Masuk“Ya ampun! Mati lampu segala!” Ghea memeluk bantal erat-erat sambil menatap ke arah jendela. Hujan turun deras, suara petir memecah keheningan. “Malam ini benar-benar sial. Kurang apalagi sih?!”
Dari sofa seberang, Juna hanya mendengus kecil. “Tenang aja, cuma mati lampu, bukan kiamat.” “Mas Juna!!!” jerit Ghea panik. “Jangan ninggalin aku! Aku takut!” Suaranya melengking, nyaris seperti anak kecil. Langkah Juna yang sempat menjauh akhirnya berhenti. Beberapa detik kemudian, sebuah tangan hangat menyentuh bahunya. Ghea sontak memeluknya erat, isak kecil lolos dari bibirnya. “Jahat! Cuma karena mati lampu aja Mas ninggalin aku!” “Ghea…” Juna menghela napas, suaranya menurun lembut. “Maaf, aku gak bermaksud bikin kamu panik.” Ia menyalakan senter ponselnya. Cahaya redup menyapu wajah Ghea—matanya basah, pipinya merah, bibirnya gemetar. Juna terdiam sejenak. “Kamu kok… makin cantik.” Deg. Tangis Ghea terhenti. Ia mendongak cepat. “Baru sadar ya kalau aku cantik?” suaranya pelan tapi menggoda. Juna terkekeh. “Dari dulu juga cantik, tapi sekarang… lebih cantik.” Pipi Ghea memanas. “Dih! Narsis banget.” Juna mendekat sedikit. “Bukan narsis,” katanya rendah, tatapannya tajam tapi lembut. “Fakta.” Belum sempat Ghea membalas, Juna menunduk cepat. Bibirnya menyentuh bibir Ghea—hangat, dalam, dan spontan. “Mas…” desis Ghea, tapi suaranya nyaris hilang ditelan ciuman. Ia hendak mendorong, tapi tangan Juna menahan tengkuknya, memperdalam lumatan itu. Ciuman mereka menumpuk—pelan, lalu semakin dalam, hingga napas keduanya tersengal. Di luar, petir menggelegar, dan seolah menegaskan panas yang kini berputar di antara mereka. Klik! Lampu menyala kembali. Ghea langsung mendorong dada Juna, wajahnya merah padam. “Mas gila!” serunya terbata. “Seenaknya nyium orang kayak gitu! Aku ini apa sih buat Mas?!” Tatapan Juna melembut, senyum miringnya lenyap. “Aku salah,” katanya lirih. “Tadi aku terbawa suasana. Maaf.” “Dasar seenaknya,” gumam Ghea kesal, melempar bantal ke arahnya. Tapi dalam diam, jantungnya masih berdebar tak karuan. Keesokan harinya. Mobil berhenti di depan kafe kecil tempat Ghea kerja paruh waktu. Sejak tadi, mereka belum bicara sepatah kata pun. Udara di dalam mobil terasa aneh—campuran canggung dan… sesuatu yang sulit dijelaskan. “Udah nyesel belum nyium aku?” tanya Ghea tiba-tiba, mencoba terdengar santai, padahal suaranya sedikit serak. Juna menoleh, alisnya terangkat. “Nyesel?” ia tersenyum tipis. “Harusnya kamu yang nyesel. Aku nggak pernah nyium orang dua kali kalau nggak nagih.” “Mas!” Ghea spontan menoleh cepat, matanya membulat, pipinya memanas. “Gila! Narsis banget!” Juna hanya terkekeh pelan. “Narsis? Enggak, Ghea. Aku cuma jujur.” Ia condong sedikit ke depan, wajahnya mendekat ke arah Ghea. “Kamu juga tahu, kan?” Ghea menahan napas, matanya membulat. “Bego!” ucapnya spontan, tapi suaranya lemah. Senyum miring itu muncul lagi. “Nah, gitu dong. Kalau udah kehabisan kata, tinggal jujur aja—kamu suka, kan?” “MAS JUNAAA!!” jerit Ghea kesal, wajahnya memanas total. Tak lama, mobil berhenti di depan gedung lain. Juna keluar duluan, lalu berjalan mengitari mobil untuk membukakan pintu Ghea. Saat ia mencondongkan tubuh, jarak wajah mereka hanya sejengkal. Napas Ghea tercekat. Klik. Sabuk pengamannya dilepas oleh Juna tanpa izin. “WOI! Ngapain Mas buka-buka?! Aku bisa sendiri!” Suara Ghea panik, wajahnya merah, matanya berputar ke segala arah. Juna tertawa kecil, menatap dalam. “Tenang, aku cuma bantu. Nggak usah takut.” “Siapa yang takut!” bantah Ghea cepat. Tapi tangannya malah gemetar waktu menarik tasnya. Begitu keluar dari mobil, Juna langsung menggenggam tangannya. “Mas! Lepas! Dilihat orang!” bisiknya cepat. Tapi Juna tak melepas. Ia justru menyelipkan tangan Ghea ke dalam saku celananya. “MAS! Astaga! Kenapa harus di situ?!” Ghea panik setengah mati, tubuhnya kaku. “Biar hangat,” balas Juna santai. “Hangat kepala kamu!” Ghea hampir berteriak, tapi wajahnya malah makin merah. Ia bisa merasakan panas tubuh Juna di saku itu—dekat, sangat dekat. Beberapa langkah kemudian, sesuatu di dalam saku itu bergerak. “Mas…” suara Ghea pelan, nyaris berbisik. “Ada yang… bangun kayaknya.” Juna berhenti sejenak, menoleh dengan senyum samar. “Perasaanmu aja kali, Ghea. Atau kamu yang mikir aneh-aneh?” “Mas ini apa-apaan sih?!” Ghea menarik tangannya cepat-cepat, tapi Juna sempat membungkuk, berbisik tepat di telinganya. “Kalau aku beneran bangun…” suaranya rendah, hampir seperti desahan, “kamu pasti tahu bedanya, Ghea.” Deg. Ghea membeku di tempat. Pipinya memanas, napasnya tercekat. Ia memalingkan wajah buru-buru, menggigit bibir bawah kuat-kuat.Juna segera memindahkan mobilnya ke area parkir yang lebih tersembunyi. Ia mematikan mesin, lalu menatap Ghea yang masih membenahi roknya dengan wajah memerah.“Kita masuk sekarang,” ucap Juna, nadanya bertekad.Juna dan Ghea turun dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk restoran mewah itu. Begitu masuk, Juna langsung mendekati salah satu pelayan.“Saya mau pesan ruangan VIP,” kata Juna singkat.Pelayan itu mengantar mereka ke sebuah ruangan privat yang terletak di sudut paling belakang. Ruangan itu didesain eksklusif.“Mas, ini ruangannya terlalu besar dan kita cuma berdua,” ucap Ghea sembari melirik isi ruang makan yang dipesan oleh Juna. Di sana terdapat meja makan besar, beberapa kursi, dan sebuah sofa panjang yang tampak nyaman di sudut.“Biar gak ada yang ganggu,” bisik Juna, senyum jahil muncul di bibirnya. Ia tidak mengajak Ghea duduk di meja makan, melainkan langsung menuju sofa panjang di sudut ruangan. Juna menarik
Sore itu, udara terasa hangat dan padat. Ghea baru saja selesai kuliah dan berdiri di depan gerbang, menunggu jemputan Juna. Meskipun lelah, hatinya dipenuhi antisipasi. Setelah malam yang penuh gejolak, ia sangat ingin bertemu Juna.Saat sebuah mobil hitam elegan berbelok, jantung Ghea langsung berdetak kencang. Itu mobil Juna. Ia tersenyum, senyum pertama yang benar-benar lepas sejak semalam, dan segera berlari menuju mobil Juna.Tiba-tiba, sebelum Ghea sampai, seorang wanita ikut turun dari kursi penumpang depan. Wanita itu cantik, mengenakan blazer yang rapi, dengan rambut yang tertata sempurna.Langkah Ghea terhenti mendadak. Senyumnya pudar.Kak Celina? gumam Ghea dalam hati, rasa terkejut dan cemburu langsung menyengat.“Eh, Ghea! Sini cepetan! Lumayan panas nih,” panggil Celina pada Ghea sembari melambaikan tangannya, suaranya riang.Ghea awalnya tampak ragu melangkah, kakinya terasa berat. Perasaannya yang tadi berbunga-bunga kini terasa seperti jatuh menghantam tanah.Meliha
Juna keluar dari kamar mandi dan menjatuhkan diri ke kasur. Malam itu, ia tahu, akan menjadi malam yang sangat panjang. Ia meraih ponselnya, mencari cara untuk mengalihkan bayangan kulit putih, puting yang mengeras, dan celana dalam Ghea yang basah. Di benaknya, hanya ada satu pikiran: ia harus memastikan Ghea benar-benar menjadi miliknya, sesegera mungkin. Juna menjatuhkan diri ke kasur. Malam yang seharusnya diisi tidur nyenyak kini terasa panas dan panjang. Ia memejamkan mata, berusaha mengosongkan pikiran, tetapi yang muncul hanyalah bayangan Ghea. Ia melihat lagi bibir Ghea yang bengkak, leher jenjang dengan tanda kemerahan yang ia ciptakan, dan terutama, dua bola kenyal yang sempat ia hisap. Ia membayangkan pepaya gantung milik Ghea—padat, putih, dengan puting yang mengeras. Ingatan itu mengirim gelombang panas yang menyengat langsung ke pangkal pahunya. Juna gelisah. Ia bangkit dari kasur. Ia tahu tidur tidak akan datang. Ia mulai melakukan push up. Satu set, dua set, tiga
Juna berjalan menuju pintu, menarik napas dalam-dalam, berusaha keras menenangkan detak jantungnya dan meredakan juniornya yang masih berdenyut kesal. Ghea, dengan tubuh yang masih gemetar karena syok dan gairah, segera duduk di pinggir kasur, meraih sembarang buku untuk pura-pura dibaca. Juna membuka pintu. Di depannya berdiri Mami Ghea, mengenakan daster rumahan dan membawa ponsel. Mami Ghea menatap Juna. Matanya menyipit, mengamati penampilan Juna yang tampak sedikit berantakan. Rambutnya sedikit acak-acakan dan kemeja yang ia pakai terlihat sedikit kusut, seolah baru saja dipakai kembali dengan tergesa-gesa. “Lho, Nak Juna? Kok keringetan begitu? Kamu ngapain? Bukannya tadi kalian di depan TV ya?” tanya Mami Ghea, nada suaranya lembut namun penuh selidik. Matanya bergantian menatap Juna dan Ghea yang memegang buku di atas kasur. Juna segera berusaha menutupi kepanikannya dengan senyum terbaik. “Oh, Tante. Enggak, tadi Juna habis push up sebentar di kamar mand
Juna menghisap puting Ghea dengan rakus, suaranya tercekat dan dalam. Ghea mendesah, memanggil nama Juna, meremas rambut pria itu. Setelah puas dengan satu sisi, Juna beralih ke sisi lainnya, menghisap dan menjilat dengan penuh gairah. Sambil menikmati dua gundukan kenyal Ghea, Juna bergerak untuk melepaskan dress tidur tipis yang dikenakan Ghea. Namun, saat Juna hendak menarik gaun itu dari bahu, Ghea menahan tangannya. Juna berhenti. Ia menatap mata Ghea yang dipenuhi campuran gairah dan ketakutan. Juna melepaskan tangan gadis itu dengan lembut. “Percayakan semuanya sama Mas, Sayang,” ujar Juna, suaranya tegas dan menenangkan. “Mas janji, setelah ini Mas akan tanggung jawab apapun risikonya.” Ghea menelan ludah, menatap mata Juna, dan menemukan ketulusan di sana. Perlahan, Ghea mengangguk. Juna tersenyum, senyum yang menjanjikan segalanya. “Terima kasih, Sayang,” bisik Ju
Saat hasrat memuncak, Juna mulai merayapi tubuh Ghea perlahan dengan tangan kirinya, tetapi ia tidak melepaskan pangkuannya sama sekali. Dengan mata Juna yang gelap karena gairah menatapnya lekat-lekat, tangan Juna mulai bergerak merayap turun, menyusuri paha Ghea. Ghea tersentak. Tangan Juna kini berhenti, meraba kain segitiga tipis yang sudah basah dan becek di dalamnya. Sensasi itu membuat Ghea mengerang, separuh kenikmatan, separuh ketakutan. Saat Juna hendak menarik kain itu, Ghea tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat. “Mas, stop!” Suara Ghea serak dan bergetar, memotong ketegangan hasrat mereka dengan suara yang penuh kepanikan. Juna membeku. Ia menarik tangannya dan menatap Ghea, matanya yang tadi panas kini dipenuhi kebingungan. “Kenapa? Kamu ma







