Hari ini, adalah hari yang sangat mengharukan. Dimana, tepat ketika tetesan air hujan mulai turun, aku di lahirkan ke dunia ini. Tangis bahagia memecah keheningan malam. Semua orang menyambut hangat kedatanganku. Namun, di setiap pertemuan, pasti ada perpisahan. Ayahku mengalami penyakit yang sangat serius pada saat itu. Tepat setelah Ayah mencium keningku yang mungil, ia pun menghembuskan nafas terakhirnya.
View MoreTujuh tahun kemudian setelah hari kelahiran, di luar rumah nampak hujan turun. Bau tanah kering yang tersiram air, menguar tercium, mengusik hidung.
“Bu, di luar hujan, ya?” tanyaku pada Ibu.
“Iya, Massika kenapa, mau main keluar?” tanya Ibu. “Hmm, nggak Bu, aku takut,” jawabku. Ibu mengernyitkan kening, dia tersenyum lalu mulai menjelaskan sesuatu. Ibu berkata, tidak ada yang perlu ditakutkan. Aku lahir ketika hujan turun. Itulah sebabnya, mengapa ibu memberikan nama Massika.“Hujan, ‘kan, hanya air, kamu takut dengan air?” tanya Ibu mengakhiri ceritanya.
“Iya sih, tapi …." Aku menghentikan kalimat, bimbang hendak berkata apa. “Sudah, ayo kita keluar!" ajak Ibu.Kemudian ibu membawaku keluar rumah. Sesampainya di depan pintu rumah, langkahku terhenti. Ibu langsung menoleh menatap, bersiap untuk melontarkan pertanyaan padaku. Dengan raut wajah cemas, Aku berkata, “Bu, aku takut.”
“Nih, coba ke depan ‘kan tanganmu seperti ini,” ajak Ibu, sambil tersenyum padaku.
“Begini, Bu … eh?” “Bagaimana?” tanya Ibu padaku. “Dingin banget, Bu …,” jawabku dengan mimik muka yang mulai sedikit ceria. “Yah sudah, tunggu apalagi? Ayo kita … mandi hujaaan ….”Saat itu, pertama kalinya aku keluar dari rumah dan merasakan, bagaimana rasanya, ditimpa air yang jatuh dari langit dengan jumlah yang sangat banyak. Begitulah yang tergambar di benakku, ketika pertama kalinya melihat hujan. Pikirku, rasanya akan terasa sakit. Tapi? Hmm … dingin? Basah? Ya, rasanya aneh, tapi seru, hahaha.
***
Beberapa saat kemudian, perlahan, hujan mulai berhenti. Cahaya matahari, kini mulai terlihat. Dengan perasaan bingung, Aku menatap langit, menyipitkan mata karena cahaya matahari, menyilaukan mata. Lalu, Aku menoleh kearah Ibu.
“Bu, kok hujannya berhenti?” tanyaku pada Ibu.
“Iya, Massika, awan sudah kehabisan air. Jadi, awan membutuhkan waktu untuk mengisi kembali airnya. Dirasa sudah cukup, awan akan kembali mencurahkan air ke bumi. Nah, itu lah yang disebut hujan,” jawab Ibu. “Hmm … begitu ya, Bu. Lalu, kapan awan mulai mengisi airnya lagi, Bu? Kalau tidak, kita saja yang mengisi airnya, yuk,” kataku pada Ibu.Seketika, Ibu tertawa mendengar perkataanku. Dengan mimik muka ceria, Ibu berkata, kita tidak bisa melakukan itu, dan hanya Tuhan saja lah yang bisa melakukannya. Tidak tahu harus berkata apa, Aku hanya diam sambil menatap Ibu.
“Coba kamu lihat ke atas sana,” kata Ibu, menunjuk langit.
“Itu … itu apa, Bu. Mengapa ada banyak warna di atas langit?” tanyaku pada Ibu. “Itu namanya pelangi, sayang. Pelangi muncul, setelah hujan berhenti,” jawab Ibu. “Wah, indah sekali, Bu …,” kataku dengan mata berbinar-binar.Ibu tertawa lagi mendengar perkataanku. Aku terkejut, mengapa Ibu menertawakanku. Terdiam sejenak, lalu menoleh kearah Ibu, berniat ingin bertanya. Namun, Ibu tidak memberikan kesempatan untuk bertanya. Ibu berkata, masuk ke dalam rumah, kemudian mandi. Kalau tidak, nanti Aku bisa sakit karena seluruh pakaian dan sekujur tubuhku, sudah basah kuyup.
Hari itu, hari yang sangat menyenangkan dalam hidupku. Selain Aku dapat merasakan betapa bahagianya bermain dengan hujan, Aku juga dapat menyaksikan pelangi yang sangat indah. Namun, kebahagiaan itu hilang dalam sekejap.
***
Malam pun tiba, Aku dan Ibu kembali keluar. Berbarengan dengan suara katak bernyanyi, angin yang berhembus pelan menyambut.
“Bu, malam hari ada hujan?” tanyaku pada Ibu.
“Ada, kok. Hanya saja, hujan di malam hari sangat berbeda dengan hujan di pagi, siang dan sore hari. Di waktu malam, para hantu akan turun ke bumi untuk mencari mangsa. Terlebih lagi, saat hujan turun. Hii …,” jawab Ibu, mencoba menakut-nakuti. “Ah, Ibu … jangan begitu, dong.” kataku menyentak sambil memeluk Ibu.Ibu tertawa melihat ekspresi ketakutan yang tergambar jelas di wajahku. Ibu berkata, itu hanya bercanda. Angin malam tidak bagus untuk kesehatanku. Sekiranya hujan turun di malam hari, Ibu tidak menganjurkanku, untuk bermain hujan. Nanti, aku bisa sakit.
“Sekarang ini, kita sedang berada di luar, Bu. Tidak apa-apa?” tanyaku pada Ibu.
“Suhu di luar rumah untuk sekarang ini, tidak terlalu dingin, Massika. Tidak apa-apa untuk kita berada di luar, tapi jangan terlalu lama juga. Hitung-hitung, sambil menunggu kakak pulang.” jawab Ibu. “Begitu ya, Bu … kalau malam hari, ada pelangi enggak?” tanyaku pada Ibu.Ibu terdiam sejenak mendengar pertanyaanku. Ibu merangkulku sambil menatap langit, lalu berkata, pelangi tidak muncul di waktu malam, walaupun hujan telah berhenti. Pelangi hanya muncul setelah hujan berhenti di pagi, siang, dan sore hari.
“Coba kamu lihat ke atas langit.” Ibu berkata padaku sambil menunjuk ke atas langit.
“Itu … apa, Bu. Mengapa banyak sekali lampu di atas langit?” tanyaku pada Ibu. “Hahaha … itu bukan lampu, sayang. Itu namanya bintang,” jawab Ibu.Aku terdiam mendengar jawaban Ibu. Ibu menjelaskan penyebab pelangi tidak muncul di waktu malam. Pelangi takut pada bintang. Bintang memiliki jumlah yang sangat banyak, sedangkan pelangi hanya satu. Kalau pelangi bersikeras untuk muncul di malam hari, bintang akan menyerang pelangi.
“Hahaha … pelangi nya kalah dong, Bu. Eh, tapi mengapa pelangi hanya satu, sedangkan bintang ada banyak, Bu?” tanyaku pada Ibu.
“Pelangi nya sombong, sayang. Meskipun indah, tapi sombong. Tidak ada yang ingin berteman dengan pelangi. Besar nanti, kamu tidak boleh menjadi seperti pelangi. Jadilah seperti bintang, meskipun indah tapi tidak sombong. Karena kita hidup di dunia tidak sendiri, sayang. Apapun yang terjadi nanti, pasti kita akan membutuhkan bantuan orang lain,” jawab Ibu. “Iya, Bu … kalau nanti aku sudah besar, aku ingin punya banyak sekali teman, tapi aku tidak ingin menjadi seperti bintang ataupun pelangi.”Ibu terkejut mendengar perkataanku. Memandang wajahku dengan tatapan bingung, Ibu bertanya, “Bintang ‘kan baik, mengapa kamu tidak ingin menjadi seperti bintang, sayang?”
“Aku ingin menjadi seperti hujan, Bu,” Kataku tersenyum pada Ibu.
“Mengapa kamu ingin menjadi seperti hujang, sayang?” tanya Ibu padaku. “Hujan jatuh dari atas langit dan terhempas ke tanah. Sepertinya, mereka merasakan sakit tapi mereka tidak pernah menyesal. Sebab, mereka membuat banyak orang bahagia. Contoh nya Aku yang awalnya takut pada mereka, tapi setelah mengenal mereka, aku jadi tahu betapa bahagianya bermain bersama mereka. Aku ingin menjadi seperti mereka, membuat semua orang bahagia ketika berada di dekatku, Bu,” kataku pada Ibu.Setelah mendengar perkataanku, air mata Ibu perlahan menetes membasahi pipi. Ketika Aku bertanya mengapa Ibu menangis, Ibu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum padaku.
“Tidak apa-apa kok, sayang. Ibu … Ibu hanya merasa bangga padamu. Kamu mirip sekali dengan sosok ayahmu,” Kata Ibu menangis tersedu.
“Memang nya, ayahku juga ingin menjadi hujan, Bu?” tanyaku pada Ibu. “Hahaha … tidak, sayang, ayahmu adalah sosok seorang Ayah yang sangat kuat. Tidak pernah menangis, tidak pernah mengeluh. Sampai menghembuskan nafas terakhirnya pun, dia sama sekali tidak menangis. Melihatmu lahir, dia mencium keningmu untuk terakhir kali, sebelum akhirnya pergi meninggalkan kita untuk selamanya,” jawab Ibu. “Ah, Ibu … jangan menangis dong. Nanti, Ayah juga ikut memangis, loh. Disini ‘kan ada Aku dan kak Melly yang menemani Ibu,” kataku mencoba menghibur Ibu.Ibu tersenyum mendengar perkataanku. Aku mengusap air mata Ibu, lalu kembali memeluk Ibu. Kemudian, kak Melly pulang, dan kami pun masuk ke dalam rumah bersama-sama. Setelah menikmati makanan yang dibawa oleh kak Melly, Aku masuk ke dalam kamar dan tertidur.
Malam pun tiba. Seperti biasa, aku dan kedua puterinya Kak Melly sedang bermain di ruang tengah. Kegiatan ini hampir setiap hari ku lakukan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas dulu sembari menunggu Kak Melly pulang. Namun terkadang, aku meminta Cindy dan Rani untuk bermain berdua, karena aku sedang mengerjakan tugas sekolah dan kembali bermain dengan mereka ketika sudah selesai. Beruntung, para Dosen itu belum memberiku tugas. Jadi, aku bisa terus bermain bersama dengan mereka berdua.Beberapa saat kemudian, mobil milik Kak Melly tiba di depan rumah dan tumben-tumbenan, mobil milik Bang Rudy juga tiba di depan rumah, bersamaan dengan Kak Melly. Aku bergegas keluar rumah dan membukakan pagar, kemudian menutupnya lagi dan berlari menghampiri mereka. “Hai, Kak, hehe …,” ucapku menyapa Kak Melly sambil tertawa kecil. “Apa? Kamu berantem di kampus, dan dibawa ke ruang Dosen, iya?” tanya Kak Melly pa
“Bu, aku pergi main dulu, ya!” “Iya, jangan berkelahi lagi kamu! Pusing ibu kalau setiap hari harus mendengar ocehan dari orangtua teman-teman kamu,” “Oke, Bu ….” Pukul sembilan pagi tepatnya di hari minggu, si Alex kecil keluar dari rumahnya dan pergi bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat itu, umurnya masih sekitar lima tahun. Ibunya setiap hari bekerja dari pagi hingga larut malam, dan hanya akan ada di rumah saat hari libur tiba, seperti Minggu dan hari-hari libur lainnya. Itu pun, ibunya tetap memiliki pekerjaan kantor yang belum selesai. Sedangkan ayahnya adalah seorang Tentara yang sedang bertugas di luar Negeri. Akibatnya, dia tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orangtuanya dan itu membuatnya menjadi sedikit nakal. “Hai, teman-teman,” ucap Alex sambil tersenyum dan melambaikan tangan sekelompok anak-an
“Tadi, aku menunggu kalian di kelas untuk memberikan ini,” kata Wanita itu sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sesuatu yang dibalut dengan sapu tangan berwarna coklat garis-garis hitam. Aku tidak tahu apa itu, tapi sepertinya itu sangat berharga sampai si Wanita itu rela meluangkan waktunya menunggu aku dan Alya, demi untuk memberi barang itu padaku. Lalu, dia pun memberikan barang itu padaku dan, “Eh, ini ‘kan kacamataku? Yah, sudah patah,” kataku dengan raut wajah sedih, setelah tahu kalau barang yang dibalut dengan sapu tangan itu adalah kacamataku.Kacamata kesayanganku pemberian Kak Melly yang sudah menemaniku sejak sekolah menengah atas dulu. Padahal, kacamata itu sudah ku anggap seperti adik sendiri. Sampai-sampai, aku membuatkan tempat khusus di dekat meja belajarku hanya untuk meletakkan kacamata itu. Akan tetapi, sekarang kacamata itu sudah
“Eh, apa-apaan ini, Pak, Bu? Apa ini, kok main iya-iya’an?” tanya Zahir kebingungan. “Tahu tuh! Sudah lah, masalahnya sudah selesai, ‘kan? Yah sudah, saya ingin kembali ke kelas,” sahutku sambil memutar balikan arah tubuhku dan berjalan menuju pintu keluar. “Eh-eh, tunggu dulu … masalah kalian belum selesai. Sini dulu ah,” ucap Pak Dosen sambil perlahan menarik lenganku. “Isshh!”Baru saja beberapa langkah aku berjalan, Pak Dosen itu sudah menarik tanganku dan perlahan mendorongku menghadap Pak Rektor. Dengan terpaksa, aku pun balik ke posisi semula dan yang lebih parahnya lagi, Pak Dosen itu menarik sebuah kursi dan mendudukkanku menghadap Pak Rektor itu. Lalu, menarik sebuah kursi lagi dan meletakkannya tepat di sebelahku, serta Zahir dipaksa untuk duduk disana. “Lho, apa-apaan ini, Pak!” ucapku pada Pak Dose
Setelah Pak Dosen berbicara seperti itu, aku, Zahir dan Alya diminta untuk menunggu diluar sejenak. Lalu, beliau pun masuk ke dalam ruangan Dosen. “Eh, kalian kenapa bisa berantem, sih? Bagaimana ceritanya coba?” tanya Alya memecah ketegangan itu. “Tuh, kakakmu yang mulai duluan! Aku sudah terlambat masuk kelas, eh dia malah menahanku bersama dengan ketiga teman-temannya yang lain. Dia juga menyuruhku untuk tidak masuk kelas, dan mengajakku pergi ke kantin. Dasar aneh!” bentakku sambil sedikit menoleh kearah Zahir. “Eh, jaga ucapan kamu, ya!” “Apa? Memang benar, kok!” “Eh, sudah-sudah! Kok malah jadi ribut lagi sih! Harusnya tuh kalian berpikir, apa yang harus kalian jawab ketika para Dosen itu bertanya kepada kalian nanti. Ini menyangkut kuliah kalian, lho! Kalian bisa di keluarkan dari kampus ini, karena sudah membuat keributan disini,
Hosh … hosh … hosh …Aku tiba di kelas dengan nafas yang terengah-engah. Aku berdiri di depan kelas, tepat di sebelah Pak Dosen yang tengah menjelaskan materi pelajaran. Sontak, semua mata tertuju padaku dan Pak Dosen yang tadinya tengah menjelaskan materi, langsung terdiam menatap bingung kearahku. “Sel … selamat, selamat pagi, Pak! Maaf, saya terlambat,” ucapku sambil mencoba mengatur nafas. “Kamu dari mana saja? Kamu tidak tahu, sudah pukul berapa sekarang? Sebentar lagi mata kuliah saya selesai. Lebih baik, kamu tidak perlu masuk sekalian. Nama kamu juga sudah saya tulis tidak hadir di daftar absensi,” sahut Pak Dosen menatap sinis kearahku. “Pak, tolong, dong … rumah saya jauh dari kampus ini, saya berangkat dari rumah dengan berjalan kaki. Toh juga baru kali ini saya terlambat, Pak. Janji, deh, kedepannya saya tidak akan terlambat lagi,” kataku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments