Share

3. Pergi kamu!

Tampak dari kejauhan, Zahir masih saja menundukkan kepala sambil mengepalkan kedua telapak tangannya. Aku semakin merasa puas melihatnya seperti itu. Tidak ada sedikit pun rasa penyesalan, setelah apa yang ku lakukan pada Zahir.

   “Sialan! Berani-beraninya, dia mempermalukanku seperti ini. Awas saja, akan ku balas perbuatanmu!” gumam Zahir, sambil mengepalkan kedua tangannya semakin kuat.

Sekarang, pandangan mata tidak lagi terpusat pada Zahir. Melainkan, para murid sekelasku kembali memperhatikan Bu guru yang tengah berdiri di depan kelas. Bu guru berkata, hanya perkenalan saja untuk pertemuan pertama ini. Kemungkinan besok, baru lah pelajaran pertama kami dimulai. Sesaat setelah itu, lonceng sekolah berbunyi.

   “Baiklah, perkenalan kita cukup sampai disini dulu, ya … sekarang, kalian boleh pulang,” kata Bu guru.

Para murid berbaris dan secara bergantian bersalaman dengan Bu guru. Lalu, para murid berlari menghampir orang tua mereka yang sudah menunggu di luar kelas.

   “Wah, enak banget mereka, ya … keluar dari kelas langsung di sambut oleh orang tua mereka masing-masing. Sedangkan Aku?” gumamku, berpangku tangan memandangi murid-murid itu.

   “Massika, Alya, dan Zahir, kalian sedang apa? Kalian tidak ingin pulang? Orang tua kalian dimana?” tanya Bu guru pada kami bertiga yang masih duduk di tempat duduk masing-masing.

   “Ayahku sudah meninggal, Bu … Ibuku pergi mengantarkan kak Melly pergi bekerja. Nggak tahu deh, Ibu menjemputku atau tidak,” jawabku, sambil berjalan menghampiri Bu guru.

   “Loh, jadi kamu pergi ke sekolah seorang diri?” tanya Bu guru.

   “Tidak, Bu … tadi Ibu mengantarku ke sekolah terlebih dahulu. Setelah berpamitan, baru lah Ibu pergi mengantar Kak Melly pergi bekerja,” jawabku.

Bu guru mengernyitkan keningnya. Sepertinya, dia terlihat bingung karena Aku mengulangi kata Kak Melly. Melihat itu, aku langsung menjelaskan kalau Kak Melly itu, adalah kakakku. Bu guru langsung menganggukkan kepala, setelah mendengar penjelasanku tadi. Kemudian, Bu guru megajakku untuk pulang bersamanya menggunakan mobil.

   “Tidak usah, Bu … Aku jalan kaki saja. Lagi pula, rumahku tidak jauh dari sekolah ini, kok,” kataku, menolak halus ajakan Bu guru.

Setelah itu, Aku berpamitan pada Bu guru dan langsung berjalan ke luar kelas. Tiba-tiba, Alya teriak memanggil namaku dari arah belakang. Langkah kakiku terhenti, lalu kepalaku sedikit menoleh kearah belakang. Setelah berpamitan dengan Bu guru, Alya langsung berlari menghampiriku.

   “Massika, Aku ikut pulang bersama denganmu, ya …,” kata Alya, baru saja tiba.

   “Ikut pulang? Memangnya, kamu tidak punya rumah, Al?” tanyaku pada Alya.

   “Eh, bukan begitu maksudnya, Massika … kita pulang bersama-sama, loh. Kebetulan, rumah kita searah …,” jawab Alya.

   “Oh, begitu … yah sudah, ayo.”

Alya menganggukkan kepalanya. Kemudian, dia menoleh kearah belakang, lalu berteriak,

   “Zahir! Ayo kita pulang bersama dengan Massika ….”

Sontak, Aku terkejut mendengar itu. Namun, lebih terkejut lagi, ketika Zahir menyentak Alya sambil menatapku dengan tatapan sinis.

   “Nggak mau! Malas banget kalau harus pulang bersama dengannya!”

   “Eh, siapa juga yang ingin pulang bersama dengan kamu! Alya, kalau kamu ingin pulang dengannya, yah sudah! Aku pulang sendiri saja …,” sentakku lebih keras.

Lalu, Aku langsung berjalan pergi meninggalkan mereka berdua. Alya berteriak padaku, mencoba menahanku agar tidak pergi. Namun, Aku hanya berjalan tanpa menghiraukan teriakan Alya.

   “Jangan begitu dong, Kak!” sentak Alya pada Zahir.

   “Hah, jangan begitu? Eh, kamu tidak lihat, apa yang telah dilakukannya tadi di depan kelas? Seisi kelas mentertawakanku, Al!” sentak Zahir, mencoba membela dirinya sendiri.

   “Terus kenapa? Kak, kalau kamu begini terus, sampai kapan Aku bisa memiliki teman. Yah sudah, kalau kakak tidak ingin pulang bersama dengan Massika, pulang sendiri saja!”

Alya langsung berlari menyusulku yang sudah hampir sampai di gerbang sekolah. Zahir teriak memanggil nama Alya, tetapi Alya tidak menghiraukan teriakannya.

***

    Daun-daun berguguran di sertai tiupan angin kencang, menyambutku yang baru saja tiba di gerbang sekolah. Tiba-tiba, setetes air mengenai rambutku.

   “Eh, hujan?” gumamku sambil melihat ke atas langit.

   “Hai, Massika …,” kata Alya, menepuk lembut pundakku.

   “Eh, untuk apa kamu menemuiku lagi, hah! Sudah, sana pergi!” sentakku, menyingkirkan tangan Alya dari pundakku.

   “Jangan begitu dong, Massika … aku tidak jagi pulang bersama dengan Zahir. Aku ikut pulang bersama denganmu, hehe …,” kata Alya.

   “Tuh, si Zahir masih mengikuti,” kataku, mengarahkan bola mataku kearah Zahir.

Zahir masih mengikuti Alya, bermaksud untuk mengajaknya pulang. Namun, Alya tidak ingin pulang bersama dengannya. Tidak tahu harus berbuat apa, Zahir terpaksa menarik tangan Alya secara paksa, sambil berkata,

   “Alya, ayo kita pulang ….”

   “Nggak mau! Pulang saja sendiri, Aku ingin pulang bersama dengan Massika. Ayo, kita pergi, Massika,” kata Alya, menarik kembali tangannya.

Lalu, Alya langsung berlari meninggalkan Zahir, sambil menarik tanganku. Zahir hanya terdiam, berdiri sambil menatap kearah kami yang berlari meninggalkannya, tanpa berkata sepatah katapun.

    Kemudian, Alya dan Aku berhenti di tepi jalan. Alya pun menoleh kearah belakang untuk memastikan, apakah Zahir masih mengikuti atau tidak. Setelah melihat ke segala arah dan tidak ada tanda-tanda dari Zahir, kami pun berhenti sejenak untuk beristirahat. Namun, hujan yang sangat lebat tiba-tiba turun.

   “Massika … hujaaaan!”

Alya langsung menarik tanganku dan kami pun kembali berlari, mencari tempat untuk berteduh. Sampailah kami di sebuah gubuk kecil yang sedikit kotor dan kusam. Alya melepaskan tanganku dan langsung berjalan ke sebuah kursi kayu yang ada, lalu meletakkan tas miliknya ke atas kursi kayu itu.

   “Mengapa kita berlari, Al … memangnya, kenapa kalau hujan?” tanyaku pada Alya, dengan kondisi pakaian yang sudah basah kuyup.

   “Massika, hari ini adalah hari pertama kita masuk sekolah, loh … masih mending kalau seragam dan tas sekolah kita hanya basah kuyup saja. Air sudah mulai menggenangi jalan dan kalau sampai pakaian kita kotor, bagaimana?” tanya balik Alya padaku.

   “Iya, sih … eh, tapi tidak masalah kok. Seragam sekolahku ada lima di rumah, sepatuku juga ada banyak. Kalau pakaian sekolah kotor, ‘kan masih bisa di cuci? Kata ibuku, tidak masalah kalau pakaianku kotor, Al. Lagi pula, aku suka hujan, hehe …,” kataku, sambil menampung air hujan yang mengalir dari atap gubuk itu.

   “Kamu beruntung, masih memiliki seorang Ibu … ada yang mencucikan pakaianmu dan kamu juga masih memiliki banyak seragam sekolah. Sedangkan ….”

Belum sempat Alya menyelesaikan perkataannya, Zahir tiba-tiba datang dengan kondisi pakaian yang sudah kuyup dan juga kotor. Aku dan Alya hanya memandangi Zahir yang masih mencoba mengatur nafasnya.

   “Zahir! Sedang apa kamu disini, hah!” sentak Alya, sambil menarik baju Zahir dan sedikit mengangkatnya.

   “Tidak ada, kok. Aku hanya … hmm, Aku hanya ingin berteduh saja disini,” kata Zahir dengan santai.

   “Kamu ini, ya … ‘kan sudah ku katakan, kalau …”

   “Iya-iya! Massika, Aku … Aku minta maaf dan Aku ikut pulang bersama dengan kalian!” sentak Zahir dengan sedikit gugup, memotong pembicaraan Alya.

   “Enak saja! Kamu pikir, semudah itu minta maaf setelah mendorongku sampai terjadi tadi? Nggak!” sentakku, menolak permintaan maaf Zahir.  

   “Impas, dong? Kamu juga mempermalukanku di depan teman-teman tadi. Iya, ‘kan?” tanya Zahir.

   “Kesalahanmu sendiri … ‘kan kamu duluan yang mentertawanku, ketika sedang memperkenalkan diri di depan kelas.” jawabku, berpaling muka dari Zahir.

   “Aku ‘kan sudah minta maaf tadi ….”

   “Nggak! Alya, kalau kamu ingin menunggu sampai hujan berhenti, yah sudah … Aku pulang duluan, dadah ….”

Lalu, Aku langsung menerobos derasnya hujan dan langsung berjalan pulang. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara klason sepeda motor dari arah belakangku. Sontak, Alya teriak,

   “Massika, awas!!!”

    Bruk!!!

Zahir langsung melompat dan mendorongku, sampai tersungkur ke dalam genangan air. Sesaat setelah itu, sebuah sepeda motor melesat melewati Aku dan Zahir. Merasa kesal, Aku langsung bangkit dan berjalan menghampiri Zahir yang sedang terbaring kesakitan di dalam genangan air.

   “Apa-apaan sih, kamu! Lihat nih, gara-gara ulahmu, pakaianku jadi kotor!” sentakku pada Zahir.

   “Woy! Kamu hampir saja di tabrak oleh sepeda motor, loh! Bukannya terima kasih, malah marah-marah, huh ….”

Bersamaan dengan itu, Alya langsung berlari menerobos hujan dan langsung menghampiriku. Alya langsung membantuku membersihkan lumpur yang menempel di seragamku.

   “Massika, kamu tidak apa-apa?” tanya Alya sambil membersihkan seragamku.

   “Aku sih tidak apa-apa, tapi lihat nih … gara-gara dia, seragam sekolahku jadi kotor!” sentakku sambil menunjuk kearah Zahir.

Setelah mendengar itu, Alya langsung berjalan menghampiri Zahir. Melihat Zahir baru saja berdiri, Alya langsung mendorongnya hingga tersungkur kembali ke dalam genangan air itu.

   “Kamu, ya … ‘kan sudah ku katakan tadi, kamu pulang sendirian saja!” sentak Alya, dengan bola matanya yang mulai memerah.

   “Alya, tadi Aku hanya mencoba untuk …,”

   “Nggak! Aku tidak ingin mendengarkan apapun dari kamu. Sekarang, lebih baik kamu pergi …,”

   “Aku hanya mencoba untuk …,”

   “Pergi!!!”

Alya membentak Zahir dengan sangat keras, sampai akhirnya menangis. Zahir langsung berlari sekuat tenaganya, meninggalkan Aku dan Alya tanpa berkata sepatah kata pun. Lalu, Aku berjalan menghampiri Alya.

   “Alya, harusnya sih … kamu tidak perlu melakukan itu padanya,” kataku, sambil mengelus punggung Alya.

   “Biarkan saja! Dia pantas mendapatkan itu … biar tahu rasa, dia!” Alya berteriak, sambil menatap Zahir yang tengah berlari menjauh.

   “Sssttt … sudah-sudah, kamu tenang dulu, ya. Nah, sekarang … eh, kita mandi hujan yuk? Seru tahu …,” ajakku, mencoba untuk menghibur Alya.

   “Ma-mandi hujan?” tanya Alya

   “Iya, mandi hujan. Jadi, kita berlarian di tengah hujan, tertawa bersama dan lain-lain. Seperti biasa ketika kita bermain bersama dengan teman-teman, hanya saja ada air yang jatuh dari langit dan membasahi pakaian kita. Ibu mengatakan, itu yang di namakan mandi hujan. Seru tahu, ayo?”

Alya hanya menganggukkan kepalanya, mendengar kata-kataku tadi. Setelah memastikan tidak ada kendaraan yang melintas di jalan, Aku langsung menarik Alya, berlarian di tengah derasnya hujan. Alya yang awalnya takut kalau seragamnya kotor, kini pikiran itu menghilang seketika. Alya berlari sambil berteriak sekencang-kencangnya. Pikiran tentang Zahir, kini lenyap diterpa hujan yang sangat deras. Emosi yang meluap, kini berganti dengan kebahagiaan. Aku dan Alya, bersenang-senang, bersama dengan hujan yang mengiringi setiap langkah kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status