Share

2. Sekolah

Author: A_W
last update Last Updated: 2021-10-03 04:17:43

Pagi hari, Ibu mengetuk kamarku sambil memanggil namaku. Hari ini, adalah hari pertamaku masuk sekolah.

   “Iya, Bu, sebentar …,” kataku, baru saja terbangun dari tidur karena suara Ibu memanggil namaku dari luar kamar.

Kemudian, Aku langsung bangkit dari ranjang tidurku dan langsung berjalan sempoyongan membuka pintu kamarku.

   “Huaaahhh … Bu, aku masih mengantuk, nih …,” kataku sambil mengucek mata.

   “Hei … hari ini ‘kan, hari pertama kamu masuk sekolah. Semangat, dong …,” kata Ibu.

   “Iya, Bu … tapi aku masih mengantuk, nih. Sebentar lagi deh, ya?” tanyaku pada Ibu.

   “Eh, tidak bisa, dong … yah sudah, ayo kita mandi dulu,” kata Ibu sambil mengelus rambutku.

Mengiyakan perkataan Ibu, lalu Ibu membawaku menuruni tangga dan langsung menuju kamar mandi. Selesai mandi dan mengeringkan tubuh, Aku langsung bergegas memakai seragam sekolahku, yang diberikan oleh Ibu. Saat sedang memakai seragam, aku bertanya pada Ibu,

   “Bu, kenapa sih aku harus sekolah?”

   “Eh, bukankah kamu pernah mengatakan, kalau kamu ingin memiliki banyak teman?Nah, kamu akan menemukan banyak sekali teman, ketika kamu masuk sekolah nanti,” jawab Ibu sambil membantuku memakaikan seragam sekolah.

Aku hanya terdiam mendengar jawaban Ibu. Lalu, setelah selesai memakai seragam sekolah, Ibu membawaku berjalan menuju ruang makan. Sesampainya di ruang makan, Kak Melly menyambut kedatanganku.

   “Pagi, Massika … wah, kamu tampak bersemangat sekali hari ini,” kata Kak Melly sedikit tersenyum padaku.

   “Kalau tidak karena Ibu, Aku sama sekali tidak berniat sekolah hari ini, kak …,” kataku pada Kak Melly.

Lalu, kami pun menikmati sarapan pagi bersama. Tidak ada hal yang menarik untuk dibahas pada saat itu. Jadi, kami memilih untuk fokus ke sarapan saja. Setelah selesai, Ibu dan kak Melly bergegas membersihkan meja makan. Ibu menyuruhku, untuk menunggu diluar rumah. Setelah itu, aku, Ibu dan kak Melly, masuk ke dalam mobil, dan kami pun berangkat menuju sekolahku bersama-sama.

***

    Suara lonceng sekolah berbunyi, menandakan untuk semua murid masuk ke kelas. Bersamaan dengan itu, Aku tiba di depan sekolah bersama dengan Ibu dan Kak Melly menggunakan mobil.

   “Sayang, Ibu harus mengantarkan Kak Melly pergi bekerja, nih … kamu masuk sendirian ke sekolah, ya. Tidak apa-apa, ‘kan?” tanya Ibu padaku.

Aku hanya menganggukkan kepala pada Ibu, tanpa menjawab sepatah katapun. Setelah berpamitan pada Ibu dan Kak Melly, Aku keluar dari mobil dan langsung berjalan masuk ke sekolah.

   “Mohon perhatiannya, untuk para murid baru dipersilahkan untuk berbaris di lapangan,” kata seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah guru di sekolah itu.

Mendengar itu, para murid baru bersama dengan orang tua mereka, bergegas berkumpul ke tengah lapangan sekolah. Aku yang hanya seorang diri sambil menyandang tas merahku, mengikuti mereka berkumpul. Guru itu menyampaikan beberapa kata sambutan, menyambut kami semua selaku murid baru di sekolah itu. Setelah selesai, para murid baru di minta untuk masuk ke kelas masing-masing, sesuai arahan Guru itu. Sesampainya di kelas,

   Gedebuk!

Seseorang mendorongku hingga tersungkur ke lantai. Dengan perasaan marah, Aku mengangkat tubuhku dan langsung berjalan menghampiri orang itu.

   “Heh! Apa-apaan, kamu!” sentakku sambil sedikit mendorongnya.

   “Eh, maaf ya … barisan kursi ini khusus untuk para murid laki-laki. Murid perempuan bisa pindah kesebelah sana,” jawabnya dengan santai.

Zahir, murid laki-laki yang terbilang tampan untuk seusianya. Orang tua Zahir telah berpisah sejak dirinya lahir. Sejak kecil, dia di rawat dan di besarkan oleh neneknya. Tanpa belaian kasih sayang dari orang tua, membuatnya menjadi sedikit nakal.

   “Aku duluan yang menemukan kursi ini, kenapa tidak kamu saja yang pindah?” tanyaku padanya.

   “Kamu tidak mendengar perkataanku tadi? Barisan kursi ini untuk murid laki-laki! Perempuan duduknya di sebelah sana, paham tidak!” sentaknya padaku.

   “Ma-maaf, benar yang dikatakan, Zahir. Murid perempuan duduknya di sebelah sana. Kebetulan, ada sebuah kursi kosong di sebelah kursiku.”

Dia bernama Alya. Seorang perempuan berkacamata yang mempunyai sifat pemalu. Meskipun begitu, Aku harus berterima kasih padanya. Berkat dirinya, Aku bisa mendapatkan tempat duduk.

Dengan berat hati, Aku harus merelakan tempat duduk yang harusnya menjadi milikku, kini dimiliki oleh orang lain. Aku mengikuti Alya, pindah ke barisan tempat duduk di sebelah. Kemudian, tepat setelah Aku dan Alya duduk, Bu guru tiba di kelas.

***

    Kelas pun dimulai dengan perkenalan oleh Bu guru itu. Selesai itu, kami selaku murid baru di persilahkan untuk maju ke depan kelas, memperkenalkan diri masing-masing secara bergantian. Perkenalan dimulai dari pihak laki-laki terlebih dahulu. Berjalan dengan sedikit mendongakkan kepala, Zahir maju ke depan kelas dengan rasa percaya diri yang sangat tinggi.

   “Selamat pagi semua, namaku, Zahir … terima kasih,” ucap Zahir.

   “Sudah, begitu saja? Tidak ada yang ingin di sampaikan lagi?” tanya Bu guru.

   “Tidak ada, hanya itu saja, Bu,” jawab Zahir, berdiri sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.

   “Yah sudah, terima kasih, Zahir … silahkan kembali ke tempat dudukmu.”

Tanpa menjawab perkataan dari Bu guru, Zahir langsung berjalan menuju tempat duduknya dengan santai. Pandanganku mengikuti langkah kaki Zahir sampai ke tempat duduknya.

   “Ih, apaan sih, tuh anak … sombong banget!” gumamku, sambil menatap tajam kearah Zahir.

Kemudian, perkenalan dilanjutkan. Murid laki-laki bergantian maju ke depan kelas dan memperkenalkan diri mereka. Setelah selesai, kini giliran murid perempuan yang akan memperkenalkan diri ke depan kelas. Aku mendapat giliran pertama untuk maju ke depan kelas.

   “Selamat pagi, teman-teman … namaku, Massika. Aku tinggal bersama dengan kakak dan ibuku. Rumahku tak jauh dari sekolah ini. Hobiku, bermain dengan hujan,” kataku, dengan penuh semangat.

   “Hahaha … bermain dengan hujan? Hati-hati, nanti di sambar petir, loh …,” sorak Zahir, mengejekku.

    Sontak, murid-murid lain ikut mentertawaiku. Aku hanya bisa menunduk karena malu, tanpa bisa mengatakan sepatah katapun. Jantungku serasa ingin copot pada saat itu. Rasanya, ingin sekali segera menyelesaikan perkenalan itu. Namun, tak ingin kalah dari Zahir, aku menarik nafas panjang dan kembali mengangkat kepalaku.

   “Permisi, Zahir … masing-masing murid sudah di berikan kesempatan untuk memperkenalkan diri, loh. Jika kamu tidak bisa memperkenalkan diri dengan baik, setidaknya jangan mengganggu orang lain, dong? Jika di pikir-pikir, masih jauh lebih baik cara perkenalanku tadi, dibandingkan dirimu yang sama sekali tidak jelas asal-usulnya, hahaha …,” kataku, tersenyum menyeringai kearah Zahir.

Kemenangan di pihakku. Kini, kekalahan menghantui pikiran Zahir. Menundukkan kepala adalah pilihan terbaik yang dilakukannya untuk saat ini, Tertawa ejekkan menembus masuk ke telinga Zahir. Rasa dendam timbul di hatinya. Namun apalah daya, dia hanya bisa mengepalkan kedua telapak tangannya dengan kuat, sambil menahan rasa malu. Bu guru mencoba melerai dengan memintaku untuk menyudahi perkenalan dan kembali ke tempat duduk. Dengan senang hati, Aku menuruti perintah Bu guru. Berjalan kembali menuju tempat dudukku, di iringi senyuman kemenangan tergambar di wajahku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Di Balik Hujan   19. Duh, aku bisa terlambat lagi, nih!

    Malam pun tiba. Seperti biasa, aku dan kedua puterinya Kak Melly sedang bermain di ruang tengah. Kegiatan ini hampir setiap hari ku lakukan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas dulu sembari menunggu Kak Melly pulang. Namun terkadang, aku meminta Cindy dan Rani untuk bermain berdua, karena aku sedang mengerjakan tugas sekolah dan kembali bermain dengan mereka ketika sudah selesai. Beruntung, para Dosen itu belum memberiku tugas. Jadi, aku bisa terus bermain bersama dengan mereka berdua.Beberapa saat kemudian, mobil milik Kak Melly tiba di depan rumah dan tumben-tumbenan, mobil milik Bang Rudy juga tiba di depan rumah, bersamaan dengan Kak Melly. Aku bergegas keluar rumah dan membukakan pagar, kemudian menutupnya lagi dan berlari menghampiri mereka. “Hai, Kak, hehe …,” ucapku menyapa Kak Melly sambil tertawa kecil. “Apa? Kamu berantem di kampus, dan dibawa ke ruang Dosen, iya?” tanya Kak Melly pa

  • Di Balik Hujan   18. Gila kamu, Lex!

    “Bu, aku pergi main dulu, ya!” “Iya, jangan berkelahi lagi kamu! Pusing ibu kalau setiap hari harus mendengar ocehan dari orangtua teman-teman kamu,” “Oke, Bu ….” Pukul sembilan pagi tepatnya di hari minggu, si Alex kecil keluar dari rumahnya dan pergi bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat itu, umurnya masih sekitar lima tahun. Ibunya setiap hari bekerja dari pagi hingga larut malam, dan hanya akan ada di rumah saat hari libur tiba, seperti Minggu dan hari-hari libur lainnya. Itu pun, ibunya tetap memiliki pekerjaan kantor yang belum selesai. Sedangkan ayahnya adalah seorang Tentara yang sedang bertugas di luar Negeri. Akibatnya, dia tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orangtuanya dan itu membuatnya menjadi sedikit nakal. “Hai, teman-teman,” ucap Alex sambil tersenyum dan melambaikan tangan sekelompok anak-an

  • Di Balik Hujan   17. Aku sebenarnya takut pada wanita

    “Tadi, aku menunggu kalian di kelas untuk memberikan ini,” kata Wanita itu sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sesuatu yang dibalut dengan sapu tangan berwarna coklat garis-garis hitam. Aku tidak tahu apa itu, tapi sepertinya itu sangat berharga sampai si Wanita itu rela meluangkan waktunya menunggu aku dan Alya, demi untuk memberi barang itu padaku. Lalu, dia pun memberikan barang itu padaku dan, “Eh, ini ‘kan kacamataku? Yah, sudah patah,” kataku dengan raut wajah sedih, setelah tahu kalau barang yang dibalut dengan sapu tangan itu adalah kacamataku.Kacamata kesayanganku pemberian Kak Melly yang sudah menemaniku sejak sekolah menengah atas dulu. Padahal, kacamata itu sudah ku anggap seperti adik sendiri. Sampai-sampai, aku membuatkan tempat khusus di dekat meja belajarku hanya untuk meletakkan kacamata itu. Akan tetapi, sekarang kacamata itu sudah

  • Di Balik Hujan   16. Bikin malu saja!

    “Eh, apa-apaan ini, Pak, Bu? Apa ini, kok main iya-iya’an?” tanya Zahir kebingungan. “Tahu tuh! Sudah lah, masalahnya sudah selesai, ‘kan? Yah sudah, saya ingin kembali ke kelas,” sahutku sambil memutar balikan arah tubuhku dan berjalan menuju pintu keluar. “Eh-eh, tunggu dulu … masalah kalian belum selesai. Sini dulu ah,” ucap Pak Dosen sambil perlahan menarik lenganku. “Isshh!”Baru saja beberapa langkah aku berjalan, Pak Dosen itu sudah menarik tanganku dan perlahan mendorongku menghadap Pak Rektor. Dengan terpaksa, aku pun balik ke posisi semula dan yang lebih parahnya lagi, Pak Dosen itu menarik sebuah kursi dan mendudukkanku menghadap Pak Rektor itu. Lalu, menarik sebuah kursi lagi dan meletakkannya tepat di sebelahku, serta Zahir dipaksa untuk duduk disana. “Lho, apa-apaan ini, Pak!” ucapku pada Pak Dose

  • Di Balik Hujan   15. Jangan-jangan mereka berjodoh

    Setelah Pak Dosen berbicara seperti itu, aku, Zahir dan Alya diminta untuk menunggu diluar sejenak. Lalu, beliau pun masuk ke dalam ruangan Dosen. “Eh, kalian kenapa bisa berantem, sih? Bagaimana ceritanya coba?” tanya Alya memecah ketegangan itu. “Tuh, kakakmu yang mulai duluan! Aku sudah terlambat masuk kelas, eh dia malah menahanku bersama dengan ketiga teman-temannya yang lain. Dia juga menyuruhku untuk tidak masuk kelas, dan mengajakku pergi ke kantin. Dasar aneh!” bentakku sambil sedikit menoleh kearah Zahir. “Eh, jaga ucapan kamu, ya!” “Apa? Memang benar, kok!” “Eh, sudah-sudah! Kok malah jadi ribut lagi sih! Harusnya tuh kalian berpikir, apa yang harus kalian jawab ketika para Dosen itu bertanya kepada kalian nanti. Ini menyangkut kuliah kalian, lho! Kalian bisa di keluarkan dari kampus ini, karena sudah membuat keributan disini,

  • Di Balik Hujan   14. Zahir? Massika?

    Hosh … hosh … hosh …Aku tiba di kelas dengan nafas yang terengah-engah. Aku berdiri di depan kelas, tepat di sebelah Pak Dosen yang tengah menjelaskan materi pelajaran. Sontak, semua mata tertuju padaku dan Pak Dosen yang tadinya tengah menjelaskan materi, langsung terdiam menatap bingung kearahku. “Sel … selamat, selamat pagi, Pak! Maaf, saya terlambat,” ucapku sambil mencoba mengatur nafas. “Kamu dari mana saja? Kamu tidak tahu, sudah pukul berapa sekarang? Sebentar lagi mata kuliah saya selesai. Lebih baik, kamu tidak perlu masuk sekalian. Nama kamu juga sudah saya tulis tidak hadir di daftar absensi,” sahut Pak Dosen menatap sinis kearahku. “Pak, tolong, dong … rumah saya jauh dari kampus ini, saya berangkat dari rumah dengan berjalan kaki. Toh juga baru kali ini saya terlambat, Pak. Janji, deh, kedepannya saya tidak akan terlambat lagi,” kataku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status