Basalt, rumah keluarga Adams – malam hari.Mobil Ethan berhenti tepat di depan rumah kayu dua lantai bergaya country sederhana yang berdiri di kaki bukit Basalt.Lampu-lampu hangat menerangi jalan masuk, memantulkan bayangan keemasan ke dedaunan maple yang mulai berguguran.Catelyn menarik napas dalam, lalu menoleh pada Ethan. “Siap?”Ethan mengangguk―tenang, namun tak dipungkiri ia menyimpan kegugupan. Meski demikian, tangan pria tampan itu menyentuh lembut punggung Catelyn ketika mereka berjalan menuju teras.Pintu dibuka oleh Gabriel, yang langsung tersenyum lebar melihat adik perempuannya.“Catelyn,” sapa Gabriel, lalu beralih pada pria bermata biru di samping Catelyn. “Dan ini adalah…”“Kau bisa memanggilku Ethan,” tukas Ethan dengan senyum sopan mengulurkan tangan yang langsung disambut Gabriel dengan hangat.“Gabriel. Kakak pertama Catelyn.”Noah muncul tak lama setelahnya, mengenakan kemeja santai dan syal panjang yang dililit sembarangan.Ia memeluk Catelyn dengan gaya khasny
Dear ReeFellows, Author mohon maaf belum update dan tidak update rutin sejak beberapa hari lalu. Author sedang mengerjakan suatu social project yang memang menyita waktu.Ini hampir selesai, besok malam Author sudah bisa kembali update.Terima kasih banget masih tetap setia di sini dan juga menyapa Author. Sering2 bawelin Author yak di kolom komen... biar berasa punya alarm pribadi. Hehehe.. ^,^Oya, kalian juga boleh tulis di komentar jika ada hal-hal seputar novel atau tokohnya, yang ingin kalian tanyain... You are very welcome to do so!Sampai ketemu besok malam ya... Luv y'all
Sambungan berakhir tanpa salam. Hanya bunyi klik tajam di seberang.Namun Ethan mencatat semua itu dalam pikirannya. Setiap kata. Setiap intonasi.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku, melangkah masuk.Aroma masakannya telah meresap memenuhi ruangan. Uap tipis naik dari panci, membentuk bayangan samar di udara.Lalu—langkah ringan terdengar dari arah ruang makan.Catelyn muncul, rambutnya di ikat rapi ke belakang, wajahnya tampak segar setelah membasuh diri.Mata hazelnya menatap Ethan yang masih berdiri di balik dapur.“Apa benar-benar kau yang memasak?” tanyanya dengan nada tak percaya, namun ada kilau lembut dalam suaranya.Ethan menoleh, bibirnya melengkung ringan. “Apa kau lupa? Aku pernah memasakkan sesuatu untukmu sebelumnya.”Catelyn terdiam sejenak.Kenangan itu menyeruak pelan dalam benaknya.Aroma kopi dan roti panggang pagi hari, Ethan yang mengenakan setelan bersahaja, sibuk mengaduk saus pasta di dapur kecil apartemen dulu.Itu sebelum ia tahu siapa Ethan sebenarnya. Seb
Ethan, dengan tubuh atletis yang terbalut kemeja putih―membiarkan dua kancing atasnya terbuka, berdiri di ambang pintu.Dada bidang dan otot-otot yang terukir sempurna terlihat jelas di balik kain itu, sengaja dipamerkan untuk menarik perhatian Catelyn Adams yang berdiri memunggunginya.Wanita cantik itu berdiri menatap perbukitan Raven Ridge Heights yang terbentang indah dan menciptakan suasana romantis, namun suasana hati Catelyn Adams masih tidak selaras dengan keindahan itu.Di belakangnya, Ethan tersenyum tipis, tatapannya bersinar jahil.Dengan senyum menggoda di bibirnya dan sepasang manik biru yang berkilauan, ia mendekati Catelyn perlahan."Untukmu," bisiknya, suaranya rendah dan sensual, saat ia melingkarkan sebelah tangan yang memegang setangkai mawar putih melalui pinggang Catelyn.Catelyn terkesiap dan segera berbalik menghadap Ethan dan seketika kehilangan fokus.Pandangannya secara refleks tertuju pada dada Ethan
Udara musim gugur menyelinap masuk melalui celah jendela kaca yang terbuka sebagian, menyentuh lembut kulit Ethan Wayne yang tengah berdiri di tepi balkon lantai dua.Di hadapannya terbentang lanskap menawan: perbukitan Raven Ridge Heights yang berselimut kabut tipis, danau kecil di kejauhan yang memantulkan cahaya matahari pagi, serta dedaunan berwarna tembaga yang berguguran perlahan.Pagi itu begitu sunyi, nyaris sakral, kecuali denting pendek ponselnya yang memecah keheningan.Sebuah pesan.Dari Catelyn.[Kakak-kakakku mengundangmu makan malam. Malam ini.]Ethan menatap layar ponsel itu cukup lama, sebelum akhirnya menekan tombol panggilan.Bukan karena pesan itu membingungkannya, tapi karena ia hanya ingin mendengar suara Catelyn yang menjelaskan segala lapisan makna di balik kata-kata singkat itu.Telepon tersambung.“Selamat pagi, Catelyn,” ucapnya lembut, suaranya dalam, hangat, dan penuh kendali.
Pintu terbuka dengan suara berat.Sepatu bot yang berdebu mengetuk lantai kayu. Jaket dinas polisi Basalt masih melekat pada bahu kokoh Vincent Adams.Tatapannya tajam seperti biasa, sikapnya kaku, tegas. Ia berhenti di ambang ruang keluarga, menatap Catelyn lama.Catelyn berdiri, tubuhnya gemetar. “Hai, Vince…”Vincent tidak menjawab. Ia mengangguk, datar, lalu berjalan melewati mereka begitu saja.“Aku mandi dulu,” katanya pada Gabriel dan Noah sebelum menghilang ke lantai atas. Tak lama, pintu kamar lalu terdengar tertutup.Catelyn terdiam. Bibirnya bergetar. “Dia belum memaafkanku,” bisiknya.Gabriel memegang bahunya. “Dia hanya butuh waktu.”Noah menepuk punggungnya, “Coba bicara dengannya nanti, Cat. Jangan menyerah.”Catelyn mengangguk lemah. Ia tahu ini tak mudah, tapi ia juga tahu ia harus menghadapinya.Selang hampir satu jam kemudian.Lantai atas sunyi. Hanya suara langkah kaki Catelyn yang pelan mendekati pintu kamar yang tertutup itu. Ia mengetuk pelan.“Masuk.”Catelyn me
Cahaya lampu jalan bergantian menyapu wajah Ethan Wayne yang diam menatap keluar jendela mobil SUV hitam yang melaju tenang menembus udara musim gugur yang sejuk.Di balik kaca, dedaunan maple jatuh perlahan, berguguran dalam balutan cahaya kekuningan kota kecil Basalt.Axel duduk di kursi kemudi, seperti biasa—hening dan fokus, menyetir tanpa suara.Ethan bersandar pada sandaran kursi kulit yang empuk, menghela napas panjang.Masih terngiang dalam benaknya pandangan mata Catelyn sebelum ia menurunkannya di halaman rumah keluarga Adams. Mata yang lembut namun penuh keraguan itu, menyiratkan sesuatu yang belum tuntas.Ponsel Ethan bergetar dalam genggamannya.Layar menampilkan satu nama yang membuatnya menghela napas—Owen Lowe.Ia menjawab dengan suara pelan, “Ya?”Suara ceria dan penuh kenakalan langsung meledak dari seberang, ‘Bro! Bagaimana hasilnya?! Apa dia melempar sepatu atau sudah mencium pipimu? Kalian berbaikan kan?’Ethan menyandarkan kepala ke belakang. “Aku baru saja mengan
“Ethan Wayne,” ucap pria bermata biru itu dengan nada tenang, namun tegas. Suaranya berat, penuh percaya diri, dan tanpa ragu menyebut dirinya sebagai kekasih Catelyn.Catelyn sontak menoleh, matanya melebar sedikit, terkejut oleh klaim yang tak sempat mereka bahas sebelumnya.Ia menahan napas, mencoba menyamarkan rasa canggung yang perlahan menyusup ke balik senyum tipisnya.Rick Hartley, pria berwajah simpatik dengan tatapan hangat yang memudar karena keterkejutan, memindahkan pandangannya dari Ethan ke Catelyn.“Tunggu... bukankah kau bersama Nielson Stokes?” tanyanya, langsung, tanpa filter, seperti mengulang sesuatu yang belum sepenuhnya berubah dalam benaknya.Ethan menjawab cepat, nadanya merendah namun tidak menyembunyikan ketegasan.“Nielson sudah menjadi bagian dari masa lalu.” Ia mengatupkan rahang, seolah menandaskan bahwa tidak ada ruang untuk nama itu di masa kini Catelyn. “Sekarang, ha
Langit telah sepenuhnya meredup saat SUV hitam mewah kembali melaju meninggalkan pelataran Maple Ridge Inn.Daun-daun maple yang gugur membentuk pola acak di sepanjang bahu jalan, dan lampu jalan mulai menyala satu per satu, menambah kesan melankolis pada perjalanan malam itu.Di dalam mobil, keheningan kembali menyelimuti.Ethan duduk di sisi kiri kursi belakang, ia kini mengenakan mantel wol abu tua yang membalut sempurna tubuh tegapnya, dipadukan dengan sweter rajut berwarna kelabu dan celana hitam yang rapi namun santai. Syal tipis melingkar lembut di lehernya, seolah menjadi sentuhan akhir dari gaya yang kasual namun tetap berkelas.Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, menyisakan beberapa helai yang jatuh alami, memberi kesan tak sengaja namun tetap memikat.Catelyn duduk di sebelahnya, wajah menoleh ke jendela.Ia berusaha tidak berbicara, tidak menatap, bahkan tidak menarik napas terlalu keras.Seolah diamnya adalah tameng terakhir yang ia miliki untuk menjaga batas antara