Nielson membelalakkan mata. “Imera Sky Tower? Pencakar langit futuristik di California yang terkenal dan dipuji dunia itu?”
“Ya, benar. Itu dikerjakan olehnya beberapa tahun lalu, bersama-sama Triton Land yang ternama itu.”
“Oh astaga,” Nielson menggelengkan kepalanya penuh ketakjuban.
“Dan kabarnya ia masih single,” Pria pertama menaikkan bibir, mungkin sambil berkhayal jika ia memiliki seorang putri, ia akan dengan senang hati memperkenalkan putrinya pada pria itu.
Molly Beckett, wanita berambut pirang yang berdiri di samping Nielson, tersenyum manis dengan binar mata penuh kekaguman. "Aku penasaran, mengapa pria seperti itu masih belum menikah? Apakah dia terlalu gila kerja?"
Sebelum ada yang sempat menjawab, suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer ballroom.
Terdengar jelas.
Nielson merasakan sesuatu yang seakan menusuk dari arah belakangnya.
Saat ia berbalik, pandangannya langsung membeku.
Di sana, berdiri seorang wanita dengan gaun hitam anggun, namun dengan tatapan penuh api.
Catelyn.
Mata Nielson melebar seketika, seolah-olah ia baru saja melihat hantu dari masa lalunya.
"Ca-Catelyn?" Suara bisikan-nya terdengar kaget, bahkan ada nada kecemasan yang terselip di sana.
Nielson seketika menjadi gugup saat melihat Catelyn. Wajahnya yang awalnya penuh percaya diri kini berubah tegang.
Di sampingnya, Molly Beckett menatap mereka dengan kebingungan. "Kau mengenalnya?" tanyanya dengan nada curiga.
Nielson buru-buru menepis, memasang senyum palsu. "Tidak. Aku tidak mengenalnya."
Namun, sebelum Catelyn bisa menyela, Nielson berpura-pura mengingat sesuatu. "Ah, apa kau yang menemukan barang milikku?"
Tanpa memberi kesempatan bagi Catelyn untuk bicara, ia segera berpamitan pada Molly. "Aku akan kembali sebentar," katanya, lalu dengan cepat menarik Catelyn menjauh dari sana.
Mereka berhenti di sudut yang lebih sepi, jauh dari pandangan Molly.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Nielson menyentak marah, suaranya rendah tapi penuh tekanan.
Catelyn tersenyum pahit. "Apa yang aku lakukan?" Ia menatap pria itu dengan penuh kebencian. "Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kau lakukan di sini, berpura-pura menjadi pria sukses setelah semua yang kau lakukan padaku?"
Nielson mendengkus. "Hentikan omong kosongmu. Aku telah memutuskanmu, percuma jika kau memohon aku untuk kembali. Segera pergi dari sini sebelum kau mempermalukan dirimu sendiri."
“Memohon kembali? Tidak akan.” Catelyn melipat tangan di depan dada, menatap tajam. "Setelah semua yang aku korbankan untukmu, setidaknya kau bisa memiliki sedikit rasa malu dan mengembalikan semua yang telah aku keluarkan."
Nielson terkekeh sinis. "Mengembalikan apa? Jangan bicara omong kosong!"
Catelyn mencibir. "Ya, aku sudah menduga kau akan berkata begitu. Maka dari itu, aku tak punya pilihan."
Ia melirik ke arah Molly yang masih berdiri di sana, terlihat kebingungan karena Nielson belum kembali.
"Aku akan menemui putri Tuan Beckett itu," lanjut Catelyn. "Aku akan memberitahunya siapa aku sebenarnya. Bahwa aku adalah kekasih yang kau manfaatkan selama bertahun-tahun, dan aku-lah yang membiayai kuliahmu sampai kau bisa berdiri di sini dengan jas mahal itu!"
Warna wajah Nielson seketika memucat. Ia meraih tangan Catelyn dengan kasar, mencengkeramnya erat. "Jangan berani-berani melakukan itu!"
Catelyn tersenyum dingin. "Kau pikir aku tidak berani?"
Nielson menggeretakkan giginya. Ia menatap Catelyn penuh kemarahan. "Apa yang kau mau?" tanyanya dengan suara tertekan.
Catelyn langsung menjawab tanpa ragu. "Kembalikan semua uangku."
Nielson tertawa sinis. "Itu terlalu banyak!"
Catelyn menatapnya penuh kebencian. "Banyak? Ya, itu amat banyak! Apa kau baru sadar sekarang?! Nielson, kau benar-benar lelaki tidak tahu malu dan tidak tahu diri!"
Nielson menghela napas tajam, lalu berkata dengan geram, "Aku hanya akan mengembalikan deposit sewa apartemen. Itu saja."
Ia menatap Catelyn dengan penuh ejekan sebelum melanjutkan, "Setelah aku memberikannya, kau harus menyingkir dari hadapanku. Kembali saja ke kampung halamanmu di Basalt sana dan jangan muncul lagi di hadapanku!"
Catelyn menatap sedih wajah keras Nielson.
Basalt adalah kota tempat mereka berdua dibesarkan. Catelyn meninggalkan Basalt setelah bertengkar dengan kakak-kakaknya, karena tidak setuju hubungannya dengan Nielson.
Mengingat hal itu, hati Catelyn bagai tersayat. Kini ia mengerti mengapa keluarganya menentang hubungan dirinya dengan Nielson.
Catelyn pun mengepalkan tangan.
"Tidak," katanya tegas. "Aku tidak akan menerima jumlah sekecil itu. Aku menuntut kau mengembalikan semua uang yang telah kukeluarkan untuk membiayaimu!"
Nielson menatapnya lama. Lalu, tiba-tiba, ia tersenyum dingin. "Baiklah," katanya, suaranya pelan namun penuh ancaman. "Kalau kau bersikeras, maka aku juga punya cara lain."
Catelyn mengernyit. "Apa maksudmu?"
Nielson mengeluarkan ponselnya, membuka galeri, lalu menyodorkannya ke hadapan Catelyn.
"Aku akan menyebarkan ini ke media sosial jika kau tidak pergi dari sini sekarang juga."
Catelyn menatap layar ponsel dan langsung membeku.
Di sana, ada sebuah foto seorang wanita yang tampak tidak berbusana, duduk di dalam bathtub. Wajahnya tidak sepenuhnya terlihat, tapi cukup jelas bagi siapa pun yang mengenalnya.
Catelyn menatap Nielson dengan wajah pucat. "Ini… ini tidak mungkin…"
Nielson menyeringai. "Oh, tapi ini benar. Kau lupa? Aku punya fotomu saat kau mabuk berat di apartemen dulu. Dan kebetulan, ada beberapa yang cukup… menarik."
Catelyn menggigit bibirnya. Ia benar-benar tidak mengingat pernah berada dalam kondisi seperti itu, tapi melihat foto ini—
"Kau hanya menggertak," desisnya, meski suaranya sedikit bergetar.
Nielson tersenyum puas. "Benarkah? Mau kita coba lihat reaksi publik kalau foto ini tersebar."
Catelyn mengepalkan tangannya. Ia tidak percaya pria ini bisa serendah itu.
Dan sebelum ia bisa membalas, Nielson tiba-tiba melambaikan tangannya ke arah seorang petugas keamanan yang sedang berkeliling di sekitar ballroom.
"Maaf, bisa sebentar?" panggil Nielson dengan suara lantang.
Petugas itu mendekat. "Ada masalah, Tuan?"
Nielson memasang ekspresi serius. "Wanita ini… Aku rasa dia tidak memiliki undangan dan menyusup masuk ke acara ini."
‘Jadi, kau memang benar-benar wanita kantoran, ya?’Suara ceria Noah menggema melalui layar ponsel, memperlihatkan wajah kakak laki-laki Catelyn yang tengah bersandar santai di sofa rumah keluarga mereka di Basalt.Latar belakang panggilan video menampilkan ruang keluarga yang hangat, dengan kilau cahaya temaram dari lampu gantung yang familiar.Catelyn tersenyum kecil, menggeser posisi duduknya agar kamera menampilkan sebagian besar area kerjanya di suatu lantai di gedung ADG.“Lihat sendiri. Aku tidak bohong soal pekerjaan ini,” ujarnya, berusaha terdengar ringan, meski tubuhnya terasa lelah usai seharian bekerja.‘Wow, tempatmu keren juga,’ komentar Noah sambil menyipitkan mata. ‘Tapi… kenapa mejanya kosong? Tidak ada foto Ethan di sana?’“Sshht!” Catelyn meletakkan jari telunjuk di depan bibir. “Jangan sebut namanya di sini.”‘Tapi kenapa?’Sebelum Catelyn sempat menjawab, suara berat dan sinis menyela dari luar layar.‘Apa kau tidak diakui di muka umum?’ ujar Vincent, ‘Apa Wayne i
James menunduk, mengusap pelipisnya. “Bukan aku tidak tahu. Sejak mengenal Catelyn Adams, Ethan mulai mengabaikan pekerjaan. Delegasi terbengkalai. Presentasi yang seharusnya ia sampaikan ditunda. Jika ia terus seperti ini, G&P bisa kehilangan reputasi.”Pria paruh baya itu mengembus pelan. “Aku hanya mengkhawatirkan anak itu. Dulu dia meninggalkan Wayne Group dan menolak bantuanku dan dengan percaya dirinya mengatakan ia akan membangun kerajaannya sendiri tanpa bayang-bayang Wayne Group. Hati anak itu akan hancur juga jika terjadi sesuatu pada G&P.”Elara yang sejak awal hanya diam dan memperhatikan, kini mengangkat tatapan, suara lembutnya menembus udara seperti embun yang turun di pagi hari.“Ayah...” katanya pelan. “Dulu, Arion juga sempat meninggalkan meja kerjanya. Ia tinggalkan kantor demi mencariku, atau sekadar ingin bersamaku. Tapi lihatlah Triton Land dan AE Group sekarang. Mereka tidak runtuh. Tidak melemah.”James terdiam.Liliana tersenyum dan menimpali sambil melirik sua
Ethan, yang sedetik lalu masih penuh percaya diri, tiba-tiba mengarahkan wajahnya pada Catelyn.Alih-alih menjawab, ia mengulurkan sebelah tangan dan menarik lengan Catelyn, hingga membuat gadis itu mendekat. “Mana ciumanku hari ini?”Sepasang mata hazel Catelyn membulat. “Ethan Wayne...” gumamnya nyaris tak percaya. “Jangan mengalihkan topik!”Jendela partisi di belakang supir, bergerak menurun setelah Ethan menekan satu tombol.“Let’s see… Apa pengalihan topik ini berhasil?” Ethan menurunkan wajah.Catelyn langsung memelototinya, penuh tuduhan, meski dadanya berdegup kencang. “Kau ini benar-benar―”Namun kata-kata itu tak sempat terlontar, Catelyn bungkam sepenuhnya begitu bibir Ethan menempel dan membiusnya dengan ciuman lembut dan dalam.“Eth…an…” desahan Catelyn lolos tanpa sadar ketika tangan Ethan bergerak di punggung dan menekan titik sensitif dirinya.Akhirnya Ethan membuka mulut, pelan, di sela ciumannya. “Aku hanya... memastikan tidak ada gangguan visual di ruang kerjamu sa
“Selamat datang kembali, Catelyn.”Suara berat namun bersahabat itu menyambut Catelyn begitu ia memasuki ruang kerja departemen Urban Development Research. Howard, sang supervisor, berdiri dari kursinya dan menyambutnya dengan senyum hangat.“Terima kasih, Sir,” jawab Catelyn, membalas senyum itu dengan sopan.“Akhirnya, setelah melewati perjalanan yang tak mudah, kau resmi menjadi bagian dari tim ini. Bukan lagi sebagai magang, tapi pegawai tetap. Aku bangga padamu.”Catelyn mengangguk. “Saya pun bersyukur bisa kembali. Terima kasih atas dukungan Anda selama ini.”Hari itu berjalan cepat.Rapat koordinasi, diskusi internal, hingga penyusunan laporan perkembangan proyek dengan efisiensi yang nyaris tanpa cela—Catelyn bergerak sigap, memproses dokumen, mengonfirmasi data, dan membagikan ide-ide segar dengan percaya diri yang tak ia miliki saat dulu.Beberapa rekan tim tersenyum bangga melihat kemampuannya. Ia bukan lagi gadis magang yang ragu. Ia telah menjadi profesional sejati.Saat
“Mr Thomson…?”Langkah Catelyn terhenti seketika di ambang pintu ruangan direktur yang terbuka setengah.Suaranya lirih namun terdengar jelas di ruang kerja yang lapang dan sunyi.Sepasang matanya yang hazel membulat, menyiratkan keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan.Sosok pria paruh baya dengan setelan jas abu tua dan dasi biru gelap itu duduk tenang di balik meja eksekutif kayu mahoni, dikelilingi tumpukan dokumen dan layar monitor yang menyala.Robert Thomson menoleh, lalu tersenyum hangat. “Selamat pagi, nona Adams. Silakan masuk.”Dengan napas yang sedikit tertahan, Catelyn melangkah masuk.Pintu tertutup perlahan di belakangnya, meninggalkan ketenangan yang hanya terganggu oleh denting jam dinding.“Maaf… aku hanya tidak menyangka Anda yang sekarang duduk di sini,” ucap Catelyn, masih mencoba memproses kejutan di benaknya. “Terakhir kali aku berada di ADG, Dire
Sepeninggal Ethan, Catelyn dan ketiga kakaknya masih tetap berada di tempat yang sama.Gadis bermata hazel itu menegakkan duduknya, menatap ketiga kakaknya satu per satu.Matanya berbinar redup, tapi di sana tersimpan sesuatu yang dalam—sesuatu yang telah lama ia pendam dalam diam."Aku tahu..." Suara Catelyn lirih. "Aku tidak pernah benar-benar mengatakan ini secara langsung pada kalian."Ketiga kakak Catelyn mengalihkan perhatian penuh adanya, mendengarkan.Catelyn menarik napas. "Aku ingin mengucapkan terima kasih. Untuk segalanya."Noah tersenyum. “Kau akan membuat kami terlihat tua dan sentimental, Cat.”Namun Catelyn tak menanggapi dengan tawa. Ia melanjutkan, lebih lembut. "Kalian bertiga menjagaku... bahkan ketika aku tidak tahu arah hidupku. Bahkan ketika aku menghilang dan meninggalkan kalian selama bertahun-tahun, dan hanya kembali dengan luka dan rahasia. Kalian tetap di sini."Hening. Hanya suara api yang berderak perlahan."Ayah..." bisik Catelyn, air mata mulai menggenan