Share

4. Ibu

Aku dan Alya belum juga pulang ke rumah. Kami berdua masih asik bermain di tengah derasnya hujan. Tiba-tiba, Alya menghentikan langkahnya sambil memeluk dirinya sendiri, dengan bibir tampak bergetar dan sedikit pucat. Alya memanggilku dan sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Namun, sepertinya dia merasa malu untuk mengatakannya. Aku menoleh kearah Alya, dan langsung menghampirinya.

   “Kenapa, Al?” tanyaku pada Alya.

   “Dingin, hehe … hujan nya semakin deras, nih …,” jawab Alya, menggigil kedinginan.

   “Eh, kamu kedinginan, ya? Ah, lemah banget, sih … baru juga sebentar,” kataku.

   “Iya, sih … ya, mau bagaimana lagi? Aku sudah menggigil, nih. Kita pulang, yuk …,” ajak Alya, memeluk tubuhnya semakin erat.

   “Yah, padahal Aku masih ingin bermain dengan hujan … yah sudah lah.”

Merasa kasihan pada Alya yang sudah sangat kedinginan, Aku pun langsung mengiyakan ajakan Alya. Lalu, Aku dan Alya berjalan ke rumah masing-masing. Saat di perjalanan pulang, Aku mencoba mencairkan suasana, supaya Alya tidak terlalu merasa kedinginan. Aku menanyakan tentang Zahir padanya.

   “Nggak tahu, ah! Tidak usah di bahas deh, Massika … untuk apa memikirkan Zahir, dia pantas menerima itu, Brrrr …,” kata Alya, memotong langsung pertanyaanku, dengan tubuh yang menggigil kedinginan.

   “Iya, sih, tapi ‘kan …,”

   “Massika, bukan nya tadi ibumu yang mengantarkan kamu ke sekolah, ya? Lalu, mengapa ibumu tidak menjemput kamu?” tanya Alya, lagi-lagi memotong pertanyaanku dan mengalihkan pembicaraan.

   “Tidak tahu, Al … yah sudah lah, toh juga sebentar lagi Aku sampai di rumah,” jawabku.

    Alya hanya diam dan menganggukkan kepalanya. Merasa belum puas bermain dengan Alya, Aku mengajaknya untuk singgah sebentar di rumahku, sambil menunggu hujan berhenti. Namun, Alya menolak ajakkanku. Dia berkata, seragam sekolahnya sudah sangat basah dan juga kotor.

   “Tidak apa-apa, Al … kamu bisa mengganti seragam sekolahmu dengan pakaian milikku. Seragam sekolahmu, nanti akan di cuci oleh ibuku. Sekalian deh, seragam sekolahku juga kotor,” kataku, mencoba meyakinkan Alya.

Belum sempat Alya menjawab ajakanku, Aku mengatakan kalau kami sudah tiba di dekat rumahku. Sontak, Alya kebingungan dengan perkataanku.

   “Rumah kamu yang mana, Massika?” tanya Alya.

   “Itu, rumah yang cukup besar, tepat di depan kita,” jawabku.

   “Eh, bukan nya kamu mengatakan, kalau kamu tinggal bersama Ibu dan Kakakmu, ya?” tanya Alya.

   “Benar … memangnya kenapa, Al?” tanyaku.

   “Kalau benar begitu, mengapa di depan rumah kamu ada banyak sekali mobil? Mobil ambulan juga ada, tuh?” tanya balik Alya, sambil menunjuk kearah rumahku.

Seketika, langkahku terhenti. Aku sedikit merasa bingung, mengapa ada banyak sekali mobil di depan rumahku. Namun, tidak ingin ambil pusing, Aku langsung menjawab pertanyaan Alya, kalau itu hanya mobil milik para tamu ibuku.

   “Kalau benar itu adalah para tamu ibumu … lantas, mengapa ada bendera …, yah, semoga saja perkataanmu benar ya, Massika,” kata Alya, dengan raut wajah yang mulai berubah aneh.

***

    Sesaat kemudian, tiba lah Aku dan Alya di depan rumahku. Aku langsung berjalan masuk ke dalam rumah, yang kebetulan gerbang rumahku sedang terbuka lebar.

   “Alya, mengapa kamu masih berada disini? Kamu tidak jadi pulang, ya?” tanyaku pada Alya, yang masih mengikutiku masuk ke dalam rumah.

   “Hehe … sepertinya, aku berubah pikiran, Massika. Aku boleh main sebentar denganmu, sampai hujan berhenti, ‘kan?” tanya Alya, masih dengan raut wajah anehnya.

   “Eh, tentu saja boleh. Ayo, kita masuk, Al ….”

Lalu, Aku berjalan bersama dengan Alya, masuk ke dalam rumah. Namun, setibanya Aku dan Alya di dalam rumah, ada banyak sekali orang-orang yang tidak ku kenal. Aku berjalan masuk, dengan mengucapkan salam, sambil menatap ke sekeliling melihat orang-orang itu. Tiba-tiba, Kak Melly berlari menghampiriku dan langsung memelukku sambil menangis.

   “Kengapa Kakak menangis? Lalu, mengapa ramai sekali orang, yang satu pun tidak ada yang ku kenal, Kak?” tanyaku pada Kak Melly, merasa bingung dengan apa yang sedang terjadi.

   “Massika, hiks …, Ibu …,” jawab Kak Melly, sambil terus menangis.

   “Ibu? Eh, iya, Kak … Aku ingin mengganti seragam sekolahku, nih. Sudah kotor dan Aku juga ingin mandi. Ibu dimana, Kak?” tanyaku pada Kak Melly dengan polos.

Alya berjalan dan sedikit mengintip kearah ruang tamu. Lalu, Alya kembali menghampiriku. Mengelus punggungku, kemudian berkata sambil se-sekali menoleh kearah ruang tamu,

   “Massika, kamu … kamu yang sabar, ya …,”

   “Sabar? Mengapa, Aku harus bersabar, Al?” tanyaku pada Alya, semakin membuatku kebingungan.

Melihat dari sorot mata Alya, sepertinya Dia sedang melihat kearah ruang tamu. Merasa penasaran, Aku pun menoleh kearah yang dituju oleh sorot mata Alya. Aku melihat, banyak sekali orang yang sedang membaca buku disana. Namun, pandanganku terhenti saat melihat sebuah kain putih yang terletak di tengah-tengah mereka.

   “Kak, mereka sedang apa, ya? Seperti sedang membaca buku, tetapi mengapa harus di rumah kita? Lalu, itu apa, kak … panjang dan di selimuti kain putih yang ada di tengah-tengah mereka?” tanyaku pada Kak Melly, sambil menunjuk kearah ruang tamu.

   “Kak, hmm … Massika, tidur di kamar sebelah mana, ya? Kami ingin bermain bersama di kamarnya.” Alya mengalihkan pembicaraan, seakan tidak ingin membahas tentang apa yang sempat Aku tanyakan tadi.

   “Eh, tunggu dulu, Al … Aku ingin mengganti seragam sekolahku dulu. Sudah basah kuyup, nih … kamu juga basah, ‘kan? Tidak mungkin kita masuk ke kamar, dengan kondisi basah seperti ini. Isshh … Kak, beritahu dong, dimana Ibu … bukan nya memberitahuku, Kakak malah menangis, hadeh …,” kataku kesal pada Kak Melly.

Namun, Kak Melly lagi-lagi tidak menjawabku, tetapi masih asik menangis. Kemudian, pandanganku teralih oleh seorang wanita paruh baya, tampak berjalan menggunakan lutut kakinya, mengarah ke sebuah benda panjang di selimuti kain putih itu. Perlahan, wanita itu menurunkan kain yang menyelimuti benda itu,

   “Eh, itu apa, Kak? Benda itu, kenapa seperti wajah manusia?” tanyaku pada Kak Melly.

Tangisan Kak Melly pecah setelah mendengar pertanyaanku tadi. Aku sempat panik melihat Kak Melly yang tiba-tiba menangis seperti itu. Namun, tiba-tiba seorang gadis cantik menghampiri Aku dan Kak Melly,  bersama dengan kedua temannya.

   “Mell, kami pulang dulu, ya … tiba-tiba, kami ada urusan mendadak, nih. Turut berduka cita atas kepergian Ibu kamu, ya … maaf banget, kami tidak bisa lama-lama disini, hehe …,” kata gadis itu pada Kak Melly.

   “Eh, pergi? Ibuku pergi kemana, kak?” tanyaku pada gadis itu, setelah mendengar perkataannya tadi.

   “Mell, ini siapa? Adikmu, ya?” tanya gadis itu pada Kak Melly, sambil menunjuk kearahku.

Kak Melly hanya menganggukkan kepala, tanpa menjawab sepatah kata pun dari pertanyaan gadis itu. Tiba-tiba, gadis cantik itu membungkukkan tubuhnya dan langsung memelukku. Dia berkata, Aku tidak perlu bersedih. Ada Kak Melly, Dia dan teman-temannya yang akan menjagaku.

   “Eh, maksudnya bagaimana, sih, Kak? Sebenarnya, ini ada apa ya, Kak? Siapa yang sedih, coba? Lalu, Aku ‘kan punya Ibu, untuk apa Kakak harus repot-repot ingin menjagaku juga?”

   “Mell, ibumu ingin di kuburkan sekarang atau bagaimana? Masalah nya, di luar masih hujan,” kata seorang pria paruh baya, memotong pembicaraanku pada gadis itu.

   “Ma-maaf, Om … mengapa Ibu saya ingin di kubur, ya? ‘Kan, Ibu saya bukan tanaman?” tanyaku pada pria paruh baya itu.

   “Eh, ini Massika, ya?” tanya balik pria itu.

   “Iya, Om … Aku, Massika, kenapa?”

Pria paruh baya itu tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah tersenyum, sambil mengelus-elus rambutku. Lalu, Alya menghampiriku.

   “Massika, kamu … kamu ingin tahu, dimana keberadaan Ibu kamu?” tanya Alya.

   “Iya, dong, Al … eh, memang nya kamu tahu, dimana ibuku? Sejak tadi ‘kan, kamu selalu berada di dekatku?” tanyaku pada Alya,

   “Tentu tahu, dong … yuk, ikuti Aku,” ajak Alya.

   “Eh, ke mana?” tanyaku pada Alya.

   “Sudah lah, ikut saja ….”

Alya langsung menarik tanganku, berjalan menuju ke ruang tamu. Kemudian, Alya melepaskan genggaman tangannya dan mendorong lembut tubuhku, menyuruhku untuk berjalan maju menghampiri seseorang yang di selimuti kain putih itu. Lalu, Aku pun berjalan maju sesuai perintah Alya.

   “Eh, Ibu? Mengapa, Ibu tiduran disini? Bu, orang-orang ini siapa? Oh iya, seragam sekolahku kotor, nih … kita ke kamar mandi, yuk. Aku ingin mengganti seragamku, Bu …,” kataku, sambil menggoyang-goyangkan tuuh Ibu, yang tengah terbaring di depanku.

Seketika, orang-orang yang tengah berkumpul sambil membaca buku itu terdiam. Mata mereka tertuju padaku. Aku masih belum menyadari, apa yang sedang terjadi pada saat itu. Pikirku, Ibu sedang tertidur. Jadi, Aku mencoba membangunkan Ibu.

   “Bu, bangun dong, Aku sudah basah kuyup, nih …,” kataku, masih terus menggoyang-goyangkan tubuh Ibu.

Tiba-tiba, Kak Melly menghampiriku dan langsung mengangkat tubuhku, membawaku menjauh dari Ibu yang sedang tertidur. Lalu, Kak Melly menuruniku dan langsung memelukku dengan erat sambil menangis. Aku merasa marah pada Kak Melly dan berusaha melepaskan tubuhku dari pelukkannya. Aku berniat ingin kembali menemui Ibu, membangunkannya untuk menemaniku mengganti seragam sekolahku.

   “Ibu, hikss … Massika, ibu sudah … meninggal!!!” teriak Kak Melly histeris.

   “Apa?”

Tiba-tiba, tubuhku serasa kaku. Mataku terbuka lebar dan jantungku berdegup kencang tak karuan. Rasanya, hatiku seperti tertusuk pedang yang sangat tajam. Aku ingin menangis, tetapi masih bingung dengan apa yang sedang terjadi.

   “Kak, Ibu … ah, tidak-tidak! Kakak pasti bercanda, ‘kan? Hahaha … tidak lucu loh, Kak …,” kataku, tertawa mendengar perkataan Kak Melly.

   “Tidak, Massika … hikss … Ibu sudah meninggal!”

Aku langsung mendorong Kak Melly dengan sekuat tenaga, sampai terjatuh ke lantai. Lalu, Aku langsung berlari menghampir Ibu.

   “Bu … Ibu masih hidup, ‘kan? Ibu hanya tidur saja, ‘kan? Bu, tolong bangun, dong … nanti kita main dengan hujan lagi, ‘kan? Eh, di luar sedang hujan, Bu. Lihat nih, seragamku sudah basah kuyup. Aku tadi mandi hujan bersama dengan temanku, Bu … Ibu sih, tidak menjemputku. Oh iya, ini temanku, Bu … namanya Alya, orang nya baik banget. Bu, bangun dong, ish ….”

Aku melakukan segala cara supaya bisa membangunkan ibu. Mulai dari memeluk tubuhnya, mengelus-elus rambutnya, mencium pipi dan kembali lagi memeluk ibu dengan erat. Namun, tetap saja tidak terjadi apa-apa pada Ibu. Sekitar hampir sepuluh menit lamanya, Aku menggoyang-goyangkan tubuh ibu dan berharap bisa membangunkan ibu. Tidak bisa dipungkiri kalau ternyata ibuku telah tiada, Aku mencoba untuk menerima kenyataan itu dan seketika, tangisanku pecah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status