LOGINCatelyn berdiri di depan cermin kecil di motel yang sempit, menatap pantulan dirinya dengan penuh tekad.
Gaun hitam sederhana yang ia kenakan mungkin tidaklah semewah tamu-tamu yang akan menghadiri acara malam ini, namun itu bukan masalah.
Ia tidak datang untuk berpesta, bukan pula untuk mengagumi kemewahan yang tak pernah ia rasakan.
Ia datang untuk menuntut haknya—hak atas setiap sen yang telah ia habiskan untuk Nielson Stokes, lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.
Selama bertahun-tahun, ia bekerja tanpa henti, membanting tulang di toko ritel dan restoran cepat saji demi membayar biaya kuliah Nielson.
Ia bahkan rela bertengkar dan meninggalkan keluarganya di Basalt, membela pria yang kini bekerja di Aurora Development Group. Dan yang lebih menyakitkan, semua pengorbanannya seakan tidak berarti apa-apa.
Nielson membuangnya begitu saja setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Sekarang, pria itu bersanding dengan Molly Beckett—putri direktur perusahaannya.
Catelyn menggigit bibir, menahan kemarahan yang bergejolak di dadanya. Ini bukan waktunya untuk tenggelam dalam penyesalan. Ia harus bertindak.
Gadis itu pun segera ke tempat tujuan.
Le Jardin adalah hotel bintang lima di Denver yang menjadi tempat acara jamuan makan malam eksklusif yang sengaja diadakan secara khusus oleh ketua asosiasi pengusaha kota Denver untuk menyambut seorang tamu kehormatan.
Tamu-tamu dengan pakaian mewah datang dengan elegan, langkah-langkah mereka ringan dan penuh percaya diri.
Lobi berkilauan dengan lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya ke seluruh ruangan, menciptakan suasana glamor yang begitu kontras dengan kehidupan Catelyn saat ini.
Namun, ketika Catelyn berusaha masuk, dua petugas keamanan menghentikannya.
"Maaf, Nona. Tidak ada undangan, tidak bisa masuk."
Catelyn berusaha menahan kekesalan. Ia bisa saja memohon, tetapi itu jelas tidak akan berhasil. Keamanan terlihat cukup ketat di sana.
Ia harus menemukan cara lain.
Matanya menyapu sekitar, mencari celah, hingga ia melihat seorang staf katering berjalan dengan tergesa-gesa ke arah pintu samping, membawa nampan kosong.
Sebuah ide terlintas di kepalanya. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan cepat ke belakang gedung, tempat dapur berada. Di sana, ia menemukan seorang staf yang baru saja merokok dan akan masuk kembali ke area dapur.
Dengan cekatan, ia menyambar celemek dan nampan kosong dari rak dekat pintu, lalu mengikutinya masuk ke dalam. Tidak ada yang memperhatikannya—semua sibuk bekerja.
Catelyn melangkah dengan percaya diri, melewati dapur hingga menemukan pintu keluar yang langsung terhubung ke ballroom.
Ia menarik napas panjang, menegakkan bahunya, lalu melangkah masuk ke dalam ruangan penuh kemewahan.
Suara dentingan gelas, alunan musik jazz lembut, dan obrolan tamu-tamu berpakaian mahal memenuhi ruangan.
Para wanita dalam gaun elegan berkilauan tertawa pelan, sementara pria-pria dalam setelan jas mahal berbicara dengan ekspresi serius. Cahaya dari lampu gantung emas menambah suasana eksklusif di dalam ballroom.
Catelyn menahan napas sejenak, mengagumi kemegahan ini—kemegahan yang hampir mustahil ia capai. Namun, pikirannya kembali pada tujuannya. Ia harus menemukan Nielson.
Saat matanya mencari di antara lautan manusia, di luar ballroom, seseorang tiba.
Pria itu tinggi, dengan bahu tegap yang menunjukkan kewibawaan alami.
Setelan jas hitam yang ia kenakan dibuat khusus untuknya, terpasang sempurna di tubuh atletisnya. Wajahnya tampan dengan garis rahang tajam, hidung lurus, dan bibir yang tampak ramah dan menggoda.
Namun, yang paling mencolok adalah matanya—sepasang mata biru bersinar, namun dalam dan penuh rahasia. Setiap gerakannya mencerminkan elegansi dan ketenangan yang sulit ditandingi.
Di belakangnya, dua pria berbadan kekar mengenakan setelan serba hitam mengikuti dalam diam, mata mereka awas mengamati sekeliling.
Seorang pria lain, lebih ramping dan berkacamata, berjalan di sampingnya, sesekali berbisik, tampak seperti asisten pribadinya.
Saat pria bermata biru itu melangkah masuk, beberapa orang langsung menundukkan kepala dengan hormat.
Beberapa pengusaha dan pejabat kota Denver menyapanya dengan nada penuh penghormatan, menyebutnya dengan nama yang hanya sedikit orang yang cukup beruntung bisa mengenalnya secara pribadi.
Sementara itu di sudut ruangan, Catelyn akhirnya melihat Nielson.
Nielson berdiri dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan mahal yang dulu bahkan tidak bisa ia beli sendiri. Di sampingnya, seorang wanita berambut pirang dengan gaun putih keemasan tersenyum manis padanya—Molly Beckett.
Catelyn mengepalkan tangan.
Dengan langkah perlahan namun tajam, ia mendekat ke arah mantan kekasihnya tersebut.
Di tengah ballroom yang dipenuhi para tamu berbusana mewah, Nielson berdiri dengan penuh percaya diri.
Senyum lelaki itu lebar saat berbicara dengan dua pria paruh baya yang mengenakan dasi sutra dan jas berkancing emas.
"Aku masih tidak percaya dia benar-benar menolak menjadi pewaris Wayne Group," ujar pria pertama, menggeleng kagum sambil memegang gelas anggurnya. "Jika aku di posisinya, aku pasti langsung mengambil kesempatan itu."
Pria kedua tertawa kecil. "Tapi justru karena itulah dia lebih dihormati sekarang. Tanpa bantuan keluarga, dia bisa membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Lihatlah perusahaannya sekarang—G&P Ltd. Mereka menguasai sektor konstruksi dan real estate dengan sangat cepat."
Nielson mengangguk setuju, memasang ekspresi seolah-olah ia sangat memahami dunia bisnis kelas atas.
Pria kedua menambahkan, "Aku mendengar dia baru saja mengakuisisi beberapa properti besar di Pantai Timur. Konon, valuasi perusahaan yang dia pimpin sudah menyentuh angka miliaran dolar."
"Tentu saja!" Pria pertama menimpali. "Kau tahu, proyek terbesar sepanjang sejarah Amerika di era ini―Imera Sky Tower, adalah salah satu proyek miliknya yang fenomenal! Itu menunjukkan betapa luar biasanya dia!"
Suara itu terdengar seperti keluar dari segala arah sekaligus, memantul di antara dinding logam dan baja.Ethan mendengus. “Aku tidak datang untuk bermain-main. Tunjukkan dia.”“Sabar,” Suara itu menggoda. “Pertama, letakkan semua senjatamu. Termasuk senjata di bawah jaketmu. Begitu pula anak buahmu.”Axel menoleh cepat ke Ethan, tapi Ethan hanya mengangkat tangan, tenang namun tajam.“Lakukan.”Keduanya meletakkan senjata di lantai, satu per satu. Suara logam jatuh menggema keras di ruangan sepi itu.“Bagus. Sekarang, berjalanlah mengikuti pemandumu.”Dari balik bayangan muncul seorang pria berpakaian serba gelap, membawa senter. Ia tak berkata apa-apa, hanya memberi isyarat agar Ethan mengikutinya.Lorong yang mereka lewati sempit dan panjang. Bau lembap dan karat makin menusuk.Di ujung lorong, terdengar samar suara rintihan.Jantung Ethan berdegup keras. Ia mengenali suara itu.“Catelyn…”Ia berlari cepat ke depan—mendorong pintu baja besar dan menerobos masuk.Namun begitu cahaya
Di atas langit Denver – dalam helikopter.Dini hari, angin dingin memukul keras badan helikopter yang sedang melaju ke arah timur.Rotor berputar cepat, menggema di langit gelap.Ethan duduk di kursi depan, wajahnya dingin menatap layar tablet di pangkuannya. Matanya menyorot peta digital yang menampilkan rute menuju St. Louis.Rodney duduk di seberang, headset di telinga, mengatur komunikasi dengan pilot dan tim keamanan yang berada di helikopter lain.Tiba-tiba—layar tablet Ethan berkedip.Sebuah panggilan masuk. Tidak terdeteksi. Tidak ada nomor. Tidak ada sumber jaringan.Rodney menoleh cepat. “Tuan, sinyal itu—”“Diam.” Ethan mengangkat tangannya, matanya menajam. Ia menerima panggilan itu.Layar berubah—dan seketika napas Ethan tercekat.Catelyn.Terikat di kursi besi, tangannya diikat kasar dengan tali nilon. Mulutnya ditutup lakban. Cahaya remang menyoroti wajahnya yang pucat, dengan rambut berantakan menutupi sebagian pipi. Mata Catelyn membesar, bergetar ketakutan.Darah Eth
Langit Madison masih pekat.Di kamar utama Mansion Wayne, keheningan nyaris total—hanya terdengar detak halus jam antik di dinding.James Wayne terlelap di sisi Liliana, hingga getar lirih ponselnya di atas nakas memecah ketenangan.Dengan mata separuh terbuka, James meraba perangkat itu. Ia sempat ragu sejenak sebelum melihat nama yang muncul di layar.Rodney.James langsung bangun setengah duduk. Ia tahu, jika sampai ketua tim pengawal Ethan menghubungi dirinya —saat matahari bahkan belum benar-benar terbit, sesuatu yang penting pasti telah terjadi.“Rodney? Ada apa?” Suara James serak, tapi nada tegasnya masih terdengar jelas.Dari seberang, suara Rodney terdengar cepat dan berat napas. ‘Tuan Wayne, saya harus melapor segera. Saat ini saya bersama Tuan Wayne muda... kami bersiap lepas landas menuju St. Louis.’James mengerutkan alis. “St. Louis? Untuk apa?”‘Dia ba
Langit sore di atas Denver tampak kelabu, berat oleh awan dan sisa debu badai yang menggantung di udara. Dari jendela lebar penthouse Four Seasons, panorama kota yang biasanya megah kini tampak muram.Di dalam, ruangan utama lantai atas itu telah berubah total—bukan lagi ruang elegan tempat seorang miliarder menikmati senja, melainkan markas darurat pencarian yang tegang dan penuh tekanan.Beberapa layar besar menampilkan peta wilayah Amerika Tengah: garis-garis merah menandai jalur pergerakan, titik-titik biru berkelap-kelip menandai lokasi tim lapangan.Suara perangkat komunikasi dan langkah-langkah cepat bergema di udara. Di tengah ruangan itu, Ethan Wayne, berdiri tegak di depan meja besar yang dipenuhi dokumen dan peta digital.Wajahnya keras, mata birunya tajam seperti baja dingin, nyaris tanpa ekspresi—namun dari gerakan jarinya yang mengepal, amarah dan keputusasaan terselubung begitu jelas.Dua puluh jam telah berlalu sejak Cat
Malam menyelimuti tepian sungai. Kabut tipis melayang di atas permukaan air, memecah sinar lampu dermaga menjadi pita-pita oranye yang bergetar.Di kejauhan, siluet jembatan dan kontur kota St. Louis berdiri seperti bayangan kenangan—terlihat megah, tapi jauh. Tak satu pun menyadari apa yang berlangsung di bawahnya.Helikopter menderu rendah, lampu sorotnya menumpuk pada lembaran gelap gudang tua. Suara rotor menghembuskan angin yang keras, mengoyak dedaunan kering di tepi dermaga dan mengirim serpihan kertas yang tertinggal melayang.Di bawah bayangan mesin itu, tiga sosok berwajah tegang bergerak cepat, menurunkan sebuah keranda kecil berlapis kain dari kabin yang remang.Salah satu dari mereka—lebih tua, bergerak sigap namun terlihat lelah—menggotong tubuh yang tak berdaya dan rapuh: Catelyn.Catelyn terjaga dengan separuh penglihatan; rambutnya menempel lembap di pelipis. Napasnya tersengal, terombang-ambing antara kebingungan
Ethan kembali melangkah menuju ruangan lain di penthouse, yang telah disulap menjadi seperti ruang kontrol.Ruangan itu terasa seperti pusat komando kecil yang terangkat dari film—dinding dipenuhi layar datar, peta digital Denver membentang di satu monitor besar, kamera-kamera CCTV menampilkan ubin-ubin mall, koridor, dan beberapa titik kejadian.Lampu redup di langit-langit memberi kesan operasi darurat; layar-layar berkelip, angka dan koordinat bergerak tak henti.Ethan berdiri di depan salah satu layar, jasnya masih terangkat di bahu, wajahnya pucat oleh amarah yang tertahan kecemasan. Matanya yang biru menatap setiap feed dengan intensitas pemburu.Di belakangnya, Rodney dan beberapa anggota tim duduk di meja konsol, mengetik perintah, memindai ulang rekaman, memanggil kontak, menghubungi pihak-pihak terkait.“Sampai sekarang, tidak ada jejak kendaraan yang teridentifikasi membawa nona,” laporan salah satu operator terdengar d







