yang deras. Susah payah dia meyakinkan dirinya jika dia bukan orang jahat dan hendak menolongnya. Memberinya tempat bernaung, pekerjaan dan hati serta kehidupannya.

Mendadak lamunan Om Rudy buyar ketika alarm dari ponselnya berbunyi, laki-laki itu terbiasa dengan olah raga di ujung ruangan rumah ini. Hampir semua peralatan fitness tersedia di sana yang membuat Om Rudy selalu terlihat bugar dan awet muda. Bergegas Om Rudy mengganti piyamanya dengan pakaian olah raga dan menuju ruang fitness pribadinya. Sambil berjalan di treadmill Om Rudy alunan musik terdengar untuk membuatnya bersemangat memancing peluh.

Liany merasa sedikit kurang enak badan, kepalanya terasa pusing dan mual kembali mengaduk-aduk perutnya. Efek ngidam dirasakannya lebih lama karena kata orang-orang masa ngidam hanya sampai tiga atau empat bulan pertama saja. Liany menuju dapur, dilihatnya dapur masih kosong, belum ada bi Inah di sana. Liany mengambil gelas untuk mengambil air hangat. Rasa nyeri di ulu hatinya memberi efek terbakar hingga ke dada dan tenggorokannya. Liany baru minum dua teguk tiba-tiba sesuatu melesak naik pangkal tenggorokannya.

“Huuuueeek!” Liany bergegas menuju wastafel untuk mengeluarkan isi perutnya. Keringat dingin membasahi dahinya, jemarinya mencengkram ujung wastafel dengan sangat kuat.

“Huuueeek!” Kembali Liany memuntahkan cairan kekuningan yang pahit terasa di mulutnya, masih ada serangan yang menunggu untuk dimuntahkan.

Liany nyaris memekik ketika tengkuknya diraba dan dipijat dengan lembut oleh seseorang.

“Jangan ditahan jika memang masih ingin keluar, muntahkan saja agar kau merasa lebih baik,” Suara berat itu tak asing di telinga Liany dan benar saja dalam hitungan detik Liany kembali menunduk dan memuntahkan cairan itu lagi. Lutut Liany terasa lemas, dibasuhnya mulutnya dengan air. Dengan gerak cepat Om Rudy menyodorkan air hangat pada Liany.

“Apa kau sudah merasa baikan?” tanya Om Rudy sambil membimbing perempuan itu untuk duduk. Wajah Liany pucat dan basah, kakinya terasa lemas.

“Sudah, Om, maaf sudah merepotkan, Om.” Liany tertunduk, perasaan tidak enak itu masih saja berputar-putar di perutnya.

“Ada apa ini? Kamu kenapa Lia?” tanya Myla yang sepertinya terbangun mendengar Liany yang sedang muntah-muntah.

“Dulu mama kamu juga seperti ini, tetapi sepertinya Liany lebih parah lagi,” jawab Om Rudy sambil berjalan ke kulkas untuk mengambil minuman sari buah.

“Kamu udah baikan, Lia? Jangan banyak gerak dulu yaa, biar kamu istirahat dulu, aku akan minta bi Inah buatkan kamu bubur.” Myla tampak khawatir dengan Liany.

Bi Inah yang baru muncul merasa heran karena semua orang berkumpul di dapur,

“Lho, ada apa ini Tuan, Non?” tanya perempuan paruh baya itu yang akan memulai pekerjaannya.

“Gak apa, Bi, tadi saya hanya muntah-muntah, sepertinya masa ngidam berat saya lebih lama, maklum kehamilan pertama jadi saya belum paham apa-apa,” jawab Liany dengan lemah. Bi Inah mengangguk pelan, dia merasa kasihan melihat Liany yang ngidam parah tanpa kehadiran suami ataupun keluarganya.

“Aku antar masuk ke kamar yaa, Lia?” tawar Myla yang melihat Liany bangkit dari duduknya.

“Makasih, Myla, aku bisa sendiri kok, aku udah gak apa-apa,” Liany tersenyum kecil, baru dua langkah pengelihatan Liany tampak gelap dan melihat jika rumah ini menjadi miring. Om Rudy segera menangkap tubuh Liany yang limbung, pekikan kecil Myla terdengar menyebut nama Liany.

“Biar Papa yang bawa Liany ke kamarnya,” sahut Om Rudy yang tampak dengan mudah membopong tubuh Liany yang kecil itu. Myla dan bi Inah mengikuti langkah cepat om Rudy. Bergegas Myla membuka selimut Lia dan om Rudy meletakkan Liany hati-hati, selimut itu kembali dinaikkan Myla hingga sedada Liany. Mata Liany terpejam kesadarannya hanya tersisa setengahnya saja. Myla mencoba mencari sesuatu di atas meja Liany untuk diusapkan pada anggota tubuh Liany.

“Kamu harus kuat, Sayang, demi bayi kita,” suara yang dirindukannya menggema dalam kepala Liany. Liany membuka matanya, samar dilihatnya sosok seorang pria di hadapannya, air mata Lia mengalir.

“Mas Adam … Mas … Mas Adam pulang?” tanya Liany lemah.

“Istirahatlah, Lia, tidurlah agar kau merasa baikan,” jawab om Rudy yang disangka Lia adalah suaminya. Liany menurut dan memejamkan matanya kembali. Ketiganya salig melemparkan pandangan dengan prihatin akan kondisi Liany.

Tante Katrin baru saja selesai meninjau lokasi proyeknya, diliriknya jam tangannya yang menurutnya masih ada waktu untuk mengunjungi Satria lagi. Perempuan itu tak berhenti menyerah meskipun Satria berkali-kali menolaknya. Bergegas dia melajukan mobil menuju apartemen pemuda itu, tante Katrin hanya bisa berharap Satria masih mau membukakan pintu untuknya dan itu sudah cukup. Tak butuh waktu lama tante Katrin sudah berada di depan pintu Satria dan membunyikan bel. Keberuntungan berpihak padanya tetapi bukan Satria yang membukakan pintu tetapi seorang perempuan muda dengan dandanan tebal dan menggunakan pakaian kekurangan bahan.

“Saya mencari Satria, apa dia ada?” Tante Katrin tak menunggu jawaban gadis itu, dia melangkah masuk tanpa ragu dan berdiri menunggu Satria keluar.

“Siapa yang datang, Celia?” Satria keluar dari kamarnya dengan hanya menggunakan celana boxernya.

“Mau apa lagi kau datang ke sini? Di antara kita sudah tidak ada urusan lagi!” hardik Satria dengan kesal.

“Aku ingin memberitahumu jika aku akan akan pulang hari ini, aku harap kau masih memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”

“Tak ada yang perlu diperbaiki, Nyonya dan kau tak perlu repot-repot lagi untuk mengunjungiku sejauh ini.” Satria membuka sebotol anggur dan menuangkannya dalam gelas, gadis yang membukakan pintu itu duduk di pangkuan Satria sambil menatap ke arah tante Katrin seakan menyatakan Satria adalah miliknya.

“Aku masih berutang maaf padamu, aku belum menyerah hingga kau menerimaku kembali, aku pamit dan aku masih menunggu kau mau menghubungiku lebih dulu. Jaga dirimu baik-baik.” Tante Katrin berbalik dan menghilang di balik pintu yang perlahan menutup rapat.

“Sayang … rupanya seleramu tinggi juga, tante yang tadi terlihat kaya dan elegan, pasti kau banyak memberi malam-malam yang indah kepadanya hingga dia tidak mau melepaskanmu,” ujar Celia dengan gaya yang dibuat sangat sensual. Kalimat Celia berhasil membuat Satria marah, dia mendorong Celia hingga terjatuh ke lantai. Direngkuhnya kedua pipi Celia dengan jemari tangannya keras-keras yang membuat gadis itu kesakitan.

“Kau kubayar untuk memuaskanku, bukan untuk mengomentari hidupku! Jaga mulutmu itu dan bersikap hormat pada tamuku, kau mengerti?!” bentak Satria yang tidak terima atas ucapan Celia yang merendahkan tante Katrin.

“Dia tidak seperti yang kau pikirkan, bukan perempuan pencari kepuasan atau wanita rendah pemuas sepertimu!” Satria menghempaskan wajah Celia, dibukanya dengan paksa pakaian yang dipakai oleh gadis itu dengan kasar.

“Lakukan tugasmu sekarang!” perintah Satria dengan kejam. Segala bentuk kemarahan dan dendamnya begitu membakar hatinya, dilampiaskan dengan mengencani perempuan-perempuan yang tertarik pada wajah tampan serta kemewahan yang dimiliki pemuda itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status