Share

6. Kasmaran

Dua belas tahun berlalu. Tubuhku yang mungil dan lugu, kini sudah beranjak dewasa. Kak Melly, menikah dengan seorang pria berusia setara dengan nya, dan dikaruniai dua orang anak. Kak Melly, mengajakku pindah ke rumah baru nya bersama suami dan anak-anaknya, ke kota besar yang jauh dari kampung halamanku. Rumah lama peninggalan orangtuaku telah disewakan. Kak Melly, tidak tega kalau harus menjual rumah itu, walaupun dalam keadaan terpaksa sekalipun.

Usiaku sudah genap sembilan belas tahun. Aku masuk di salah satu Universitas yang ada di kota Bandung, tak jauh dari rumah milik Kak Melly. Tidak tahu mengapa dia mengusulkan Universitas itu, tapi dari sinilah kisah perjalananku di mulai ….

   Brakk!

   “Eh, ma-maaf …,” kataku sambil merapihkan buku-buku milikku yang jatuh berserakkan ke lantai.

   “Hei! Kalau jalan pakai mata, dong!” bentak seorang pria yang baru saja tertabrak olehku.

   “I-iya, sa-saya … saya minta maaf,” kataku padanya, yang baru saja selesai mepaihkan buku-buku milikku, lalu berdiri dan menjulurkan tangan permintaan maaf padanya.

   “Hadeh ….”

Pria itu mengabaikan jabat tanganku. Dia pergi berlalu, meninggalkanku seorang diri tanpa menerima permintaan maaf dariku. Mungkin, karena keculunanku ini, dia malu untuk berjabat tangan denganku. Bahkan, menoleh kearahku saja, sorotan matanya seperti enggan melihatku. Menyadari kalau aku menjadi sorotan orang-orang yang ada di sekitar, aku pun bergegas pergi menuju kelas yang sudah diinformasikan sebelumnya.

***

    Pintu kelas, ku buka dengan perlahan. Aku berpikir, tidak ada seorang pun yang datang sepagi ini, kecuali aku seorang diri. Namun, saat pintu kelas terbuka, para Mahasiswa dan Mahasiswi sekelasku, sudah berkumpul dan duduk di kursinya masing-masing. Aku merasa gugup, karena ‘Mereka’ serentak memandang kearahku. Dengan buku-buku yang ku peluk dan tas hitam yang kugendong di pundak belakangku, aku berdiri tegak didekat pintu masuk, sambil melihat sekeliling untuk mencari kursi kosong yang akan ku tempati. ‘Itu, ada satu!’ batinku. Lalu, aku bergegas menuju kursi kosong itu, sebelum seseorang menempatinya.

Menghela nafas lega, aku duduk di kursi itu sambil melepaskan kacamata yang kukenakan, dan membersihkannya. Lalu, seseorang menepuk lembut pundakku dan menyapaku dari arah sebelah kiri.

   “Massika?”

   “Eh, Alya? Kamu, Alya ‘kan?” tanyaku sambil menunjuk kearahnya.

   “Iya, Massika, hahaha … lama tidak berjumpa. Kamu apa kabar?” tanya balik darinya, yang ternyata adalah Alya, teman lamaku.

   “Baik, kok … kamu sendiri bagaimana?” tanyaku sambil berjabat tangan dengan Alya.

   “Baik juga, Massika …,”

   “Oh iya, si Zahir apa kabar, Al?” potong ku.

   “Zahir? Oh, dia kuliah disini juga, Massika. Dia sering sekali bertanya padaku tentangmu, semenjak kamu pindah ke kota ini bersama dengan kakakmu,” jawab Alya, melepas jabat tangannya.

    Aku dan Alya saling bertukar cerita, layaknya seperti sahabat yang baru saja bertemu setelah sekain lama. Tak banyak, tapi sembari menunggu kelas di mulai, kami terus melontarkan pertanyaan demi pertanyaan, sama seperti yang lain.

***

    Waktu menunjukkan pukul delapan pagi, dan kelas belum juga di mulai. Tiba-tiba, pintu ruang kelas terbuka. Sontak, seisi ruangan menjadi hening. Seorang pria yang terbilang cukup tampan, masuk ke ruangan.

   “Selamat pagi, para Juniorku sekalian … perkenalkan, namaku, Alex. Mahasiswa paling tampan di kampus ini,” ucapnya dengan penuh percaya diri.

Dia adalah Alex. Mahasiswa tertampan di kampus ini. Setidaknya, begitu lah pengakuannya di depan seluruh Mahasiswa dan Mahasiswi baru di kelasku. Menurutku, dia tak setampan itu. Penampilannya juga biasa-biasa saja. Memang, wajahnya lumayan tampan dibandingkan dengan para pria sekelasku. Akan tetapi, penampilan serta gayanya, bukanlah tipe pria idamanku.

Semua mata tertuju padanya. Seluruh Mahasiswa, memandanginya seperti sedang menonton sebuah acara lawak komedi dalam ruangan. Alex mencoba menyombongkan diri, menyebut dirinya adalah seorang pria kaya, tampan dan terkenal di kampus. Namun, tak ada yang memperdulikannya. Dia berbicara sendiri di depan kelas, seperti orang yang terkena ‘gangguan jiwa’. Merasa begitu, Alex memandang kearahku. Dia memanggil dan menunjuk kearahku, mengatakan kalau aku telah menabraknya tadi, saat berada di koridor. Sedikit panik dan terkejut, aku langsung menoleh ke segala arah, takut kalau ternyata yang dimaksud olehnya bukan aku.

   “Siapa, Kak? Saya?” tanyaku padanya, menyadari kalau arah bola matanya tertuju padaku.

   “Iya, Manis … namamu siapa? Boleh kenalan?” tanya balik Alex, berjalan kearahku dan langsung menyandarkan kedua tangannya di meja kecil kursiku, dengan wajahnya mendekat ke wajahku.

Aku langsung panik saat itu. Wajahku pucat pasi dan jantungku berdegup kencak tak karuan. Aku menoleh ke segala arah, berharap seseorang datang menhampiriku dan meminta Alex untuk pergi. Namun, semua orang sepertinya sangat menikmati adegan itu. Senyum bahagia serta tertawa kecil dari orang-orang mengarah padaku.

   “Eh! A-anu … na-nama saya …, Ma-Massika,” kataku gugup.

   “Eh, kamu kenapa? Mengapa cara berbicaramu seperti itu? Kamu gugup?” tanya Alex, menyeringai padaku.

   “Eh, ti-tidak, kok … sa-saya hanya … hmm ….”

   Jeglek!

   “Alex! Sedang apa kamu di ruangan ini?”

Seorang pria paruh baya, tiba-tiba membuka pintu dan masuk ke dalam kelas. Sepertinya, beliau adalah dosen yang mengajar di kelasku. Melihat kedatangannya, hatiku menjadi sedikit lega. Mendengar itu, Alex langsung menoleh kearah Dosen itu, lalu berjalan sambil menggaruk kepalanya.

   “Eh, Pak Rico, hehe … ah, tidak ada kok, Pak. Saya hanya … hmm …, ah, saya diperintahkan oleh Pak Rektor, untuk menyapa Mahasiswa baru, Pak,” jawab Alex.

   “Halah … bilang saja kamu ingin menggoda para Mahasiswi baru ini. Iya, ‘kan?” tanya Pak Rico.

   “Eh, hehe … tahu aja, Bapak,” jawab Alex, tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya.

   “Sudah! Keluar sana, dan kembali ke kelasmu!” bentak Pak Rico.

   “Siap, Pak! Massika, hmm … setelah kuliah selesai, kita ketemu di kantin, ya ….”

Alex berjalan menuju pintu dan berbicara serta melambaikan tangannya padaku. Setelah itu, dia pun keluar dari kelas. Aku hanya menunduk sambil sesekali menoleh kearah pintu. Senyum tipis tergambar jelas di wajahku. Mengingat kelakuannya tadi, membuatku sangat kesal padanya. Namun, terselip rasa senang di hatiku. Apalagi, saat bertatapan dengannya.

   “Ehem-ehem!” Alya mendeham padaku.

   “Eh, kamu kenapa, Al?” tanyaku, sedikit menaikan alis.

   “Sepertinya, ada yang sedang jatuh cinta, nih, hahaha …,” bisik Alya sambil tertawa pelan padaku. 

   “Husssh! Apaan sih, Al, nggak kok,” bisikku sambil menyikut pelan lengan Alya.

    Hari itu adalah hari pertamaku, melihat seorang pria yang membuat jantungku berdegup kencang. Meskipun dia bukan tipe pria idamanku, tetapi dia berhasil membuatku melayang. Belum lagi, aroma yang keluar dari pakaiannya, membuatku tak kuasa menolak tatapannya. Rasanya, aku ingin mengulangi kejadian itu. Sialnya, aku terlalu gugup untuk menatap matanya. Terlepas dari itu, Pak Rico menyapa seluruh Mahasiswa baru dan saat itu juga, pelajaran pertamaku di mulai.

***

    Pelajaran pertama telah selesai. Pak Rico memberikan kami waktu untuk beristirahat sejenak, sebelum memasuki pelajaran kedua. Para Mahasiswa dan Mahasiswi itu, langsung beranjak dari kursi mereka, keluar dari kelas.

   “Al, ke kantin, yuk? Perutku keroncongan, nih …,” ajakku sambil merapihkan buku-buku milikku.

   “Keroncongan, atau ingin bertemu dengan Alex, hahaha …,” ejek Alya.

   “Ih, nggak tahu!” kesalku.

   “Hahaha …, yah sudah, iya-iya ….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status