Home / Romansa / Di Atas Ranjang Sepupu / Juna: Mau Tau Yang Keras Itu Apa?

Share

Juna: Mau Tau Yang Keras Itu Apa?

Author: Picassoa
last update Last Updated: 2025-10-07 13:24:03

“Ghea, Juna, Mami harus keluar dulu. Ada urusan mendesak yang harus segera Mami selesaikan,” ucap Hana, menoleh sekilas pada keduanya. Ghea dan Juna hanya mengangguk singkat.

Begitu sampai di depan sumber suara, ternyata benar—di sana sudah ada Mami Ghea yang menunggu mereka. Perempuan paruh baya itu berdiri dengan pakaian rapi, tas kerja di tangan. Dari penampilannya jelas sekali ia tidak berniat tinggal di rumah sore itu.

“Juna,” panggil Hana pada keponakannya.

“Ya, Tante?” sahut Juna sopan.

“Tante minta tolong kamu menjaga Ghea, ya. Jangan sampai anak nakal ini keluyuran malam ini sebelum Tante pulang.” Tatapan matanya langsung menusuk ke arah putrinya.

“Mami! Bagaimana Ghea bisa hidup tenang kalau Mami selalu mengekang? Apa-apa dilarang. Keluar rumah pun tidak boleh. Emangnya Ghea harus dikurung selamanya?!” protes Ghea keras, wajahnya penuh kesal.

“Pokoknya malam ini kamu tidak boleh keluar,” tegas Hana. “Beberapa malam ini kamu pulang larut. Mami tidak suka itu, Ghea. Mami tidak mau nama baik keluarga tercoreng karena ulahmu. Mengerti?”

Ghea mendengus kesal, memalingkan wajah dengan bibir manyun.

“Tapi, Tante…” sela Juna sambil melirik ke luar jendela, “sepertinya hujan akan turun lebat.”

“Tidak apa-apa, Juna.” Hana tersenyum tipis. “Tante akan membawa payung nanti saat masuk dan keluar dari mobil. Sopir juga bisa melajukan mobil pelan-pelan agar aman.” Ia sempat menepuk bahu Juna hangat, lalu kembali memberi tatapan peringatan pada Ghea.

Tak lama kemudian, Hana melangkah keluar rumah. Suara pintu menutup dan deru mesin mobil yang menjauh terdengar samar, menyisakan Ghea dan Juna berdua saja.

Pukul tujuh malam, hujan deras mengguyur atap, sesekali kilat menyambar, membuat suasana rumah terasa semakin sunyi. Di ruang keluarga, televisi menyala menayangkan film acak. Ghea duduk di sofa dengan kaki terlipat, kacamata hitam masih terpasang di wajahnya, sementara tangannya sibuk memeluk bantal seakan butuh tameng.

Juna duduk di ujung sofa lain, terlihat santai dengan postur sedikit rebah. Sesekali matanya melirik ke arah Ghea, lalu kembali ke layar televisi. Suara hujan deras bercampur dengan suara film, menciptakan suasana intim.

“Kenapa sih kamu pakai kacamata terus? Sudah malam, di dalam rumah pula. Aneh sekali,” komentar Juna sambil mengulum senyum.

“Biar aku tidak perlu melihat wajahmu,” balas Ghea cepat, tanpa menoleh.

Juna terkekeh pelan. “Tapi tetap saja kamu tidak bisa menutupi kenyataan kalau aku ada di sini.”

Ghea merapatkan bantalnya, menahan panas yang merambat ke pipi. “Percaya diri sekali.”

Juna bergeser sedikit, pura-pura hendak mengambil remote di meja. Padahal jelas dari posisi sebelumnya ia masih bisa meraihnya. Gerakan itu membuat jarak di antara mereka semakin sempit. Aroma maskulin dari tubuh Juna langsung menyerbu indra penciuman Ghea.

Deg! Jantung Ghea berdetak lebih cepat.

“Tenang saja, aku tidak menggigit,” bisik Juna sambil meraih remote, senyum menggoda terukir di bibirnya.

Ghea langsung menoleh cepat, menatap tajam dari balik kacamata. “Lebih baik diam. Lebih enak mendengar suara hujan daripada mendengar ocehanmu.”

Bukannya berhenti, Juna justru mengecilkan volume televisi, lalu kembali menatap Ghea. Sorot matanya tajam, ditambah cahaya redup ruangan membuat tatapannya semakin dalam.

Suara petir tiba-tiba menggelegar, memantul ke seluruh ruangan. Ghea meringis, telinganya panas, jantungnya berdebar tak karuan. Ia memang sangat benci suara itu.

Tanpa pikir panjang, Ghea merebut remote dari genggaman Juna.

“Eh, kamu apa-apaan?” protes Juna kaget.

“Aku tidak mau mendengar suara petir itu lagi! Risih! Lebih baik aku besarkan suara televisi.” Ghea cepat menekan tombol volume hingga suara televisi meledak memenuhi ruangan.

Juna langsung menutup telinga. “Ghea, volume sebesar ini malah menyiksa telinga. Serius, berisik sekali.”

“Kalau tidak suka, pulang saja ke rumahmu!” serang Ghea, pura-pura sengit menutupi rasa takut.

Namun Juna hanya menyeringai. Tangannya cepat merebut remote dari genggaman Ghea. “Jangan lupa pesan Tante. Aku harus menjagamu.” Ia menurunkan volume lagi dengan santai.

“Mas Juna!!” bentak Ghea, wajahnya merah karena kesal.

Tepat saat itu, suara petir kembali menggelegar, lebih keras, lebih mengejutkan.

“AAHH!!” pekik Ghea spontan. Tubuhnya bereaksi lebih cepat daripada otaknya. Ia langsung melompat ke arah Juna, mencari perlindungan.

Juna kaget ketika tubuh Ghea tiba-tiba mendarat tepat di pangkuannya. Untung refleksnya cepat, tangannya segera menahan agar gadis itu tidak jatuh dari sofa.

Kini Ghea sudah duduk di atas kedua pahanya. Wajahnya tenggelam di dada bidang Juna, berusaha bersembunyi dari suara gemuruh. Rasa takut membuat tubuhnya gemetar, genggaman tangannya pada baju Juna begitu erat.

Alih-alih marah, sudut bibir Juna justru terangkat. Senyum tipis muncul. Matanya menunduk, menatap sosok gadis keras kepala yang kini meringkuk di pelukannya. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya.

Perlahan, tangan kanannya membelai rambut Ghea dengan lembut. Tangan kirinya melingkar di pinggang gadis itu, seolah ingin menahan agar ia tetap berada di sana.

Pelukan itu berlangsung beberapa detik sebelum Ghea sadar. Kepalanya perlahan terangkat, mata bulatnya bertemu wajah Juna yang begitu dekat. Napas mereka bertubrukan di ruang sempit, cukup untuk membuat darah Ghea berdesir cepat.

Astaga… posisinya. Ia masih duduk di pangkuan Juna, tangannya melingkar di leher pria itu, tubuhnya menempel erat tanpa jarak. Saking dekatnya, ia bisa melihat jelas garis rahang Juna, kulit hangat, hingga kilatan serius di bola mata pria itu.

Wajah Ghea langsung memanas, jantungnya kacau. Ia buru-buru ingin melepaskan diri, namun tubuhnya seolah terkunci oleh tatapan Juna.

“Ap… apa-apaan ini?” gumamnya lirih.

Namun sebelum ia benar-benar menjauh, kilat kembali menyambar.

“AAAAHHH!” pekik Ghea. Tubuhnya kembali menempel rapat pada Juna, kedua lengannya melingkar kuat di leher pria itu.

Juna terdiam. Nafasnya tercekat ketika merasakan tubuh Ghea yang hanya berbalut pakaian tipis begitu dekat dengannya. Dada bidangnya naik-turun, hembusannya terasa di wajah Ghea.

Pelukan erat itu menyalakan sesuatu di dalam dirinya. Udara dingin bercampur panas aneh yang sulit ia kendalikan. Jakunnya bergerak naik-turun, menahan gejolak yang mendesak kuat.

“Ghea… turun,” ucapnya lirih, nyaris serak. “Aku… aku ingin beristirahat sebentar.”

Ghea menatapnya dengan mata besar, penuh rasa takut. “Tidak mau, Mas. Aku benar-benar takut petir kali ini…” suaranya pelan, memohon.

Juna menelan ludah. Tatapannya jatuh pada wajah Ghea, pada mata yang bergetar, hingga bibir merah yang begitu dekat.

“Ghea…” panggilnya pelan, seolah memperingatkan diri sendiri.

Namun Ghea justru semakin merapat, kakinya menekan pinggang Juna, memastikan dirinya tidak dilepas. Tubuhnya menempel erat, menyalakan bara yang Juna coba padamkan.

Hembusan napas Juna semakin berat, jakunnya bergerak naik turun. Ia meraih pinggul Ghea, menarik tubuh itu sedikit lebih dekat.

Ghea terkesiap kecil, wajahnya makin memanas.

“Ghea…” bisik Juna rendah, nyaris bergetar. “Kamu sadar tidak… sekarang aku benar-benar tidak baik-baik saja?”

Mata Ghea membelalak. Ia tiba-tiba menyadari sesuatu, wajahnya panik. “Itu… Mas… itu keras…”

Juna tersenyum miring, melepas pelukannya sedikit. Tatapannya nakal, suara rendahnya menggoda.

“Mau tau tidak, yang keras itu apa?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Atas Ranjang Sepupu   Keluar Banyak

    Juna segera memindahkan mobilnya ke area parkir yang lebih tersembunyi. Ia mematikan mesin, lalu menatap Ghea yang masih membenahi roknya dengan wajah memerah.“Kita masuk sekarang,” ucap Juna, nadanya bertekad.Juna dan Ghea turun dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk restoran mewah itu. Begitu masuk, Juna langsung mendekati salah satu pelayan.“Saya mau pesan ruangan VIP,” kata Juna singkat.Pelayan itu mengantar mereka ke sebuah ruangan privat yang terletak di sudut paling belakang. Ruangan itu didesain eksklusif.“Mas, ini ruangannya terlalu besar dan kita cuma berdua,” ucap Ghea sembari melirik isi ruang makan yang dipesan oleh Juna. Di sana terdapat meja makan besar, beberapa kursi, dan sebuah sofa panjang yang tampak nyaman di sudut.“Biar gak ada yang ganggu,” bisik Juna, senyum jahil muncul di bibirnya. Ia tidak mengajak Ghea duduk di meja makan, melainkan langsung menuju sofa panjang di sudut ruangan. Juna menarik

  • Di Atas Ranjang Sepupu   Permainan Panas Di Parkir

    Sore itu, udara terasa hangat dan padat. Ghea baru saja selesai kuliah dan berdiri di depan gerbang, menunggu jemputan Juna. Meskipun lelah, hatinya dipenuhi antisipasi. Setelah malam yang penuh gejolak, ia sangat ingin bertemu Juna.Saat sebuah mobil hitam elegan berbelok, jantung Ghea langsung berdetak kencang. Itu mobil Juna. Ia tersenyum, senyum pertama yang benar-benar lepas sejak semalam, dan segera berlari menuju mobil Juna.Tiba-tiba, sebelum Ghea sampai, seorang wanita ikut turun dari kursi penumpang depan. Wanita itu cantik, mengenakan blazer yang rapi, dengan rambut yang tertata sempurna.Langkah Ghea terhenti mendadak. Senyumnya pudar.Kak Celina? gumam Ghea dalam hati, rasa terkejut dan cemburu langsung menyengat.“Eh, Ghea! Sini cepetan! Lumayan panas nih,” panggil Celina pada Ghea sembari melambaikan tangannya, suaranya riang.Ghea awalnya tampak ragu melangkah, kakinya terasa berat. Perasaannya yang tadi berbunga-bunga kini terasa seperti jatuh menghantam tanah.Meliha

  • Di Atas Ranjang Sepupu   Bermain Solo

    Juna keluar dari kamar mandi dan menjatuhkan diri ke kasur. Malam itu, ia tahu, akan menjadi malam yang sangat panjang. Ia meraih ponselnya, mencari cara untuk mengalihkan bayangan kulit putih, puting yang mengeras, dan celana dalam Ghea yang basah. Di benaknya, hanya ada satu pikiran: ia harus memastikan Ghea benar-benar menjadi miliknya, sesegera mungkin. Juna menjatuhkan diri ke kasur. Malam yang seharusnya diisi tidur nyenyak kini terasa panas dan panjang. Ia memejamkan mata, berusaha mengosongkan pikiran, tetapi yang muncul hanyalah bayangan Ghea. Ia melihat lagi bibir Ghea yang bengkak, leher jenjang dengan tanda kemerahan yang ia ciptakan, dan terutama, dua bola kenyal yang sempat ia hisap. Ia membayangkan pepaya gantung milik Ghea—padat, putih, dengan puting yang mengeras. Ingatan itu mengirim gelombang panas yang menyengat langsung ke pangkal pahunya. Juna gelisah. Ia bangkit dari kasur. Ia tahu tidur tidak akan datang. Ia mulai melakukan push up. Satu set, dua set, tiga

  • Di Atas Ranjang Sepupu   Kepergok Mami

    ​Juna berjalan menuju pintu, menarik napas dalam-dalam, berusaha keras menenangkan detak jantungnya dan meredakan juniornya yang masih berdenyut kesal. ​Ghea, dengan tubuh yang masih gemetar karena syok dan gairah, segera duduk di pinggir kasur, meraih sembarang buku untuk pura-pura dibaca. ​Juna membuka pintu. Di depannya berdiri Mami Ghea, mengenakan daster rumahan dan membawa ponsel. ​ ​Mami Ghea menatap Juna. Matanya menyipit, mengamati penampilan Juna yang tampak sedikit berantakan. Rambutnya sedikit acak-acakan dan kemeja yang ia pakai terlihat sedikit kusut, seolah baru saja dipakai kembali dengan tergesa-gesa. ​“Lho, Nak Juna? Kok keringetan begitu? Kamu ngapain? Bukannya tadi kalian di depan TV ya?” tanya Mami Ghea, nada suaranya lembut namun penuh selidik. Matanya bergantian menatap Juna dan Ghea yang memegang buku di atas kasur. ​Juna segera berusaha menutupi kepanikannya dengan senyum terbaik. “Oh, Tante. Enggak, tadi Juna habis push up sebentar di kamar mand

  • Di Atas Ranjang Sepupu   Basah Dan Desahan

    ​Juna menghisap puting Ghea dengan rakus, suaranya tercekat dan dalam. Ghea mendesah, memanggil nama Juna, meremas rambut pria itu. Setelah puas dengan satu sisi, Juna beralih ke sisi lainnya, menghisap dan menjilat dengan penuh gairah. ​Sambil menikmati dua gundukan kenyal Ghea, Juna bergerak untuk melepaskan dress tidur tipis yang dikenakan Ghea. Namun, saat Juna hendak menarik gaun itu dari bahu, Ghea menahan tangannya. ​Juna berhenti. Ia menatap mata Ghea yang dipenuhi campuran gairah dan ketakutan. Juna melepaskan tangan gadis itu dengan lembut. ​“Percayakan semuanya sama Mas, Sayang,” ujar Juna, suaranya tegas dan menenangkan. “Mas janji, setelah ini Mas akan tanggung jawab apapun risikonya.” ​Ghea menelan ludah, menatap mata Juna, dan menemukan ketulusan di sana. Perlahan, Ghea mengangguk. ​Juna tersenyum, senyum yang menjanjikan segalanya. “Terima kasih, Sayang,” bisik Ju

  • Di Atas Ranjang Sepupu   HIV? Gairah Yang Tak Tertahankan

    ​Saat hasrat memuncak, Juna mulai merayapi tubuh Ghea perlahan dengan tangan kirinya, tetapi ia tidak melepaskan pangkuannya sama sekali. Dengan mata Juna yang gelap karena gairah menatapnya lekat-lekat, tangan Juna mulai bergerak merayap turun, menyusuri paha Ghea. ​Ghea tersentak. ​Tangan Juna kini berhenti, meraba kain segitiga tipis yang sudah basah dan becek di dalamnya. Sensasi itu membuat Ghea mengerang, separuh kenikmatan, separuh ketakutan. ​Saat Juna hendak menarik kain itu, Ghea tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat. ​“Mas, stop!” Suara Ghea serak dan bergetar, memotong ketegangan hasrat mereka dengan suara yang penuh kepanikan. ​Juna membeku. Ia menarik tangannya dan menatap Ghea, matanya yang tadi panas kini dipenuhi kebingungan. “Kenapa? Kamu ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status