Pintu belakang mobil mewah itu terbuka, dan seorang pria keluar.
Pria itu terlihat seperti seorang asisten—berpakaian rapi dengan jas berpotongan sempurna, wajahnya bersih dan tenang, dengan sikap profesional yang tak terbantahkan. Langkahnya cepat, menunjukkan disiplin tinggi, saat ia menghampiri sisi pintu kemudi taksi.
Di belakangnya, sang sopir, pria berusia pertengahan dengan postur tegap, juga keluar dan berdiri di samping mobil dengan tangan di depan tubuh, sikapnya penuh hormat.
Seorang pria bermata biru membuka pintu taksi dan keluar.
Di bawah cahaya matahari, sosoknya terlihat jelas—tinggi, gagah, dan penuh kharisma. Setelan yang ia kenakan jatuh sempurna di tubuh atletisnya, memberi kesan berwibawa tanpa usaha berlebih.
Sang asisten segera menundukkan kepala sedikit. "Maaf atas keterlambatan kami, Tuan."
Alih-alih marah, pria itu hanya tersenyum kecil, anggukan kepalanya ringan namun sarat makna. Ia melangkah menuju Rolls-Royce dengan langkah santai namun terukur.
Sang sopir, yang berdiri dengan sigap di samping mobil, segera membukakan pintu untuknya.
Pria bermata biru itu berhenti sesaat di depan pintu, satu tangannya terangkat setengah, jari-jarinya menyentuh bagian atas pintu dengan elegan. Gerakannya bukan sekadar refleks, melainkan sebuah kebiasaan seseorang yang terbiasa dengan kemewahan dan kontrol penuh atas sekelilingnya.
Tanpa mengalihkan pandangan dari sang asisten, ia berbicara dengan nada datar namun tegas. "Pastikan taksi itu kembali ke pemiliknya."
"Berikan kompensasi yang cukup untuk sang supir," tambahnya ringan, senyum samar tersungging di bibirnya.
Sang asisten mengangguk patuh, tanpa menunjukkan ekspresi berlebihan.
Setelahnya, sang pria bermata biru masuk ke dalam Rolls-Royce dengan anggun, dan dalam hitungan detik, mobil mewah itu meluncur perlahan, meninggalkan tempat tersebut.
Beberapa saat kemudian, pintu depan apartemen terbuka.
Catelyn muncul, menyeret koper besarnya, tatapannya lurus ke depan dengan kedua sklera mata yang tampak memerah.
Tampak kalah.
Namun di dalam hatinya, ia berjanji. Ini bukan akhir. Ini adalah awal untuk membuktikan bahwa ia bisa berdiri tanpa siapa pun, termasuk pria seperti Nielson dan keluarganya.
* * *
Catelyn menatap layar di mesin ATM.
[Checking Account: $ 1,105.56]
[Savings Account: $2,878.90]
Bibirnya terlipat ke dalam lalu ia berbalik meninggalkan mesin itu setelah mengambil kembali kartu miliknya.
“Aku tidak bisa terus tinggal di motel. Aku harus mencari apartemen baru,” gumamnya gusar. “Tapi sisa uangku tidak cukup untuk menyewa dan hidup sampai bulan depan.”
Kedua iris hazelnya berkilat. Ia tidak menghentikan langkahnya, dengan satu tujuan yang jelas.
Sekian puluh menit kemudian, Catelyn tiba di satu gedung kantor yang menjulang tinggi di hadapannya.
Matanya tajam, penuh tekad. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang lewat—hari ini, ia harus bertemu dengan Nielson.
Nielson berhutang terlalu banyak padanya. Setidaknya, ia akan meminta pengembalian deposit keamanan apartemen yang ia bayarkan sebelumnya, dibayar oleh Nielson.
“Dengan tambahan seribu lima ratus dolar itu, aku memiliki dana untuk mencari tempat tinggal lain dan bertahan sebulan sebelum menemukan pekerjaan lagi,” gumam Catelyn.
Dari malam sebelumnya, ia telah menghabiskan waktunya di sebuah motel murah dengan kasur yang berderit setiap kali ia bergerak. Bau pengap di dalam kamar membuat tidurnya tidak nyenyak, tetapi ia tidak punya pilihan.
Kini, dengan hanya secangkir kopi instan yang masih terasa di lidahnya, ia berdiri di depan pintu kaca berlapis warna emas kantor itu.
Begitu Catelyn hendak melangkah masuk, dua petugas keamanan segera bergerak. Salah satu dari mereka, pria berbadan besar dengan seragam hitam, mengangkat tangannya di depan pintu.
"Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk."
Catelyn mengernyit. "Aku punya urusan dengan Nielson."
Petugas lain, seorang pria dengan rambut rapi dan wajah tanpa ekspresi, melirik rekannya sebelum menatapnya dingin. “Anda Catelyn Adams?”
Catelyn mengangguk cepat. “Ya, itu aku. Kalian mengenalku. Jadi biarkan aku masuk. Aku―”
"Kami mendapat perintah langsung. Anda dilarang memasuki kantor ini," potong petugas keamanan itu cepat.
Jantung Catelyn berdegup keras.
Dilarang masuk?
Catelyn mengepalkan tangannya. "Kalian tidak bisa mengusirku begitu saja! Aku punya hak untuk bertemu dengannya!"
Petugas pertama tetap berdiri kokoh di tempatnya. "Kami hanya menjalankan perintah, Nona Adams. Mohon pergi sebelum kami terpaksa mengambil tindakan."
Darahnya mendidih. Ia ingin berteriak, ingin menuntut penjelasan. Tapi tatapan dingin para petugas itu memberitahunya bahwa perintah ini sudah final.
Nielson tidak hanya menolaknya—ia mengusirnya sepenuhnya dari hidupnya.
Kedua tangan Catelyn mengepal erat.
Ia menghela napas panjang saat menyadari tidak bisa melalui para petugas keamanan.
Percuma berdebat lebih lama—mereka hanya menjalankan tugas, dan jelas seseorang di dalam sana tidak ingin ia masuk. Dengan perasaan campur aduk, ia berbalik, hendak meninggalkan gedung kantor Aurora Development Group.
Namun, baru beberapa langkah menjauh, telinganya menangkap suara tawa dan gumaman dari sekumpulan pegawai wanita yang berdiri tak jauh darinya. Mereka mengenakan pakaian kantor rapi, membawa berkas dan kopi, tapi jelas sedang menikmati momen santai untuk bergosip.
Catelyn tidak berniat ikut campur, tetapi begitu nama yang mereka sebut meluncur dari bibir salah satu wanita itu, langkahnya tertahan.
“Beruntung sekali pria itu! Baru setahun kerja di ADG, karirnya langsung melesat tajam,” ujar salah satu pegawai dengan nada sedikit sinis.
“Kau maksud Nielson Stokes?” timpal wanita lain dengan suara penasaran.
“Ya, dia. Si tampan beruntung itu.”
Mereka tertawa kecil, lalu seorang pegawai dengan rambut bob dan kacamata bergumam sambil melirik ke sekitar. “Kenaikan itu bukan benar-benar prestasi, kalian tahu? Stokes punya hubungan spesial dengan putri Direktur.”
Seorang wanita dengan blazer biru langsung membelalakkan mata. “Maksudmu dengan anak Tuan Beckett?”
“Jangan bercanda!” ujar yang lain, setengah tidak percaya.
“Aku serius.” Wanita berkacamata itu mendekat, suaranya lebih pelan. “Bahkan aku tak sengaja mendengar kalau Stokes diundang ke jamuan penting yang diadakan Tuan Campbell nanti malam di hotel Le Jardin.”
“Diundang ke jamuan Tuan Campbell? Bukankah itu jamuan untuk menyambut seorang pengusaha penting?”
“Benar,” Wanita berkacamata itu mengangguk. “Stokes diundang bukan karena dirinya, melainkan karena putri Tuan Beckett. Dengar-dengar putri Tuan Beckett merengek pada ayahnya dan ingin memperkenalkan Stokes pada orang-orang penting disana.”
“Oh astaga! Kurasa putri Tuan Beckett benar-benar jatuh hati pada Stokes dan ingin membuka jalan kesuksesan lebar-lebar bagi kekasihnya!”
“Kurasa begitu!”
Mereka tertawa kecil sebelum salah satu dari mereka bercanda, “Apa pak direktur punya anak laki-laki? Aku juga mau naik jabatan dengan cara instan.”
Tawa mereka semakin keras, tapi Catelyn sudah tidak memperhatikan lagi.
Pikirannya dipenuhi oleh satu hal—Nielson Stokes, pria brengsek itu, benar-benar menggunakan cara kotor untuk mendongkrak kehidupannya sendiri.
Ia mengulang nama hotel itu dalam hatinya. Le Jardin.
Tentu saja.
Bagaimanapun juga, ia harus bertemu dengan pria sialan itu malam ini.
* * *
Interior pesawat itu seperti dunia lain—lantai berkarpet tebal warna krem, kursi kulit putih gading yang terstruktur elegan, pencahayaan ambient yang hangat dan lembut, serta panel kayu gelap yang memantulkan kilau halus. Layar datar tertanam di dinding kabin, dan minibar kecil tampak terisi lengkap.Catelyn nyaris lupa bernapas. “Ini… seperti yang kulihat di film,” gumamnya, nyaris pada diri sendiri.Ethan menoleh dan tersenyum lembut.Senyum yang hanya dimiliki laki-laki yang tahu persis bahwa ia tengah mengejutkan dunia seorang perempuan.Ia membimbing Catelyn duduk di salah satu kursi panjang di sisi kabin, memastikan sabuk pengaman melingkari pinggangnya dengan nyaman.“Kita… sebenarnya mau ke mana, Ethan?” tanya Catelyn akhirnya, suaranya masih diliputi kebingungan dan keterpesonaan. “Aku… Aku belum menyiapkan apa-apa… terutama lagi, aku belum mengatakan apa-apa pada kakak-kakakku, aku akan pergi jauh.”Ethan membalas dengan tatapan penuh arti. Ia mengangguk ke arah layar di hada
Sore menjelang dengan lembut di jendela kaca gedung Aurora Development Group.Sinar matahari bergeser miring, membias pada lantai marmer dan pantulan bayangan lampu gantung yang mulai menyala satu per satu.Di dalam ruangan Departemen Urban Development Planning, suasana santai mulai terasa.Para pegawai mulai merapikan meja, beberapa telah mengambil tas mereka, bersiap menuju akhir hari.Tawa Catelyn pecah, ringan namun tulus, kala Misha, Inez, dan Dana kembali menggoda dirinya dengan semangat tak kalah dari anak SMA yang merencanakan pesta kecil."Ayolah, Cat!" Misha berseru sambil menarik lengan Catelyn. "Kau tidak bisa menghindar dari kami malam ini! Cerita tentang Ethan Wayne belum selesai!"Inez menambahkan, "Kami harus tahu. Sejak kapan kalian mulai? Kapan pertama kali dia menyatakan cinta? Apa dia—""Dan bagaimana rasanya berciuman dengan pria semempesona itu," potong Misha cepat, menutup mulutnya sendiri sambil tertawa heboh.Dana hanya menggeleng pelan, tetapi bibirnya menyun
Pagi itu matahari bersinar hangat menembus jendela kaca tinggi gedung Aurora Development Group.Suasana departemen Urban Development Planning perlahan hidup, diiringi suara papan ketik dan deru mesin kopi otomatis.Catelyn duduk di kubikel biasa yang sudah menjadi wilayah sunyinya. Rambutnya dikuncir rendah, rapi namun tetap sederhana. Ia mengenakan blouse putih dan blazer biru navy, tampak kalem dan berusaha tampak biasa.Tapi damai pagi itu sontak pecah."Aaaah! CATELYN!!!"Misha berlari seperti badai kecil, heels-nya berdetak heboh di lantai marmer, seolah-olah satu kantor harus tahu bahwa dia menemukan sesuatu yang penting.Tanpa basa-basi, ia menyelonong masuk ke sisi kubikel dan bersandar dramatis di pembatas partisi."Kau pikir kau bisa bersembunyi dariku?! Hah?! Siapa pria tampan bermata biru semalam itu?! Yang datang tiba-tiba di tengah-tengah kita dan—ya Tuhan, dia menatapmu seperti kau satu-satunya perempuan di planet
Langit malam menyelimuti kota seperti tirai beludru pekat, hanya diterangi oleh lampu jalan yang memantulkan cahaya kuning keemasan di atas bodi hitam mobil SUV yang meluncur tenang di antara lalu lintas yang mulai lengang.Di balik kemudi, Axel duduk tegak, mengenakan setelan hitam tanpa cela.Pandangannya tertuju lurus ke depan, ekspresinya datar seperti marmer. Bahkan cermin spion pun tak mendapat kehormatan tatapan darinya.Di kursi penumpang belakang, Misha bersandar sambil menyilangkan kaki, bibirnya membentuk senyum penuh intrik.“Baiklah, Tuan Misterius, kau tahu kami bertiga hampir mati penasaran, kan?” katanya genit sambil mencondongkan tubuh ke depan, seolah ingin menyusup ke ruang pribadi Axel yang sangat dijaga.Axel tak menggubris. Tangannya tetap mantap menggenggam setir.“Serius, kau ini siapa, sih? Agen rahasia? Teman masa kecil Catelyn? Kakak sepupunya yang posesif?” lanjut Misha, setengah bercanda,
Malam itu, di depan The Velvet Room.Udara malam tidak menyimpan sisa hangat musim panas dan hanya menghantar embusan dingin khas musim gugur.Langit bersih bertabur bintang, kontras dengan suasana kacau yang baru saja Catelyn dan ketiga rekannya tinggalkan dari dalam bar.Di depan pintu utama Velvet Room, suara sirine samar terdengar di kejauhan, tapi di area parkir yang remang, hanya ada tawa kecil yang mengambang dan embusan napas dari lelah yang tertahan.Dana, Inez, dan Misha berdiri setengah mabuk, cekikikan sambil sesekali mengalihkan pandangan mereka pada pria yang berdiri tegak di samping Catelyn—Axel, si penyelamat malam ini.Kemeja hitam Axel tampak berantakan oleh sisa kekacauan, namun sorot matanya tetap dingin dan tajam, seperti sedang terus memindai kemungkinan ancaman.Catelyn berdiri di tengah mereka, masih terengah, napasnya menghangatkan udara dingin malam.Mini dress hitam yang dikenakannya tampak kontras den
Malam menebar kabut kelabu di sudut kota tua St. Louis yang jauh dari riuh kehidupan.Gedung tua bergaya industrial itu berdiri membisu di pinggir pelabuhan terlantar.Cahaya redup dari lampu-lampu gantung menggoreskan bayangan panjang di lantai beton yang dingin. Aroma besi berkarat dan minyak tua memenuhi udara, menyatu dengan dingin yang menggigit.Di tengah ruangan yang sunyi, terdengar derap langkah pelan namun pasti.Seorang pria tinggi bersetelan gelap berdiri membelakangi pintu, memandangi peta yang terbentang di atas meja besi.Sosoknya diliputi aura kekuasaan dan kegelapan. Wajahnya tak sepenuhnya tampak, tersembunyi oleh cahaya yang hanya menyentuh sebagian rahangnya yang tegas.Dia The Ironshade, begitu para pengikutnya menyebutnya — pemimpin dari jaringan bawah tanah paling ditakuti di wilayah timur.Pintu logam tua itu berderit terbuka.Dua pria bertubuh tegap memasuki ruangan. Keduanya mengenakan jaket kulit hitam dengan emblem perisai perak di dada kiri—simbol kelompok