Share

5. Hening

Kehilangan sosok orang tua, memang sangat lah menyakitkan. Sejak lahir, ayah lebih dulu meninggalkanku. Tidak begitu terasa karena saat itu, aku masih belum bisa melakukan apa-apa. Namun, yang membuatku merasa sangat terpukul adalah, saat kepergian ibuku. Melihatnya terbaring lemah tak berdaya, seakan hatiku hancur. Semua harapan yang ku bangun bersama ibu, kini telah sirna semenjak ibu tak lagi berada di sampingku. Semua terasa hambar sejak dia pergi meninggalkanku. Apalagi, setelah mendengar dari orang-orang yang berada di rumahku, kalau ibu mengalami kecelakan saat mengendarai mobil.

   Malam berganti pagi. Suara ibu, tak terdengar lagi di telingaku. Biasanya, ibu selalu memanggil dan mengetuk pintu kamarku setiap pagi. Kini, suara itu telah hilang, berganti dengan suara kokokan ayam, masuk ke telinga dan membangunkan tidurku. Menarik nafas panjang, aku bangkit dari ranjang tidurku dan langsung keluar dari kamar.

   “Kak, Alya pergi kemana? Mengapa sampai sekarang, dia tidak kembali juga?” tanyaku pada Kak Melly yang tengah duduk bersama orang asing, yang sama sekali tak ku kenal di ruang makan.

   “Hmm … tidak tahu, Massika. Malam tadi, ada seorang anak laki-laki yang datang ke rumah kita. Dia mengatakan, kalau dia ingin menjemput Alya,” jawab Kak Melly.

Aku menganggukkan kepala mengiyakan perkataannya. Lalu, aku menarik kursi dan mendudukkan tubuhku di atasnya, dan meminta di ambilkan piring serta nasi dan lauk pada Kak Melly. Setelah itu, aku pun memakan nasi serta lauk itu, bersama dengan Kak Melly dan yang lainnya.

   “Mengapa kamu bangun lebih awal hari ini, Massika?” tanya Kak Melly padaku.

   “Tidak apa-apa, Kak … aku ‘kan harus pergi ke sekolah hari ini,” jawabku singkat.

   “Kakak sudah mengatakan kepada gurumu, kalau kamu tidak masuk sekolah hari ini. Jadi, kamu …,”

   “Tidak, Kak, aku ingin pergi ke sekolah,” potong ku.

   “Eh, tapi, Massika …,”

   “Tidak apa-apa, Kak … saat berada di sekolah, aku jauh merasa lebih baik dari pada berada di rumah tanpa ibu,” potong ku.

    Kak Melly, tak bisa berkata apa-apa. Dia hanya menghela nafas dan mengelus rambutku saja. Tak ada pilihan lain, Kak Melly akhirnya mengizinkanku untuk pergi ke sekolah. Dia berkata, “Yah sudah, setelah makan, kamu mandi dan bersiap-siap. Nanti, Kakak yang akan mengantarkanmu berangkat pergi ke sekolah.”

   “Loh, kakak ingin mengantarkanku pergi sekolah menggunakan apa?” tanyaku pada Kak Melly, bingung mendengar perkataannya.

   “Oh iya, mobil kita ‘kan …,”

   “Tidak apa-apa, Kak, aku bisa berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Lagi pula, aku sudah berjanji pada Alya, untuk berangkat ke sekolah bersama,” potong ku.

   “Hufffttt … yah sudah kalau begitu.” Kak Melly mengakhiri percakapan. Dia tak tahu lagi harus mengatakan apa pada saat itu.

    Setelah selesai makan, aku pamit untuk kembali ke kamar, mengambil handuk milikku dan langsung bergegas pergi ke kamar mandi.

   Cebur!

   “Bbbrrrrr … Bu, dingin banget air ….”

Seketika, perkataanku terhenti. Setiap pagi, ibu selalu ikut masuk ke kamar mandi, memandikanku dan mengeringkan seluruh tubuhku menggunakan handuk, setelah selesai mandi. Ketika tubuhku menggigil terkena air, aku selalu memeluk ibu, agar rasa dingin yang ada di tubuhku menghilang. Namun, ketika aku berbalik arah, yang ku temui hanyalah dinding kamar mandi, bak mandi serta keran air yang mengalirkan air ke dalam bak mandi.

Aku kembali mandi dan bergegas menyelesaikannya. Setelah selesai, aku langsung keluar dari kamar mandi dan langsung kembali ke kamar. Selesai berpakaian, aku turun dari kamar, berpamitan pada Kak Melly dan orang-orang yang tengah duduk bersama di ruang makan, lalu aku berjalan keluar rumah dan berangkat pergi ke sekolah.

***

    Udara segar menusuk penciumanku. Angin berhembus pelan disambut dengan kicauan burung-burung mengiringi langkahku. Tak ada seorang pun yang melintasi jalanan itu. Hanya ada diriku seorang diri, di temani suara ibu yang masih terngiang jelas di telingaku. Aku berbohong pada Kak Melly, tentang perjanjianku pada Alya. Aku tidak ingin merepotkannya, setelah mengetahui kalau mobil milik ibu, telah hancur setelah tragedi yang merenggut nyawa ibu.

    Sesaat setelah itu, aku pun tiba di depan gerbang sekolah. Waktu menunjukkan masih sekitar setengah tujuh pagi. Masih terlalu pagi untuk para murid datang ke sekolah, kecuali aku. Menyandang tas merah mudaku, aku berdiri di depan gerbang sekolah sambil melihat ke sekeliling. Tiba-tiba, aku melihat seorang pria paruh baya mengenakan seragam bertuliskan ‘Satpam’ pada pakaiannya, berjalan terburu-buru menghampiri gerbang sekolah.

   “Dek, kamu sekolah disini?” tanya Pak Satpam itu padaku.

   “Iya, Pak …,” jawabku singkat.

   “Loh, mengapa pagi-pagi sekali? Sekolah baru dimulai, sekitar satu jam lagi,” ucap Pak Satpam padaku.

   “Tidak apa-apa, Pak … aku tadi tiba-tiba terbangun, dan tidak bisa tidur lagi, hehe … yah sudah, dari pada bingung, lebih baik aku berangkat saja ke sekolah. Oh iya, tolong bukakan gerbangnya dong, Pak …,” pintaku pada Pak Satpam.

    Mendengar perkataanku, Pak Satpam pun bergegas membukakan pintu gerbang sekolah, dan mempersilahkanku masuk. Kemudian, Pak Satpam berjalan beriringan bersamaku, dan bertanya padaku, “Ruang kelasmu sebelah mana?”

   “Itu, Pak, tepat di depan kita,” jawabku, menoleh kearah Pak Satpam dan menunjuk kearah kelas.

Pak Satpam itu menganggukkan kepalanya, mengakhiri pembicaraan. Sampai lah kami di depan pintu kelasku. Pak Satpam pun langsung bergegas membuka pintu kelas menggunakan sebuah kunci yang dipegangnya, dan berkata, “Yah sudah, kamu tunggu di kelas saja. Sebentar lagi, murid-murid lain mulai berdatangan. Kalau kamu butuh sesuatu, Bapak ada di pos penjagaan dekat gerbang sekolah.”

    Setelah mengatakan itu, kami pun berpisah. Pak Satpam kembali ke pos penjagaannya, sedangkan aku, masuk dan menunggu di dalam kelas seorang diri. Suara jam dinding berdetak, menemani kesunyianku. Tidak ada hal apapun yang bisa ku lakukan, kecuali hanya termenung menatap pergerakan jarum jam, yang masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Tidak tahu sebabnya, tapi aku merasa begitu nyaman saat berada di kelas seorang diri. Hening yang ku rasakan saat ini mengajarkanku bahwa, ‘ramai tak selalu membuat perasaan seseorang itu bahagia’. Kata-kata itu, seakan merasuki pikiranku. Ibu mengatakan, berteman lah dengan banyak orang. Karena, apapun yang terjadi nanti, pasti kita akan membutuhkan bantuan dari orang lain. Kata-kata itu, terasa bohong bagiku. Sempat terpikir olehku, untuk menutup diri dari orang-orang. Namun,

   Bruakk!

Seseorang memukul meja belajarku. Sontak, tubuhku tersentak dan membuatku tersadar dari lamunanku. Aku menoleh kearah orang itu, dan ternyata itu adalah Alya.

   “Woy, Massika! Mengapa kamu datang ke sekolah? Harusnya ‘kan …,”

   “Tidak, Al … aku bosan berada di rumah.”

Aku langsung memotong perkataan Alya, dengan melontarkan senyum manisku padanya. Mendengar itu, Alya terdiam seketika. Tak tahu harus mengatakan apa, Alya memilih untuk duduk di kursi sebelah kiriku. Setelah itu, aku menarik kembali pandanganku, lalu menoleh lagi kearah jam dinding.

    Waktu berlalu dan tak terasa, sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Suara lonceng sekolah berbunyi. Para murid yang sekelas denganku, mulai berdatangan diikuti oleh Bu guru yang mengajar di kelasku. Saat beliau ingin memulai kelas dengan menyapa para murid, seketika mulutnya terhenti. Pandangannya tertuju padaku. Mengerutkan keningnya, beliau bertanya,

   “Loh, Massika … bukannya tadi, kakakmu menghubungi saya dan mengatakan kalau …,”

   “Tidak, Bu … aku sudah izin pada kakak, untuk pergi ke sekolah. Tidak apa-apa, Bu, silahkan mulai pelajarannya, hehe ….”

Aku langsung memotong pertanyaan Bu guru, karena tidak ingin membahasnya. Beliau hanya tersenyum padaku, lalu menarik kembali pandangannya, dan langsung memulai kelas dengan menyapa semua murid yang ada di kelas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status